Kotak Pandora
"Lagi?"
Yafiq hanya tersenyum. Dia tetap melanjutkan aktivitasnya tanpa berlebihan menanggapi reaksi berulang sang mamak. Tangannya bergerak menyendok nasi ke dalam piring, menyiapkan sarapan sendirian.
"Kasihan sekali kau, Nak. Tak ada bedanya bujang sama menikah, tetap melayani diri sendiri," komentar Mamak sambil menarik kursi. Dia sigap mengambil sarapan untuk Bapak yang telah siap di posisinya.
"Mak, aku sudah bilang, Yumna capek. Dia harus istirahat."
Mamak mencebik pelan. "Memangnya setiap malam dia bikin apa sampai jadi begitu?"
Yafiq enggan menjawab. Itu hanya akal-akalannya saja. Aslinya, Yumna memang susah bangun pagi. Terbiasa tidur lagi setelah salat Subuh.
Yafiq sudah mengerti jauh sebelum mereka menikah. Yumna sendiri yang mengabarkan. Bagi Yafiq, itu bukan masalah, selama Yumna merasa nyaman. Lagi pula, dia masih sanggup memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan orang lain.
Tak banyak yang berubah dari hubungan mereka. Yumna memang jadi lebih ekspresif. Sesuai pernyataan yang dia ungkapkan terakhir kali, Yumna menunjukkan emosi selayaknya manusia normal.
Yafiq ingat, Yumna tampak linglung setelah ciuman pertama mereka waktu itu.
Ketika tersadar, dia hanya membuang muka sambil berkata, "Ini tempat umum."
"Tenang, ditutupi jaket," sahut Yafiq berusaha santai, padahal detak jantungnya menggila.
Lalu setelahnya, mereka melanjutkan wisata. Bertingkah seolah tak ada hal aneh yang terjadi. Suasana kikuk tentu masih terasa, tetapi mereka mencoba biasa saja.
"Lha, malah senyum-senyum sendiri!"
Yafiq tersentak. Dia melirik sang mamak, lalu menyengir salah tingkah. Memalukan, batinnya.
"Sudahlah. Mamak ini macam tak pernah muda." Bapak angkat bicara sambil mrnatap sang putra jenaka.
Yafiq berdehem. Dia mengacungkan jempol ke arah sang bapak. "Benar, Mamak kan, pernah muda."
Mamak memicing tak suka. "Berarti kau yang salah. Bisa-bisanya bikin istri sampai kelelahan begitu!"
Bapak sontak tertawa ringan, Yafiq mendadak geregetan. Dia hanya sanggup menghela napas panjang. Salah terus, pikirnya.
"Pahami mamakmu, Fiq. Dia sebenarnya mau sering-sering sarapan sama menantu, tapi gengsi mau mengaku."
Mamak serta-merta mendelik. "Mana ada!"
Bapak makin terbahak, disusul Yafiq kemudian. Suasana di meja makan seketika menjadi hangat lagi. Topik beralih ke hal lain. Mereka berbicara seputar pekerjaan, atau sesekali menyinggung kakak-kakak Yafiq yang tinggal terpisah.
Tak terasa, makanan di piring masing-masing telah tandas. Mereka bangkit, hendak melakoni aktivitas selanjutnya. Berangkat ke tempat kerja.
Yafiq meninggalkan dapur lebih awal menuju ke kamar. Dia melihat Yumna masih bergelung di bawah selimut. Yafiq pun mendekati perempuan itu.
Dia duduk di tepi kasur. Menepuk pipi Yumna hati-hati. "Na, aku mau berangkat."
Hanya gumaman yang dia terima. Yumna bahkan tak berniat membuka mata. Yafiq mengulum senyum amat tipis. Dia mengecup dahi istrinya sesaat. "Jaga dirimu. Jangan lupa makan," bisiknya sebelum bangkit, bersiap menjalani rutinitas.
Tak apa. Yafiq sanggup menunggu. Yumna mungkin belum bisa beradaptasi dengan kehidupan barunya. Mereka baru pindah sepulang dari liburan dulu. Ikut tinggal bersama orang tua Yafiq.
Pernikahan mereka akan baik-baik saja. Yumna butuh waktu lebih lama agar menerima dia seutuhnya. Satu bulan mungkin terlalu singkat untuk sebuah perubahan drastis.
Yafiq paham. Dia tak boleh serakah. Tak perlu menuntut banyak hal. Dia akan berusaha tanpa menempatkan Yumna dalam posisi tertekan. Kenyamanan dan kebahagiaan Yumna adalah prioritas. Bahkan jika harus mengikis keinginannya secara perlahan, sungguh tak apa.
"Aku pamit, ya. Assalamualaikum, Na."
Setiba di Puskesmas, Yafiq menata ulang barang-barangnya walau sebenarnya sudah rapi. Di tengah aktivitas tersebut, dia agak dikejutkan dengan kemunculan Yusra. Gadis itu mengetuk pintu yang tidak terkunci.
"Permisi, Pak. Saya boleh masuk?"
Yafiq berdiri tegak. Dia membenahi penampilannya cepat. Bibirnya terkulum mengukir senyum. Pertanda menyetujui permintaan Yusra.
Gadis itu meletakkan sebuah wadah plastik di atas meja. "Dari Yumna," ujarnya ringan.
Yafiq mengernyit samar. Bergantian melirik wajah Yusra dan kotak makan di atas meja. Bingung. Terlalu tiba-tiba.
Yusra berdehem. Bola matanya bergerak ke bawah. "Yumna kesulitan bangun pagi. Dia merasa bersalah karena manusia tidak bisa berubah dalam waktu singkat. Jadi, dia meminta tolong padaku agar menyiapkan bekal ini."
"Kenapa harus kau?"
"Karena tempat kerja kita sama?"
Yafiq belum mengerti. Pandangannya masih tertuju ke kotak makan. Mimik mukanya melukiskan sebuah pertimbangan. "Jadi, maksudmu ..., kau memberikan ini padaku atas instruksi Yumna?"
Yusra memegang lengan kirinya sebelum mengangguk.
"Kenapa baru sekarang?"
"Yumna pikir sanggup beradaptasi lebih cepat, tapi ternyata salah. Entah. Mungkin dia baru menyadari kekeliruannya," gumamnya sangat pelan.
Yafiq mengangguk singkat. "Baiklah. Aku percaya. Terima kasih."
Yusra menyelipkan rambut ke telinga. Senyumnya merekah. Rona pipinya tampak cerah. "Aku keluar kalau begitu."
"Silakan. Maaf merepotkan!"
Yusra pergi. Yafiq sendirian. Dia menarik kursi untuk duduk. Diraihnya benda berbentuk segi empat itu. Sebuah sticky note tertempel pada tutupnya. Maaf, begitu bunyi kata yang tertulis di sana.
Yafiq seketika termangu. Merenung agak lama. Kerutan terlukis di dahinya.
Apa yang dia lewatkan? Mungkinkah hubungan si kembar berangsur membaik? Apakah mereka memang sedekat ini hingga saling meminta tolong?
Ah, sudahlah. Tak perlu dipikirkan terlalu dalam. Yafiq akan menganggap bahwa bekal tersebut sungguh inisiatif istrinya. Lagi pula, dia tidak mencium adanya niat buruk dari Yusra.
Jika benar Yusra berniat macam-macam, dia tentu tak mungkin mengatasnamakan Yumna. Belum lagi, selama ini mereka tetap berhubungan baik setelah penolakan Yafiq tempo hari.
Lelaki itu membuka tutup kotak. Aroma makanan langsung menguar ke udara. Bekal yang amat sederhana, tapi ditata sedemikian apik. Nasi kepal, potongan sayuran, omelet telur. Entah bagaimana ceritanya, Yafiq dapat merasakan sebuah kesungguhan di baliknya.
Yafiq sebetulnya kenyang, tapi karena bekal ini adalah pemberian Yumna, maka dia akan menyantapnya dengan senang hati. Rasanya enak. Kehangatan menyusup ke dalam dada.
Yumna tak secuek yang diduga. Caranya mengatasi kelemahan cukup kreatif walau agak aneh. Pun Yusra, tak sepicik apa yang Irsyad paparkan. Siapa sangka gadis itu bersedia menjadi backing Yumna. Mungkin mereka memang dekat tanpa sepengetahuan orang lain.
Usai menyelesaikan sesi sarapan yang kedua, Yafiq ke luar. Dia ingin menemui Yusra. Memastikan sesuatu, sekaligus mengembalikan wadah.
Alangkah beruntung, saat dia meninggalkan ruangan, Yusra melintas di koridor. Sungguh suatu kebetulan yang menyenangkan. Yafiq belum pernah merasa begini antusias tatkala bertemu Yusra. Dia langsung mendekat tanpa memantau situasi.
"Yusra."
Gadis itu berbalik. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"
Yafiq berdehem. "Santai saja. Aku cuma mau mengembalikan ini. Maaf, belum dicuci. Kau jago memasak rupanya," terangnya tulus tanpa tahu bagaimana efek pujian tersebut terhadap lawan bicaranya.
"Uhm, ya, terima kasih."
"Apa Yumna memintamu membuatnya setiap hari?"
"Huh?"
Yafiq mengusap tengkuk. "Maksudku ..., kau tahu, aku sudah sarapan di rumah. Jika Yumna berpesan setiap hari padamu, maka mulai besok aku mau sarapan di sini."
"Kakak pikir Yumna akan begitu terus selamanya?"
Yafiq tersentak. Kata-kata Yusra terdengar seperti sindiran keras. Menohoknya telak. Lelaki itu bergeming.
Yusra tersenyum miring. Dia maju selangkah. Berdiri di sisi kiri Yafiq. Jarak mereka sangat dekat. "Apa sekarang Kakak mulai menyesal karena menolakku?" bisiknya sebelum berlalu tanpa permisi. Meninggalkan Yafiq dalam keterpakuan.
-Bersambung.
Di rumah lagi ada acara. Ramai banget sampai malam. Ini aku ngetiknya menjelang tidur. Maaf kalau ada typo atau terlalu pendek, ya. Kudu nyuri-nyuri waktu buat megang hape.
10 Juli 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top