Isi Hati Yumna

Yafiq membenahi posisinya. Dia bersandar pada headboard ranjang. Agak bingung ketika menemukan satu nomor asing mengirim WhatsApp padanya.

Assalamualaikum, Bang. Aku Yasril. Ini ada titipan dari Yumna. Tidak perlu direspon. Tenang saja, aku belum sempat membacanya.

Lelaki itu mengunduh file berformat pdf tersebut. Dia tidak akan bertanya-temya kenapa Yasril mewakili Yumna menyampaikan pesan. Sebab, kabar pernikahan mereka telah tersebar.

Yafiq terkejut pada mulanya. Mereka sangat pandai menyembunyikan informasi. Namun, dia bisa mengerti alasan di balik tindakan itu. Agak aneh jika mereka menikah terang-terangan pasca Yumna baru saja resmi bercerai. Tentu mereka tidak ingin memancing rumor buruk. Lagi pula, Yasril dan Yumna saling mengenal sejak kecil. Tidak terlalu mengherankan jika mereka memutuskan bersama.

Sedikit disayangkan memang, tapi Yafiq lumayan lega setelah mengetahui bahwa Yumna didampingi oleh pemuda yang tepat. Dia serta-merta mendoakan kebahagiaan untuk pasangan itu.

Yafiq menarik napas singkat. Tidak baik terus mengenang masa lalu. Lagi pula, dia sudah menemukan jalan hidup baru. Semestinya dia segera membaca pesan yang baru masuk ke ponselnya ini.

Halo, Kak.

Aku yakin, Kakak pasti terkejut menerima surat ini. Aku harap Kakak berkenan membaca sampai akhir. Aku akan langsung mengatakan intinya.

Kakak pernah bertanya, apa aku bahagia menikah denganmu?

Jawabanku, iya. Setidaknya, aku pernah bangga memiliki orang seperti Kakak di sisiku. Sayangnya, kita memang tidak ditakdirkan untuk terus bersama.

Aku tidak bisa memahami ketidaktegasan Kakak dulu, pun Kakak yang tidak bisa mengerti beban mentalku. Masalah yang datang tidak ada habisnya. Kita pun menyerah. 

Setelah aku pikir-pikir, kita sebenarnya punya kemiripan. Kita tunduk kepada perintah mamak. Kakak tidak tahu cara untuk menyanggah, pun aku. Kita sama saja. Bedanya, Kakak punya kualitas dan dapat dibanggakan, sedangkan aku nol besar.

Dulu, saat Kakak menjatuhkan talak padaku, aku benar-benar ingin agar Kakak merasa bersalah seumur hidup. Kakak menjadi mimpi burukku. Aku trauma karena perceraian itu. Maaf atas pikiran picikku.

Kini, aku telah sadar, bukan Kakak atau aku yang salah. Keadaan yang tidak berpihak pada kita. Apa boleh buat, pernikahan kita memang dimulai dengan paksaan. Wajar bila berujung perpisahan.

Lewat surat ini, akan kukatakan, seandainya Kakak merasa bersalah padaku walau sedikit saja, tolong lupakan. Hilangkan beban di hati kakak. Itu berefek buruk untuk kesehatan. Hiduplah dengan tenang, baik sendirian atau bersama pasangan baru.

Sebab, aku di sini, di tempat yang tidak pernah aku bayangkan, telah berhasil menemukan kebebasan. Saat Kakak membaca surat ini, artinya aku telah melepaskan masa lalu.

Terima kasih untuk senyum, luka, rasa sakit, dan segala hal yang pernah kita bagi bersama. Kelak, di masa depan, jika kita bertemu lagi, aku harap kita sama-sama bahagia. Meski aku tahu itu nyaris mustahil.

Kuucapkan selamat tinggal dengan benar pada Kakak. Tidak perlu merespon karena itu tindakan sia-sia. Pada akhirnya, kita hanyalah sepasang manusia, yang dipersatukan untuk belajar menerima perpisahan.

Yafiq termenung lama. Mencerna kata per kata, kalimat demi kalimat, hingga tuntas. Kemudian seulas senyuman amat tipis terbentuk. Sebuah batu besar seolah terangkat sempurna dari dadanya.

"Kau benar. Kuharap, kita berjumpa lagi dalam kondisi terbaik, Na."

*

Yusra berguling di atas kasur. Tangan kanannya menggenggam ponsel. Kerutan tipis muncul di dahinya.

Dia baru saja mendapatkan kiriman file dari Yumna melalui kontak Yasril. Begitu menurut penjelasan singkat yang tertera di layar. Yusra merasakan keganjilan.

Sebegitu enggan Yumna menghubunginya hingga harus melewati Yasril? Apa dia berniat pamer status?

Memang benar, sejak pindah ke Jakarta, Yumna hampir tidak pernah menghubungi penghuni rumah ini. Sepertinya hanya Zaki yang masih berkomunikasi dengannya. Yumna selalu menutup diri.

Yusra mencebik. Tak ingin terlalu ambil pusing, dia pun mengunduh file tersebut dan membaca isinya dengan saksama.

Hei, Yusra.

Apa kau bahagia? Apa kau menikmati hidupmu? Apa kau senang dengan seluruh pencapaianmu hingga detik ini?

Apa kau tidak ingin membantah perintah mamak meski sekali? Apa kau tidak terpikir untuk pergi dari rumah? Apa kau tidak capek memenuhi ekspektasi orang lain terhadapmu?

Yusra, aku selalu merasa bahwa hidupku sangat malang. Aku yang paling menderita di muka bumi. Aku membenci diriku sendiri.

Namun, setelah kutelaah kembali, situasi kita tak jauh berbeda. Kita terlahir dari rahim yang sama, tumbuh di bawah satu pengasuhan, bahkan punya muka yang serupa.

Sejak kecil, kita hidup dalam persaingan. Kau dan aku terus diperbandingkan. Hingga hubungan kita menjadi terlampau jauh, tak selayaknya saudara sedarah.

Sebenarnya, dari mana kesalahan ini bermula? Apa karena aku tak sepintar kau? Apa karena aku tak sepopuler dirimu?

Sebab, meski teramat samar, aku ingat kita pernah punya kenangan manis masa kecil. Sebelum masuk sekolah, yang aku tahu, kita pernah sangat dekat.

Kala itu, mamak dan bapak sedang keluar. Paman Irsyad tertidur saat menjaga kita. Aku mengajakmu bermain di bawah hujan. Kita berlarian sambil tertawa. Paman terjaga. Dia sangat marah, tapi kita justru diam-diam tersenyum girang di belakangnya. Saat malam tiba, kau demam. Mamak membentakku, lalu kau membelaku. Kita sama-sama menangis hingga beliau luluh.

Apa kau juga ingat? Atau, itu cuma halusinasiku semata? Hanya cerita karangan yang diam-diam kuimpikan?

Ah, sudahlah. Kalaupun benar, kisah tersebut telah usang. Yang tertinggal dalam ingatan adalah perselisihan. Jarak yang membentang di antara kita amat panjang. Jalan kita berseberangan.

Lewat surat ini, aku ingin menyampaikan beberapa hal. Semoga kau berkenan membaca sampai akhir.

Pertama, aku minta maaf karena membuatmu patah hati. Kau mengagumi Kak Yafiq sejak lama, tapi aku justru yang menikah dengannya. Aku merasa bersalah. Terlebih, pernikahan kami berujung perpisahan. Jika kau yang bersanding dengannya, mungkin akan berbeda cerita.

Situasi serupa kembali terulang ketika perasaanmu beralih pada Yasril. Aku lagi-lagi menahannya di sisiku. Tidak usah menyangkal. Kau mudah ditebak. Namun kali ini, aku tidak bisa minta maaf. Karena, aku juga mencintainya.

Kedua, sampaikan salamku pada Zaki, bapak, dan mamak.

Beritahu Zaki untuk berhenti membuatmu kesal. Kalian jangan sering-sering berdebat. Jangan bikin mamak dan bapak pusing. Mereka sudah lanjut usia. Jika bukan kalian, siapa lagi yang akan memerhatikan mereka?

Sampaikan pada bapak untuk tidak terlalu keras dalam bekerja. Anak-anaknya sudah dewasa. Waktunya beliau istirahat. Tolong tambahkan, aku bangga terlahir sebagai anak beliau.

Dan untuk mamak, aku menyayanginya. Aku selalu berharap, beliau memedulikanku sebagaimana rasa pedulinya padamu, mencintaiku sebesar cintanya padamu, menghargai keberadaanku seperti penghargaannya terhadapmu, dan membanggakanku seperti beliau bangga padamu.

Sejak kecil, aku senantiasa diam-diam menunggu suatu momen ketika mamak berkata, bahwa beliau bersyukur telah melahirkanku ke dunia. Bahwa aku bukanlah anak yang merepotkan. Bahwa aku layak dicintai. Bahwa aku berguna sebagai manusia. Akan tetapi, tampaknya keinginanku mustahil, terlalu muluk. Saat aku terjatuh, saat tak seorang pun dapat dijadikan sandaran, mamak tetap berlaku tegas terhadapku. Pada akhirnya, aku pun menyadari, dulu atau sekarang, di mata mamak cuma ada kau. Bagi beliau, aku bukan siapa-siapa, juga tidak akan pernah jadi apa-apa.

Oleh karena itu, meski aku menghilang, seharusnya kalian baik-baik saja, bukan?

Jangan mencari tahu keadaanku lewat Yasril lagi. Dia sudah cukup terbebani dengan mengurusku. Biarkan dia menggapai impiannya sendiri.

Terakhir, aku tahu kau cerdas, Yusra. Kau pasti paham maksudku. Jadi, tolong sampaikan surat ini kepada mereka, oke? Jangan menyembunyikannya.

Dengan ini, aku menyatakan tidak lagi jadi bagian dari kalian. Lupakan aku. Aku sudah bahagia dan memulai hidup baru. Aku tidak mau pulang ke kampung halaman, selamanya. Aku tidak ingin terluka, lagi dan lagi.

Selamat tinggal, Yusra. Kau saudaraku yang berharga. Hiduplah dengan baik.

Yusra tertegun. Dia tak menunjukkan reaksi apa pun selama sekian detik. Lalu tanpa kata, tanpa aba-aba, air matanya mengalir begitu saja.

Untuk beberapa alasan, dia mampu memahami kesepian yang menimpa saudarinya itu selama bertahun-tahun. Kalimat demi kalimat yang tertulis dalam surat ini, terasa amat menyesakkan dada.

Di sisi lain, walau Yumna terkesan hendak memutuskan hubungan dengan keluarga, berdalih tak ingin terluka lagi, tapi dia menemukan sebuah kepiluan di dalam suratnya. Yumna yang dia kenal, tidak mudah mengungkapkan isi hati. Saat itulah, Yusra percaya, sesuatu yang salah telah terjadi. Pasti!

Kalau begitu, apa yang sebaiknya dia lakukan?

Bersambung.

29 Oktober 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top