Kalimat Sakral Perpisahan

Pst, coba baca sambil play MV di multi media!

.
.
.

Dugaan Yumna kala itu tepat sasaran. Tidak memeleset sedikit pun. Sesuai prediksi.

Kehilangan calon anak pertama meninggalkan trauma tersendiri bagi kedua pihak. Mereka sempat memutuskan menunda lebih lama. Namun, Bu Rosidah seolah tak mau mengerti. Menuntut ini-itu tanpa peduli kondisi psikis sang pelakon utama.

Omongan orang, intervensi tak berkesudahan, gairah hidup Yumna yang meredup, perhatian Yafiq yang perlahan memudar, berperan bak duri dalam rumah tangga mereka. Menusuk pelan-pelan sebelum tertancap kuat. Menciptakan borok penuh nanah.

Hingga kini, tatkala duka tak sanggup dibendung, amarah dan kekecewaan meledak, menggelegak hebat di dada, kata sakral perpisahan terucap. Genap tiga tahun di usia pernikahan, Yafiq mengakhiri semuanya.

Sekarang, bagaimana Yumna akan menjalani hidup?

Langkah Yumna terhenti, berbalik. Dia mengusap air matanya, tapi sial, yang terjadi justru semakin deras. "A-aku punya permintaan."

Yafiq mendongak. Mata lelaki itu tak kalah memerah. "Katakan," kecapnya pahit.

"Antarkan aku pulang dan sampaikan kepada orang tua kita tentang perceraian ini." Yumna terisak. Dia jatuh terduduk. Tangannya gemetar di atas paha. "Ma-mak pasti menuduhku macam-macam. Aku janji tidak akan menuntut apa pun darimu, tapi tolong kabulkan permintaanku."

Yafiq turun dari kasur. Dia berlutut di hadapan Yumna. Tangannya terulur hendak mendekap, tapi berhenti di udara. Sadar bahwa mereka bukan siapa-siapa lagi.

"Na ..., jangan begini," gumamnya seperti orang pesakitan. Setitik air matanya menetes. Runtuh sudah pertahanan Yafiq.

"Tolong aku," bisik Yumna tak bertenaga

Yafiq menunduk dalam, menutupi matanya. Pun Yumna, tapi dia membiarkan liquid bening mengenai punggung tangan. Tak terdengar bunyi lain kecuali desah napas lirih.

Aneka rasa bergejolak dalam dada. Mantan pasangan itu sama-sama menumpahkan kesedihan.

Kenapa akhir kisah mereka begini menyedihkan? Apa yang salah? Ke mana lenyapnya seluruh upaya yang mereka susun pelan-pelan?

Keping-keping kenangan terbersit cepat dan kuat. Membawa mereka ke dalam rasa sakit yang teramat sangat. Menerbangkan mereka melintasi dimensi dan waktu.

Mereka pernah saling membagi senyum, pelukan, dan kehangatan. Namun kini, semua itu lenyap dalam lima detik. Hanya karena satu kata sakral terlisankan, istana yang telah mereka bangun, runtuh tak bersisa.

"Bangun, Na," pinta Yafiq sambil menyentuh sepasang bahu Yumna. Mereka berdiri bersamaan. "Mari aku antar. Aku yang bertanggung jawab terhadap keputusan ini."

Yumna mundur, menjaga jarak. Dia mengangguk kaku. "Kakak bisa menunggu? Aku perlu membereskan barang-barangku."

"Tinggalkan sebagian. Ambil secukupnya. Kau butuh waktu lama untuk merapikan semuanya. Nanti aku yang bawakan sisanya."

Yuman mengulum senyum pedih. "Kakak benar-benar tidak sabar berpisah denganku, ya?"

"Bukan begitu ...."

"Aku paham," potong Yumna. Dia memutar haluan, menghampiri lemari. "Jangan berdiam diri di sana. Lakukan sesuatu agar Kakak tidak bosan."

Yafiq menghela napas. "Ya sudah, aku ke kamar mandi. Panggil aku jika kau butuh bantuan."

Yumna memilah pakaian. Jantungnya berdenyut kuat saat menghidu aroma pewangi favorit mereka.

Dia menggigit bibir. Mukanya perih dan panas. Kelenjar air matanya terkuras tragis.

Yumna mengambil koper di rak teratas. Memasukkan asal pakaiannya. Dia ingin cepat-cepat menyudahi kegiatan ini.

Gerakannya terjeda. Pandangannya terpaku pada gamis bermotif floral. Baju lebaran pertama yang dibelikan oleh Yafiq.

Perempuan itu menggeleng. Buang-buang waktu mengenang romansa yang telah tiba di penghujung jalan. Tak berguna. Tidak berarti.

Fokusnya kini adalah menemukan cara melanjutkan hidup. Dia butuh inspirasi. Terus terang, Yumna merasa tak punya semangat. Lunglai. Fisik dan mentalnya ditimpuk banyak beban.

Ke mana janji Yafiq yang dulu? Bukankah dia berdalih akan membahagiakannya? Di mana tatapan penuh kasih yang tertuju untuknya?

Waktu telah menelan segalanya. Menenggelamkan mereka dalam duka tak terperih. Meninggalkan lubang kosong di hati.

Entah Yumna benar-benar menginginkan perpisahan atau tidak, Yafiq yang memegang keputusan. Kunci talak terletak padanya. Jadi, walau seperti memaksa menelan tulang, Yumna tak dapat berbuat apa-apa. Pasrah.

Perceraian ini semakin melegalisasi gelar atas dirinya. Sang Pemangku Kegagalan. Saat Yumna berusaha berdamai dengan hidup, takdir justru menghamparkan jutaan masalah baru di depan mata. Tak ada kesempatan baik yang berpihak padanya.

Rumah tangganya gagal. Statusnya berubah menjadi janda. Kata itu terdengar mengerikan di telinga.

Yumna dapat membayangkan betapa banyak komentar miring yang menanti di ujung jalan. Ketika kabar perceraian mereka tersebar, hari-harinya tidak akan pernah sama lagi. Setiap tarikan napas mungkin terasa bagai sayatan silet.

Yumna menepuk dada dua kali. Berusaha menenangkan seonggok daging di sana. Tangannya bergerak menutup koper.

Kemudian dia termenung. Pandangannya mengitari seluruh penjuru. Yumna tak dapat merasakan apa-apa selain kesedihan, yang disusul kehampaan teramat sangat.

Ribuan kenangan mereka tersimpan di kamar ini. Bayang-bayang masa lalu tampak bagai lakon wayang. Walau hubungan mereka tak berjalan mulus, tapi Yafiq selalu punya cara membenahi keadaan.

Lelaki itu ..., amat pengertian sepanjang pengetahuan Yumna. Mengutamakan kenyamanan dirinya di atas segalanya.

Akan tetapi, kenapa sekarang bertolak belakang?

Sejak kapan hubungan mereka menjadi begini renggang?

Apa yang salah hingga Yafiq tega menjatuhkan talak untuknya?

Di mana sesungguhnya akar persoalan rumah tangga mereka?

Yumna bangkit bertepatan dengan pintu kamar mandi yang berderit. Pandangan mereka bertemu. Tanpa kata, tanpa senyuman. Bergeming sangat lama sebelum Yafiq memangkas jarak.

"Sudah?"

Yumna mengangguk lemah. Membiarkan saja Yafiq mengangkat kopernya.

"Cuci muka dulu. Aku tunggu di mobil."

Yumna patuh bagai kerbau yang dicucuk hidungnya. Tak lupa pula dia mengambil perlengkapan mandi dan detail benda kecil lainnya. Sebelum benar-benar pergi, dia menyempatkan diri memandangi ruangan itu untuk terakhir kali.

"Selamat tinggal," bisiknya lirih.

Yafiq sudah duduk di kursi pengemudi. Yumna membuka pintu bagian depan. Suasana ganjil seketika merebak di udara.

"Mamak sedang sibuk di dapur, Bapak keluar. Aku akan bicara kepada mereka setelah mengantarmu."

"Ya."

Roda mobil bergerak, perlahan menyusuri pekarangan luas milik keluarga Pak Ibrahim. Yumna membuang pandangan ke jendela. Menatap bunga-bunga yang tetap mekar dengan segenap keindahan.

"Aku putar musik, ya, Na."

"Terserah Kakak."

Yafiq menekan asal tombol on pada radio. Tujuannya mengisi keheningan panjang. Kemudian dia segera menyesali keputusannya saat senandung irama mengalun.

Ribuan hari telah kita lalui. Jutaan mimpi coba 'tuk dijalani. Tak pernah terbayangkan di benakku. Jalan berbeda yang harus ditempuh.

Tangan Yafiq terulur untuk mengganti saluran, tapi Yumna menahannya. "Biarkan saja."

Bersamamu aku pernah bahagia. Di sampingmu aku pernah bangga. Namun, kenyataannya kini berbeda. Kau dan aku harus saling merelakan.

Bukan mauku sakiti hatimu.
Hanya kejujuran yang larutkan semua semu.

Beribu maaf yang tak tersampaikan akan selalu ada di dalam dada.
Untuk setiap hati yang terluka, untuk setiap harapan yang sirna.

Namun, semua akan indah kupercaya.
Jalan terbaik yang ada di depan kita.
Terima kasih untuk semua yang dilalui bersama, untuk semua perjalanan berharga.

Let's live this life. You always have a place in my heart.

Namun, semua akan indah kupercaya.
Jalan terbaik yang ada di depan kita.
Terima kasih untuk semua yang dilalui bersama, untuk semua perjalanan berharga.

Let's live this life.
You always have a place.
Let's live this life.
You always have a place in my heart.

(Gisel - Perjalanan Berharga).

Yumna tahu lagu ini. Mantan mamak mertuanya suka menonton serial rumpi selebriti saat sedang luang. Dia sesekali menemani dalam diam.

Si Penyanyi diduga melukiskan perceraian yang dialami lewat lagu tersebut. Yumna sepakat bahwa rumah tangga adalah sebuah perjalanan berharga. Namun, dia menolak percaya jika semua pasti indah pada waktunya.

Apalah daya orang biasa sepertinya. Hidup dilewati tak pernah mudah. Bukan kebahagiaan yang menanti, melainkan kehancuran.

Tinggal menghitung hari. Status barunya sulit diterima di masyarakat. Ada citra buruk tersendiri terhadap pihak yang gagal membina rumah tangga. Terlebih, dalam kasus ini, hubungan mereka telah memancing kehebohan sejak awal. Lengkap.

Yumna hanyut dalam lamunan, ditemani ocehan penyiar radio. Entah berapa lama waktu yang ditempuh, tahu-tahu mobil berhenti sempurna di depan rumah orang tuanya.

"Na," panggil Yafiq, dibalas gumaman asal. "Aku belum siap."

Yumna langsung menoleh. "Maksud Kakak?"

"Tiga hari. Beri aku waktu tiga hari untuk memberi tahu orang tuamu."

Tubuh Yumna condong ke arah Yafiq. Tatapannya nyalang. "Lalu membiarkan mereka bertanya-tanya tentang aku yang kemari sambil membawa koper besar?"

"Bilang saja kau sedang kangen mereka."

Yumna terkekeh sinis. "Untuk tiga tahun yang kita habiskan bersama, terima kasih! Aku benar-benar bahagia!" ucapnya sarkastik sambil turun dari mobil. "Buka bagasinya!"

Semua terjadi sangat cepat. Yumna masuk ke rumah. Yafiq mematung di kursi kemudi. Mereka berpisah.

Saat itulah, ketika punggung Yumna menghilang, sebuah penyesalan besar merasuk lamat-lamat.

Dia selalu mengharapkan kebahagiaan untuk perempuan itu walau harus mengorbankan hatinya.

Kini, Yafiq sadar, letak retakan pertama dalam bangunan rumah tangga mereka. Awalnya kecil, lama-lama kian besar. Sampai pada suatu masa, mereka menyerah. Musnah.

Titik mula kekacauan ini, tak lain dan tak bukan, adalah ketidaktegasan dirinya saat mengambil keputusan.

Padahal, Yafiq tahu betul interaksi antara mamak dan istrinya. Mereka tidak akur. Memang tak terang-terangan saling hajar, tapi keduanya punya cara tersendiri untuk melukai.

Mamak dan omelannya, Yumna dan ketidakpeduliannya.

Yafiq kesulitan melerai. Cintanya sama besar meski dalam konteks berbeda. Sekeras apa pun usahanya untuk bersikap objektif, tetap senantiasa mengundang luka bagi salah satu pihak.

Dan pada akhirnya, perpisahan merupakan satu-satunya cara untuk tidak saling menyakiti, lagi.

Ibarat kata, istana megah yang dibangun di atas darah dan air mata, tak pantas untuk dipertahankan.

-Bersambung.


26 Juli 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top