Kejutan untuk Kau dan Aku
"Yas, ini ada titipan dari Audi."
Yasril mengangkat alisnya. "Apaan, nih?"
"Cokelat. Semalam dia minta nganterin beli itu. Katanya, sebagai permintaan maaf. Coklat juga bagus buat ningkatin mood."
Yasril manggut-manggut. Dia menerima paper bag tersebut dan menaruhnya sembarangan. Yasril belum berlapang dada. Kata-kata Audi terlalu riskan.
Benar, Yumna memang baik-baik saja. Semalam mereka istirahat dalam damai. Tidak ada hal buruk yang terjadi. Yumna bahkan bertingkah cukup manis meski agak kaku.
Wajah Yasril berubah semringah. Jika ke depannya terus bertahan seperti itu, hubungan mereka akan semakin langgeng. Tiba-tiba Yasril merindukan sang istri. Padahal, mereka baru berpisah pagi ini.
Yasril bangkit dari kursi. Mencangklong tasnya, bersiap untuk ke luar. Setiap memikirkan Yumna, dia seolah mendapatkan suntikan semangat baru. "Gue mau ketemu klien."
"Nanti makan siang bareng, nggak?" tanya Kafka.
Yasril berpikir sejenak, lalu menggeleng. Sebuah ide melintas di benaknya. "Gue sekalian mau mampir ke suatu tempat," tukasnya sambil berlalu pergi.
Yasril sudah memutuskan untuk mengabulkan keinginan Yumna. Perempuan itu mengaku ingin mengubah penampilan. Dia rasa, Yumna sangat memukau dalam balutan dress seperti kemarin.
Setelah dipikir-pikir, yang beruntung adalah Yasril. Pasalnya, Yumna jarang keluar apartemen. Apabila sang istri berdandan dengan baik, tentu akan menjadi kesenangan tersendiri untuknya.
Yasril merapatkan bibir. Sadar sedang berada di tempat umum, mana boleh dia senyum-senyum sendiri. Lelaki itu menggeleng guna mengusir imajinasi liar yang mulai merasuki otaknya. Tanpa menunda lagi, dia segera memacu motor menuju lokasi meeting.
*
Yumna mendesah keras. Dia berencana mencuci. Seprai baru saja diganti. Giliran mengangkut tumpukan pakaian kotor di keranjang.
Yumna sedikit kepayahan membawa seluruh beban. Tetes-tetes keringat membasahi kulitnya. Dia menaruh pakaian tersebut ke dalam mesin cuci. Setelah itu, membiarkan teknologi yang bekerja.
Sembari menunggu, Yumna mencari alat tulisnya. Sudah lama sekali dia tidak membuka buku harian. Dia sedikit rindu menumpahkan keluh-kesan dalam bentuk narasi.
Yumna meraih buku bersampul cokelat di dalam laci. Dia lalu memilih duduk di tepi ranjang demi kenyamanan. Tangannya mengangkat salah satu bantal untuk dijadikan alas. Tanpa sengaja, aroma parfum Yasril terhidu olehnya.
Gerakan Yumna seketika berhenti. Alih-alih menyimpan bantal di pangkuan, dia justru mendekap kuat-kuat. Seolah Yasril yang ada di sana.
Kenangan-kenangan masa lalu tumpah ruah memenuhi benak. Mulai dari pertemuan pertama, jeda perpisahan, hingga kebersamaan mereka beberapa jam lalu. Samar dalam ingatan, tetapi senantiasa berhasil menghangatkan hati. Pada mulanya memang begitu, sebelum kesadaran mutlak menghampiri.
Janji yang terlontar, upaya-upaya Yasril demi menjaganya. Semua tentang lelaki itu adalah perjuangan. Yasril sanggup menanggung beban untuknya, sedang dia hanya tepaku menunggu tanpa arti. Benar-benar tidak tahu diri.
Yumna menarik napas amat panjang. Susah dan berat. Terasa nyeri di dada. Mukanya mendadak panas. Dia menggigit bibir kuat sembari memindahkan posisi bantal ke pangkuannya.
Pelan, kata per kata, kalimat demi kalimat, hingga paragraf terangkai. Sekian menit waktu berlalu, Yumna telah memenuhi tiga halaman kosong. Kemudian dia menyobek kertas-kertas tersebut, melipat seadanya, dan menaruhnya di bawah bantal.
Yumna mengepalkan tangan erat. "Jangan menangis," tegasnya.
*
Yasril mengitarkan pandangan ke segala penjuru. Menimbang toko mana yang seharusnya dia kunjungi. Lupa di mana lokasi spesifik tempat belanja mereka kemarin. Yasril pada akhirnya memilih secara random.
Saat melangkah melewati pintu masuk toko, Yasril disambut oleh seorang pramuniaga.
"Saya buruk soal fashion wanita, tapi ingin membelikan dress untuk istri saya," sahut Yasril setelah ditanyai keperluannya. "Ini fotonya," imbuhnya sambil menunjukkan layar ponsel dengan sopan.
Yasril menyadari raut muka pramuniaga itu. Tampak sedikit kebingungan. Maklum mengingat penampakan potret hanya setengah badan. Diambil saat mereka welfie kemarin. Yasril berdehem dan menjelaskan, "Tingginya 160 cm, berat kira-kira 40 kg."
"Maaf, ada foto lain, Pak?"
"Itu yang paling baru."
"Ciri fisik lain mungkin?"
"34A."
"Maaf?"
Yasril terbeliak. "Maaf, maaf, saya nggak bermaksud …," ucapnya malu sambil menggaruk kepala. Kehilangan kata-kata. Telinga Yasril memerah.
"Baik, Pak. Saya mengerti," sahut gadis yang diperkirakan berusia awal dua puluhan itu. Jelas sekali sedang menahan senyum geli. "Anda bisa menunggu di sana," imbuhnya sambil mengarahkan Yasril ke sofa, kemudian berlalu.
Yasril merutuki kebodohannya. Bisa-bisanya dia bicara sembarangan!
Ketika sedang geregetan dengan dirinya, ponsel Yasril tiba-tiba berdering. Dia buru-buru mengangkatnya saat tahu yang menelepon adalah Yumna.
"Yas?"
Yasril berdehem demi menetralkan isi hati. "Ya?"
"Apa kau sudah makan?"
"Belum sempat. Kenapa? Kau mau makan bersama? Kebetulan aku sedang di luar, aku bisa pulang sekarang. Nanti balik lagi ke kantor."
"Eh, tidak usah. Aku cuma mau menanyakan alamat lengkap kantormu. Aku baru saja membuat makanan untukmu. Ah, sekalian bagikan kepada teman-temanmu. Akan aku kirimkan lewat gojek."
"Oh, baiklah," ujar Yasril senang. "Tunggu, tumben kau mau repot begini? Kau tak apa? Atau, kau butuh sesuatu?"
"Anggaplah kejutan. Kapan lagi aku berbuat baik padamu?"
"Kita kan masih punya banyak waktu," ujar Yasril santai, berusaha menutupi antusiasmenya. Yumna-nya benar-benar berubah! Penantiannya sejak lama terbayarkan.
"Uhm, hal baik perlu disegerakan. Ya sudah, aku tutup?"
"Sebentar, aku …, ah, terima kasih."
"Seharusnya aku yang bilang begitu padamu."
"Aku …, aku punya kejutan untukmu. Tunggu aku, ya?"
Hening sekian detik.
"Yumna?"
"Uhm, aku mau menyiapkan makanannya. Semoga kau suka. Bye, Yasril."
Sambungan tertutup. Yasril segera mengirimkan alamat kantor. Gurat bahagia di wajahnya tak kunjung lenyap bahkan setelah sang pramuniaga kembali.
Dia lantas memilih beberapa potong dress. Setelah menuntaskan transaksi, Yasril bergegas kembali ke kantor. Tidak sabar menyantap makanan buatan istrinya.
*
Yumna melangkah ke arah balkon sambil mendorong vacuum cleaner. Spot terakhir yang harus dibersihkan. Bola matanya agak melebar saat menemukan langit diselimuti cahaya jingga bercampur awan kelabu, pertanda malam segera datang. Yumna telah mengurus apartemen seharian tanpa terasa.
Senyum tipis terukir. Yasril pasti senang. Seluruh perabot seolah tampak kinclong. Semoga lelaki itu menerima niat baiknya.
Usai berbenah, Yumna kembali ke dapur untuk merapikan peralatan kebersihan. Tak lupa mengambil serta benda yang paling dia butuhkan sekarang. Kemudian meneruskan langkah ke kamar mandi dengan masih berpakaian lengkap.
Perempuan itu mengisi bathtub. Dia ingin berendam dalam waktu lama. Fisiknya lelah, mentalnya terluka. Istirahat adalah pilihan terbaik.
Sembari menunggu, Yumna menyalakan shower dan berdiri di bawahnya. Di tangan kiri perempuan itu, ada benda tipis berbahan besi dan berkilau tatkala tertimpa cahaya lampu.
Yumna tak melakukan apa pun. Hanya berdiri dalam diam. Membiarkan titik-titik air membasahi seluruh tubuh. Dia terpejam.
*
"Gue duluan."
"Idih, yang punya istri norak banget. Baru juga dikirimin makanan udah nggak betah di kantor."
Yasril menyeringai penuh ejekan. Dia melewati kubikel sambil menenteng dua paper bag. "Kaf, kawan lo yang satu itu segera cariin pasangan, gih. Bosan gue dinyinyirin mulu."
"Cewek-cewek pada nolak, Yas. Pesonanya udah nggak mempan."
Yasril terkekeh. "Gue cabut, bye!"
"Bye?" Raza mengerutkan dahi.
"Sampai ketemu lagi."
"Iya, tau. Maksud gue, baru sekarang lo pake kata itu. Kesannya kayak lo mau pergi ke tempat jauh. Umum dipake buat ngucapin selamat tinggal. Ya, walau ujung-ujungnya bakal ketemu lagi." Raza mengedik tak acuh. "Gue ngomong apaan, deh. Pulang, sana!"
Hening. Raza dan Kafka saling berpandangan ketika mendapati Yasril tampak linglung.
"Yas, malah bingung, oi!" seru Kafka.
Yasril terbelalak. Tanpa kata, tanpa aba-aba, lelaki itu langsung berlari menuju parkiran. Jantungnya berdetak amat kencang.
Yumna hampir tidak pernah memakai bahasa asing. Bukannya menyadari keanehan tersebut, dia justru terbawa suasana. Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Rahang Yasril mengeras. Mencengkeram handlebar kuat-kuat. Memacu motor secepat yang dia bisa. Tak peduli lampu merah, macet, kebisingan, Yasril terus menekan klakson. Pengendara lain mengumpat padanya, tetapi dia menulikan telinga.
Aku senang telah mengenalmu, Yas.
Muka Yasril memucat. Aliran darahnya seolah terhenti. Napasnya tercekat.
Bye, Yasril.
Lelaki itu berkendara gila-gilaan. Bayangan Yumna menari di pelupuk mata. Sejalan dengan ketakutan yang menyergapnya erat.
Yumna tidak mudah bertingkah manis. Cenderung pasif. Bukan karena tak sayang, tetapi begitulah pembawaannya. Terlebih, dia menyebutkan nama Yasril secara utuh, yang berarti sebuah penegasan.
Yasril menggigit bibirnya hingga berdarah. Rasa besi berkarat menjejak di lidah. Lelaki itu mengatupkan mulut rapat-rapat.
Kenapa dia begitu bodoh? Bagaimana bisa dia menyepelekan sikap aneh Yumna? Yasril terlena oleh perhatian dadakan!
Kepalanya berdentum hebat. Perutnya bergejolak. Mata Yasril memanas. Sesak membelenggu dadanya. Dia merasa mual setiap kali memikirkan apa yang mungkin Yumna perbuat kini.
*
Mata Yumna memerah. Bibirnya pucat. Dia menggigil kedinginan. Namun, tak ada niatan untuk berhenti.
Nyeri di hati berkurang, tergantikan oleh rasa sakit di kepala. Yumna tersenyum lega. Hanya butuh satu tindakan untuk mengakhiri segala derita. Dia berbalik, melangkah tertatih-tatih mendekati bathtub. Yumna perlahan menenggelamkan diri di sana.
Air meluap-luap, pun pancuran yang terus berbunyi. Satu detik, dua detik, tiga detik. Tatkala pasokan udara di paru-parunya menipis, Yumna menengadah.
"Hah … hah …."
Suatu hari nanti, kau akan duduk di kursi pemerintahan, sedang aku jadi penegak hukum.
Yumna membenamkan kepalanya lagi dan lagi. Terus-menerus hingga dia terbatuk. Sampai warna putih di bola matanya tersamarkan.
"Hah … hah …."
Momen-momen indah sekaligus menyakitkan menyeruak di ingatan.
Yumna Zafira, jangan menangis. Aku mau jadi temanmu.
Sejak kapan kepiluan ini bermula?
Mari berjanji untuk tidak pernah pacaran. Jika sampai umur 25 kau dan aku belum punya pasangan, kita akan menikah.
Kenapa begitu setia mengikutinya?
Siapa kau?
Aku Yasril. Aku yang mengajarimu membaca, memapah waktu lututmu terluka, mengajakmu ke perpustakaan, membantumu menghadapi saudarimu yang menyebalkan, bahkan membelikan pembalut waktu kau bocor di sekolah.
Air mata Yumna berjatuhan. Tumpah ke dalam bathtub. Dia mengangkat tangan kirinya, sebilah pisau menyembul ke permukaan.
Cuma kau yang bisa menolongku. Aku mohon.
Jangan menangis lagi. Jangan perlihatkan air matamu. Tertawalah, tersenyum selepas dulu. Mari rayakan kegagalan kita dengan terus berjuang.
Yumna menggeleng kencang, berteriak. Kepalanya nyaris pecah. Suara sumbang terdengar bersahut-sahutan.
Walau pacar lo polisi, gue yakin lo belum pernah dilindungin sampe segitunya.
Jelas dong! Gue mandiri. Ngapain bergantung ke laki? Ogah gue jadi beban.
Cewek harus punya kualitas premium. Kalau nggak gitu, cuma bakal jadi beban dan sampah.
"Hah … hah …."
Perempuan itu telah mencapai batas. Di antara suara gemericik, di tengah-tengah luapan air, dengan tubuh yang menggigil, Yumna mendekatkan pisau ke pergelangan tangan kanannya. Menekan pelan-pelan seiring rasa sakit yang mulai berkumpul ke satu titik.
"Goodbye, Yasril."
Pada akhirnya, dia mampu mengucapkan kata itu secara sempurna walau lirih dan terbata.
*
BRAK!
Semua terjadi amat cepat, ketika hendak memasuki basement, si pengemudi hilang kontrol. Motor dan pemiliknya terlempar.
Semua orang yang menyaksikan berteriak. Sebagian terpaku, sebagian lainnya datang menanyakan keadaan. Yasril menahan nyeri di sekujur tubuhnya.
Lelaki itu berupaya bangkit dengan bantuan orang lain. "Gu-gue nggak pa-pa. Cepat panggil ambulans! Unit 1505. Segera!"
Yasril menerobos kerumunan. Orang-orang menyorakinya, menyuruhnya berhenti. Namun, dia menutup telinga. Tujuannya hanya satu, segera menemui Yumna.
Pandangan Yasril mengabur. Perpaduan antara keringat dan air mata. Cairan hangat nan kental terasa meluncur di dahi, juga lengannya.
Yasril meyakinkan diri bahwa Yumna baik-baik saja. Sayang, hatinya diliputi keraguan. Sesuatu yang buruk mungkin terjadi. Perasaannya tak keruan. Yasril hanya berharap, satu di antara kerumunan manusia tadi, benar-benar berinisiatif menelepon ambulans.
Begitu pintu lift terbuka, Yasril langsung menerobos. Berlari sekuat tenaga walau tertatih. Kakinya sakit luar biasa.
Tangan Yasril gemetar menekan password. Dia mendorong pintu kuat-kuat. "Yumna!" teriaknya kencang.
Hening.
Yasril seperti kehilangan akal. Mukanya panik. Deru napasnya memburu. "Yumna!" serunya kepayahan sekali lagi. Dia langsung menghampiri kamar mandi saat samar-samar mendengar bunyi gemericik air. "Yumna?"
Tidak ada sahutan.
Yasril memutar gagang pintu, macet. Terkunci dari dalam. "Yumna! Yumna! Kau dengar aku?! Yumna, aku mohon jawab!" Yasril belum menyerah. Dia mundur mencipta jarak, hendak mendobrak pintu. Lupa akan kondisinya yang amat memprihatinkan. "Yumna, jawab aku!"
Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali, lima kali, hingga kesekian kali. Meski tenaganya terkuras habis, usaha tersebut tetap menuai kegagalan. Yasril jatuh berlutut. Menatap nanar kayu kukuh di hadapannya. Dia memukul-mukul pintu lemah. Jejak-jejak darah terlihat jelas di punggung tangannya. "Yumna!" ucapnya serak.
Yasril menggeleng kuat. Dia merogoh saku. Nihil. Ponselnya tertinggal di dalam tas. Tadi dia sengaja melepas benda itu karena merasa terbebani.
Bahunya terkulai. Badannya menggigil. Dia tertunduk dalam. Air mata, keringat, dan darah menuruni pipinya secara perlahan. "Maafkan aku. Maaf karena aku tidak peka pada kondisimu. Aku mohon keluarlah. Aku punya kejutan untukmu, Yumna!"
Seumur hidup, Yasril tidak pernah direngkuh keputusasaan hingga begini mengerikan.
Bersambung.
:(
25 Oktober 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top