Hanya Dia, Masih Dia, Tetap Dia

Datanglah kapan saja Anda sempat.

Yafiq sekali lagi menatap layar ponselnya. Senyumnya mengembang. Penantiannya tidak sia-sia. Doanya terjawab.

Kini, setelah 22 tahun terlewati, tiba waktunya bagi Yafiq untuk membawa Yumna ke rumahnya. Seluruh penghalang harus dilenyapkan. Lampu hijau dari Yumna telah didapatkan.

Malam ini, dia hendak berbicara dengan mamaknya, lagi.

Yafiq paham, Mamak mungkin menjadi halangan terbesar dalam hubungan mereka. Yusralah yang diinginkan Mamak menjadi menantu. Berbeda dengan Bapak yang menyerahkan keputusan secara penuh kepadanya.

Lelaki itu bangkit. Dia meninggalkan kamar. Mamak biasanya nonton jam begini. Dugaannya benar. Mamak sedang lesehan di karpet. Menatap serius ke arah layar televisi. Tanpa banyak kata, dia langsung mengambil posisi di belakang mamaknya.

"Bapak mana?" tanya Yafiq sambil memijat kecil punggung Mamak.

"Sudah tidur. Paling-paling capek mengawasi pemotongan kayu seharian ini."

Yafiq mengangguk-angguk. Bapaknya punya banyak lahan. Sebagian disewakan, dikelola sendiri, dialihfungsikan menjadi areal peternakan, ditanami pohon jati, jambu mente, ketapang, dan lain sebagainya. Dia tidak terlalu mengerti. Intinya, beliau tuan tanah.

"Kerjaan Mamak lancar? Siswa-siswa masih bandel? Gurunya rajin masuk?"

"Sampai kiamat juga, masalah pendidikan di negeri kita, ya sudah begitu. Guru yang malas mengajar, siswa yang tidak mau diajar, fasilitas yang kurang lengkap. Macam-macam. Apatah lagi, bagi sekolah di pelosok seperti kita ini. Dijalani saja, lah."

Mamak adalah akademisi. Menjabat sebagai kepala SMA. Setiap hari kerjanya berinteraksi dengan aneka ragam pribadi manusia.

"Satu dari sepuluh, di angka berapa Mamak mau lihat Yafiq segera menikah?"

"Seratus."

Yafiq tertawa kecil. "Alhamdulillah kalau begitu. Kira-kira, kapan Mamak dan Bapak punya waktu luang? Kita berkunjung lagi ke rumahnya Pak Yahya."

Hening agak lama.

"Yafiq," panggil Mamak rendah.

"Ya?" Yafiq menunggu harap-harap cemas. Bersiap untuk kemungkinan terburuk.

Mamak tiba-tiba berbalik. Tanpa aba-aba, dia memukuli pundaknya. "Kau ini ..., jangan bilang kau sedang  merayu Mamak agar menyetujui keinginanmu menikahi gadis itu? Lagi?! Kau tak malu ditolak terus, hah?"

"Namanya Yumna, Mak."

"Hah! Mamak tidak mau tahu! Gadis sok jual mahal begitu, tak usahlah diperjuangkan! Sudah cukup Mamak bersabar karena ulahnya! Huh, sampai puas Mamak menyindir Bu Hajar di pasar! Biar dia paham sakit hatinya Mamak. Supaya dia belajar didik putrinya yang satu itu!"

"Di pasar ..., apa, Mak?"

"Warga di kampung ini sudah tahu. Siapalah itu yang kurang kerjaan menyebarkan berita. Mamak ditanyai terus sama ibu-ibu. Lalu kebetulan, Mamak ketemu Bu Hajar di penjual sayur. Ya, langsung Mamak labrak biar kapok. Jangan-jangan dia itu yang sebarkan gosip! Mau bikin malu keluarga kita!"

Yafiq tertegun. Lantas memeluk sang Mamak. Menyandarkan dagu di pundak wanita yang telah melahirkannya. "Jangan suuzan. Mamak mengenal baik keluarga Pak Yahya. Mereka bukan orang seperti itu."

Pantas saja seluruh rekan kerjanya bertingkah aneh hari ini. Mereka sesekali memandangnya prihatin. Di lain kesempatan, dia mendapati gadis-gadis berbisik rusuh. Ternyata kabar tentang dirinya dan Yumna telah tersebar, batinnya.

Mamak menghela napas panjang. Dia mengelus kepala putranya. "Dari sekian banyak manusia, kenapa kau harus jatuh cinta pada gadis itu?"

"Yumna, Mak."

"Iya, iya. Si Yumna. Kenapa harus dia?"

"Ya, namanya juga perasaan. Mana bisa diatur-atur."

Mamak mencubit pinggang Yafiq. "Serius! Kau bisa pilih gadis lain! Ayo, sebutkan kriteriamu, Mamak bantu carikan."

"Mamak sendiri, kenapa tidak setuju kalau aku sama Yumna?"

"Kau pernah dengar rumor buruk tentangnya, 'kan?"

"Dia yang selalu gagal, pembawa sial, pengangguran, dan seterusnya itu?"

"Ada lagi. Kau lihat penampilannya? Kusut. Muka-muka pemalas. Berbeda sekali dengan kakak kembarnya. Bagaimana nanti dia akan merawatmu? Mamak hanya khawatir, Nak. Begini saja, kau lanjutkan perjodohan sama Yusra, bagaimana? Muka mereka kan, mirip-mirip. Malah si Yusra kelihatan lebih manusiawi."

"Masalahnya terletak padaku, Mak."

"Maksudmu bagaimana?"

Yafiq mengurai pelukan. Dia menatap mamaknya lurus-lurus. "Dulu, sekarang, ataupun nanti. Aku hanya mau dia, masih dia, tetap dia," tegasnya.

Laki-laki itu paham betul, apa arti pandangan mamaknya. Rasa prihatin. Betapa tidak, dirinya terlihat akan putus asa bila tidak berpasangan dengan Yumna.

Mau bagaimana lagi, memang hanya dia yang Yafiq inginkan. Sejak kecil, sampai detik ini. Juga, di masa yang akan datang.

Dia sudah pernah mencoba move on. Pacaran semasa SMA. Gagal. Dia menyerah di tengah jalan. Alasannya ada dua. Pertama, bayang-bayang Yumna enggan hilang. Padahal, mereka berbeda lokasi. Yafiq melanjutkan sekolah di Kota Provinsi kala itu. Kedua, pacaran tidak berguna sama sekali. Hanya menghabiskan dana dan waktu.

Yafiq sebetulnya tidak paham. Kapan tepatnya perasaannya untuk Yumna bertransformasi sedemikian hebat. Padahal, di pertemuan pertama mereka, dia memandang Yumna tak lebih bagaikan mainan baru. Namun memang, dia perlahan mulai membangun kedekatan mereka sejak saat itu.

Yafiq jadi lebih sering meminta Irsyad untuk mempertemukan mereka. Secara sukarela menawarkan diri menemani Irsyad bila kebetulan tengah menjaga Yumna. Intinya, Yafiq sendiri yang berpesan, agar Irsyad mengabarinya bila berniat menginap di rumah sang kakak. Pada tahap yang lebih ekstrem, dia bahkan nekat datang ke rumah Pak Yahya sendirian demi bermain dengan Yumna.

Semula orang tua Yumna terkejut, tetapi karena Yafiq terus mendesak, dan makin hari makin sering muncul, mereka merasa terbiasa. Tidak lagi keberatan jika anak mereka dijaga olehnya. Terlebih, Pak Yahya sangat sibuk di ladang. Bu Hajar mengurus rumah sendirian. Di sisi lain, kondisi fisik Yusra kurang baik. Alhasil, Yumna sering kali terpaksa dititipkan ke orang lain. Secara tidak langsung, keberadaan Yafiq cukup membantu mereka.

Singkat cerita, walau belum bisa membawa pulang Yumna ke rumahnya, Yafiq berhasil mewujudkan perannya sebagai kakak yang baik.

"Jadi, sama sekali tidak ada kesempatan bagi gadis lain?"

Yafiq menggeleng. "Mamak ingat tidak, dulu sekali, pas SD, aku pernah dimarahi karena sering pulang telat? Di rumah tidak betah. Rajin main ke luar."

"Mamak sudah tua, Nak. Mana ingat masa kecilmu sampai sedetail itu."

"Biar aku ingatkan kalau begitu. Jadi, aku pernah minta adik sama Mamak. Tapi, tidak dikasih. Saat itu, aku sebenarnya menemukan adik baru di luar rumah. Keponakannya si Irsyad."

Kening Mamak berkerut. Beliau tampak berpikir keras. "Tunggu, itu karena kakak-kakakmu, bukan? Mereka sering mengejekmu bau pesing."

Pasangan ibu dan anak itu tertawa. Merasa konyol bila mengingat kenangan tersebut. "Iya, benar. Nah, yang aku maksud barusan, adik baru, keponakannya si Irsyad, ya Yumna. Mungkin Mamak ingat, aku sampai menangis gara-gara sempat tidak diizinkan main ke luar lagi. Padahal, aku mau ketemu Yumna."

Mamak mengangguk-angguk. Teringat sesuatu yang luar biasa. "Kalau tidak salah, Mamak melarangmu main karena nilaimu turun, bukan?"

"Iya! Setelahnya, aku benar-benar berhenti main dengan Yumna. Umurku sepuluh tahun. Mamak sudah tidak mempan kalau dirayu pakai tangisan. Berubah jadi tegas. Sekalinya aku punya kesempatan main, Yumna ternyata sudah punya teman lain. Komunikasi kami langsung terputus. Beda lingkungan pergaulan."

"Oh, ternyata si Yumna yang bikin nilaimu turun!"

"Mak, bukan itu intinya. Jangan salah fokus," ucap Yafiq tenang. Dia tidak terlalu berharap Mamak akan terkesima dengan cerita tersebut. Karena memang, gadis si pemilik kenangan sendiri, Yumna, bahkan tidak mengingatnya.

"Kau ..., serius ingin menikahi gadis itu? Siap dengan segala risiko? Termasuk komentar negatif orang yang mungkin bermunculan?"

"Lebih dari siap. Aku hanya butuh dukungan Mamak," kata Yafiq yakin dan mantap.

"Ya sudah, Mamak bisa apa kalau kau sendiri yang memaksa. Jadi, kapan rencananya kita ke rumah mereka? Mamak harus bawa apa biar Bu Hajar tidak tersinggung?"

Senyum Yafiq sontak mengembang. Dia lantas memeluk mamaknya erat. "Terima kasih, Mak!"

Dulu, beberapa puluh tahun silam, mereka pernah sangat dekat. Sayang, hanya Yafiq seorang yang mengingatnya sampai sekarang. Walau detail kenangannya telah memudar, tapi hatinya takkan lupa.

Semua itu terjadi sebelum Yumna berusia lima tahun. Lalu setelahnya mereka hidup seperti orang asing. Hanya tahu nama. Sesekali, mereka berpapasan di jalan, atau kebetulan bertemu di rumah kakek Yumna alias ayah Irsyad, lalu saling melempar senyum kesopanan. Momen semacam itu pun amat jarang terjadi.

Tak apa bila Yumna melupakan kenangan mereka. Sungguh, tak mengapa. Mungkin dia tidak cukup berkesan untuk diingat oleh gadisnya.

Toh, dia tetap bisa memantau perkembangan Yumna lewat Irsyad, si Cungkring, dan Yusra.

Sekarang, untuk menebus semua masa lalu mereka, Yafiq akan menciptakan kenangan baru. Hanya dia dan gadis kecilnya, Yumna.

-Bersambung.

Qoutes of the day: Aku percaya, kita hidup dalam ikatan kausalitas. Apa yang terjadi di masa depan, adalah hasil dari pilihan kita di masa lalu. Perasaan, apa pun jenisnya, adalah bentuk lain dari perbuatan. Mereka sama-sama berpengaruh terhadap manusia. Hidup ini ditentukan oleh bagaimana cara kita memandang dunia.

[Ingat-ingat quotes ini ya, gaees).

14 Juni 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top