Kita Tidak Baik-Baik Saja
Raza memilih keluar dari ruangan, meninggalkan si Kembar di dalam sana. Sudah sekitar 10 menit berlalu sejak mereka tiba di tempat ini. Mereka langsung menuju kamar inap Yumna dengan didampingi oleh perawat.
Raza berjaga di depan pintu. Pun, perawat yang disewa secara khusus untuk mengurus Yumna selama 24/7 diminta menjauh. Si Kembar butuh ruang untuk berbicara empat mata.
"Pak, apa saya bisa undur diri? Jika terjadi sesuatu, tolong hubungi saya segera."
"Silakan," sahut Raza seadanya, membiarkan perawat itu pergi. Lagi pula, sekarang ada keluarga Yumna yang menemani.
Raza merogoh ponsel di saku. Berdasarkan informasi dari perawat, hanya dia seorang yang berkunjung langsung sejak Yumna dirujuk ke sini. Itu pun hanya hari pertama dalam rangka mengurus administrasi.
Lantas di mana Yasril? Apa yang dilakukan lelaki itu selain bekerja?
Dia mengerjap, mengingat-ingat kembali kejadian beberapa waktu lalu. Kemudian tersentak.
Apa jangan-jangan Yasril ingin menghindar? Itukah alasannya meminta Raza untuk turun tangan?
Tanpa sadar, satu kata umpatan lolos dari bibirnya. Dengan terburu-buru, Raza segera menelepon Yasril.
"Di mana lo?" ujarnya ketus begitu panggilan tersambung.
"Ngapain lo nyariin gue mulu dari semalam?"
"Ipar lo lagi bareng gue."
"Apa?"
"Yusra di rumah sakit, jenguk istri lo."
Hening selama beberapa saat.
"Ngomong apa lo barusan?"
"Yusra datang ke Jakarta. Keluarga lo khawatir."
"Sial, lo ngabarin mereka meski udah gue larang?!"
"Lo yang sialan! Lo sengaja manfaatin gue buat sembunyi dari masalah, hah?!"
Terdengar hela napas panjang dari seberang telepon. Raza meniup udara di atas kepalanya. Baru kali ini dia dibuat pusing sedemikian rupa.
"Gue nggak tau detail masalah lo, Yas, tapi gue harap lo segera ke sini." Raza langsung mematikan sambungan setelah yakin bahwa maksudnya telah tersampaikan dengan baik.
Dia mengembalikan ponsel ke tempat semula. Lantas berbalik badan, menatap bimbang pintu di hadapannya. Pikirannya tak henti diliputi ribuan pertanyaan.
Apa yang terjadi di dalam sana? Mampukah Yusra membuat saudarinya buka mulut? Bagaimana respon Yumna menerima kunjungan dadakan?
Dari mana sesungguhnya semua kemalangan ini bermula? Sejak kapan Yasril menjadi tidak bertanggung jawab?
Raza pikir, Yasril bekerja lebih keras dari biasanya karena tuntutan biaya perawatan sang istri. Seingat Raza, kala itu, seusai sadar dari pingsan, orang pertama yang dicarinya adalah Yumna. Ketakutan yang tersirat jelas dari bola mata Yasril, seketika memudar selepas mengetahui bahwa istrinya selamat pasca berjuang di UGD. Dia bahkan ribut ingin menemani Yumna meski kondisinya sendiri sangat mengkhawatirkan. Kafka dan Raza harus berusaha ekstra meyakinkannya agar memercayakan penanganan Yumna kepada mereka untuk sementara.
Raza mendesis. Sungguh, masalah ini membuat otaknya panas!
Derit pintu menyadarkannya. Raza mengerjap pelan, berusaha mengulas senyum tatkala Yusra melangkah keluar dari ruangan.
Raza maju perlahan. Raut wajah gadis itu tampak lusuh. Membuat Raza sigap menawarkan pelukan. Tangannya bergerak mengelus rambut Yusra.
"Dia nggak mau ngomong, Za. Tatapannya kosong. Seperti nggak punya jiwa."
Tidak ada jawaban. Untuk beberapa saat mereka hanya termenung. Raza merasa tak punya hak untuk berkomentar banyak.
"Mau ketemu Yasril?" tukas Raza sembari melepaskan dekap.
Yusra mengangguk lemah. Tak punya tenaga lagi untuk berkata-kata. Pikirannya buntu, tidak tahu harus berbuat apa.
Raza tampak buru-buru menghubungi seseorang. Kemudian beralih menggenggam tangannya. "Tunggu perawat datang."
Setelah memastikan perawat stay menemani Yumna, mereka melanjutkan langkah. Pada sebuah taman mini di sudut rumah sakit, mereka berhenti.
"Kita tunggu Yasril di sini."
Mereka duduk bersisian di bangku taman. Yusra memandang tak tentu arah. Semilir angin membelai wajah. Begitu lengang nan sunyi. Di sisi lain, Raza terlihat sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.
Entah berapa lama mereka terdiam. Tidak seorang pun bersuara. Hingga akhirnya lamunan Yusra pecah oleh tepukan di bahu.
"Yasril udah datang. Aku tinggal, ya."
Yusra refleks menahan ujung baju Raza ketika lelaki itu hendak berdiri. "Kamu mau ke mana?"
"Kalau kamu butuh, telepon aja, oke? Aku pasti datang, kok," sahut Raza sembari mengulas senyum. Lantas segera berlalu pergi.
Tak lama kemudian, ruang kosong di sisi Yusra kembali terisi.
"Kenapa?" tukas Yusra tanpa repot-repot menyapa. "Kenapa kau baru muncul sekarang?"
Hening.
"Kenapa kau membiarkan istrimu diurus oleh orang lain?"
Yasril masih bergeming, tertunduk.
"Kau bilang akan menjaga Yumna, membuatnya bahagia. Kau mengaku mencintainya. Lalu kenapa, Yas? Kenapa kau justru mengabaikannya di saat seperti ini? Jawab aku!" seru Yusra emosional. Teringat seluruh informasi yang berasal dari Raza, juga pengakuan perawat tadi.
'Terus aku harus bagaimana?" timpal Yasril dingin.
"Apa?!"
Lelaki itu sedikit memiringkan badan, menoleh ke kiri. Kini pandangan mereka bertemu. "Dia sendiri yang mengusirku pergi! Aku tulus menyayanginya, tapi dia memperlakukanku seperti orang bodoh."
"Apa maksudmu?"
Yasril menarik napas kuat. Sinar amarah tersirat tipis di bola matanya. "Apa kau tahu bagaimana rasanya dipermainkan? Dia meragukan perasaanku! Setelah semua hal yang kulakukan untuknya, dia justru memilih bunuh diri!"
Yusra tersentak.
"Bukan cuma dia yang terluka. Kau tahu, karena kejadian ini, aku tidak bisa tidur di apartemen malam hari. Aku selalu dihantui mimpi buruk. Dia ..., kenapa dia selalu saja menyimpulkan seenaknya."
Mata Yasril mendadak perih. Mukanya panas. Padahal, dia sudah bertekad untuk tidak menunjukan emosi yang berarti. Namun, ketika situasi Yumna kembali disinggung, pertahanannya seketika runtuh.
"Maaf, Yas ...."
"Malam sebelum aku mengirimkan surat padamu, aku sudah lebih dulu membaca surat untuk diriku. Dia menceritakan semua keluhannya. Dia sangat sok tahu, benar-benar makhluk egois. Sialnya, aku ..., aku tidak bisa membencinya. Perasaanku masih sama, tapi aku tidak bisa menerimanya begitu saja. Aku ...."
Saat itulah, tatkala lidah Yasril kelu, tak lagi mampu berbicara, hanya sepasang bola mata yang tampak memerah, Yusra akhirnya menyadari satu hal. Bahwa pada detik ini, atas seluruh luka dan rasa sakit yang menimpa mereka, tidak seorang pun merasa baik-baik saja.
"... tidak memahami apa yang dia pikirkan. Bagaimana cara untuk meyakinkannya kalau aku selalu ada? Bahkan jika seluruh dunia menyakiti, aku akan terus menetap di sisinya. Apa aku tidak cukup menjadi alasan baginya untuk bertahan?" gumam Yasril teramat lirih.
Kala itu, usai membaca surat Yumna, seluruh emosi yang terpendam dalam dirinya meledak. Amarah, frustrasi, kecewa, gagal, bercampur baur dengan rasa sayang. Tak sanggup menahan gejolak tersebut, Yasril tanpa sadar melukai diri sendiri hingga lelap melumpuhkannya. Dan ketika terjaga, mentari telah lama bersinar.
Hidup terkadang memang menyebalkan. Tak peduli betapa banyak rasa sakit yang menghantam tubuh, bahkan jika jiwa ikut merintih, bumi akan terus berputar, sistem alam tetap bekerja sebagaimana mestinya. Tidak ada pilihan bagi Yasril kecuali menelan seluruh kepahitan yang ada.
Kemudian pihak rumah sakit mengabarkan bawah Yumna telah sadar dari koma. Bersama keping hati yang terserak, Yasril kembali ke rumah sakit. Sejak awal dia memang hanya berniat untuk rehat sejenak di apartemen. Siapa sangka, Yumna meninggalkan kejutan luar biasa lewat sepucuk surat.
Dia ingat betul, mereka tak berbicara setelahnya. Yumna seolah kehilangan jiwa, pun dirinya. Yasril takut lepas kendali jika terus-terusan bersama. Mereka butuh jeda.
Maka, hari itu juga, dia meminta bantuan Raza demi mencari perawat khusus, sekaligus rumah sakit rujukan untuk mengatasi kondisi psikis sang istri. Menurut Yasril, Raza adalah sosok yang tepat untuk membantu karena sangat paham tentang prahara administrasi, ditambah tidak sedang terikat dengan gadis mana pun.
Lalu cerita selanjutnya bisa ditebak. Dia tidak pernah lagi menemui Yumna. Siang dan malam dihabiskan untuk bekerja. Sesekali waktu memantau kondisi sang istri lewat perawat.
Raza, yang membantunya hingga akhir, bahkan tak pernah tahu bahwa Yasril begini menyedihkan. Tidak seorang pun mengira, setiap malam Yasril diam-diam tidur di kantor, lalu akan kembali ke apartemen esok pagi. Belum lagi, kini dia bergantung pada obat-obatan agar dapat terlelap.
"Yumna berhasil menodai rumah yang dulu kukira sebagai tempat pulang paling nyaman," tutupnya pahit.
Lengang terasa amat panjang. Yusra tak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Terwakilkan oleh cairan bening yang mengalir di pipi.
"Tidak ada gunanya kau menangis. Aku tidak menyangka kau nekat datang ke sini. Intinya, apa pun yang kau dengar hari ini, aku harap cukup berhenti padamu saja."
Bukannya mereda, tangis Yusra justru kian kencang.
"Hei, hei!" seru Yasril heran.
"Kenapa kalian jadi begini? Semua orang khawatir! Dan sekarang kau masih ingin menutupinya?!" sahut gadis itu kesal sambil berusaha mengusap air mata.
"Apa kau pikir kekhawatiran mereka akan hilang setelah tahu yang sebenarnya?"
Yusra merengut. "Te-terus bagaimana dengan biaya?"
Yasril menyorot aneh. "Bisa-bisanya ..., ah, sudahlah, itu urusanku."
"Tidak, minimal biarkan orang tuaku turun tangan untuk masalah ini."
"Kau pikir aku tidak mampu?"
Yusra berdecak keras. "Iya, iya, tapi sampai kapan? Apa kau bisa memastikan kapan Yumna sembuh? Biayanya pasti tidak sedikit."
Yasril bergeming. Tidak bisa menyangkal.
"Begini saja, katakan bahwa pengobatan Yumna butuh waktu lebih lama. Kau tidak perlu menceritakan penyebabnya."
"Tidak."
"Kalau kau tidak mau, biar aku yang cerita!" tukas Yusra jutek. Air matanya mulai mengering. "Aku akan bilang kalau depresi Yumna makin parah. Buktinya dia mengirimkan surat semacam itu. Lalu kau ikut-ikutan stres sampai memblokir kontakku."
Yasril memicingkan mata.
"Apa? Atau, kau mau aku berterus terang pada mereka, huh?!"
"Terserah kau," sahut Yasril malas. "Omong-omong, bagaimana kau kenal Raza?"
"Instagram. Sekarang bukan itu yang penting. Kapan kau mau menemui Yumna?"
"Kapan kau pulang?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan!"
Yasril membuang muka. "Entahlah. Aku belum siap. Aku khawatir bersikap dingin saat kami bertemu. Aku mungkin akan memakinya. Egois, bodoh, sok tahu. Aku ... takut kami saling menyakiti, lagi."
Yusra menarik napas berat. Sedikit mengerti kegundahan tersebut. Berdasarkan pengakuannya, kejadian ini membuat Yasril cenderung ingin berlaku buruk. Dia mengalami sakit hati parah. Namun, di sisi lain, masih mencintai Yumna. Benar-benar perasaan dilematis.
"Aku berharap solusi yang terbaik untuk kalian."
"Hm, terima kasih. Jadi, kapan kau pulang?"
"Besok."
"Ah, sebenarnya sejak kapan kau tiba di sini?"
"Kemarin."
Yasril mengerutkan dahi. "Semalam kau tidur di mana?"
"Hotel. Untung ada Raza."
"Kau menginap di hotel bareng Raza?"
Yusra mengangguk santai.
"Kau gila?!"
"Kenapa kau tiba-tiba ribut masalah ini? Sudahlah, aku mau pergi!"
"Ke mana? Kau tidur saja di apartemen malam ini."
"Dengan kau? Yas, paling tidak kalau mau selingkuh, jangan ajak aku."
Yasril memutar bola mata, Yusra mengedikkan bahu.
"Aku pergi, ya? Barang-barangku ada di mobil Raza. Oh, iya, nomorku jangan diblokir lagi."
Yasril hanya mendengus. Entah kenapa, dia punya firasat hubungan dua orang itu akan terus berlanjut.
Bersambung.
Fiuh~
Akhirnya selesai juga episode-episode seperti ini. Huhu, eksekusinya kerasa jadi anti-klimaks nggak, sih?
Semoga feel-nya tetap nyampe ke pembaca, ya T-T
6 Februari 2021.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top