Di Penghujung 25
Hari yang direncanakan telah tiba. Tenda biru terpancang kokoh di depan kediaman Pak Yahya. Tenda berbentuk persegi panjang, memenuhi hampir seluruh permukaan jalan raya. Tersedia celah kecil di sisi Utara sebagai tempat lewat masyarakat, yang tidak berkepentingan dengan pesta.
Pelaminan terletak di bagian Barat, berseberangan dengan pintu masuk. Satu meter dari sana, sebuah kolam air mancur buatan terlihat memukau. Di kedua sisi pelaminan tersedia guci, berfungsi sebagai tempat amplop. Juga, kubus besar tanpa penutup, yang digunakan untuk menaruh kado.
Meja bundar dan kursi berjajar, melingkar memenuhi hampir seluruh space dari depan ke belakang. Di sisi paling kiri dan kanan, dialokasikan sebagai stand makanan dengan konsep prasmanan.
Sesuai adat dan kebiasaan yang berlaku, akad nikah telah terlaksana di pagi hari. Sekarang, ketika matahari merangkak naik di atas kepala, selepas salat Zuhur, resepsi diadakan secara terbuka hingga sore menjelang.
Panitia yang bertugas telah siaga di pos masing-masing. Tiga pasang suami-istri berdiri di pintu masuk, selaku penerima tamu. Perwakilan anak-anak SMA dimintai tolong untuk menjadi pelayan, menjaga stand makanan, serta hilir-mudik menawarkan dessert kepada hadirin.
Masyarakat memadati lokasi acara. Mempelai duduk di pelaminan, didampingi oleh orang tua mereka. Iringan musik, serta lantunan merdu dari penyanyi lokal memeriahkan suasana. Dekorasi bernuansa hijau lumut dan putih tampak segar dipandang mata.
Tamu undangan silih berganti menyapa mempelai. Hampir seharian pengantin itu terus-menerus tersenyum. Beberapa tamu hanya sambil lalu, sekadar formalitas. Sebagian memuji Yumna yang terlihat berbeda. Mayoritas mengucapkan selamat, entah tulus atau tidak.
Di tengah kemeriahan tersebut, Yumna merasakan kehampaan yang luar biasa. Serta-merta membuatnya dihantui rasa bersalah. Seharusnya dia bahagia. Ini hari besarnya. Sayang, senyum yang tersemat di bibirnya bahkan terasa hambar. Juga, perkataan orang-orang yang terdengar amat memuakkan.
"Selamat, ya, Yumna. Kau beruntung dapat suami seperti Pak Yafiq."
Begitu kata mereka, dengan diksi yang variatif, tetapi bermakna serupa.
Yumna mengembuskan napas agak kuat. Memandang antrian di hadapannya. Menyalami mereka satu per satu, hingga para tamu berlalu.
Dia langsung menghempaskan bokong ke kursi begitu antrian berhenti. Dia tak menyia-nyiakan waktu untuk istirahat sejenak.
"Jangan mendesah seperti orang susah," tegur Mamak, yang memang duduk di sebelah kirinya.
Yumna bergeming. Pandangannya kosong. Pikirannya melayang ke mana-mana. Menerka kehidupan seperti apa yang akan dia jalani setelah ini.
Statusnya berubah. Dia telah menjadi istri orang. Suka atau tidak, Yumna akan meninggalkan rumahnya. Bukannya sedih atau apa, dia hanya merasa sangat cemas.
Bagaimana dia akan tinggal dengan laki-laki, yang tidak terlalu dikenalnya?
Kalau boleh jujur, Yumna belum siap. Sungguh. Sejak awal, dia tak menginginkan pernikahan ini. Apa daya, orang lain bersikeras memaksanya terlibat. Yumna tak berdaya, sekuat apa pun penolakan yang dia berikan.
Memang benar, dia sempat meyakinkan diri untuk melewati hari-hari seperti biasa. Bagai air yang mengalir. Layaknya kotoran di hulu sungai.
Sekarang, ketika Yumna berpikir kembali, keraguan menyerbunya tanpa ampun. Satu kesadaran seakan menamparnya. Rumah tangga adalah jenis dunia yang baru untuknya.
Dia punya pasangan resmi. Hidupnya tidak akan sama lagi. Ada lebih banyak tuntutan, dan mungkin kegagalan yang menanti.
Yumna tersentak. Seseorang menepuk pundaknya. Dia lantas menoleh, dan menemukan Yafiq tengah tersenyum.
"Kau baik-baik saja?" kata Yafiq sambil memberikan isyarat lewat mata. Ada tamu, kurang lebih begitu maknanya.
Yumna segera mengarahkan wajah ke depan. Bersiap menarik sudut-sudut bibirnya, tapi urung. Dia terkejut.
Seorang pemuda berpostur tinggi dan tegap, kulit putih terawat, rambut dan iris berwarna cokelat gelap, berdiri tepat di hadapannya.
"Kau ... datang."
Yasril mengulurkan tangan, Yumna menyambutnya. Mereka bersalaman. Sangat erat. Saling menatap. Begitu intens. Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
"Aku tidak mungkin melewatkan pernikahan seorang teman. Ah, iya, selamat. Kau bisa menikah di usia 25 tahun."
Yumna tertegun. Jantungnya berdenyut perih. Dia menggigit bibir sambil memandangi punggung Yasril yang kian menjauh.
Saat itulah, tatkala sebuah kenangan tiba-tiba melintas di benak, hingga membuat matanya berembun, Yumna pada akhirnya menyadari, alasan sesungguhnya kenapa dia bersikukuh menolak pernikahan ini.
***
Tidak ada pertemuan yang abadi. Rela atau tidak, orang-orang akan berpisah pada akhirnya.
Dalam hidup ini, ada yang datang untuk sekadar singgah tanpa niat menetap. Ada yang sambil lalu, seakan menegaskan ketidakpedulian. Pun, ada yang datang, memberi kesan, hingga menciptakan harapan untuk sebuah kebersamaan abadi.
Setidaknya begitulah yang dirasakan Yumna. Kepada teman masa kecilnya, dia ingin mengatakan, "Jangan pergi."
Sayang sekali, saat menyaksikan binar harapan di bola mata Yasril, lidah Yumna kelu seketika.
Sore ini, tepat pukul empat, Yasril mengajaknya bertemu di perbatasan desa. Dia baru mengabarinya sepulang sekolah tadi. Ada sesuatu yang sangat penting, begitu bujuknya.
Mereka duduk bersila di atas tanah, beralaskan dedaunan kering. Bunyi gemericik aliran sungai mengisi keheningan di antara mereka.
Yumna melempar batu kerikil hingga memantul di permukaan air. Dia menarik napas kuat. "Jadi, kau akan melanjutkan sekolah ke Kota Provinsi?"
"Iya, aku ingin menjadi penegak hukum. Sekolah di sana lebih maju. Orang tuaku setuju. Mereka sangat mendukung keputusanku. Aku mau membagi kesenangan ini denganmu!" Yasril tersenyum amat lebar.
Yumna melirik sekilas. Raut wajahnya cemberut. "Selamat. Memang begitulah Yasril yang aku kenal. Kau melakukan apa pun untuk mencapai tujuanmu, bahkan jika harus meninggalkan sahabatmu. Ah, aku iri padamu. Kau punya pandangan jelas tentang masa depan."
"Hei, kau juga harus semangat! Mari sama-sama berjuang!"
"Aku tidak tahu mau jadi apa. Mungkin sebaiknya aku tiduran di rumah."
Yasril memegang pundak Yumna, memaksa cewek itu menghadap ke arahnya. Dia menatap lurus-lurus. "Kau berbakat di bidang olahraga. Kau bisa jadi atlet profesional jika mau berusaha. Ah, atau tidak, kau sekolah yang tinggi. Mungkin saja kau calon Menpora?"
Mau tidak mau, bibir Yumna tertarik ke arah berlawanan. Desir hangat seakan menyusup ke dalam hatinya. "Menurutmu, aku bisa? Menpora terdengar keren."
"Tentu! Lihat dirimu sekarang. Sudah lancar membaca, padahal dulu kau gagap. Selalu ada jalan, asal kita mau berusaha."
Yumna memelotot. "Jangan mengungkit masa lalu!"
Yasril tersenyum simpul. Perasaan lega menyeruak saat mendapati kilau keceriaan di mata sahabatnya. "Suatu hari nanti, kau akan duduk di kursi pemerintahan, sedang aku jadi penegak hukum. Omong-omong, kita mungkin akan sering bertemu?"
"Kau mendoakanku jadi pemerintah korup?"
Mereka tergelak walau sadar tak ada yang lucu. Semacam manifestasi dari sebentuk kesenangan, sebab telah menemukan cita-cita yang jelas. Berjanji untuk berjuang sekuat tenaga.
Yasril memandangi wajah Yumna secara saksama. Dirinya yakin akan merindukan cewek ini.
Kalau boleh jujur, sebetulnya Yasril agak sedih. Mulai sekarang, mereka pasti jarang bertemu. Ada setitik perasaan tak rela di hatinya. Namun, dia berusaha tetap kukuh. Apa yang sudah diputuskan, pantang untuk ditarik kembali.
"Eh, kenapa menatapku begitu?"
Yumna yang menyadari keanehan dalam pandangan Yasril, sedikit salah tingkah. Begitu intens, dan menghanyutkan. Dia langsung membuang muka. Tiba-tiba teringat nasihat guru agama. Tidak boleh berduaan bagi yang bukan mahram, pihak ketiga biasanya setan.
Dada Yumna seketika berdebar-debar. Jangan-jangan Yasril kesurupan, batinnya. Apalagi, mereka sedang berada di pinggir sungai, di kawasan hutan.
"Hei," panggil Yasril rendah.
"Ya?"
"Boleh aku memelukmu?"
Belum sempat Yumna menjawab, Yasril sudah beringsut maju. Mendekap tubuhnya. Erat.
"Eh, ka-kau baik-baik saja?"
Yasril menggumam asal. Dia terpejam. Darahnya berdesir hebat. Ini pertama kali baginya, untuk memperlakukan Yumna dengan lancang.
Yasril sadar, tindakannya salah besar. Tercela. Mereka bukan anak kecil lagi. Rasa bersalah menerpa. Teringat seluruh nasihat guru agama. Namun, dia memilih abai. Hanya pelukan, bisik sesuatu di dalam kepalanya.
"Jangan pernah pacaran," gumamnya.
"Bicara apa kau ini?" Yumna berusaha mendorong, tetapi Yasril bertahan.
"Aku serius. Kau mau diperlakukan lebih dari pelukan?"
"Contohnya?"
Yasril tahu, Yumna punya hati yang murni. Selalu berprasangka baik. Namun, dia tak menyangka ternyata separah ini, sampai masuk level berbahaya. Keinginannya untuk melindungi Yumna semakin bertambah kuat.
"Jangan dekat-dekat cowok. Jangan mau dipegang sembarangan."
"Kenapa?"
"Mereka jahat. Suka berpikir kotor."
"Termasuk kau?"
Yasril berdehem. Lalu melepaskan dekapan. "Ya, sedikit. Maaf."
"Kau aneh," kata Yumna kikuk. "Lagi pula, mana bisa menikah kalau tidak pacaran."
"Tidak. Kau ..., bukan, tapi kita. Ya, kita bisa."
Yumna mengerjap. "Apa maksudmu?"
"Mari berjanji untuk tidak pacaran. Jika sampai umur 25 kau dan aku belum punya pasangan, kita akan menikah. Saat itu, kurasa pendidikan kita sudah selesai."
Yumna bergidik. Merasa horor. "Siapa kau?"
Yasril memutar bola mata. "Apa aku terlihat sedang bercanda?"
"Kau ..., Yasril yang aku kenal bukan sepertimu."
"Aku Yasril. Aku yang mengajarmu membaca, memapah waktu lututmu terluka, mengajakmu ke perpustakaan, membantumu menghadapi saudarimu yang menyebalkan, bahkan membelikan pembalut waktu kau bocor di sekolah tahun lalu ...."
"Eh! Iya, iya! Aku percaya! Tidak perlu dilanjutkan!" potong Yumna dengan pipi bersemu.
Yasril menyeringai tipis. "Jadi?"
"Oke."
"Apa?"
"Aku setuju. Jangan pernah pacaran. Ayo sama-sama berjuang untuk cita-cita kita. Jika sampai umur 25, kau dan aku masih jomlo, kita akan menikah."
Yasril tersenyum semringah. "Janji?"
"Tunggu, bagaimana kalau impian kita belum tercapai di umur 25?"
"Kita akan berjuang terus. Bersama. Sebagai pasangan, bukan sekadar teman."
Yumna ikut mengulum senyum. "Janji!"
Kala itu, mereka masih sangat muda. Memandang dunia menggunakan kaca mata penuh warna.
Yang tidak mereka duga, Yumna telah patah, bahkan sebelum memulai mimpinya.
Karena sebetulnya, kepergian Yasril, adalah kehancuran paling parah pertamanya.
Yumna ..., cewek itu berupaya sendiri melawan intimidasi dari orang-orang sekitar. Tanpa sahabat. Tanpa sandaran. Dia kehilangan sokongan.
Teman sebaya mungkin banyak, tapi mereka, bahkan jika dikumpulkan menjadi satu, tidak akan menyamai arti penting Yasril, bagi Yumna. Selamanya.
- Bersambung
23 Juni 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top