Cara Mereka Saling Melindungi
Yumna menatap Yafiq sesaat. Mereka sedang menyiapakan perlengkapan liburan. Yafiq membantunya mengepak pakaian.
Gadis itu menarik napas pelan. Mulutnya terbuka, hendak mengatakan sesuatu, tapi urung dia lakukan. Yumna lantas menggeleng, melanjutkan menata baju ke dalam koper mini.
Lagi, Yumna melirik Yafiq. Desakan dari dalam diri semakin besar. Susah untuk dibendung, tapi khawatir menjadi masalah bila diungkapkan.
"Ada yang ingin kau katakan?"
Yumna mengerjap. Kaget saat Yafiq tiba-tiba membalas tatapannya. Gadis itu merigis dalam hati. Ragu, dia pun berkata, "Apa boleh aku bertemu Yasril?"
Geliat tak nyaman mengusik dada tatkala melihat perubahan ekspresi di wajah Yafiq. Yumna menahan napas, harap-harap cemas menanti.
***
Sekitar satu jam yang lalu, setelah makan malam, Yusra tiba-tiba mengajak Yumna bicara empat mata. Penting, katanya.
Tentu asing. Sangat mengherankan. Cenderung mencurigakan. Sejauh yang Yumna ingat, sepanjang saling mengenal, Yusra tak pernah menyengaja untuk berbicara dari hati ke hati dengannya. Tanpa sindiran, ejekan, sarat persaingan.
Yumna penasaran. Dia pun menyetujui ajakan tersebut. Mereka duduk di teras rumah. Merasakan siur angin malam menyentuh pori-pori kulit. Berhiaskan taburan bintang di angkasa. Yusra yang memilih tempat, tentu saja. Supaya sejuk, katanya lagi.
Kesunyian melanda. Jalanan lengang. Di pedesaan semacam ini, pintu-pintu rumah umumnya telah tertutup rapat ketika jarum jam menyentuh angka tujuh.
Sudah lima menit mereka berhadapan, Yusra tak juga membuka mulut.
Yumna yang mulai digerayangi rasa penasaran, bercampur kemalasan, akhirnya berinisiatif mengingatkan.
"Kau tidak menyita waktuku hanya untuk memperlihatkan betapa indah bintang di atas sana, 'kan?"
Yusra melirik sekilas. Bukan saja Yumna yang merasa ganjil, dia pun sama. Sungguh. Yusra bahkan heran mendapati dirinya telah duduk manis di sini.
Otak Yusra mendadak kosong. Kepayahan menyusun kata di dalam kepala, sekaligus menahan lidah agar tidak membalas kalimat bernada sarkasme dari Yumna. Dia berusaha mengingat-ingat lagi tujuan awalnya.
Kejadian seharian ini menjadi titik balik bagi Yusra. Kata-kata Yasril terekam kuat dalam benak. Begitu jelas, bagaimana pemuda itu menyarankan agar dia mencoba berdamai, tanpa harus melepaskan ambisinya.
Ketika Yusra menelaah kembali, mengulang kejadian di masa lampau, juga momen kebersamaan mereka, dia akhirnya berhasil menyimpulkan satu hal, bahwa Yasril tak sebrengsek yang dia kira.
Yasril punya kepedulian tinggi terhadap sekitar. Pendengar yang baik, sekaligus komentator andal dengan nada sarkasme bin nyelekit.
Dia adalah teman jalan yang asyik. Terbukti dari betapa besar tanggung jawab Yasril untuk menjaga Yusra. Mengikuti apa keinginannya, serta menanggung biaya selama mereka liburan.
Sesuai komitmennya, Yasril memperlakukan Yusra sebaik mungkin, tanpa menanggalkan sisi sarkasmenya. Dia menjadikan wisata mereka sebagai ajang bersenang-senang. Mereka hunting foto, bermain sampan, memancing, bakar-bakar ikan, mengunjungi Gua Terapung, dan berinteraksi dengan penduduk setempat.
Yusra tak menyangka, kencan sehari - kalau boleh disebut begitu, rupanya sanggup mengubah penilaian terhadap Yasril hingga sedemikian drastis. Memberinya suntikan semangat, dan kesadaran yang baru.
Harus diakui, dulu ataupun sekarang, Yasril punya kemampuan dalam hal memengaruhi. Yusra telah merasakannya sendiri.
Atas seluruh pengalaman luar biasa tersebut, Yusra setidaknya ingin balas budi. Sebagai bentuk terima kasih. Serupa apresiasi atas pertemanan mereka.
Semula Yusra tak terpikir harus melakukan apa, bingung. Namun, saat mengingat lagi alasan Yasril mau dipaksa berlibur, dia akhirnya menemukan sebuah ide.
Yumna, adalah landasan utama Yasril mau terjebak bersamanya. Pemuda itu sempat mengatakan ingin bertemu Yumna sebelum balik ke Jakarta. Sayang, Yasril pun menyadari kalau hal tersebut agak mustahil. Mengingat jarak yang telah terbentang di antara mereka.
Yusra sempat menuduh Yasril yang tidak-tidak, tapi pemuda itu dengan tenang mengatakan, bahwa ada sesuatu yang perlu mereka selesaikan. Yusra tak tahu apa tepatnya. Hanya saja, melihat betapa besar kesungguhan Yasril untuk mendapatkan kontak Yumna, juga nada kerinduan yang terpancar dari sorot, serta tutur katanya setiap kali membahas Yumna, entah bagaimana sanggup menyentuh sisi sensitif Yusra.
Di sinilah Yusra sekarang. Menemui saudari kembarnya.
"Besok, lewat kapal siang dari Raha ke Kendari, terus bandara Haluoleo, ambil penerbangan malam ke Jakarta. Itu rute perjalanan Yasril."
Senyap.
Yusra menoleh, hendak meneliti ekspresi Yumna. Nihil. Gadis itu duduk mematung, tangan tergantung di sisi tubuh, sambil menatap lurus ke arahnya.
Yusra tak melihat, bahwa Yumna sebetulnya, refleks meremas sisi bajunya saat nama Yasril disebut.
"Kenapa ... kau memberitahuku?
"Dulu, aku sering bertanya-tanya, kenapa kau betah bergaul dengan Yasril. Sekarang, aku menemukan jawabannya. Aku tak tahu apa masalah kalian. Namun, jika aku jadi kau, aku tak mau melepaskan Yasril. Kita bicara dalam konteks pertemanan."
Yumna menumpukkan kedua tangan di atas paha. Dia menunduk, menatap lantai. "Lalu jadikan dia temanmu kalau begitu."
"Pasti, tapi kurasa, entah berapa banyak relasi yang dibangunnya, dia takkan puas sampai kau ada di antaranya. Ini pendapat pribadi, tentu saja."
"Apa yang Yasril lakukan sampai kau mendadak peduli begini?"
"Tak banyak, hanya ini dan itu, mungkin?" pancing Yusra.
Sungguh, dia jadi penasaran tentang perasaan saudarinya. Betapa tidak, Yumna sempat menolak lamaran Yafiq. Laki-laki yang paling diidamkan di kampung ini.
Apa alasannya memang seperti yang Yumna sampaikan kala itu, atau mungkin, dia hanya berdalih.
Yumna mendongak. "Sudah?"
"Apa?"
"Masih ada yang mau kau bicarakan? Aku mengantuk."
"Kau egois," desis Yusra kesal. Ternyata benar, susah membangun percakapan yang terkendali jika Yumna adalah partner-nya.
"Hm?"
"Harusnya kau bersyukur memiliki sosok sepertinya di sisimu. Kau beruntung. Yasril berharap bisa menemuimu! Dia rela menemaniku liburan hanya untuk mendapatkan kontakmu! Lalu begini sikapmu?!"
"Kau benar. Kak Yafiq dan Yasril, kasusnya mirip. Dalam pandangan semua orang, akulah yang beruntung, sedang mereka merugi. Justru karena aku sadar diri, makanya aku tak mau bertemu Yasril. Ada pun Kak Yafiq, kami sudah telanjur menikah."
Yusra mendesah kuat. "Astaga ..., aku tidak mengerti cara berpikirmu. Kenapa kau jadi sesuram ini? Mungkin memang sebaiknya kalian tak bertemu secara pribadi, Yasril bisa menangis darah melihat perangaimu. Sahabat yang dulu dia bangga-banggakan berjiwa murni, kini tinggal sejarah!"
Yumna tersenyum datar. "Jangan mencoba untuk mengerti. Kita berbeda. Jadi, mari akhiri pembicaraan ini," tutupnya sambil berdiri.
Yusra buru-buru bangkit. "Dasar pengecut," desisnya. Dia muak. "Kau lari dari kenyataan. Kau bersembunyi di balik sikap apatis. Ah, konyol sekali karena aku sempat iri padamu. Nyatanya, kau cuma gadis putus asa! Menyedihkan!"
"Jangan repot-repot mengomentari sesuatu yang tidak kau ketahui kebenarannya," sahut Yumna dingin.
"Apa aku salah?" tantang Yusra. "Okelah, kalian memang punya masalah, tapi apa pantas bagimu memperlakukan Yasril begini? Kalian sahabat, bukan? Dia pernah sangat penting untukmu di masa lalu! Semudah itu kau membuang orang yang mengisi hampir separuh usiamu?!"
"Diam!" sentak Yumna. Tangannya mengepal erat, menahan emosi. "Kau tidak tahu apa-apa tentang kami. Tutup mulutmu, dan urus hidupmu sendiri," bisiknya rendah.
Yusra tersentak. Aneh, sangat aneh. Yumna jarang menampilkan emosi sejak kembali dari tanah rantau. Setidaknya begitu yang tampak di mata Yusra. Namun kini, dia melihatnya. Jika Yusra tak salah menafsirkan, ada jutaan rasa sakit terpancar lewat netranya.
"Setelah kami bertemu, lalu apa? Aku akan jadi topik bahasan, lagi? Temanya perselingkuhan. Warga memergoki kami berduaan, fitnah muncul kemudian, begitu? Bukan cuma aku, tapi Yasril juga kena. Hampir semua orang mengetahui kalau kami pernah sangat dekat. Mereka hanya lupa. Jika ada pemicunya, masa lalu kami pasti diungkit. Menurutmu, aku rela merusak nama baik Yasril demi memenuhi keegoisanku? Dia sudah sukses di Jakarta. Tak usah mengacaukan mimpi-mimpinya dengan rumor busuk."
Yusra menelan ludah. Sebersit perasaan iri kembali menyusup ke dalam dada. Dia berusaha menampiknya secepat mungkin.
Dua orang ini ... Yasril dan Yumna, bahkan setelah bertahun-tahun terlewati, walau komunikasi tak lagi terjalin, mereka tetap saling memedulikan. Cara boleh berbeda, tapi tujuan mereka sejalan, yaitu melindungi satu sama lain.
Persahabatan tulus semacam itu ..., ternyata benar-benar ada di dunia yang serba pamrih, bisiknya dalam hati.
Yusra menahan segenap perasaan buruk yang mulai menggerayangi dadanya. Dia menguatkan tekad, fokus pada niat awalnya.
"Bukankah kalian punya rute perjalanan yang mirip?" kata Yusra pahit. "Jika itu alasanmu, maka kalian cuma perlu bertemu di suatu tempat, di mana tak seorang pun mengenal kalian, atau terlalu sibuk untuk mengurusi kondisi sekitar."
"Tidak ada tempat yang seperti itu untuk orang yang berencana berangkat besok pagi."
"Kapal laut, pelayaran siang dari Raha ke Kendari. Bukankah kau dan Kak Yafiq naik itu juga? Kau sendiri yang bilang tadi pas makan malam."
"Idemu benar-benar genius. Kalau begitu, Kak Yafiq sendiri yang turun tangan untuk menyidang kami di tempat."
Yusra mencebik kasar. "Gampang, kau tinggal izin pada suamimu. Selesai."
Yumna memicing. "Apa tujuanmu sebenarnya?"
"Ck, coba buang dulu pikiran burukmu. Jika kau menolak, ya sudah. Aku tidak rugi. Keputusannya terletak padamu."
Yumna menggigit bibir. "Berikan aku nomor Yasril."
"Haha! Kau menjilat ludahmu sendiri!" Sinis.
"Tak apa, asal bukan ludah orang lain."
Setelahnya, Yumna kembali ke kamar. Dia mendapati Yafiq sedang bermain gim daring sambil tiduran. Mumpung sang suami sibuk, dia pun mengambil ponselnya. Dia ingin mengecek pesan dari Yusra, tapi justru menemukan satu nomor baru.
Yasril ..., pemuda itu menghubunginya lebih dulu.
"Kak," panggil Yumna. Yafiq menyahut tanpa menoleh. Dia tampak asyik bermain. "Tolong bantu aku mengepak pakaian?" imbuhnya.
"Ya? Oh, iya, sebentar lagi."
Tahu bahwa Yafiq masih akan menghabiskan waktu hingga beberapa menit ke depan, Yumna memilih duduk di sisi lain kasur. Dia lanjut menyimak pesan Yasril.
***
Yafiq menghentikan gerakannya. Kaget. Dia memandang Yumna lama. Hatinya disergap beragam kecemasan.
"Untuk apa?" tanya Yafiq usai berhasil menguasai diri. Ini justru kesempatan bagus untuk mencari informasi, pikirnya.
"Ada yang perlu kami bicarakan. Uhm, Kakak boleh mengawasi."
Yasril mengerjap. "Maksudmu?"
"Aku dan Yasril berteman sejak kecil. Namun, hubungan kami merenggang karena satu dan lain hal. Demi menghindari kesalahpahaman, aku rasa Kakak perlu terlibat. Itu pun jika Kakak bersedia."
"Memangnya ada pilihan lain?"
"Mau atau tidak, Kakak punya dua pilihan," sahut Yumna mencoba tenang.
-Bersambung.
Mau nggak nih si Yafiq?
4 Juli 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top