Mencoba Berdamai
Yumna baru bangun ketika semua orang telah pergi. Rumah amat sunyi. Hanya dia seorang yang mengisi.
Tak banyak yang berubah walau statusnya berbeda. Yumna masih enggan bangun pagi.
Sesak kerap kali menyapa saat dia terjaga. Menyadari bahwa dirinya adalah satu-satunya yang menganggur, agaknya masih menyimpan luka. Bayang-bayang kegagalan, harapan yang tak kesampaian, senantiasa menari di pelupuk, mendekap kuat-kuat hingga mencipta nyeri di dada.
Yumna sendiri tak mengerti apa yang tengah menimpanya. Sebulan lalu, ketika bertemu Yasril, hatinya lega. Energi positif begitu meluap. Alhasil, dia bisa bersenang-senang setelahnya.
Akan tetapi ..., tatkala dia kembali ke kampung halaman mereka, berdiam di rumah, semangatnya lantas menguap. Kondisinya semakin parah setelah dia mengikuti suaminya.
Di sini, di rumah ini, hanya dia manusia yang tak punya pekerjaan apa-apa. Yumna berpendapat ibu mertuanya mungkin semakin membenci ketidakbecusannya. Dia merasa kecil. Takut dipandang sebagai beban dan diremehkan. Jika mamaknya sendiri secara tak langsung pernah berkata demikian, apatah lagi mamak orang lain.
Pikiran semacam itu ..., sungguh seperti virus yang menggerogoti secara perlahan. Ketika tersadar, Yumna telah menemukan jarak amat panjang membentang di antara mereka.
Yumna menatap pantulan dirinya pada cermin. Dia hanya mencuci muka dan gosok gigi. Kurus, tinggi, rata. Rambutnya berwarna kecokelatan akibat paparan sinar matahari. Tidak menarik.
Dia mendesah panjang. Berlama-lama memandang cermin sangat tidak baik untuk kesehatan mental. Gadis itu menjauh, meninggalkan kamar.
Tujuan pertama adalah mengisi perut. Seperti yang sudah-sudah, Yumna menemukan makanan di balik tudung saji. Dia menyantap amat pelan.
Setelah itu, Yumna membersihkan piring kotor. Di dekat wastafel, ada sebuah jendela besar yang menghubungkan dapur dengan kebun belakang. Yumna membuka jendela berbahan kayu tersebut.
Lahan yang cukup luas untuk menanam pisang, sayur-mayur, serta umbi-umbian. Udara segar merasuki indera penciumannya. Dia menghirup napas dalam-dalam.
Yumna tersentak saat mendengar bunyi gedebuk. Serta-merta dia mencari sumber suara, lalu menemukan batang pisang yang tumbang. Seseorang sengaja menebangnya. Ternyata ulah bapak mertua.
Dia tersenyum canggung saat pandangan mereka bertemu. Pria paruh baya itu menatapnya cukup lama.
"Nak, kebetulan kau di situ, bisa tolong bawakan Bapak air minum?"
Yumna gegas menyahut, "Iya, Pak!"
Dia melewati pintu penghubung antara dapur dengan area kebun. Tangannya menenteng sebuah mok besar. "Tabe, Pak," katanya setelah berdiri di dekat sang mertua.
Pak Ibrahim menancapkan parang pada batang pisang. Dia berjongkok demi meneguk air minum hingga tandas. "Kau ada kerjaan?" tanyanya sambil menyerahkan mok kosong.
Yumna bergeming. Sungguh pertanyaan yang amat menusuk.
"Maksud Bapak, mungkin kau bosan seharian di rumah, mau mencoba memanen?" ajak Pak Ibrahim. "Bapak lihat tadi jambu biji, tomat, cabai, dan bayam, sudah siap panen. Ambil saja yang bisa kau pakai untuk kebutuhan kita."
Yumna mengerjap lambat. Sedikit sesal di hati karena sempat berpikiran buruk terhadap pria ini. Ternyata sama seperti bapaknya, Pak Ibrahim terlalu sibuk hingga jarang menghabiskan waktu siang di rumah. Bukan berarti tak menyukai dirinya.
"Mau, Pak," sahutnya kalem.
"Ya sudah, kau ganti pakaian dulu. Gunakan baju dan celana panjang. Nanti kau gatal-gatal."
Yumna tersenyum. Cukup terharu mendengar perhatian sang mertua. Tanpa menunggu lama, dia bergegas mengganti pakaian.
Pagi itu, semangatnya kembali mencuat. Entah berapa lama dia menghabiskan waktu, tahu-tahu keranjangnya telah terisi penuh. Yumna pun memutuskan untuk meninggalkan kebun.
"Senang, Na?" sapa Pak Ibrahim saat dia melewati pria itu.
"Iya, terima kasih, Pak. Apa boleh jika sesekali aku datang lagi? Jambu bijinya belum sempat kupetik."
"Tentu, datanglah kapan pun kau mau. Bapak ikut senang bila kau menyukainya," ujar Pak Ibrahim tulus. "Kau sering kelihatan murung. Apa ada sesuatu yang mengganggumu?"
"Maaf?"
"Kita keluarga, Na. Kau mungkin kurang nyaman mendengar omelan mamakmu. Tapi, percayalah, dia punya hati yang baik. Istri Bapak itu ..., dari dulu memang suka bicara berlebihan," tutur Pak Ibrahim sambil terkekeh tipis.
Senyap.
Yumna menunduk, menatap ujung sendal jepit miliknya.
"Bapak jarang di rumah, tapi informasi dari mamakmu lancar jaya. Bapak cuma mau bilang, setelah akad nikah atasmu tertunaikan, kau telah menjadi anak kami. Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya walau kadang cara yang digunakan susah dimengerti."
Yumna kian tertunduk. Rasa berdosanya semakin bertambah-tambah. Paham betul apa maksud Pak Ibrahim.
Yumna dituntut untuk beradaptasi. Menerima keluarga barunya. Mengikuti ritme hidup mereka. Dia tahu, sangat tahu, tapi begitu susah diterapkan.
Gadis itu mendesah tipis. Dia mencoba menarik sudut-sudut bibirnya. "Iya, Pak. Terima kasih atas nasihatnya. Akan aku usahakan," jawabnya diplomatis.
"Nikmati waktumu bersama kami, oke?"
Yumna mengangguk, lalu pamit undur diri. Deretan pekerjaan rumah telah menanti.
Pertama, Yumna memasak. Dia tak sepandai Yusra dalam hal ini, tapi cukup tahu cara mengolah bahan makanan.
Tuntas dengan urusan dapur, Yumna lanjut beres-beres. Kemudian mencuci pakaian kotor yang menumpuk di keranjang. Beginilah rutinitasnya setelah menikah.
Yumna keluar dari kamar mandi. Dia mengeringkan rambut menggunakan handuk kecil. Rasanya amat segar usai lelah beraktivitas seharian.
Gadis itu membuka lemari, hendak mencari pakaian ganti. Celana training dan kaos longgar menjadi pilihan. Yumna menyapukan bedak tabur di wajahnya, serta menggunakan sedikit lotion di kaki dan lengan.
Usai berdandan seadanya, dia meraih mukenah. Sajadah tergelar di atas lantai. Yumna memulai rakaat pertama dengan takbir. Panggilan salat Zuhur dari speaker masjid sudah lama terdengar, tapi dia baru sempat menunaikan kewajiban.
Tak cukup sepuluh menit, gadis itu telah menuntaskan empat rakaat salat wajib. Dia duduk bersimpuh di atas sajadah. Termenung.
Pandangannya kosong. Dia tak melakukan apa-apa. Hanya diam bak patung.
Yumna mencoba mengevaluasi hidupnya. Mencari kealpaan dalam diri. Mengulang jejak-jejak waktu yang telah dia habiskan di bumi.
Apa yang salah dengannya? Kenapa dadanya begitu sesak? Kenapa dia merasa tak berharga?
Setiap tarikan napas, senyum yang terukir, kenangan-kenangan yang bermain di pelupuk mata, semua terkesan palsu. Menyakitkan.
Gadis itu memejamkan mata. Tertunduk dalam. Kedua tangannya menapak pada sajadah.
Dia hanya mau bebas. Tak terbebani oleh tuntutan-tuntutan sosial. Dia menginginkan kelapangan hati.
Di luar, ketika menghadapi orang lain, Yumna pandai berkelit. Memasang topeng sebaik mungkin. Cuek, minim ekspresi, rajin melontarkan sarkasme, seolah tak ada yang lebih penting dibanding dirinya. Itu semua cuma kamuflase.
Nyatanya, jauh di dasar hati, Yumna mati-matian membunuh perasaannya. Dia berlagak bagai tak peduli penilaian orang. Hidup seenaknya.
Hasilnya, atas orang-orang yang masih berbuat baik padanya, dia sering kali berburuk sangka, tapi merasa berdosa di waktu yang sama. Mamak dan bapak mertua, serta Yafiq adalah contohnya.
Bu Rosidah memang suka mengomel, tapi masih dalam tahap normal. Sebagaimana ibu-ibu pada umumnya. Pun Pak Ibrahim, peduli walau tak ditunjukkan secara terang-terangan.
Ada pun Yafiq, lelaki itu sangat perhatian. Yafiq berusaha keras memahaminya, menciptakan kenyamanan untuknya. Tak memaksakan kehendak. Meski sesekali suka mencuri kesempatan melakukan kontak fisik dengannya, tapi hanya sampai ciuman, tak lebih.
Yumna salut melihat pengendalian diri lelaki itu. Namun, tiap kali menyadari bahwa Yafiq adalah sebab harapan terpendamnya tak tercapai, dia marah. Jika bukan karena lamaran Yafiq, dibumbui tekanan masyarakat sekitar, dia bisa bersanding dengan Yasril. Membangun ulang mimpi-mimpi mereka yang terserak.
Pada akhirnya, entah dirinya yang sengaja mencipta jarak, atau Yafiq berujung menyerah, hubungan mereka mengalami stagnasi. Tak banyak yang berubah sejak Yafiq datang dalam hidupnya hingga detik ini.
Hanya saja, jika diingat kembali, apa yang salah pada Yafiq? Dia hanya mengekspresikan cinta, sebagaimana yang diakui. Agak konyol kalau kegagalan tersebut dilimpahkan kepada lelaki itu. Dialah yang bersalah. Seperti kata Yasril, dia yang mengingkari janji mereka.
Yumna menarik napas panjang. Menutupi matanya pakai tangan kiri. Bibirnya digigit kuat-kuat.
Apa yang telah dia lakukan?
Karena kelemahannya dalam mengendalikan hati, ketidakbecusannya saat menjaga janji, dia menggadaikan perasaan Yafiq.
Tanpa dapat dicegah, air mata Yumna menetes. Pelan, lama-lama kian deras. Rasa berdosa menghantamnya. Dia mengaku keliru. Menerima seluruh kealpaannya. Di waktu yang sama, Yumna bertekad untuk memperbaiki semuanya. Demi pengorbanan Yafiq, juga pesan terakhir Yasril sebelum mereka resmi berpisah.
Gadis itu mengusap air matanya. Dia menengadah, menghirup udara dalam-dalam. Menormalisir sesak di dada. Setelah merasa agak baikan, Yumna bangkit.
Dia melepas dan melipat mukenah, berikut sajadahnya. Ketika berbalik, Yumna terkejut saat menemukan keberadaan Yafiq. Jarak mereka terpisah sekitar satu meter.
Mereka bertatapan agak lama. Berdiri di tempat masing-masing. Waktu seolah bergerak lambat ketika Yafiq maju secara perlahan.
"Aku mengamatimu sejak beberapa menit lalu. Sepertinya kau tidak baik-baik saja."
Yumna mengangguk kuat. Dia tidak akan kabur lagi. Gadis itu beringsut maju. Untuk yang pertama kali, dia memeluk Yafiq duluan. Sangat erat.
"Ya, aku tidak baik-baik saja, tapi kau ada di sini. Seharusnya aku sadar lebih awal. Maaf untuk semuanya, untuk sifat tak acuhku selama ini. Maafkan aku."
Yafiq memegang pundak Yumna dan memberi dorongan kecil. Sorot matanya sulit diartikan. "Aku yang minta maaf."
Yaumna mendongak, menanti penjelasan lebih lanjut.
"Di luar banyak setan. Godaan ada di mana-mana. Aku minta maaf. Mulai sekarang, aku akan mengingat, bagaimana pun penampilan setan-setan di luar sana, istriku punya semua yang aku butuhkan."
Yumna mengerjap. Sepertinya dia cukup paham maksud Yafiq. Setan berarti perempuan lain. Yafiq meminta maaf karena sempat tergoda, begitukah?
"Apa setannya cantik?"
"Ya, tapi tenang, hatiku cuma buat istriku."
"Benarkah?"
"Butuh bukti?"
"Hm?"
Yafiq tersenyum manis. Tanpa aba-aba, dia mencuri satu ciuman di bibir Yumna. "Seumur hidup, aku cuma melakukan itu dengan satu orang, Na," katanya sambil mengerling.
Yumna membuang muka. Pipinya bersemu merah. Dia merutuk dalam hati. Respon tubuhnya tidak pernah berubah.
"Na, keberatan kalau kita lanjut?"
Yafiq memungut sajadah dan mukenah milik Yumna. Cepat-cepat mengembalikan benda itu ke tempat penyimpanan. Sebelum mendekati Yumna, dia mengunci pintu terlebih dahulu.
Muka Yumna merah padam saat menyadari arti perkataan sang suami. Seluruh badannya menjadi kaku. Susah digerakkan.
"Jadi, bagaimana, Na?"
"A-aku ..., Ka-kak ..., ki-kita," sahut Yumna terbata. Suaranya mendadak susah keluar.
Yafiq mengusap tengkuk. Tiba-tiba malu sendiri. Respon Yumna serta-merta membuatnya tak enak. "Ah, maaf, mungkin sebaiknya aku mandi untuk menyegarkan pikiran," komentarnya seraya melangkah panjang menuju kamar mandi.
Yumna tersentak. Dia refleks menahan lengan Yafiq. "Ma-maaf, bukan menolak, aku hanya agak kaget. Uhm, aku tunggu di sini, oke?"
-Bersambung.
14 Juli 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top