Parodi Si Kembar

Yusra mengenal karakter Yumna lebih baik dari siapa pun, begitu pula sebaliknya. Mereka bersemayam dalam satu rahim. Lahir ke dunia hanya selisih waktu sepuluh menit. Tumbuh besar bersama. Walau mereka tidak dekat sebagaimana anak kembar pada umumnya, tetapi ikatan tersebut tak mungkin dinafikan.

Yusra mengenal Yumna sebagai pribadi yang berjiwa murni. Tidak mudah berburuk sangka. Pekerja keras. Namun, itu dulu, sebelum kegagalan silih berganti menghantamnya. Kini, gadis itu mengalami perubahan yang sangat drastis. Dia jadi keras kepala. Susah memercayai orang lain. Logis dan kritis. Di sisi lain, dia selalu merasa inferior, apatis, pemalas.

Atas dasar pemahaman itu, Yusra menduga, Yumna tidak akan menerima Yafiq begitu saja. Apalagi, sepengetahuannya, mereka tidak dekat. Sudah pasti. Yumna menghabiskan hampir seluruh waktunya di kamar sejak memutuskan untuk meninggalkan tanah rantau.

Memang benar, Yumna pernah sekali  mengatakan telah berkirim pesan dengan Yafiq. Dugaan Yusra, Yafiq mungkin bertanya-tanya tentang dirinya kepada sang adik. Mereka waktu itu sudah mengetahui perihal perjodohan. Ternyata dia salah besar. Belakangan, Yusra baru tahu kalau Yafiq juga melakukan pendekatan personal ke adiknya. Tak apa. Tidak penting lagi untuk dibahas.

Intinya, hipotesis Yusra terbukti. Yumna tidak mau menikah. Lantas dia pun mulai menjalankan rencana demi mendapatkan sang pujaan hati.

Jangan dikira, penolakan Yafiq tempo hari mampu membuatnya menyerah. Tidak mungkin. Dia sudah mengagumi Yafiq sejak usia belasan. Gagal sekali tidak serta-merta menghancurkan impiannya.

Pertama-tama, Yusra berlagak lapang dada di depan Yafiq. Dia menyatakan diri sebagai pendukung. Bersedia memberikan informasi. Tentu bukan hal-hal baik. Dia justru menonjolkan sisi suram Yumna. Pastinya, dengan memakai kata-kata yang bernada simpati, bukan penghinaan.

Tujuannya, agar Yafiq turut merasa prihatin, lalu semakin agresif mendekati Yumna. Dengan kondisi yang sekarang, dia yakin, Yumna justru berbalik ilfeel.

Kedua, dia memberi tekanan kepada kembarannya. Berusaha meningkatkan rasa inferior Yumna. Dia membual tentang harapan dan keputusasaan, betapa dia sangat mencintai Yafiq, lantas menyayangkan penolakan itu. Tak lupa, dia juga mencari tahu alasan Yumna sesungguhnya. Ternyata benar, Yumna memang ilfeel kepada Yafiq.

Ketiga, dia melakukan sesi curhat kepada rekan kerjanya di Puskesmas. Para pengagum Yafiq. Dia memoles sedikit cerita, berkata bahwa Yumna, sangat hebat karena berani menolak lamaran Pak Dokter. Lalu biarkan gadis-gadis tersebut menjalankan tugasnya. Dalam waktu singkat, Yumna telah menjadi pemberitaan hangat di kampung mereka.

Tujuannya, menggores harga diri Bu Rosidah. Dia tahu, biasanya ibu-ibu lebih tanggap masalah semacam ini. Juga, memberikan sedikit teror kepada mamaknya melalui komentar warga. Lalu turut serta mengintimidasi Yumna.

Dengan demikian, ketika Yumna mulai merasakan tekanan dari pelbagai pihak, dia otomatis akan menyalahkan Yafiq. Biar bagaimanapun, jika Yafiq tak tertarik kepadanya, Yumna tidak mungkin go public. Dia bisa tetap tiduran di rumah, merenungi segala kekecewaan hidup yang menimpanya.

Jadi, saat Yumna terus menolak, Yafiq pasti bosan dan menyerah. Kemudian berbalik memandang dirinya, yang sejak awal memberikan dukungan.

Selesai. Begitulah skenario yang telah Yusra susun. Lihat, betapa hebat dirinya.

Seharusnya semua ini berhasil, tetapi kenapa ..., kenapa yang terjadi justru sebaliknya?!

Yusra tidak mengerti.

Apakah ada celah dalam strateginya? Di mana letak kesalahannya? Kenapa Yumna tiba-tiba berubah pikiran?

Bukankah gadis itu belum lama memaki Yafiq sebagai setan dan sinting? Lalu kenapa? Kenapa rencananya gagal total!

Yusra menghempaskan seluruh barang-barang di atas meja. Dia mengamuk. Meremas ponselnya kuat-kuat.

Kenapa! Kenapa! Kenapa!

Air matanya lagi-lagi menetes. Tangisnya tumpah. Dia menjerit tertahan.

Kepalanya menggeleng. Bola matanya bergerak gelisah. Bahunya bergetar.

Tidak! Tidak! Tidak!

Dia yang lebih dulu mengenal Yafiq. Jatuh cinta kepada lelaki itu. Berjuang agar pantas berdiri di sisi Yafiq.

Yumna tidak layak menikahi Yafiq! Mereka tidak cocok! Timpang! Dialah yang berhak mendapat keistimewaan itu!

Amarah membumbung di dada Yusra. Dia tidak terima dipermalukan begini. Dengan tertatih, dia bangkit, melangkah keluar, menuju kamar Yumna.

Dia menggedor pintu. Tak peduli malam semakin larut, seisi rumah mungkin terlelap, desa begitu sunyi, lampu-lampu milik tetangga telah lama padam. Dia hanya ingin bicara! Segera!

"Yumna! Yumna! Yumna! Kau dengar aku?! Aku mau bicara! Buka! Buka! Buka!"

Tak cukup lima belas detik, pintu kamar Yumna telah dibuka. Gadis itu memandangnya aneh. "Kau kenapa?"

"Kau ..., kenapa kau menerima lamaran Kak Yafiq?!"

"Bukan urusanmu." Datar.

Yusra semakin murka. Dia menggeram keras. Memelotot ke arah saudarinya. "Jawab! Bukankah kau sendiri yang bilang kalau Kak Yafiq mirip setan dan sinting! Kau menjilat ludahmu sendiri!"

"Aku harap, kau belum merusak cermin di kamarmu." Sarkasme.

"Kau ...!" Yusra menunjuk muka Yumna.

"Kembalilah ke kamarmu. Kau pasti butuh waktu untuk mengumpulkan pecahan hatimu."

Yusra spontan menendang daun pintu. Lalu menjerit. Gadis ini merendahkannya! "Kurang ajar!"

Yumna mundur. Lantas memijat pelipisnya. Dia semakin sulit tidur akhir-akhir ini. Pikirannya kacau. Kini, Yusra menambah masalah dengan membuat keributan.

Sepertinya lain kali dia perlu meminta agar kamar mereka tidak berdampingan. Suara rusuh dari bilik Yusra sempat didengarnya. Mungkin sebaiknya dia mengajak Zaki bertukar tempat.

Ah, ya, ke mana penghuni lain di saat seperti ini? Apa mereka begitu lelap hingga tidak mendengar kegaduhan?

Apa jangan-jangan orang tuanya sengaja mendesain rumah berukuran luas, dengan kamar mereka yang ditempatkan di bagian terbelakang? Agar penghuni lain tidak terganggu bila sewaktu-waktu mereka ribut tengah malam?

"Yumna!"

Yumna menengadah. Dia memandang saudarinya prihatin. Penampilan Yusra benar-benar kacau. Gadis itu juga terlihat menahan sakit. "Kenapa? Kakimu memar?"

"Aku membencimu!"

"Memangnya sejak kapan kita saling menyukai?" tukasnya lempeng.

Yusra serta-merta menangis, lagi. Kesal. Marah. Sedih. Dia ingin mengajak Yumna bergelut, tetapi sadar kemampuan fisik mereka tak sebanding. Walau Yumna terlihat kusut, dia percaya tenaganya masih sekuat dulu. Dia dan Mamak sering meminta tolong padanya bila hendak mengangkat benda-benda berat.

Alhasil, Yusra hanya bisa meluruh ke lantai. Sesenggukan dan meracau. Yumna malah ikut berjongkok di depannya. Menyebalkan. "Kau keterlaluan," gumamnya lirih.

Yumna mendesah seraya memutar bola mata. "Kita lucu, ya? Aku susah payah menolak Yafiq, dan kau mati-matian mengejarnya. Semua orang jelas-jelas mendukungmu, tapi mereka malah mamaksaku menikahi Yafiq. Mungkin, di mata orang lain, hidup kita ini seperti parodi."

Yusra mendongak. Tersentak mendengar penuturan tersebut dari lisan adiknya. Terlalu dalam. Begitu sarat makna.

"Kita dibesarkan sebagai rival. Punya gaya hidup berbeda, padahal kita kembar identik. Sejak kecil, orang lain terus membuat perbandingan tentang kita. Aku dicap pecundang, dan kau adalah pemenang. Namun, aku dan kau ..., pada akhirnya, kita sama. Dianggap lelucon oleh masyarakat."

"Hentikan! Aku tidak mau mendengar omong kosongmu. Kita berbeda. Aku diinginkan, sedangkan kau terbuang!" tukas Yusra cepat. Lantas menggeleng kuat.

Tidak! Tidak! Tidak!

Yumna itu seperti jurang. Suram dan gelap. Dia bisa menjebak dirinya sewaktu-waktu. Sial. Jangan sampai Yusra terpengaruh!

"Oh, ya? Coba kau sebutkan perbedaannya. Bukankah kau hidup dengan memenuhi standar masyarakat? Kau ingin terlihat cantik dan cerdas agar mereka menyukaimu. Begitu pun denganku. Aku menjalani hidup sebagai sampah. Percis seperti yang mereka labelkan padaku. Lihat? Kita sama saja."

Yusra bangkit. "Aku ke sini bukan untuk membahas hal suram dan sok filosofis denganmu!" tukasnya sambil berbalik.

"Lalu apa? Mau sampai kapan kau menuruti ekspektasi orang-orang? Kau tidak lelah hidup dengan cara begitu?"

Yusra berhenti sesaat. Dia menoleh. "Memangnya kita bisa apa? Kalau pun yang kau katakan benar, adakah sesuatu yang berubah?" tandasnya sebelum menutup pintu.

Malam itu, di antara siur angin yang menembus kisi-kisi jendela, di tengah keheningan malam, di bawah cahaya remang-remang, Yumna dan Yusra memikirkan banyak hal tentang makna kehidupan.

Di balik tembok yang bersisian, dalam kesendirian, mereka merenung sangat lama. Tentang hari-hari yang telah terlewat. Kilas-balik masa kanak-kanak. Betapa mereka tumbuh dalam suasana yang keterbalikan.

Mungkin Yumna memang benar, mereka hanya lelucon bagi masyarakat. Terkekang oleh pakem yang berlaku. Dipaksa mengejar sesuatu yang semu.

Dan Yusra, mungkin juga benar. Bahwa mereka, meski menolak, sadar telah berperan layaknya pemain parodi, tak ada yang dapat diubah. Mereka tak berdaya. Tak punya pilihan.

Karena memang, diakui atau tidak, begitulah cara manusia diperlakukan dan memperlakukan sesamanya.

-Bersambung.

Suraaam.☻

17 Juni 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top