Genap Tiga Tahun
"Kau dengar Yafiq? Apa Mamak bilang dulu? Tidak seharusnya kau jadikan perempuan itu istrimu!"
Yumna berhenti mendadak. Dia tersentak. Niatnya urung untuk bergabung di dapur. Terpaku di balik tembok, di dekat pintu penghubung.
"Mak, jangan bilang begitu. Kalau Yumna dengar, dia bisa tersinggung."
Perempuan itu mengulas senyum datar. Sekarang, apa lagi masalahnya? Kenapa hidupnya jadi mirip sinetron begini?
"Tidak mungkin. Mamak yakin dia masih tidur. Coba lihat, sudahlah pemalas, sekarang dia tak sanggup beri kau keturunan!"
"Mamak ..., memang belum waktunya. Kami sudah berusaha."
"Hah! Mana boleh begitu? Ini sudah tiga tahun! Kau mau tunggu sampai kapan?"
Hening. Tak terdengar respon. Yumna menahan napas. Ternyata masih masalah yang sama.
"Yafiq ..., bagaimana kalau kau menikah lagi?"
"Itu akan menyakiti Yumna. Tidak seorang pun ingin diduakan."
"Tidak! Dia harus mau. Salah sendiri mandul. Apa yang kau harapkan? Dia tidak lebih baik dari kakak kembarnya!"
"Mak, tidak boleh menghimpun saudara dalam satu periode pernikahan."
Yumna terpekur. Dadanya berdebar-debar. Sebiji keringat menetes di dahinya.
"Gampang! Ceraikan saja si Yumna. Kasus selesai. Kau bisa memulai hidup baru. Percayalah, masih banyak di luar sana yang bersedia menerimamu. Kenapa kau bertahan dengan perempuan penyakitan?"
"Mamak ...."
Tidak ada pembelaan dari Yafiq. Apakah lelaki itu terkelu, atau malah membenarkan kalimat tersebut. Entahlah.
Satu hal yang pasti, kekhawatiran memenuhi relung hati Yumna. Debaran di dada semakin menggila. Dia tak sanggup. Segera, tanpa aba-aba, Yumna berbalik, setengah berlari menuju kamarnya.
Tidak ada air mata. Hanya gerak acak yang diperagakan perempuan itu. Dia membuka laci. Mengambil sebuah benda kecil, tipis, dan tajam.
Sudah cukup!
Perempuan itu menatap nanar silet di tangannya. Dia jatuh terduduk di lantai. Pikiran-pikiran buruk menyergap tanpa ampun. Menghantam kepalanya dari pelbagai sisi.
Sejak lama dia merencanakan kematiannya sendiri. Namun, ketakutan masih mendominasi. Kini, telah lenyap alasan untuk bertahan.
Yumna mulai mengiris lengannya. Satu titik. Dua titik. Tiga titik. Lama-lama darah segar berkumpul dan merembes di kulitnya.
Kilasan masa lalu berputar-putar di benaknya. Dia sendiri. Berjalan tersaruk-saruk sambil menahan perih. Tidak seorang pun peduli.
Kenapa hidupnya terlampau menyedihkan?
Sejak kecil, seluruh impiannya tampak jauh dari jangkauan. Dia mencoba bersabar. Namun, seiring kedewasaan, keberhasilan tak kunjung menyapa. Dia gagal. Tertolak. Tertindas. Padahal, Yumna hanya menginginkan hal sederhana.
Sebagai manusia, dia gagal. Sebagai perempuan, dia pun gagal. Kini, status pernikahannya ikut terancam. Yumna adalah contoh mutlak dari sampah masyarakat.
Setitik cairan bening membasahi pelupuk matanya. Perih di kulit sedikit mengobati hatinya.
Mungkinkah mati adalah satu-satunya solusi?
Jika memang demikian, Yumna bersedia. Tak apa. Mereka tidak akan menangisi kepergiannya. Tidak seorang pun menghargai arti hadirnya selama ini.
Keluarga, kerabat, kekasih, semua hanya status formalitas belaka.
Dia ... menyerah.
"Yumna! Apa yang kau lakukan?!"
Kejadiannya cepat sekali. Yafiq tiba-tiba masuk. Menepis tangan istrinya. Menjauhkan benda tajam itu dari jangkauan Yumna.
Di saat seperti ini, walau dadanya berdentum keras, dia tidak boleh ceroboh. Dengan cepat, Yafiq mengambil kotak P3K. Dia bergegas memberi pertolongan pertama.
Pergelangan tangan Yumna tersayat, tetapi tidak sampai mengenai titik vital. Yafiq menekan luka menggunakan kain kasa. Setelah yakin darah berhenti keluar, dia mengajak Yumna ke kamar mandi. Membersihkan jejak-jejak darah dengan air mengalir.
Yumna menurut. Dia mengamati gerak-gerik sang suami. Bagaimana Yafiq menuntunnya duduk di tepi kasur, lalu membalut lukanya begitu telaten.
"Kenapa ... Kakak menyelamatkanku?"
Yafiq mendongak. Pandangan mereka bertemu. "Kau bodoh, hah?! Kau mau mati?" bentaknya. Manifestasi dari kekhawatiran yang memuncak.
Perempuan itu mengerjap. Cairan bening susul-menyusul membasahi pipinya. Tangisnya tumpah. Dia terisak.
Kepalanya menggeleng kuat. Jauh di dalam hati, sepercik kelegaan menyeruak.
Yumna takut. Dia tak ingin mati. Tidak dengan cara bunuh diri. Dia hanya berusaha mengalihkan kesakitan di dadanya.
Baru pertama kali Yumna melakukan hal nekat begini. Dia sudah tak kuasa menahan sesak. Palu godam seakan dihantamkan ke dadanya. Setiap tarikan napas, terasa sangat menyayat.
Yafiq bergeming. Rasa khawatirnya bercampur amarah. Dia mendadak muak. Entah kepada siapa emosi negatif itu tertuju. Apakah Yumna, atau malah diri sendiri.
"Kau kenapa?" tukasnya datar.
Yumna kesulitan menjawab. Suaranya putus-putus. Dia terbata.
"Tunggu sebentar, aku ambilkan minum." Yafiq langsung bangkit. Dia menjauh.
Kejadian ini teramat membingungkan. Beberapa menit yang lalu dia baru selesai berdebat dengan mamaknya. Masalah yang itu-itu saja.
Yumna pemalas dan tak sanggup memberikan keturunan. Dia mandul. Titik. Begitulah anggapan mamaknya.
Terus terang, Yafiq lelah. Dia sudah berkali-kali menjelaskan. Nihil. Mamaknya terus mendesak.
Mereka bisa apa kalau Tuhan belum berkehendak?
Manusia hanya mampu berusaha, hasil akhir tetaplah keputusan-Nya. Kelahiran dan kematian diluar kuasa mereka.
Tahu pembelaannya berbuah penyangkalan, Yafiq memilih pergi. Kembali ke kamarnya karena hendak membangunkan sang istri. Siapa sangka, pemandangan yang menyapa sungguh di luar dugaan.
Kenapa? Satu kalimat tanya yang menari-nari di kepala.
"Minumlah," perintah Yafiq. Tak sampai lima menit dia sudah kembali dari dapur.
Dia mengamati Yumna lamat-lamat. Meneliti raut wajah perempuan yang sudah menemaninya selama tiga tahun belakangan.
Yafiq tertegun. Dia menelan ludah. Terasa getir.
Kapan terakhir kali dia memperhatikan Yumna seintens ini?
Sorot mata perempuan itu tampak kosong. Gurat kesedihan terlukis samar-samar. Bibirnya agak pucat. Mukanya bertambah kusam.
"Kakak mau menceraikanku?"
Yafiq meringis. Sepertinya Yumna mendengarkan percakapan mereka tadi. "Kau ... dengar?" gumamnya gamam.
"Jadi benar, Kakak mau menceraikanku?" ulang Yumna.
Yafiq diam. Perasaan tak nyaman menyelusup di relung jiwa. Dia merasa tertangkap. Sejujurnya, Yafiq sedikit terpengaruh omongan mamaknya.
"Jawab, Kak," kecap Yumna hambar.
"Apa kau ... pernah bahagia selama menikah denganku?" Yafiq enggan merespon. Dia justru terpikir untuk memastikan perihal lain.
Jika diingat kembali, Yumna jarang tertawa. Mungkin tidak pernah. Tak satu pun memorinya menunjukkan momen semacam itu. Sekuat apa pun dia mencari, hasilnya nihil.
Tampang Yumna selalu kusut. Terlihat malas merawat diri. Tidak bergairah. Bagaikan orang tertekan.
Oh, tidak!
Perkataan mamaknya serta-merta terngiang. Menambah nilai kebimbangan Yafiq. Lelaki itu berusaha menguatkan diri.
Dia mengenang lagi perjuangannya dulu dalam meyakinkan Yumna agar mau menikah.
Sial.
Yafiq beringsut mendekati sang istri. Dia menangkup wajah Yumna dan mencium bibirnya. Agak lama. Hambar. Tak ada balasan.
Yafiq mundur. Ditatapnya Yumna dalam-dalam. Menanti respon. Namun kosong, perempuan itu tetap bergeming.
Yafiq terpejam sejenak. Kediaman Yumna berarti satu hal secara mutlak. Ketidakbahagiaan.
Tepat detik itu, kekecewaan Yafiq mencuat ke permukaan. Egonya sebagai lelaki terluka.
Pernikahan ini ..., apa yang telah mereka lalui, ternyata tidak berkesan bagi Yumna.
"Aku tanya sekali lagi, apa kau bahagia menikah denganku?" gumam Yafiq lirih.
Yumna tersenyum datar. Pertanyaan itu ..., apa maksudnya?
"Apa jawabanku akan memengaruhi keputusan Kakak?"
"Jawablah. Jangan berputar-putar." Datar.
Sekarang, semuanya jelas. Yafiq mencari-cari alasan untuk menceraikannya. Pertanyaan barusan hanyalah omong kosong. Apa pun respon Yumna, keputusan Yafiq sudah bulat.
Mereka berpisah. Titik.
"Kakak tidak mengharapkan kata-kata manis dari orang sepertiku, 'kan?" tutur Yumna. Sekalipun hatinya retak, jiwanya menjerit, dia enggan menunjukkan kehancuran di hadapan lelaki itu.
Yafiq menggeleng. Kesimpulannya tepat. Memang benar, Yumna tersiksa atas pernikahan mereka.
Pasti menyakitkan bagi perempuan itu untuk selalu mendengar cibiran mamaknya nyaris setiap waktu. Lihat saja, Yumna bahkan nekat melukai diri sendiri. Yafiq tidak ingin menambah beban. Pun, dia tidak sanggup bertahan dengan seseorang yang menafikan seluruh usahanya.
Jika diteruskan, hubungan mereka hanya akan menorehkan luka. Bumerang bagi kedua pihak. Mereka telah sampai di penghujung jalan. Buntu.
Untuk yang terakhir kali, Yafiq ingin mengenang ikatan mereka. Dia lagi-lagi mencium bibir Yumna. Tak peduli meski hanya sepihak. Dia berharap ada sepercik rasa yang akan menggoyahkan keputusannya.
Akan tetapi, percuma. Yumna telah menutup kisah mereka. Nilai peluang adalah nol bagi hubungan ini.
"Maaf. Mamak terus mengusikmu. Aku kurang perhatian padamu. Kau menangis di pelaminan, kesakitan setiap aku menyentuhmu, kurang merawat diri, semua itu kesalahanku. Walaupun begitu, sebenarnya aku masih ingin kita bersama. Namun, sepertinya kau menghendaki sebaliknya. Karena itu, aku membebaskanmu. Jangan ulangi perbuatanmu tadi. Pulanglah ke rumah orang tuamu."
Yumna terkekeh. Tidak sejalan dengan cairan bening yang bertumpuk di sudut mata. Dia mati-matian mencoba tegar. Sia-sia. Pertahanannya runtuh.
Laki-laki ini ..., benar-benar kurang ajar. Betapa kata-katanya teramat menggelikan. Dia bertingkah seolah Yumna yang menginginkan perpisahan.
Ah, jadi, beginikah akhirnya?
Semua berujung di usia pernikahan yang ketiga. Satu lagi rekor kegagalan Yumna.
Sekarang, bagaimana dia akan menjalani hidup?
Yumna bangkit. Menatap Yafiq dengan seluruh perasaannya. Paling tidak, di penutup episode kisah mereka, dia mau lelaki itu sadar betapa terluka dirinya.
Dia ingin Yafiq benar-benar merasa bersalah kepadanya. Seumur hidup. Bukan sekadar momentum sesaat yang penuh kamuflase.
Yumna berbalik, seiring langkahnya yang menjauh, dia membisikkan kalimat penuh keputusasaan dalam hati.
Bolehkah ..., sekali saja, dia kembali ke masa lalu?
Minimal tiga tahun terakhir, ketika semuanya belum terlalu buruk.
-Bersambung.
Gimana pembukanya? Belum-belum udah disodorin perceraian. Haha.
4 Juni 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top