Kuingin Sampaikan Terima Kasih
"Ini yang katanya mau datang jam empat? Ngaret lo!"
"Sengaja mau nyuri panggung gue, ya, lo?" tuduh Kafka.
Yasril menyeringai tipis begitu menerima sindiran heboh dari kedua kawannya. Ketika baru memasuki ruangan, semua pasang mata tertuju kepada mereka. "Maaf, tadi ada sedikit masalah," timpalnya santai. "Gimana, Bro? Lancar?" sambung Yasril sembari menarik Yumna ke kursi kayu kosong. Dia sempat melirik kue tar yang tersedia di atas meja bundar.
Kafka tersenyum lebar sambil mengangkat tangannya dan Kania. Hendak memamerkan sepasang cincin yang melingkar di jari manis mereka. "Udah gue bilang, nggak mungkin gagal!" sahut lelaki itu pongah.
"Emang nggak bisa dibayangin kalau lo benaran gagal. Ya, gue sama Raza nggak rugi-rugi banget, sih. Kita tetap dapat komisi makan gratis."
"Sialan lo!"
"Asal kalian tau, tadi mukanya pucat banget pas gue pura-pura nolak," tambah Kania demi menggoda Kafka.
"Jangan bongkar aib dong, Yang. Perjuangan banget dari zaman kapan ini."
"Idih, nggak usah gaya lo manggil sayang-sayangan depan gue!" Raza mencibir kesal.
"Iri bilang, Bos!"
Tawa meledak di ruangan itu. Terasa hangat dan bersahabat. Mereka melebur menjadi satu. Selera humor mereka sejalan. Tentu saja, kecuali Yumna.
Di tengah kemeriahan tersebut, Yasril berdehem kencang guna menarik seluruh perhatian. Setelah pandangan terkunci padanya, dia langsung merangkul pundak perempuan di sisinya. "Kenalin, istri gue, Yumna," ucapnya tenang. Kemudian sedikit menunduk. "Ini teman-teman aku. Yang baru jadian namanya Kania dan Kafka, yang jomlo sendiri Raza, dan ... lho, Audi?"
Audi melambai singkat. "Halo, saking semangatnya lo sampe nggak nyadar keberadaan gue."
"Kok bisa di sini?" gumam Yasril heran. "Kalian ...."
"Nggak usah mikir aneh-aneh. Dia teman dekat Kania, makanya gue ajak sekalian. Kebetulan dia lagi butuh belaian soalnya sering ditinggal kerja sama si Bang Pol."
"Heh!" sergah Audi.
Raza tertawa kecil. "Intinya, gue dan dia nggak seperti yang lo bayangin, oke?"
Yasril mengedikkan bahu. "Okelah. Itu Audi, mantannya Raza semasa kuliah."
Raza dan Audi sontak mengumpat, yang lagi-lagi mengundang gelak tawa.
Kania mengusap sudut matanya. "Kalian masih aja heboh pas ngumpul. Serasa nostalgia."
"Stop! Gue nggak mau nostalgia, ya. Daripada itu ...," Audi menggantung kalimatnya. Dia menyeringai lebar. Kepalanya dihadapkan ke arah Yasril. "Gue boleh wawancara istri lo?"
"Nggak, nggak. Isi otak lo terlalu berbahaya buat Yumna gue yang polos."
Perkataan Yasril otomatis memancing semua orang untuk bersorak jijik. Bahkan, Raza sampai melemparkan tisu kepadanya. Sementara Yasril, dia hanya terkekeh puas.
"Na ..., eh, gue panggil gitu nggak pa-pa? Nama lo lebih enak dipenggal bagian akhir."
Yumna mengerjap. Terdiam sesaat. Melakukan pemindaian dalam otak. Audi tampaknya cukup frontal. Dia merasa terancam. Panggilan itu mengingatkannya kepada seseorang, serta rasa sakit yang datang belakangan.
Dia segera tersadar tatkala Yasril menusuk pipinya pakai jari telunjuk. "Kau baik-baik saja?"
Yumna mengangguk kaku. Dia mengitarkan pandangan. Ah, sepertinya dia telah membuat kesan buruk bagi kawan-kawan Yasril.
"Kalau lo nolak, ngomong aja. Gue nggak maksa, kok."
"Audi," bisik Raza sambil menyikut perempuan itu.
"Uhm, si-silakan. Saya tidak keberatan."
Hening.
Apa hanya perasaannya atau memang suasana terasa ganjil?
Yumna menduga, mungkin karena logat dan tata bahasanya yang terlalu formal. Dia ingin berbicara santai. Sayang, lidahnya kaku. Lagi pula, dia belum bisa memakai dialek seperti anak Jakarta. Berbeda dengan Yasril yang sudah berdomisili selama bertahun-tahun, dia bahkan belum ada lima bulan tinggal di sini.
"Wah, karena lo tiba-tiba ngomong gitu, gue jadi bingung harus gimana."
Yumna menelan ludah. Itu maksudnya dia tidak pantas diajak berbicara? Apa yang salah?
"Duh, anak ini, kebiasaan! Na, maaf, ya. Audi emang suka ngasal. Santai aja. Kamu ngomong senyamannya. Kita paham, kok. Yasril dulu gitu juga pas pertama kuliah. Ya, 'kan, Yang?" Kania menyenggol lengan Kafka di sisi kirinya.
"Benar banget. Eh, omong-omong, kita belum pesan hidangan utama. Panggil pelayan sekarang, gimana?"
Audi menyengir. "Iya, sih. Haha. Sorry, ya, Na? Gue cuma becanda!"
Yumna berusaha menarik sudut bibirnya. Senyumannya tampak kecut. Dia mendeteksi kepalsuan bernada merendahkan dari kalimat Audi.
Raza langsung berdiri. Menekan tombol di dekat pintu. Mirip tombol darurat yang biasa ditemukan di kamar rawat inap rumah sakit.
"Jangan khawatir. Hati istri gue lapang banget, kok. Dia udah terlatih dengar kata-kata busuk sejak kecil. Candaan ala Audi mana bisa bikin dia marah."
Yasril menjawab dengan ramah dan terlampau ringan. Namun, mereka paham betul, ada sisi sarkastik yang terselip. Lelaki itu sedang membela sang istri.
Audi tertawa hambar. "Pantas lo naksir, ya?"
"Tentu," sahut Yasril mantap. "Gue naksir sejak masih pake seragam putih-merah. Makanya, gue ngebatasin hubungan sama cewek lain. Dari dulu sampai sekarang, yang gue mau cuma dia. Gue pengen pamerin dia ke mana-mana. Tapi, kayaknya niat gue harus dipertimbangin ulang. Terlalu banyak orang-orang yang ngaku senang bercanda di sekeliling gue."
Audi mengacungkan jempol. "Mantap! Gue akui, lo emang laki sejati. Yumna beruntung banget," sahutnya cepat. "Eh, ini kenapa pelayannya lama banget? Gue cek dulu, oke? Ka, temanin gue!"
Kania pasrah saja saat tangannya diseret Audi. Kedua perempuan itu segera meluncur ke luar. Menyisakan lengang yang teramat panjang.
Raza berdehem keras. Dia menatap Yasril khawatir. "Maaf, harusnya gue nggak ngajak Audi."
"Hm, kenapa lo? Bukannya dia dari dulu emang gitu? Gue maklum."
"Tadi lo ...."
"Bukan masalah pas gue yang dianggap lelucon, tapi kalau Yumna ... nggak boleh."
Yumna yang mendengar seluruh rangkaian pembelaan Yasril sangat tersentuh. Namun, rasa bersalah tak luput di hatinya. Tatkala menemukan Kafka dan Raza bungkam seribu bahasa, dia yakin telah keliru sejak awal.
Andai saja Yumna mengurung diri di apartemen, dia tidak perlu bertemu orang macam Audi. Dengan begitu, suasana di tempat ini tetap kondusif. Padahal, niat awalnya agar Yasril menikmati waktu bersama mereka tanpa perlu khawatir. Kini, kehadirannya justru membawa kekacauan.
"Yas, aku mau ke toilet," bisik Yumna berusaha memecahkan kesunyian. Dia rasa mereka bertiga butuh ruang untuk berbicara. Pun, dirinya hendak mencari ketenangan sejenak. Tidak perlu khawatir bertemu Audi dan Kania di luar sebab lokasi tujuan mereka berbeda.
"Sini, aku antar."
"Tidak usah! Maksudku, itu toilet cewek. Untuk apa kau ikut?"
"Aku bisa menunggumu di depan pintu?"
"Yas, aku pergi sendiri, oke? Nikmati waktumu!" sanggahnya sekaligus bergegas bangkit. Setengah berlari menuju toilet. Sesampainya di sana, Yumna segera masuk ke salah satu bilik.
*
"Gue nggak nyangka lo bakal seprotektif itu," komentar Kafka terus terang.
"Sama. Gue akui, istri lo emang cantik banget, sih."
Yasril memicing tajam. Tak suka mendengar laki-laki lain memuji sang istri. Artinya, mereka memperhatikan Yumna. Terlebih, pembelaannya tidak berhubungan dengan kecantikan.
Raza menyengir lebar. "Parah lo!"
Kafka terkekeh. "Ah, tapi gue rasa tindakan lo ada benarnya. Sesekali, Audi perlu diingatin."
Raza manggut-manggut. "Walau rasanya agak kasar."
"Bukannya udah gaya Yasril?"
"Oh, iya. Dia ahli sarkasme. Gue pernah jadi korbannya. Lo juga, 'kan?"
"Benar. Nyelekit banget, tapi dia orang yang jujur dan berdedikasi."
Raza mengelus dagu. "Hm, kalau gue ingat-ingat, tampangnya lumayan songong."
"Dia yang ngebantah ketua BEM pas masih maba, 'kan?"
"Iya, dia juga yang dimarahin mentor waktu magang gara-gara dianggap sok tau. Ingat, nggak?"
"Ah, habis magang, dia ditawarin kerja di sana setelah lulus karena dinilai inovatif."
"Sayang, dia malah milih bangun firma sendiri bareng kita. Ternyata dia juga loyal."
"Kayaknya Yasril yang kita kenal sama, deh."
"Eh, ada satu yang kelupaan!" timpal Raza berlagak semangat.
"Apaan?"
"Dia manusia yang tingkat bucin-nya ngalahin lo!"
Mereka lantas terbahak keras. Abai terhadap urat-urat kekesalan yang muncul di dahi Yasril.
"Oi, gue masih ada di sini."
"Emang sengaja!"
Yasril mencebik, lalu perlahan menyunggingkan senyuman. Begitulah. Suasana di antara mereka mencair dengan sangat cepat.
*
Yumna tidak melakukan apa-apa. Hanya bersandar pada pintu sambil menatap tanpa arah. Sudah hampir lima menit dia berdiam di sana.
Pikirannya kosong. Hatinya pun tidak jauh berbeda. Yumna tidak tahu harus berbuat apa. Semua langkah yang dia ambil cenderung salah.
Yumna menangkup muka pada telapak tangan. Bahunya terkulai lemas. Tenaganya seolah terkuras habis.
Mungkin, mungkin saja, selamanya dia akan menyandang gelar sebagai Sang Pemangku Kegagalan. Hingga detik ini, usahanya selalu terbentur. Tidak pernah mulus.
Dia hanya ingin membalas jasa Yasril. Walau secuil, Yumna berharap kehadirannya berguna. Apa daya, yang terjadi justru sebaliknya.
Yumna menarik napas berat dan dalam. Aroma pembersih lantai merasuk ke dalam hidungnya. Perempuan itu menepuk dada dua kali. Ketika hendak berbalik, gerakannya terhenti.
"Tadi Yasril sengaja nyindir gue, 'kan?"
"Syukur lo sadar."
"Ih! Gue kesal. Apa-apaan, sih? Sikapnya lebay banget. Emang si Yumna anak kecil kudu dibelain gitu?"
"Lha, istrinya. Suka-suka dia."
"Kok, lo malah ngedukung dia?"
"Gue objektif, Di. Sesekali, lo butuh mikir dulu sebelum ngomong. Nggak semua orang paham dan mau dibecandain."
"Ck, Yumna aja yang selera humornya payah. Masa gitu doang tersinggung? Gue bicara fakta, kok. Dialeknya emang aneh dan terlalu formal. Kan, kuping gue terganggu!"
"Audi, perhatiin omongan lo. Ini niat asli lo ngajak gue mampir ke toilet?"
"Gini, deh, Ka. Lingkungan sosial Yasril itu luas. Dia sering ketemu beragam jenis manusia. Kalau istrinya sensitif gitu, bisa-bisa dikurung terus. Seandainya dia nekat ngajakin ke acara-acara, pasti bakal jadi bulan-bulanan. Lo pikir orang kayak gue cuma satu di dunia?"
"Nyadar diri lo ternyata. Gue paham maksud lo, tapi bukan urusan kita. Mereka yang ngejalanin. Lo nggak lihat sikap Yasril ke Yumna? Walau pacar lo polisi, gue yakin lo belum pernah dilindungin sampe segitunya."
"Jelas dong! Gue mandiri. Ngapain bergantung ke laki? Ogah gue jadi beban."
"Lo itu, ya! Terserah, ah. Intinya, gue percaya Yasril bakal ngejagain Yumna. Gue yang sebatas penonton sukses dibikin kagum. Gue kira, hubungan gue sama Kafka udah termasuk hebat. Ngelewatin banyak drama dari SMA sampe sekarang. Tapi, lihat mereka, sejak SD, Di. Luar biasa. Pantas Yasril nolak gue waktu itu. Selain muka Yumna yang dasarnya cantik, ikatan mereka terlalu dalam dan kuat."
"Mereka yang nikah, kenapa lo mendadak sok puitis? Benar, sih, Yumna emang cantik, tapi tampang aja nggak cukup buat hidup di Jakarta. Cewek harus punya kualitas premium. Kalau nggak gitu, cuma bakal jadi beban dan sampah."
"Tau apa lo tentang kualitas Yumna?"
"Mukanya oke, tapi lo lihat badannya? Tinggi, kurus, rata. Dia juga kayaknya bukan orang yang mudah beradaptasi. Kikuk dan minta dihujat nggak, sih? Dia kerja apa, ya? Nanti gue coba tanyain. Aduh, gue jadi penasaran, selain muka dan ikatan yang kata lo dalam itu, apa yang bikin Yasril tertarik sampe tega nolak lo?"
"Udah, udah. Malas gue ngingetin lo. Yuk, balik. Ingat, jangan asal ngomong lagi! Kalau lo nggak sanggup ngontrol mulut, mending diam!"
Senyap. Suara-suara sumbang telah lenyap. Namun, telanjur menyisakan duri di dada Yumna. Menancap teramat kukuh. Semakin mencabik kepercayaan diri yang susah payah dia jalin.
Yumna memutuskan keluar. Dia berjalan mendekati cermin. Menatap pantulannya dalam diam.
Tangannya bergetar, terulur menyentuh wajah yang membayang di cermin. Senyumnya terukir secara perlahan. Getir terasa bagi yang menyaksikan. Luka menganga terpantul di bola matanya. Namun, tidak ada air mata. Tak akan ada lagi tangisan.
Yumna menengadah. Sesak menghantamnya sedemikian hebat. Napasnya seolah tercekat. Dia memejamkan mata. Menyuntikkan sugesti penenang yang sempat diajarkan oleh psikiaternya. Sayang, semua tak berguna. Sebatas bualan yang kian menggerus kewarasan.
Kini, Yumna tidak akan lari lagi. Perjalanannya cukup sampai di sini. Dia telah mencapai batas kesadaran.
Mungkin, meski hanya segelintir, memang masih ada orang seperti Kania, yang berupaya membela walau tak begitu mengenal. Mungkin, tersisa orang seperti Kafka dan Raza, yang mengutamakan kenyamanan teman. Dan paling utama, di sisinya, akan selalu ada Yasril, yang membelanya tanpa batas. Melindunginya tanpa peduli situasi. Akan tetapi, orang seperti Audi tentu jauh lebih banyak.
Lagi pula, keyakinannya mengakar semakin kuat. Tidak terbantahkan. Tak tergoyahkan. Bahwa Yumna, dulu ataupun sekarang, tetaplah pecundang. Sampah masyarakat. Eksistensinya tak berarti. Dan ia, sebagaimana kata Audi, adalah beban nyata bagi Yasril, yang rela melakukan apa pun untuknya.
Yumna membuka mata. Pandangannya lurus ke depan. Tegas, dia berkata, "Sudah waktunya kau berhenti."
*
"Ya, pokoknya, hubungan gue dan Yumna lebih luas dari yang kalian bayangin. Kalian nggak bakal ngerti meski gue cerita sampe berbusa-busa."
Raza menepuk pundak Kafka sekali. "Diam, jangan tanya lagi. Makin ke sini, gue makin yakin dia mulai nggak waras."
"Za, lo percaya dia Yasril yang kita labeli jomlo dari embrio?"
"Nggak, dia berubah jadi makhluk Tuhan yang paling bucin sekarang."
"Oh, kayak lagu Mulan Jameela, bukan?"
"Hah?!"
Kafka berdehem. Kemudian membuat pose bernyanyi. "Kamulah makhluk Tuhan yang paling bucin, yang paling bucin, bucin sekali."
"Seksi, oi, seksi!" sahut Raza dan Yasril serempak.
Kafka terbahak, disusul kedua kawannya yang mendengus geli. "Capek gue ngakak mulu," keluh Raza.
"Kita ketinggalan apaan, nih? Kayaknya seru."
Mereka kompak menoleh. Saking asyik bergurau, hingga tidak menyadari kedua perempuan itu telah kembali.
"Mampir ke mana, Yang? Lama."
"Audi ngajakin ke toilet."
"Dasar cewek!" cibir Raza.
"Kalian nggak ketemu Yumna?" imbuh Yasril cepat.
"Emang dia di mana?"
"Tadi ke toilet."
Audi dan Kania saling pandang. "Sejak kapan?" tanya Audi gugup.
"Nggak lama setelah kalian keluar."
Hening.
Yasril mengerutkan dahi tatkala mendapati raut muka Audi berubah. "Kenapa lo, Di?"
"Hm? Ah, nggak pa-pa. Cuma bingung aja soalnya nggak ketemu. Iya 'kan, Ka?"
Kania menghela napas. "Iya."
"Oh, gitu? Ya udah, gue nyari dia dulu."
Tanpa menunggu persetujuan, Yasril bergegas bangkit. Namun, berhenti di depan pintu karena Yumna muncul di baliknya. Yasril serta-merta bernapas lega. "Kau tak apa? Kenapa lama sekali?"
Yumna mengangguk kaku. "Maaf membuatmu khawatir."
Yasril menahan pundak Yumna, memaksa sang istri menatapnya. Bola mata perempuan itu agak memerah. Mukanya juga tak sesegar tadi. Tampak lebih kuyu.
"Kita pulang setelah makan karena telanjur dipesan."
Yumna menggeleng. "Aku baik-baik saja!"
Yasril menepuk kepala Yumna. "Ekspresimu menunjukkan sebaliknya. Tenang, acara sudah selesai. Tujuan Kafka tercapai."
"Kenapa, Yas?" tanya Kafka penasaran saat melihat pasangan itu tidak beranjak.
Yasril menggandeng tangan Yumna. Sejujurnya Yasril merasa tidak enak karena sebelumnya mereka berencana ke tempat karaoke setelah salat Magrib. "Maaf, gue nggak bisa ikut sampe selesai. Istri gue butuh istirahat."
"Oh, kalian ke sini naik motor?"
"Taksi."
"Biar gue antar pulang," ujar Raza sigap.
"Makasih, Za. Lo nemanin Kafka aja. Kita balik naik taksi."
"Lo yakin? Malam-malam, lho."
"Kenapa emang? Kan, ada gue," sahut Yasril menyengaja pongah, mengundang dengusan seisi ruangan.
Hari itu, boleh dikata acara berlangsung lancar walau ada sedikit gangguan. Tujuan utama terlaksana dengan sempurna. Saat menyantap hidangan, mereka lebih banyak diam.
Audi sesekali mencuri pandang ke arah Yumna tanpa diketahui oleh siapa pun. Melihat sikap perempuan itu yang tetap tenang padahal jelas-jelas habis dihujat olehnya, agaknya menghadirkan percik rasa bersalah. Audi sadar bahwa perkataannya keterlaluan.
"Na," panggil Audi ketika pasangan itu bersiap pulang. "Aku sungguh minta maaf untuk hari ini," imbuhnya tulus.
Yumna tersenyum dan mengangguk kecil. Dia tidak marah. Sedikit pun tidak terpikir untuk dendam kepada Audi. Karena jauh di atas segalanya, Yumna justru sangat membenci diri sendiri.
*
Mereka memutuskan untuk salat di masjid terdekat sebelum pulang. Usai melaksanakan ibadah, mereka pun meluncur membelah kepadatan jalanan ibu kota. Lumayan lama hingga mereka memasuki lobi apartemen.
"Hei, aku tahu kau capek, tapi aku ingin menunjukkan sesuatu padamu. Mau meluangkan waktu sebentar?" tukas Yasril saat mereka berada dalam lift.
Yumna mengangguk tanpa gairah. Mereka tidak lagi bersuara hingga lift tiba di lantai teratas. Yasril menarik Yumna melewati koridor, kemudian berbelok di bagian paling pojok, sebelum akhirnya menanjak menggunakan tangga darurat. Mereka baru berhenti setelah berdiri bersisian di tepi rooftop. Sebuah pagar beton setinggi dada orang dewasa sengaja dibangun sebagai penghalang.
Udara dingin seolah merengkuh tubuh erat-erat. Yasril menyampirkan jaket miliknya ke bahu Yumna. Langit begitu gelap. Tidak ada material bercahaya yang tampak di atas sana. Lampu-lampu kota berkilauan dari kejauhan. Sungguh pemandangan yang menakjubkan ketika disaksikan malam hari.
"Aku harap, ini bisa menghiburmu. Aku kadang ke sini saat benar-benar lelah."
Keheningan merayap di antara mereka. Yasril pun enggan banyak berkata-kata di momen ini. Sekadar menikmati suasana syahdu demi mendapatkan ketenangan.
Tiba-tiba, tanpa aba-aba, Yumna memeluknya dari belakang. Yasril semula terkejut, tetapi tak memberikan respon kecuali mengelus punggung tangan Yumna yang sedikit menekan perutnya. Cukup lama mereka berdiam di posisi tersebut sebelum Yumna meminta Yasril berbalik.
Perempuan itu berjinjit demi menyamakan tinggi, lalu melingkarkan lengan di leher Yasril. Selanjutnya, layaknya kisah-kisah romansa klise, bibir mereka bersinggungan. Di bawah langit tanpa cahaya, di antara kebekuan malam dan gedung-gedung tinggi, Yumna menumpahkan seluruh perasaannya. Hingga tanpa sadar, air matanya jatuh setetes demi setetes.
Tak ada isak. Sebatas lengkungan samar di bibir yang tertutupi oleh keremangan. Yumna mengambil jeda sejenak. "Terima kasih. Aku sangat senang telah mengenalmu, Yas."
Bersambung.
So, apa kejutannya? ( ' ▽ ' )ノ
Chapter kali ini tembus 2600+ word. Gila, sih. Rekor banget ini. 😂
Gimana menurut kalian chapter ini?
24 Oktober 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top