Gejala Kelainan

Suatu hari di tahun 2016.

Yumna baru beranjak dari tempat tidur ketika matahari kian merangkak naik. Dia berjalan menuju ke dapur. Keributan di perutnya sudah tak dapat ditoleransi. Dia butuh makan.

"Sudah lapar, Nak?" Mamak menghentikan aktivitasnya sejenak. Bau amis ikan menusuk indra penciuman Yumna.

Gadis itu mengangguk. "Masih ada nasi sisa semalam, Mak?"

"Oi, kau tidak malu ditanyai begitu?"

Yumna melirik sekilas ke sumber suara, lantas memutar bola mata. Bosan dengan sapaan Yusra yang itu-itu saja. Dasar tidak kreatif.

Mana mungkin dia malu cari makan di rumah sendiri, eh, ralat, maksudnya rumah orang tua.

"Masih, Mak?"

"Ada di atas meja. Tertutup tudung saji. Sepertinya ikan pindang sudah habis. Kau goreng saja telur."

Yumna menghela napas. "Sayur juga tak ada?"

Mamak berdehem keras sembari tetap membersihkan sirip ikan.

Yumna menelan ludah. Membayangkan betapa enaknya ikan cakalang saat digoreng pakai saus tomat. Dagingnya terasa empuk. Ada sensasi pahit alami di lidah.

Gadis itu mengelap sudut bibir. Pandangannya beralih ke arah tudung saji. Dia mengambil piring dan segelas air terlebih dahulu.

Nasi berpindah ke dalam piring, air minum menyusul kemudian. Aduk selama dua menit. Jadilah bubur dadakan ala Yumna. Daripada harus menggoreng telur, dia lebih memilih makan seadanya.

Nasi putih campur air tidak terlalu buruk. Percayalah.

"Ck, ck! Coba lihat anaknya Mamak yang satu itu! Dasar pemalas!"

Ah, berisik. Ini tubuhnya. Suka-suka Yumna mau berlaku bagaimana.

"Memangnya enak cuma makan nasi putih sama air?" Yusra belum berhenti mencerca. Bukan hanya tangannya yang bekerja, kini mulutnya pun mencerocos.

"Asal kenyang," sahut Yumna lempeng.

"Nak, coba kau perhatikan pola makanmu. Jangan sembarangan. Lihat itu bentuk badanmu! Sudah tinggi, kurus macam lidi, tepos pula!"

Sekarang, giliran mamaknya yang berkomentar. Sudah biasa. Yumna hanya perlu diam sembari tetap melanjutkan makannya. Kalau capek, mereka pasti berhenti sendiri.

"Kau dengar tidak, apa yang dikatakan Mamak?" Yusra memekik kecil. Suaranya melengking di bagian akhir. Terlalu nyaring.

"Ya, kapan-kapan aku makan yang lebih bergizi. Mak, tadi beli roti di pasar?"

Yusra memandang keki. Dicabutnya daun kelor satu per satu. Manifestasi dari sebentuk kekesalan.

"Yus, kau bagikan roti tadi untuk adikmu. Masih sisa, 'kan?"

Yusra menggerutu pelan. Raut mukanya terlihat buruk.

Yumna tahu betul ekspresi itu pertanda apa. Alamat kembarannya tak mau bagi-bagi.

"Mak, aku masih lapar," adunya.

"Yus, kasihkan adikmu!"

"Iya, iya. Ada di kamarku. Di dalam lemari!"

Yumna mengernyit samar. Apa urgensi menaruh roti di dalam lemari pakaian?

Duh, si Yusra ini benar-benar pelit. Tak tertolong lagi.

"Oke. Terima kasih, Kak," goda Yumna sebelum benar-benar berlalu.

Dia masih sempat mendengar Yusra berteriak, "Sisakan satu! Jangan diembat semua!"

"Yum, beres-beres rumah. Jangan tidur lagi!" Mamak menambahkan ultimatum.

Baiklah.

Perut sudah kenyang. Waktunya banting tulang. Yumna bergegas mengambil seperangkat alat kebersihan. Dia mulai menggusur kotoran-kotoran yang menempel di lantai.

Sehabis beres-beres, Yumna kembali ke kamar. Dia melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Gadis itu sibuk mengubrak-abrik aplikasi Wattpad demi menemukan bacaan sesuai minat.

Beginilah kegiatannya hampir setiap hari. Tidak menarik, tidak juga membosankan. Serba biasa.

Yumna menghela napas, lagi. Kali ini tak menemukan cerita yang pas di hati. Dia pun terpejam. Tak ada niatan untuk tidur sebetulnya, sama seperti nihilnya itikad membantu di dapur. Yumna hanya ingin menutup mata. Sudah.

Agak lama sebelum Yumna mulai memukul-mukul dadanya.

Ah, perasaan muak itu lagi. Menyebalkan.

Kerutan di dahinya bermunculan. Bibirnya membentuk garis lurus. Sebutir keringat meluncur dari pori-pori kulit.

Yumna bergerak gelisah. Geser kiri-kanan. Putar badan. Tengkurap-terlentang. Sia-sia.

Kelopak matanya terangkat. Dadanya terasa sesak. Yumna segera bangkit. Meraih tumbler di atas meja. Dia minum dengan rakus.

Hah!

Selalu begini di kala dia menghabiskan waktu merenung sendirian. Aura negatif seakan mengintainya dari sudut-sudut kamar. Perasaan sesak, muak, yang dibalut putus asa menggerogoti nyaris setiap waktu. Tatkala kesadaran sanggup diraihnya kembali, serta-merta kekosongan menghantam ulu hati.

Walau demikian, Yumna tetap enggan berbaur bahkan dengan keluargannya sendiri. Bayang-bayang kegagalan selalu menari di pelupuk mata. Melihat kebahagiaan orang lain, mendengar cerita kesuksesan mereka, menatap raut penuh kebanggaan, segumpal darah di dalam dadanya justru kian membusuk.

Yumna mengambil ponselnya. Dia membuka aplikasi note. Salah satu cara mengalihkan keresahannya adalah menulis. Gadis itu sudah punya kebiasaan membuat catatan random sejak kecil.

***

Tahun ajaran baru. Kelas satu SD. Guru mengetes kemampuan membaca para siswa. Banyak yang gagap, bahkan tak bisa sama sekali. Yumna adalah salah satunya.

Sebenarnya bukan masalah, tetapi keberadaan Yusra memberi efek tersendiri. Kakak kembarnya itu lancar-lancar saja. Alhasil, teman sekelas mereka mengejeknya.

"Kenapa kau gagap, padahal Yusra bisa?"

"Oh! Benar kata mamakku, Yusra lebih bagus darimu!"

"Aku berteman dengan Yusra kalau begitu. Dia pintar!"

Kalimat-kalimat itu diucapkan dengan polos. Kejujuran khas anak kecil. Sambil lalu ketika bel istrahat telah berbunyi. Namun memang, bagi Yumna yang dibesarkan sebagai saingan Yusra, tentu melukai hati.

Saat suasana hening, seluruh siswa asyik menyerbu kantin, air matanya tak dapat dibendung. Yumna menangis di kelas. Dia tergugu sambil mengeja tulisan di buku paket. Begitu terus hingga seseorang datang mendistraksinya.

Namanya Yasril. Anak desa tetangga. Inilah pertemuan pertama mereka.

Bocah itu menyerahkan secarik kertas. Menyuruhnya menulis isi hati di sana.

Yumna bingung.

Bagaimana dia bisa menuliskan isi hati, sedangkan mengeja huruf saja tak becus?

Tentu dia menolak, tetapi Yasril kukuh membujuk.

"Ayolah, kau hanya gagap, bukan buta huruf. Mamakku bilang, umur kita memang terlalu muda untuk mempelajari buku paket. Nah, sebagai percobaan, aku biasa disuruh menulis di kertas. Apa pun. Setelah itu, kau dapat membacanya keras-keras."

"Kau yakin?"

"Ya, ini berhasil."

Yumna mengangguk. Dia memandangi kertas kosong di atas meja. Dahinya berkerut.

"Aku boleh duduk di sampingmu?"

"Ya, apa yang harus kutulis?" gumam Yumna.

"Terserah kau."

"Apa yang biasa kau tulis?"

Yasril mengelus dagu. "Apa saja."

Yumna cemberut. Sama sekali tidak membantu. Dia butuh arahan.

Yasril yang menyadari kebingungan teman barunya, segera mengambil alih. Dia merebut pensil dari tangan Yumna. "Siapa nama lengkapmu?"

"Kenapa?"

"Kita coba saling tulis nama, bagaimana?"

Yumna menyanggupi. Masih lebih baik daripada kosong melompong.

Yasril mulai membuat coretan. Agak terlalu lama bila mengingat nama gadis kecil itu hanya terdiri dari dua suku kata.

"Hei, apa yang kau tulis? Kenapa lama?" Yumna melongok ke arah kertas, tetapi Yasril cepat-cepat menutupnya.

"Jangan mengintip. Nanti juga kau tahu." Yasril mendorong kepala Yumna.

"Dasar pelit!"

"Sabar! Ini sudah hampir selesai," sahut Yasril.

Yumna menunduk. Pipi kanannya bersandar pada meja. Dia mengamati wajah Yasril dari samping.

"Nah!" seru Yasril tiba-tiba, membuat Yumna tersentak.

Yasril menyengir. "Baca yang keras, aku juga mau dengar!"

Yumna memperbaiki posisinya. Dia menelan ludah susah payah. "Kau tidak akan tertawa, 'kan?"

"Cepatlah!"

"Yum-na Za-fi-ra, ja-ngan me-na-ngis. Aku mau ja-di te-man-mu." Yumna terbata-bata.

Yasril memandang lurus. "Bagaimana?"

"Eh, i-iya."

"Nah, giliran kau yang menulis," tukas Yasril dengan wajah semringah.

Yumna mengikuti arahan tersebut. Tahu apa yang harus dia tulis. Dia berusaha keras agar isi hatinya tersampai kepada bocah itu.

"Ini," bisiknya malu-malu.

Yasril antusias. Dia membacanya keras-keras. Semangatnya mengalir kepada gadis kecil di sampingnya. "Terima kasih, Yasril Alfarizi. Kau tidak malu berteman denganku?"

Yumna mengembuskan napas lega. Sorot kagum terpancar dari matanya. Ternyata teman barunya sudah lancar membaca.

"Tidak. Kalau kau butuh bantuan, aku duduk di belakangmu."

***

Yumna tersenyum tipis. Itulah asal-muasal dia rajin membuat catatan random. Siapa sangka, cara tersebut cukup ampuh.

Sejumput perasaan familiar tiba-tiba menyapa. Dia merindukan masa kecil mereka.

Yasril, orang pertama yang bersimpati atas ketidakberesannya.

Bagaimana keadaan lelaki itu sekarang? Sudah lama mereka tidak bertukar kabar.

Ponsel Yumna bergetar. Satu Whatsapp muncul. Nomor baru. Tumben.

Dia jarang menerima chat sejak lulus kuliah dan kembali ke kampung halaman. Tak ada alasan bagi orang-orang untuk menghubunginya.

Yumna menekan foto profil si pengirim. Bukan identitas yang dia temukan, melainkan kutipan motivasi memuakkan. Dia beralih pada informasi pribadi. Dahinya sontak mengernyit samar.

Apa urusan orang ini menghubunginya?

Mungkinkah sesuatu yang buruk baru saja terjadi? Tidak ada alasan bagi tenaga medis untuk mengirim pesan secara personal, bukan?

Siapa yang terluka? Bapak? Adiknya? Pasalnya, mereka belum balik dari kebun, padahal waktu sudah mendekati pelaksanaan salat Zuhur.

Akan tetapi, bila memang ini menyangkut profesi, bukankah kalimat yang digunakan si pengirim terlalu santai?

Lagi pula, ini kan, hari libur. Apa puskesmas tetap beroperasi?

Hei, ini nomor Yumna?

-Bersambung.

8 Juni 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top