Janji Seorang Bocah

Yafiq Aydan, laki-laki berusia 30 tahun. Seorang dokter umum di Puskesmas Kecamatan. Sebelumnya, dia pernah bekerja di Rumah Sakit Swasta ternama di Kota Provinsi. Namun, karena beberapa alasan, Yafiq memutuskan untuk kembali ke kampung halaman. Banyak rekan kerja yang menyayangkan keputusan tersebut.

Alasan-alasan Yafiq cukup sederhana. Pertama, di sini, di kampung halamannya, dia merasa tenaganya lebih dibutuhkan. Resah setiap kali mendengar curhatan Mamak seputar pelayanan kesehatan.

Sesekali waktu, Mamak bercerita tentang dokter yang memasang tarif tinggi untuk konsultasi di jam praktik pribadi. Dokter yang susah ditemui. Dokter yang tidak pandai bersosialisasi. Tidak ada gunanya pergantian orang. Masyarakat tak menyukai mereka.

Di lain kesempatan, Mamak bersyukur ketika dokter-dokter itu memutuskan untuk pergi. Tidak betah tinggal di kampung kumuh, begitu katanya. Entah dari mana sumbernya. Tak lupa Mamak menambahkan closing statement yang berbunyi, "memang cuma putra asli daerah yang mampu memahami penduduk setempat". Ini jelas-jelas sindiran halus agar dia mau mengabdi di desa.

Lucunya, di momen-momen tertentu, ketika posisi dokter mengalami kekosongan, Mamak kembali mengeluh, tentang betapa sulitnya masyarakat berobat. Mereka harus menyeberangi laut demi ke Kota Kabupaten. Akibatnya, pasien tidak bisa mendapatkan pertolongan pertama dengan cepat dan tepat.

Kedua, Yafiq merupakan anak bungsu dan satu-satunya lelaki dari tiga bersaudara. Kakak perempuannya sudah menikah dan mengikuti suami mereka. Orang tuanya hanya tinggal berdua.

Oleh karena itu, walau tahu gaji bekerja di Puskesmas Kecamatan tak seberapa, jauh beda dengan penghasilan sebelumnya, dia tak mengapa. Sebagai bentuk baktinya kepada orang tua. Setidaknya di penghujung usia mereka, Yafiq tidak ingin membiarkan keduanya kesepian.

Ketiga, inilah alasan yang tidak seorang pun tahu. Terkunci rapat di dasar hatinya. Hanya dia bagikan kepada Tuhan-nya.

Siang ini, selepas salat Jumat, ketika memasuki waktu istirahat, Yafiq baru sempat membuka ponsel. Bukan karena pasien mengantre sepanjang hari, melainkan begitulah kebiasaannya. Entah sesepi apa pun kondisi Puskesmas, Yafiq selalu berusaha tidak memainkan ponsel selama jam kerja kecuali untuk kondisi mendesak. Terlalu melenakan. Dia sudah sering menyaksikan orang-orang lupa diri hanya karena benda kecil keramat itu.

Yafiq punya cara untuk mengisi kekosongan. Dia biasanya akan membaca buku, menata ruangan, atau berbincang dengan rekannya. Sesuatu yang lebih bermanfaat dan tidak membuatnya lalai pada tugas utama. Barulah ketika jeda istirahat atau jam kerja berakhir, dia akan mencoba bersantai. Mengecek sosial media atau bermain gim. Itu pula kalau dia tak punya urusan lain. Kadang-kadang, meski sedang di rumah, sesekali ada situasi darurat yang membutuhkan bantuan tenaga medis. Kecelakaan berkendara, misalnya. Namun, kasus begini cukup jarang. Mengingat populasi penduduk masih sedikit.

Intinya, menjadi petugas kesehatan perlu kesabaran dan ketekunan.

Kembali pada persoalan alasan ketiga, Yafiq baru membaca pesan Yumna, yang dikirim sejak beberapa jam lalu.

Mohon maaf atas perlakuan kurang ajar saya akhir-akhir ini. Tolong lupakan saja pertanyaan saya sebelumnya. Saya bersedia menikah. Kalau-kalau Anda belum berubah pikiran.

Laki-laki itu mengerjap. Terkejut. Terlalu tiba-tiba. Dia segera mengetik balasan.

Tidak, aku akan tetap menjawab pertanyaanmu. Itu penting. Kita perlu bicara. Kapan kau ada waktu?

Terkirim. Sudah lebih dari lima menit, tetapi belum ada respon. Mungkin perempuan itu sibuk, terkanya.

Yafiq mendesah pelan. Dia menghempaskan punggung di sandaran kursi sambil bersedekap. Pandangannya menerawang.

Bagaimana dia bisa berubah pikiran? Sedangkan Yumna adalah salah satu alasannya untuk pulang.

***

Masa kanak-kanak selalu identik akan keceriaan. Momen-momen berwarna. Penuh kepolosan. Sarat kebersamaan.

Yafiq dan kawan-kawannya hampir tidak pernah melewatkan jadwal bermain setiap hari. Lapangan sekolah adalah lokasi pertemuan mereka. Seperti sore ini, misalnya. Mereka janjian untuk tanding sepak bola.

Bias jingga samar-samar menghiasi angkasa. Waktu salat telah terlewat. Bocah-bocah lelaki mulai memadati lapangan. Tak jauh dari sana, masih di kawasan yang sama, di bawah pohon asam, sekawanan gadis cilik asyik bermain lompat tali.

"Ayolah, mana si Irsyad?" celetuk seseorang tidak sabar.

Mereka sudah menunggu lebih dari 30 menit, tetapi bocah bernama Isryad, tak kunjung muncul. Padahal, formasi berkurang bila dia tak datang.

"Tanya Yafiq, mereka bertetangga," timpal yang lain.

"Aku tak tahu. Dia menginap di rumah kakaknya. Keponakannya sakit, katanya," sahut Yafiq cepat.

"Kakaknya yang mana?"

"Memang ada berapa kakak si Irsyad?"

"Banyak. Bapaknya punya tiga istri," timpal bocah bertubuh tambun. Lalu disusul tawa riuh hingga ramai sorakan.

"Amzar, kau ini asal bunyi."

"Eh, aku serius. Irsyad sendiri yang cerita!"

"Amzar benar. Kalau tidak salah, dia sempat bilang, mau jaga anak kakaknya. Soalnya anak kakaknya yang satunya sakit."

"Memang ada berapa anak kakak si Irsyad?"

"Kenapa kau penasaran sekali dengan silsilah keluarganya Irsyad? Mau kau jadikan lucu-lucuan?" sambar Yafiq. Lagi-lagi disambut tawa heboh.

"Oh, yang kalian maksud itu mamaknya si kembar?" Bocah cungkring, yang sedari tadi hanya cengengesan, akhirnya bersuara.

"Dari mana kau tahu?"

"Kami kan, tetangga. Aku dan Irsyad juga pulang bareng hari ini," sahutnya polos.

"Oi, kenapa kau tidak bilang dari tadi, Cungkring?!" Berama-ramai kawanan itu menjitak kepala si Cungkring hingga sang empunya mengaduh.

"Sudah, sudah. Begini saja, coba kau dan Yafiq jemput Irsyad. Mungkin dia lupa." Amzar menghentikan aksi anarkis teman-temannya.

"Kenapa aku?" protes Yafiq.

"Kau teman karibnya!"

"Memangnya kau bukan?"

Amzar menyengir. Mereka adalah tiga sekawan. "Aku juga. Tapi, aku ini anak desa tetangga. Tamu! Mana boleh disuruh-suruh!"

Yafiq menabok kepala bocah tambun itu. "Jujur kalau kau malas!"

Amzar malah terbahak. Yafiq mendengus lalu mengajak si Cungkring pergi. Bisa-bisa tak jadi main kalau menunggu inisiatif dari temannya yang lain.

Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah tiba di tempat tujuan. Rumah kakak Irsyad memang dekat dengan gedung SD. Yafiq belum pernah datang ke sini, tetapi si Cungkring sudah sering, katanya.

"Irsyad! Oi, kau ada di dalam?" teriak si Cungkring tanpa aba-aba.

Yafiq menyenggol bahu temannya. "Jangan ribut. Kalau yang punya rumah marah, bagaimana?"

"Tenang, orang tua si kembar pergi ke Pak Mantri. Berobat."

Yafiq tiba-tiba bergidik. Pak Mantri, adalah petugas kesehatan di kampung ini. Kerjaannya menyuntik anak kecil. Bila dia sakit, Mamak pasti membawanya ke sana.

"Dari mana kau tahu?"

"Kami kan, tetangga. Mamakku yang bilang tadi sebelum aku pergi main. Si Yusra demam. Mamak dimintai tolong mengawasi Irsyad kalau-kalau dia butuh bantuan. Rumah kami bersebelahan."

Yafiq mengernyit. Urat di dahinya menyembul. "Maksudmu ..., kau sudah tahu kalau Irsyad tidak akan datang ke lapangan?"

"Iya, lah. Bagaimana caranya ikut main kalau lagi jaga anak kecil?"

"Cungkring," panggil Yafiq dengan suara rendah.

"Ya?"

"Kau tahu apa fungsi spesial pinggiran kusen pintu?"

"Apa?"

"Untuk menjedotkan kepala kau, bego! Kenapa kau tak bilang dari tadi!" teriak Yafiq. Dia merasa dongkol bukan main.

Si Cungkring mengusap telinga. "Jangan bicara kasar. Kata mamakku, itu tidak boleh."

Yafiq menarik napas. Menyorot penuh sesal. Sadar diri. Teringat pesan yang sama dari mamaknya. "Maaf," bisiknya.

Pintu terbuka. Si Cungkring tak sempat menyahut karena yang ditunggu telah muncul.

"Kalian ini ..., jangan ribut di depan rumah orang lain!" omel Irsyad sambil merapikan gendongannya. Dia tampak sedikit kesusahan dengan keberadaan seorang batita, yang menempel padanya.

"Halo, Yumna, kau tak sakit seperti kembaranmu, 'kan?" sapa si Cungkring ceria.

"Heh, kau doakan keponakanku sakit?!"

Cungkring cengengesan. "Sebenarnya kami ke sini untuk menjemputmu ke lapangan. Aku lupa, kau sedang sibuk mengurus anak."

"Ah, maaf. Yusra makin demam. Kakakku membawanya ke Pak Mantri. Dibanding itu, kebetulan kalian ada di sini, boleh aku minta tolong?"

"Ya?"

"Aku mau ke kamar mandi. Perutku mulas. Terlalu banyak makan sambal. Barusan niatnya mau ke rumah kau, minta tolong ke mamakmu, tapi ya sudah, mending kutitip ke kalian."

"Eh, jangan aku! Yafiq! Dia lebih berisi!" sambar Cungkring.

"Hah?"

"Ayolah, menolong teman itu dapat pahala. Sini, sini, masuklah. Kau jangan malu-malu." Si Cungkring menarik tangan Yafiq. Berlagak bagai tuan rumah. Menuntunnya duduk di kursi plastik.

Yafiq belum mengerti. Semua berlangsung sangat cepat. Tiba-tiba seorang batita didudukkan di pangkuannya. Dia tidak diberi kesempatan menolak.

Cungkring duduk di hadapannya. Tersenyum lebar. Memandangnya penuh arti.

"Yumna cantik, jangan gelisah di pangkuan Kak Yafiq, ya." Nada mengejek.

Perasaan Yafiq tidak enak. Cungkring pasti merencanakan sesuatu, bisiknya dalam hati. Namun, ketika dia merasakan punggung batita itu menyentuh perut dan dadanya, bergerak kecil di atas pahanya, akal bulus Cungkring seolah tak lagi berarti.

Yafiq adalah anak bungsu. Dia selalu ingin tahu bagaimana rasanya menimang manusia yang berukuran jauh lebih kecil darinya. Selama ini, dia sering menjadi sasaran keisengan kedua kakaknya. Mereka bilang, waktu masih bayi, Yafiq bau pesing, ingusan, dan sering menangis. Tentu dia tak percaya. Buktinya, dirinya yang sekarang cukup wangi. Dia rajin mandi dan gosok gigi. Rutin cuci kaki sebelum tidur. Pokoknya, dia menerapkan pola hidup bersih sesuai ajaran guru.

Atas dasar itulah, untuk mendukung pembelaannya, Yafiq meminta adik kepada mamaknya. Ingin membuktikan bahwa perkataan kakaknya salah. Namun sayang, mamaknya sangat pelit untuk urusan ini, hingga kini tidak seorang pun bayi, yang muncul di rumahnya.

Sekarang, tanpa diduga, seorang batita, sembari menggigit dot, duduk di pangkuan Yafiq. Tidak bau pesing. Tidak ingusan. Tidak berisik.

Tambahan, mukanya imut sekali!

Yafiq tersenyum senang. Dugaannya terbukti. Kakak-kakaknya bohong. Dia merasa lega.

Bocah itu mengeratkan rengkuhan. Dia menyentuh lengan Yumna. Lembut, pikirnya. Harum pula. Dia beralih mencubit pipi Yumna. Kenyal. Dada Yafiq berdebar-debar. Antusias.

Dia mau yang seperti ini!

Yafiq tenggelam dalam dunianya. Tak peduli pada Cungkring yang menatapnya aneh. Dia jatuh hati pada Yumna. Rasanya seperti menemukan mainan baru.

Hanya saja, versi yang ini berbeda. Aromanya wangi, kulitnya lembut, pipinya kenyal, bibirnya kecil, tubuhnya mungil, tatapannya berbinar. Menggemaskan.

Akan tetapi, momen membahagiakan itu harus segera berakhir. Irsyad sudah kembali. Dia langsung mengambil alih Yumna.

"Kau malah kelihatan senang, padahal aku berharap dia mengencingimu tadi," komentar Cungkring sambil menggaruk kepala.

Yafiq tak merespon. Dia fokus memperhatikan Yumna, yang begitu tenang di dalam dekapan sang paman.

"Irsyad," panggilnya pelan.

"Apa?"

"Dia boleh kubawa pulang?" tanya Yafiq serius. Dia berencana memamerkan Yumna kepada kakak-kakaknya.

"Entahlah. Coba izin ke mamaknya," sahut Irsyad tak kalah serius.

"Kau yakin? Dia suka kencing sembarangan. Suaranya berisik pas menangis. Kerjaannya makan terus. Tidak bisa diajak main sepak bola," timpal Cungkring.

"Mereka akan mengizinkanku?" tanya Yafiq penuh harap. Dia tak peduli pada penyampaian si Cungkring.

"Coba saja. Kau tunggu di sini. Mereka mungkin balik sebentar lagi."

"Boleh?"

Irsyad mengangguk. Mereka duduk di ruang tamu sempit itu. Menunggu tuan rumah pulang.

Lupa pada janji bertemu di lapangan. Lupa pada teman-teman yang menanti kabar. Mereka asyik berbicang-bincang. Obrolan khas anak kecil.

Yafiq sesekali mencium pipi Yumna gemas. Dibalas pukulan kecil di wajahnya oleh jari-jari mungil. Tumpah sudah seluruh perasaan Yafiq untuk batita yang baru ditemuinya.

Penantian mereka akhirnya membuahkan hasil. Sepasang suami istri dan batita lainnya telah kembali. Yafiq tidak terlalu memperhatikan. Saat itu, Yusra terkulai lemah di bahu Pak Yahya.

"Kak, ini temanku, Yafiq. Dia mau minta izin bawa Yumna ke rumahnya," tutur Irsyad tanpa ragu.

Sepasang suami istri itu saling pandang. Mereka baru menginjakkan kaki di rumah, dan telah disuguhi permintaan aneh. Namun, bukannya marah, mereka malah tertawa kecil.

"Kau anaknya Pak Ibrahim, bukan?" tanya Bu Hajar. Dia pernah datang ke akikah Yafiq dulu. Kadang, dia juga beberapa kali melihat bocah itu bersama mamaknya.

"Iya, Tante."

Kehadiran Yafiq bagai hiburan tersendiri di tengah kekalutan hati. Permintaannya cukup menghibur. Lantas dia pun menanggapi dengan candaan.

"Kenapa kau mau bawa pulang anakku ke rumahmu?"

"Suka, Tante. Saya mau jadi kakaknya Yumna," jawab Yafiq mantap.

Lagi, sepasang suami istri itu saling tatap. Serta-merta tersenyum geli. Ada-ada saja, pikir mereka.

Pak Yahya tertarik menyahut, "Nah, Yafiq. Kalau sudah besar, kau baru boleh bawa Yumna ke rumahmu."

"Benar, Om?"

"Iya, saat kau sudah yakin bisa jadi kakak yang baik untuk Yumna, mampu membahagiakannya, datanglah. Sekarang, kau sendiri masih kecil. Siapa yang akan mengurus Yumna?" canda Pak Yahya.

"Benar, ya, Om, Tante?" tuntut Yafiq.

Dua orang dewasa itu terbahak sambil mengangguk-angguk. Bagi mereka, ucapan itu hanya sekadar lelucon, penghibur bagi hati yang dirundung gelisah. Sekadar angin lalu.

"Baik. Saya pasti datang untuk mengambil Yumna!"

Mereka tak pernah tahu, bahwa Yafiq, bocah berusia delapan tahun itu, benar-benar serius dengan ucapannya.

-Bersambung.

Aihh.. Yafiq kiyut banget ye 😆

13 Juni 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top