Bersemi dalam Duka

Yusra mengusap matanya yang lembab, lantas menarik napas dalam-dalam. Rasanya dia belum cukup puas menangis hari ini. Seluruh informasi yang didengarnya sungguh menyesakkan dada.

Dia meninggalkan area taman dengan pikiran penuh. Langkahnya tertatih menuju parkiran. Di sana ada Raza yang masih setia menunggu. Pemuda itu baru saja mengabarinya lewat pesan teks.

Yusra berhenti setelah mencapai tujuan. Lantas termangu di antara kendaraan terparkir. Pikirannya tidak fokus. Bola matanya bergerak tak tentu arah, entah apa yang sesungguhnya dia cari.

Pada satu titik, tak jauh dari tempatnya berdiri, Yusra mendapati sebuah mobil mendekat ke arahnya. Tak lama kemudian Raza turun menghampiri. Pemuda itu tak banyak bicara, hanya menggandeng tangannya, dan menuntunnya duduk di sebelah kemudi, bahkan memasang sabuk pengaman untuknya. Kemudian mobil bergerak menjauhi area rumah sakit.

Raza menggeser sekotak tisu dan air mineral kemasan di atas dashboard ke arahnya. Yusra melirik sekilas, lalu segera meraih beberapa lembar tisu. "Makasih."

Pemuda itu mengulas senyum simpul. "Aku udah beliin makanan, ada di jok belakang. Nanti jangan lupa dimakan," ungkapnya kalem. "Ah, btw, kamu mau ke mana? Apartemen Yasril? Kalian udah baikan, 'kan?"

"Kamu mau bantu aku nyari penginapan terdekat dari bandara? Jadwal tiketku besok pagi."

Raza terdiam sejenak sebelum. berbisik, "Oke."

"Za, kenapa kamu mau bantuin aku ketemu mereka? Awalnya dulu kamu nolak, 'kan? Kamu benar-benar nggak tau kondisi Yasril selama ini?"

"Kondisi yang mana? Aku udah bilang, Yasril makin rajin kerja. Aku mengabarimu karena sadar kalau butuh support pihak keluarga untuk kesembuhan Yumna, Yasril mungkin nggak bakal sanggup nanggung semuanya sendirian dalam waktu lama."

Yusra mengangguk singkat seraya tersenyum miris. "Kamu nggak tau alasan Yasril pulang paling akhir? Apa yang dia rasain akhir-akhir ini? Apa yang dia pikirin?"

Raza memfokuskan pandangan ke depan. Kemacetan ini terasa lebih menyiksa dari biasanya. "Laki-laki nggak mengatakan semua yang mereka rasakan dan pikirkan," sahutnya agak kelu. Terbersit rasa bersalah karena telah mengatai Yasril macam-macam beberapa waktu lalu tanpa memastikan bagaimana kondisi lelaki itu.

"Dia trauma, dihantui mimpi buruk, dan tiap malam tidur di kantor. Yasril enggan ketemu Yumna karena takut lepas kendali. Mereka ..., entah gimana caranya, justru berbalik saling nyakitin kayak gini."

Yusra mendesah panjang, menghempaskan tubuh pada sandaran kursi, serta menutupi separuh wajah pakai tangan. Di sisi lain, Raza tak bisa menahan rasa terkejut. Ekspresinya mendadak kaku. Lidahnya semakin kelu. Ada keheningan amat panjang yang perlahan mengelilingi mereka.

Mobil masih melaju di antara kepadatan jalan raya. Di bawah langit kota menjelang siang. Dilingkupi oleh udara pengap yang membuat AC seolah tak berfungsi. Tanpa sadar, Yusra jatuh tertidur. Sementara Raza diam-diam bertekad untuk lebih peduli terhadap teman karibnya.

Yusra tidak tahu berapa lama tepatnya mereka berkendara. Raza baru membangunkannya setelah tiba di lokasi tujuan. Seperti biasa, pemuda itu menepuk bahunya pelan sambil membisikkan kata-kata yang berpotensi memicu kesalahpahaman.

"Tidurnya lanjutin di hotel aja."

Dia otomatis membuka mata lebar-lebar. "Ugh," lirihnya sambil memegang dahi karena diserang pusing mendadak.

"Maaf, maaf, aku bikin kamu kaget?"

Yusra mengerjap cepat, lalu memundurkan kepala ketika sadar bahwa mereka terlalu dekat. Pantas saja dia dibuat merinding. "Tolong mundur dikit," gumamnya serak.

Raza meringis tipis, memaki diri sendiri dalam hati. Bisa-bisanya tadi dia terpikir untuk memanfaatkan situasi. Sebenarnya mereka sudah tiba sejak beberapa menit yang lalu. Raza tidak serta-merta membangunkan Yusra karena teralihkan oleh pesonanya sewaktu tertidur.

Mulut yang sedikit terbuka, anak-anak rambut menjuntai di wajah, dan bulu mata lentik memesona. Jujur saja, Raza menikmati pemandangan itu. Syukurlah dia segera tersadar saat pikirannya mulai tak keruan.

Raza berdehem, lalu menggaruk kepala kikuk. "Turun, yuk?"

Yusra mengangguk dan bergegas turun lebih dulu. Raza sukses dibuat heran. Tumben, pikirnya. Andai saja dia lebih jeli, tentu akan mendapati rona tipis di wajah gadis itu. Raza tak pernah tahu, bahwa saat ini bukan hanya dia seorang yang jantungnya berdebar hebat.

Raza menyusul Yusra. Tak lupa mengambil makanan yang sudah dibeli sebelumnya. "Sini, biar aku bantu bawain," tawar Raza, "kamu pegang ini aja," lanjutnya sambil menyerahkan kresek putih.

"Uhm, oke."

Mereka jalan bersisian. Raza bahkan masih menemani hingga kamar selesai dipesan. Di sisi lain, Yusra sendiri sama sekali tidak keberatan.

Jika ditinjau kembali, sebenarnya barang bawaan Yusra tak seberapa. Masih bisa diatasi sendiri tanpa bantuan siapa pun. Namun, mereka seolah bersepakat untuk menghabiskan waktu lebih lama lagi.

Setiba di depan pintu kamar tujuan, Raza pun menurunkan barang-barang milik Yusra. Kemudian mereka terdiam untuk beberapa saat. Mendadak langkah mereka terasa berat. Ternyata sudah waktunya untuk berpisah.

"Sampai di sini aja," ujar Raza terdengar bagai pernyataan yang disesalkan. Tak mungkin dia menawarkan diri mengantar hingga ke dalam kamar. Ya, meski aslinya dia mau saja bila Yusra sendiri yang mengundang.

Raza terbeliak oleh pikirannya. Yang benar saja! Kenapa dia mendadak picik begini?!

Raza berdecih karena baru sekarang merasakan ketertarikan sedemikian kuat. Padahal, pertemuan mereka terbilang singkat. Ini benar-benar aneh.

Seketika perasaan bersalah menyerbunya. Bagaimana mungkin dia memikirkan perkara romansa sementara orang lain tengah terluka. Pertemuan mereka bahkan dilandasi oleh sebuah musibah.

"Hei, kok ngelihatin aku gitu banget?"

"Ya?"

"Apa ada sesuatu di mukaku?" Yusra menyentuh permukaan wajahnya. Kemudian tersentak saat menyadari bahwa dirinya baru bangun tidur. Apa ada bekas iler menempel?

"Nggak, bukan gitu," sahut Raza cepat selepas membaca kekhawatiran Yusra melalui ekspresi. "Aku cuma kepikiran hal nggak penting. Udah gih, masuk."

Yusra diam-diam menghela napas lega. Perasaannya mendadak kacau ketika memikirkan bahwa Raza mungkin ilfeel padanya. Sejak perkenalan mereka, tampaknya dia senantiasa memberi kesan buruk.

Untung saja pemuda yang baru ditemuinya ini baik hati. Andai tak mempertimbangkan situasi Yasril dan Yumna, dia rasa Raza akan menelantarkannya pada hari pertama.

Pasalnya, dia kerap tak memusingkan penampilan selama di sini. Segala yang terjadi hingga kini membuatnya terdistraksi. Dia sudah menunjukkan wajah kucel, mata sembab, tiba-tiba memeluk, bahkan tanpa ragu tertidur di sisi Raza. Ditambah kenyataan kalau dirinya mengakibatkan Raza kerepotan.

Dia pasti tampak menyebalkan. Pemuda mana yang tidak akan ilfeel karenanya?

Ah, padahal jelas-jelas daya tariknya terletak pada fisik. Terbukti dari banyaknya lelaki yang mendekat dengan alasan tergoda tampilan luar. Tak masalah baginya karena tandanya dia memang menawan.

Yusra menelan ludah susah payah. Rasanya ada retakan kecil yang perlahan menjalar di hatinya usai menyimpulkan demikian.

Dia berusaha mengulas senyum tipis. Ini akan menjadi pertemuan terakhir mereka. Lalu setelahnya mereka siap melanjutkan hidup seolah tak pernah bertemu, bukankah begitu?

Urusan mereka telah usai. Yasril mau bekerja sama. Itu artinya tidak tersisa lagi alasan bagi mereka untuk saling menghubungi.

Kenapa Yusra merasa tidak rela bahkan hanya dengan membayangkannya? Tidak bisakah mereka terus berkomunikasi? Jika bersikukuh menghubungi pemuda ini kelak, apa keramahannya dapat diterima?

Belum lagi, pertemuan mereka yang dilandasi musibah. Andai semua berjalan baik-baik saja, mereka tentu tidak akan pernah saling mengenal. Seketika Yusra merasa jahat karena berani mengharapkan sesuatu yang manis untuk dirinya di tengah situasi berlumur kesedihan seperti ini.

"Kok, kamu kelihatan bingung? Mau gantian, nih?"

Yusra menggeleng sembari memaksakan sebuah tawa. "Setelah kamu pergi, baru aku masuk."

Raza termenung sejenak. "Kalau gitu, aku ... pergi, ya?"

Yusra merapatkan bibir, lantas mengangguk kaku.

"Oke, jaga diri baik-baik. Hati-hati. Jangan tidur sembarangan selagi di perjalanan, oke?"

Yusra hanya bergeming.

Tak mendapat respon, Raza lantas memilih berbalik. Jauh di dalam hati, dia masih ingin berbincang. Apa daya, ekspresi sang gadis tampak tidak baik.
Andai memungkinkan, dia pun ingin meminta agar mereka tetap berkomunikasi, bolehkah?

Raza mengumpat pelan. Sial, sejak kapan dia diliputi keraguan begini?

Langkahnya secara otomatis berhenti. Raza bergegas memutar badan, hendak kembali lagi. Dia teramat lega tatkala mendapati Yusra masih di sana, memandang ke arahnya.

"Maaf ...," ujarnya agak tersendat, "aku tau situasi sekarang kurang tepat, tapi aku punya permintaan. Aku harap kamu nggak keberatan."

Yusra menatap lurus, mengirim isyarat agar pemuda itu melanjutkan ucapannya terlebih dahulu.

Raza menarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. "Boleh nggak, sesekali aku nanyain kabarmu?"

"Ya?"

"Apa permintaanku terlalu egois?"

"Hah? Enggak!" tukas Yusra terlampau cepat hingga membuat Raza sedikit terkejut. "Ugh, aku ... maksudku, aku juga pengen gitu," cicitnya di akhir kalimat.

Mereka saling menatap selama sekian detik, lalu sama-sama tertunduk demi menyembunyikan senyuman. Satu hal yang pasti, ternyata mereka mempunyai keinginan serupa.

Raza mengusap tengkuk. "Em, aku pulang sekarang?"

"Jangan!"

"Maaf?"

Yusra semakin tertunduk, malu bukan main. Dia segera memutar otak mencari-cari alasan. "Aku ... anu, aku lupa beli oleh-oleh buat orang rumah. Di sekitar sini, ada tempat yang cocok nggak, ya?" ungkapnya asal.

Terus terang, sedari awal dia tak berniat membeli buah tangan karena tujuannya memang bukan untuk jalan-jalan. Namun, menjadikan itu sebagai alasan tak masalah, 'kan?

Raza menyorot geli sembari menahan senyum. "Kalau gitu, mau ... keluar lagi?"

Yusra langsung mendongak dan mengedip cepat.

Saat itulah, mereka tahu bahwa akan ada kemungkinan yang baik ke depannya. Bagaimana pun juga, setiap orang berhak atas peluang untuk berbahagia, terlepas dari kondisi memprihatinkan di sekeliling mereka.

Bersambung.

15 Februari 2021.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top