Orang Tua dan Anak [2]

Sudah dua hari berlalu sejak Yumna pergi. Terasa menyedihkan setiap kali Yafiq terbangun dan tak menemukan Yumna di sisinya. Tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk menjadi terbiasa atas keberadaan perempuan itu.

Belum ada seorang pun tahu perihal perpisahan mereka. Kepada orang tuanya, dia hanya mengatakan bahwa Yumna butuh refreshing. Sesungguhnya Yafiq belum siap.

Seberapa kuat pun mencoba ingkar, jauh di dalam hati Yafiq tak menghendaki perpisahan. Di waktu yang sama, dia pun sadar, bahwa bertahan hanya akan mengundang luka.

Semua terasa serba salah sebab Yafiq sungguh mencintai mamaknya dan Yumna sekaligus. Dia tak tahu harus berbuat seperti apa. Bagaimana memangkas jarak di antara mereka, masih menjadi sebuah misteri untuknya.

Di atas semua itu, Yafiq tak bisa berkutik karena talak telah tersampaikan. Dia yang membebaskan Yumna. Menyuruhnya pergi.

Sekarang, apa yang harus dia lakukan untuk memperbaiki semuanya?

Yafiq benci dirinya yang labil. Mengutuk sikap tidak tegasnya. Dia sadar ada sesuatu yang salah, tapi keraguan senantiasa menyelimuti.

Kondisi semacam ini berbeda dengan mendiagnosis pasien. Di luar urusan pekerjaan, dominasi peran perempuan dalam hidupnya begitu besar. Dia terbiasa diarahkan, meski kadang suka menyanggah, tapi Yafiq tak pernah benar-benar lepas.

Anak bungsu dari empat bersaudara. Sejak kecil, Yafiq sudah sering mendengar nasihat mamak dan kakak-kakaknya. Kini, masalah yang dihadapi melibatkan sang mamak secara langsung.

Apa yang harus dilakukan?

Benarkah menceraikan Yumna adalah keputusan tepat?

Yafiq mengusap wajahnya kasar. Sangat terlambat untuk memikirkan masalah ini. Seharusnya dia tak mengikuti emosi sesaat.

Kala itu, dia terlalu syok tatkala mendapati Yumna nekat mengiris lengannya. Hal pertama yang terpikirkan, adalah cara untuk mengakhiri segala duka. Tanpa sadar, dia bertindak implusif.

Helaan napas berat terdengar. Lelaki itu turun dari kasur. Langkah kakinya menuju kamar mandi. Dia berwudlu hendak melaksanakan salat.

Yafiq menggelar sajadah. Mendirikan salat dua rakaat. Di tengah keheningan malam, dia berdoa meminta petunjuk kepada Sang Pencipta. Berharap diberikan jalan terbaik. Untuknya, Yumna, dan seluruh orang orang yang terlibat dalam rumah tangga mereka.

Selepas salat, Yafiq merasa butuh menyegarkan kerongkongan. Dia pun keluar menuju dapur. Hendak mengambil air minum.

Saat melintas di depan kamar orang tuanya, pintu sedikit terbuka dan lampu menyala. Berarti mereka belum tidur. Sebersit ide melintas di benak Yafiq.

Mungkinkah sekarang adalah waktu yang tepat untuk berbicara serius?

Selepas menuntaskan dahaga, Yafiq berdiri bimbang di depan kamar orang tuanya. Ragu, dia mengetuk pintu amat pelan. Tak cukup tiga puluh detik, Bapak muncul di hadapannya.

Pria paruh baya itu menutup pintu pelan-pelan. "Mamakmu sudah tidur. Ada apa?"

Yafiq mengusap tengkuk. Bapak merupakan orang yang paling mungkin dijadikan konsultan dadakan. "Boleh bicara sebentar?"

"Di ruang keluarga."

Yafiq duduk gelisah. Bapak belum bersuara, seolah sengaja menunggunya. Dia lagi-lagi bingung harus memulai dari mana.

"Cerita saja, lho, Fiq. Ini tentang Yumna?" tebak Bapak. Mungkin greget karena dirinya tak kunjung membuka mulut.

"Bapak tahu?"

"Lha, kau kelihatan lemas sejak Yumna pergi. Pasti main ke rumah orang tuanya cuma akal-akalan kalian."

Yafiq menunduk. "Aku ... menceraikan Yumna."

"Astagfirullah! Coba ulangi, Nak?"

"Aku membebaskannya. Aku menyuruhnya pulang. Aku menalaknya secara sadar."

Terjadi keheningan amat panjang. Detak jarum jam bahkan terdengar. Udara yang berembus melewati kisi-kisi jendela terasa mencekam.

Yafiq mendongak pelan-pelan. Hendak mengecek kondisi sang bapak. Napasnya tercekat saat menemukan mimik keruh di wajah pria itu.

"Kenapa bisa?"

Yafiq menelan ludah payah. Dia tak mungkin membeberkan perihal percobaan bunuh diri Yumna. Itu merupakan aib.

"Kami ... sudah tak sejalan."

"Maksudnya bagaimana?"

"A-ku ... aku ...."

"Ceritakan pelan-pelan."

Yafiq menarik napas panjang. "Aku merasa bersalah melihatnya tertekan. Di sisi lain, aku tidak tahu bagaimana menghadapi Mamak. Aku pikir, jika dibiarkan lebih lanjut, mereka hanya berakhir saling menyakiti."

"Ada hubungannya dengan mamakmu?"

Yafiq mengangguk kaku. Tatapannya kosong. "Bapak tahu sendiri bagaimana interaksi mereka. Aku tidak suka terus-menerus menyaksikan Yumna bagai tertindas. Namun, aku juga berat meninggalkan rumah."

"Kau kenal mamakmu sejak kapan? Ya Rabb, Bapak tahu masalahnya, tapi tidak disangka akan separah ini." Bapak mengusap rambutnya yang mulai memutih.

"Ma-mak terus menuntut tentang momongan, menikah lagi, mempersoalkan sikap Yumna, dan sejenisnya. Kami tidak bisa diam saja."

"Dan cerai adalah jalan satu-satunya?" pukul Bapak telak.

Yafiq membuang muka.

"Kita semua sadar bagaimana sikap Yumna selama ini. Apa salah jika mamakmu mengharapkan perubahan? Mamak cuma menginginkan kebaikan untuk kalian. Caranya bagaimana? Mendorong Yumna untuk lebih perhatian pada sekitar. Kalian belum mengerti, tapi kehadiran anak dapat berperan sebagai motivasi bagi pasangan, khusunya seorang ibu. Yumna tidak mungkin asyik tidur-tiduran sewaktu pagi kalau punya bayi."

"Mamak menyuruhku bercerai."

"Kau menelan mentah-mentah perkataan mamakmu? Dari dulu gaya bicaranya memang berlebihan." Suara Bapak naik satu oktaf. "Bisa-bisa kau mengambil jalan pisah. Apa kau bilang? Membebaskannya? Kau tidak berpikir bagaimana pendapat orang setelahnya? Perempuan sering kali jadi pihak paling dirugikan dalam perceraian, Nak. Kau kira caramu bisa menyelamatkan Yumna?"

Benar, bisik Yafiq dalam hati. Namun, tetap menahan Yumna, padahal dia nyaris bunuh diri, bukan pula keputusan tepat. Secara sederhana, talak merupakan solusi praktis untuk menghentikan luka, baik secara mental maupun fisik.

"Maaf, Pak. Ini sudah keputusan kami."

"Orang tua Yumna tahu?"

"Belum."

"Apa tidak ada kesempatan untuk rujuk?"

"Mungkin masih ada. Talak satu."

"Kau yakin resmi berpisah? Kau sudah tak mencintainya? Bukankah kau yang dulu kukuh mau menikahi Yumna? Kau punya muka menemui Pak Yahya?"

Yafiq bergeming. Dia kehilangan kata-kata. Tak tahu harus merespon seperti apa.

"Nak, kau tahu hikmah kenapa hak talak terletak pada suami?" pangkas Bapak retoris. "Karena kita diciptakan lebih logis. Tidak mudah terpengaruh perasaan. Coba kau bayangkan, misal hak talak juga dimiliki istri, mereka suka asal bicara ketika emosi. Rumah tangga terancam. Talak bukanlah sesuatu yang main-main. Bahkan bisa jadi sah meski diucapkan dengan sindiran atau bercanda."

Yafiq tak berani menatap bapaknya. Separuh hatinya membenarkan, sedangkan separuh yang lain mengingkari.

Dia memang masih ingin bersama Yumna. Cintanya tidak pernah padam. Dulu ataupun sekarang sama saja.

Akan tetapi, di saat Yumna jelas-jelas dirundung derita, masikah pantas untuk mempertahankan egonya sendiri?

"Karena orang tuanya belum tahu, seharusnya lebih mudah. Coba kau ajak Yumna bicara dari hati ke hati. Tenang. Evaluasi lagi perasaan kalian. Kalaupun perlu adanya mediasi dengan pihak ketiga, kami siap membantu."

"Tapi, Pak ...."

"Kau tidak usah khawatir soal mamakmu. Biar Bapak yang tangani. Sepertinya Yumna tidak bisa terlalu ditekan. Mamak butuh mengganti cara mendidiknya. Bapak minta maaf karena selama ini banyak diam. Bapak pikir, mamakmu lebih tahu soal urusan rumah."

"Bapak jangan minta maaf. Kami yang salah." Yafiq merasa tidak enak mendengar penuturan tersebut.

Bapak menepuk pundak Yafiq dua kali. Kemudian bangkit dari sofa dan pergi tanpa sepatah kata pun. Meninggalkan Yafiq terpaku di posisinya.

Untuk talak yang sudah telanjur jatuh, untuk aral yang membentang di depan mata, dapatkah mereka mengurai kekusutan benang merah?

Untuk kebahagiaan yang berlalu, untuk harapan yang sirna, dapatkah mereka kembali melangkah seirama?

Lebih dari itu semua, bersediakah Yafiq menarik kalimat sakral yang telah terucap dari lisannya?

Bilapun dia bersedia, maukah Yumna menerimanya sekali lagi?

-Bersambung.

Rujuk nggak, nih?

28 Juli 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top