Kisah Pencarian Yusra [2]
Yusra tidak menyangka akan duduk di mobil ini. Bersama seseorang yang baru dia kenal lewat media sosial. Gadis itu mengembuskan napas lelah. Pandangannya tertuju ke luar jendela.
Perjalanannya cukup menguras tenaga. Dia berangkat pukul tujuh pagi dan baru mendarat di Jakarta pukul delapan malam. Molor dua jam dari jadwal semula. Pesawat yang dia tumpangi sempat delay saat transit di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar.
Untunglah ketika keluar dari pintu kedatangan Bandara Soekarno Hatta, Yusra tidak perlu menunggu lama. Sejak meninggalkan rumah, Raza telah memintanya untuk berbagi lokasi secara real-time. Jadi, mereka dapat terhindar dari drama cari-mencari. Sebetulnya, Yusra agak sungkan. Betapa tidak, waktu pemuda itu habis sia-sia karenanya.
Tentu Yusra langsung meminta maaf dan hanya dibalas senyuman kalem. Raza bahkan sigap mengambil alih barang bawaannya yang tak seberapa. Mereka pun menjauhi kawasan bandara.
Suasana terasa semakin kikuk karena Raza sama sekali belum buka mulut sedari tadi. Yusra hendak mengajaknya bicara, tapi dia tampak fokus menyetir. Apa jangan-jangan pemuda ini marah?
Yusra menghela napas, lagi. Entah sudah berapa kali dia melakukannya dalam tempo singkat. Kemacetan lalu-lintas membuatnya sesak. Ditambah gerah dan lapar. Kondisi yang sempurna untuk mengamuk.
"Hah …."
Apa sebaiknya dia tidur? Rasanya kurang sopan. Mana boleh Raza dibiarkan menyetir, sedangkan dia cari posisi nyaman. Meskipun tidak turut membantu, tapi minimal Yusra harus tahu diri.
Yusra mengusap wajah. Terasa amat lengket dan berminyak. Entah seperti apa penampilannya sekarang. Dia sudah tak peduli lagi. Bahkan, terhadap bunyi perutnya sendiri.
"Hah …."
Yusra menegakkan punggung saat mobil berbelok ke arah restoran ayam cepat saji favorit sejuta umat. Mobil terpakir dengan sempurna. Serta-merta membuatnya menoleh ke kanan.
Raza melepaskan safety belt. Yusra masih mencerna apa yang sedang terjadi. Otaknya mendadak lambat karena ditimpuk perut keroncongan.
"Mau saya bantu lepaskan?"
"Hah?"
"Safety belt."
"Tidak perlu!" jawabnya terlalu cepat. Dia buru-buru melepas sabuk pengamannya sendiri, tapi gagal. Yusra mengumpat dalam hati. Kenapa benda sialan ini mendadak macet? Bikin lama!
"Permisi. Maaf, ya." Tahu-tahu, Raza sudah beringsut ke arahnya.
Yusra sontak menahan napas. Kenapa jadi mirip adegan film roman picisan begini?! Kenapa pula jantungnya berdebar cepat?
Dia lantas berdehem cukup keras. Jangan sampai lanjut tatap-tatapan, batinnya. Itu menggelikan dan tidak masuk akal! Tidak cukup sepuluh detik, Raza langsung menjauh. Yusra pun dapat bernapas lega.
"Setelah Anda kenyang, kita lanjutkan perjalanan."
Yusra memicing. Itu semacam sindiran, 'kan? Iya, 'kan? Astaga! Pemuda ini tengah mengejeknya!
Raza menahan senyum. Kemudian turun dari mobil.
Apa maksudnya, hah?!
Yusra menarik napas panjang, lalu mengembuskannya keras-keras. Benar, manusia harus makan agar tetap hidup! Tanpa menunda lagi, Yusra bergegas menyusul Raza.
Pemuda itu tiba-tiba berhenti. Menoleh ke belakang.
"Apa?" tanya Yusra menahan dongkol.
Sial, pemuda itu tidak menyahut. Hanya terus-terusan memandanginya. Kenapa, sih?! Bikin orang salah tingkah!
"Apa ada sesuatu di muka saya?" tanya Yusra risi begitu posisi mereka sejajar.
Raza tersenyum tipis. "Anda cari tempat duduk, nanti biar saya yang mengantre."
"Oh, oke."
"Mau pesan apa?"
"Apa saja yang penting kenyang."
Mereka meneruskan langkah. Yusra kembali bertanya-tanya, apa dia menderita sariawan? Kenapa sangat pendiam? Tidak terlihat seperti Raza Oktaf yang mendebatnya tempo hari.
Yusra menggeleng. Kenapa pula dirinya jadi kepo begini? Yang paling utama sekarang adalah mengisi perut. Mereka berpisah jalur. Raza masuk ke barisan pengantre, sedangkan dia mendekati kursi kosong yang tersedia.
Gadis itu menelungkupkan kepala di atas meja. Lalu kedua matanya terpejam. Teringat kejadian sepekan yang lalu.
*
"Jadi, bagaimana, Kak?"
Kala itu, sepulang dari masjid, Zaki menodong Yusra perihal surat yang mereka bahas semalam. Dia mengetuk pintu kamar sang kakak di pagi buta.
"Kakak dapat kontak temannya Yasril. Rencananya, Kakak mau ke Jakarta."
"Hah?"
"Nanti pas sarapan, Kakak mau kasih tahu mamak dan bapak."
"Tunggu, kenapa solusinya jadi ke Jakarta?"
Yusra mengelus dagu. "Temannya si Yasril tidak bersedia untuk menyampaikan informasi secara online. Kakak rasa, sesuatu yang rumit telah terjadi. Satu-satunya cara untuk mengetahui keadaan mereka, ya mengunjungi langsung."
Zaki manggut-manggut. "Kalau begitu, aku ikut!"
"Kau sekolah."
"Kakak kerja."
"Kakak bisa cuti. Jumlah tenaga medis di kampung kita lebih dari cukup untuk menangani pasien yang datang berobat."
"Aku bisa izin."
"Bukannya kau lagi pekan persiapan ulangan?"
Zaki memutar bola mata. "Kakak memanfaatkan situasi."
Yusra mengedikkan bahu. Mau bagaimana lagi? Jumlah orang sakit yang datang ke puskesmas memang dapat dihitung jari per hari. Sangat jarang. Kalaupun ada, jumlah tenaga medis selain dokter cukup memadai. Yusra meringis dalam hati. Setelah dipikir-pikir, tampaknya itu bukan kondisi yang ideal.
Yusra tahu, tindakannya kurang tepat. Kondisi Yumna belum pasti. Namun, justru ketidakpastian tersebut yang memancing kekhawatiran.
Ah, gara-gara komentar Zaki, dia mendadak dilema.
"Kapan Kakak mau berangkat?"
"Yang pasti hari Minggu."
Zaki termenung selama sekian detik. "Oh! Senin depan kan libur."
"Yang benar?"
Zaki mengangguk yakin. "Jadwal hari libur wajib dihafal anak sekolah sebagai penyemangat."
Yusra terkekeh. "Dasar! Oke, Kakak berangkat Minggu depan. Terus ambil cuti Selasa."
Setelah puas menggali informasi, cowok itu meninggalkan kamarnya. Jantung Yusra berdetak kencang menunggu momen sarapan. Dia resah untuk sesuatu yang tidak diketahui secara pasti. Sayang sekali, waktu kerap kali tidak menoleransi keadaan.
"Mak, Pak," panggil Yusra tatkala mereka sarapan. Nasi di piring masing-masing hampir tandas. "Aku mau kirim file di ponselnya Bapak, tapi nanti pas aku sama Zaki sudah pergi."
"Kenapa kau berlagak sok misterius begitu?" komentar Mamak curiga.
"Kejutan," sahut Yusra pura-pura santai. "Jangan lupa dengarkan juga voice note-nya."
"Ya, ya, terserah kau. Segera habiskan sarapan kalian."
Yusra mengulas senyum tipis. Tidak sia-sia dia menghabiskan waktu untuk mencari solusi. Pada akhirnya, dia mendapatkan jalan tengah.
Yusra tidak ingin terjebak dalam kecanggungan dadakan. Dia memutuskan untuk mengirim surat Yumna dan voice note berisi penjelasan utuh kepada bapaknya. Paling tidak, perlu beberapa jam sebelum dia pulang dari bekerja. Yusra harap, saat itu, suasana berangsur membaik. Minimal, jika orang tuanya menginterogasi, dirinya lebih siap menghadapi.
Yusra meneguk minuman. Masa depan sungguh tidak dapat diterka. Siapa yang mengira, akan ada suatu masa, ketika dia rela bertindak merepotkan demi Yumna. Tatkala dia memimpikan sebuah keluarga yang normal dan hangat. Saat-saat Yusra berupaya mewujudkan hal tersebut.
*
"Halo? Anda tidur?"
Yusra menengadah, lantas menggeleng. Dia menghela napas. Syukurlah, walau menguras emosi, rencananya berjalan lancar sejauh ini.
"Silakan, Nona. Jika Anda belum kenyang, jangan sungkan untuk mengaku."
Yusra mendengus tipis. Didorong oleh rasa kesal dan lapar, Yusra menyantap amat lahap. Dia menggerogoti dada ayam hingga ke tulang. Tak peduli walau Raza mengamatinya terang-terangan.
"Mau tambah lagi?"
"Tidak, terima kasih. Saya mau ke toilet dulu."
Tanpa menunggu respon, Yusra langsung kabur, membawa serta sling bag-nya. Tiba-tiba merasa malu sendiri. Milik Raza bahkan belum habis setengah. Sejak kapan dia makan sedemikian cepat?
Gadis itu mencuci tangan. Lantas memandangi pantulan wajahnya di cermin. Rambut berantakan, muka tampak dekil. Dia tidak sempat memerhatikan dandanan selama perjalanan. Sebaiknya dia berbenah ulang sembari menunggu Raza selesai.
Yusra mengobrak-abrik isi sling bag. Dia memutuskan untuk mengikat rambutnya tinggi. Malam menjadi tidak berarti. Rasa gerah tetap melanda. Setelah yakin terhadap penampilannya, Yusra pun kembali ke tempat semula.
Ternyata Raza telah menuntaskan urusannya. "Lama juga, ya?" gumamnya sambil memainkan ponsel begitu Yusra menarik kursi.
"Harap maklum, perempuan."
Raza mendongak dan tertegun selama sekian detik.
"Apa?"
Pemuda itu mengulum senyum simpul seraya berdiri. "Lanjut?"
Yusra balas tersenyum cerah. Urung untuk duduk. Energinya terisi penuh. Dia siap melanjutkan perjalanan. Tapi tunggu, ada yang terlupakan!
"Harga makanannya?"
"Urusan laki-laki."
"Mana boleh! Kita kan tidak terlibat hubungan semacam itu! Anda juga repot menjemput saya."
Raza mengulurkan tangan, mengajak salaman.
Yusra menyorot bingung.
"Panggil saya Raza atau Za. Kapan-kapan, ganti sayang juga boleh. Mulai sekarang, kita berteman, oke? Saya akan senang kalau Anda mau bersikap santai."
Yumna melongo, tapi sedetik kemudian tersenyum geli. Dia meraih tangan Raza. "Oke, aku Yusra. Senang bertemu denganmu."
"Sama. Jalan, yuk?"
"Eh?"
"Maksudku, ini makin larut. Kita nggak mungkin tetap di sini, 'kan?"
"Tolong, ya, ngomong yang lengkap. Jangan setengah-setengah."
Raza menyorot jenaka. "Emang kamu mikir apaan?"
Yusra menarik tangannya. "Aish!"
Raza tertawa pelan. "Yuk, ah. Apartemen Yasril masih jauh."
Yusra berjalan di sisi Raza. Tepat detik itu, tatkala mobil melaju meninggalkan restoran, keheningan di antara mereka perlahan mencair.
"Aku kira kamu sariawan," komentar Yusra asal. Dia penasaran akan perubahan kepribadian pemuda di sampingnya.
Raza melirik sekilas. "Kok bisa?"
"Tadi kamu diam aja."
"Masa aku ngajak ngobrol orang kelaparan?"
Yusra menyengir.
"Berapa lama kamu di sini?"
"Tiga hari."
Raza manggut-manggut. Lalu mereka tidak berbicara lagi. Namun, keheningan kali ini terasa berbeda. Lebih menenangkan. Yusra pun jadi menikmati pemandangan malam ibu kota dari balik jendela. Tanpa sadar, dia jatuh tertidur.
"Yusra, Yusra!"
Gadis itu membuka mata pelan-pelan. Memindai sekitar. Masih di dalam mobil.
"Hm?"
"Udah nyampe. Ayo turun."
Yusra menegakkan badan. Melepas safety belt-nya. Turun dari mobil dan menunggu Raza mengambil barang di bagasi.
"Ini basement apartemen Yasril. Ikuti aku."
Yusra menyesuaikan langkah. Mereka masuk ke dalam lift. Setelah sekian menit, Raza pun berhenti di depan unit bernomor 1505. Pemuda itu menekan bel.
"Apa mereka udah tidur, ya?" tukas Yusra ketika pintu tak kunjung terbuka.
"Bentar, aku telepon Yasril." Raza segera mengeluarkan ponsel dari saku jaket. Tak butuh waktu lama hingga panggilan terhubung. "Gue di depan apartemen lo."
"Ngapain lo di situ? Gue lagi di luar," sahut Yasril dari seberang telepon.
"Di mana?"
"Ada, lah. Gue matiin."
"Hei, Yas! Bentar, gue belum selesai bicara!"
Panggilan terputus. Raza mendengus. Apalagi, ponsel Yasril dinonaktifkan tak lama kemudian.
"Gimana?" tanya Yusra gusar.
"Mereka lagi keluar. Aku punya dugaan, tapi sekarang udah kemalaman. Mending kita ke hotel sekitar sini, gimana?"
"Hah?!"
Raza menarik napas singkat. "Aku anterin kamu cari hotel. Nggak mungkin kamu mau nginep di sini, 'kan?"
Yusra mengusap tengkuk. Kenapa, sih, dia suka memotong kalimat begitu? Bikin orang salah paham, rutuknya dalam hati.
"Emang mereka di mana?" tanya Yusra penasaran.
Raza melirik sekilas. Dia menekan tombol lift. "Besok. Aku janji besok bakal nyeritain semua yang aku tau."
Yusra mengangguk lemas. Tidak bisa berbuat apa-apa. Dia sudah menahan Raza hampir seharian demi kepentingan pribadi. Sepertinya pemuda itu lelah.
"Habis nganterin aku, kamu mau ke mana?" tanya Yusra begitu mereka duduk nyaman dalam mobil.
"Pulang ke rumah."
"Rumahmu jauh?"
"Lumayan."
Yusra merogoh ponselnya dari dalam sling bag. "Sekarang mau jam sebelas. Apa nggak sebaiknya kita nginep bareng?"
"Maaf?"
Yusra menoleh ke kanan, lalu menyeringai. "Maksudku, beda kamar."
Raza mendengus geli. "Pendendam."
Yusra terkekeh. "Ngeselin, 'kan?"
Raza menatap Yusra agak lama. "Manis malah," sahutnya tanpa sadar.
"Eh?"
"Ah, maaf." Raza mengalihkan pandangan. Buru-buru menghidupkan mesin mobil. Lalu berdehem agak kencang. Bisa-bisanya dia malah salah fokus!
"Jadi gimana?"
"Apanya?
"Nginep di hotel. Kamu nyetir dari tadi. Pasti capek. Bahaya buat keselamatanmu."
"Aku nggak bawa pakaian cadangan. Besok kan, aku masih harus nganterin kamu."
Yusra termenung sejenak. "Ah, gini aja, kamu pulang pagi-pagi gitu. Terus aku ikut biar kamu nggak bolak-balik ke hotel."
"Kamu mau ikut ke rumahku?"
"Nggak!" sahut Yusra terlalu cepat. "Aku bisa nunggu kamu di mobil."
Raza menahan senyum. "Kamu benar. Tempat tujuan kita emang lebih dekat dengan rumahku. Tapi, kasihan banget nunggu di mobil."
"Mau gimana lagi?" gumam Yusra pelan. "Nggak pa-pa. Gitu aja, ya?"
"Oke."
Malam itu, mereka mencapai kesepakatan. Seusai menemukan hotel tempat menginap, mereka berpisah menuju kamar masing-masing.
Di balik tembok yang bersinggungan, tanpa saling tahu, mereka sama-sama saling memikirkan. Ada perasaan senang dan antusias yang merasuk ke dalam dada. Walau mungkin esok akan melelahkan, mereka tidak sabar menanti datangnya mentari pagi.
Bersambung.
Aish, bisa-bisa Yusra lupa tujuan utamannya 😂
Mereka sama-sama supel, jadi baru ketemu pun kerasa teman lama soalnya nyambung. Hihi.
Harap sabar ye, buat yang penasaran kabar Yumna-Yasril. Biarkan Yusra bahagia dulu, hoho.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top