Bayang-Bayang Masa Lalu

Yasril membuka mata bertepatan dengan bunyi alarm di ponselnya. Pukul tiga subuh. Sudah menjadi sebuah rutinitas untuk bangun di jam-jam begini.

Namun, kali ini ada alasan lain yang membuatnya terjaga. Yasril bangkit. Lantas meringis tipis melihat celana dan mungkin juga seprainya basah. Bola matanya perlahan berotasi ke kanan.

Ada hela napas tertahan ketika menemukan Yumna masih terlelap. Yasril buru-buru turun dari kasur. Tujuannya adalah kamar mandi.

Wet dream merupakan fenomena lumrah bagi laki-laki. Yasril pertama kali mengalaminya semasa SMP. Kemudian semakin jarang seiring bertambahnya usia. Setelah sekian lama, adegan-adegan erotis muncul lagi di mimpinya.

Yasril tahu betul apa pemicunya, tapi tak menyangka hingga terbawa mimpi. Karena aksi reaktifnya semalam, dia harus keramas pagi buta. Hanya butuh sentuhan bibir tiga detik, Yumna berhasil memantik fantasi liarnya.

Parah.

Yasril mendadak keki terhadap dirinya. Memang sah-sah saja bahkan jika dia mau mewujudkan mimpi tersebut. Namun, tidak sekarang, di saat Yumna dalam keadaan rapuh.

Rasa bersalah melingkupi hatinya. Bisa-bisanya dia memikirkan kebutuhan biologis tatkala Yumna tengah ditimpa kepedihan.

Selama ini, Yasril menilai dirinya terlalu tinggi. Minim reaksi terhadap aurat-aurat yang bertebaran di depan mata. Walau punya dua kawan karib bergelar playboy, dia sanggup menjaga batasan.

Jika itu berhubungan dengan perempuan lain, Yasril bersikap amat santai. Layaknya teman. Namun kenapa, terhadap Yumna, dia punya reaksi berbeda?

Apa karena Yumna istrinya?

Tidak, bukan itu. Sedari dulu memang demikian adanya.

Tunggu, sebenarnya sejak kapan Yasril memandang Yumna sebagai lawan jenis? Bukan bocah cengeng yang butuh perlindungan. Bukan seseorang yang harus dibantu saat menerima perundungan dari kembarannya.

SD? SMP? SMA?

Entahlah. Yang Yasril pahami, Yumna adalah penghuni tetap di hati. Selebihnya, sekadar lewat. Banyak yang lebih menawan, tapi tidak memberikan efek sebagaimana bila menghadapi perempuan itu.

Bersama, mereka bisa jadi apa saja. Teman, sahabat, saudara, dan sekarang pasangan hidup. Saling membutuhkan, melengkapi, dan menguatkan.

Yasril bertekad untuk mengganti tahun-tahun kosong tanpa kehadiran satu sama lain. Mengembalikan momen kebersamaan mereka layaknya hari-hari di masa lampau. Semua itu wajib diawali dengan kesembuhan psikis Yumna.

Jadi, selama masa penantian, dia perlu menekan keinginannya sendiri. Demi Yumna, juga masa depan pernikahan mereka.

Yasril tersentak ketika mendengar pintu digedor kencang. Dia bergegas mematikan shower. Terlalu asyik merenung sampai lupa waktu.

Sudah berapa lama dia berada di kamar mandi?

"Kau tak apa?" Kalimat pertama yang menyapa telinga ketika dia membuka pintu.

"Kau butuh sesuatu?"

"Aku rasa, kau yang sekarang butuh sesuatu."

Yasril mengernyit samar, bingung.

"Aku terjaga waktu dengar bunyi alarm-mu. Berusaha melanjutkan tidur, tapi susah. Kau juga tidak kunjung keluar, bikin khawatir. Kau yakin tidak butuh bantuanku?"

"Aku tidak mengerti maksudmu," sahut Yasril kalem. Dia hendak menuju lemari pakaian, tetapi terhenti ketika Yumna tiba-tiba meletakkan tangan di dadanya. Yasril refleks mundur. "Aku habis berwudlu, lho," kilahnya, padahal sengaja menghindar.

"Aku mau membantu, Yas."

"Kau bicara tentang apa?"

"Tidur."

"Apa?"

"Tidur denganku kalau kau butuh penyaluran."

Yasril terbeliak.

"Setidaknya cuma ini yang bisa kulakukan untukmu."

Yasril menggeleng tegas setelah menemukan kembali kesadaran. Yumna tampaknya telah melihat bagian tempat tidurnya yang basah. Tawaran menggiurkan, tetapi dia menolak.

Kata-kata itu terdengar pasrah. Terkesan memandang rendah diri sendiri. Jika dia setuju, maka sama artinya melegalisasi apa pun buah pemikiran Yumna. Tidak boleh dibiarkan. Perempuan itu lebih berharga dari sekadar teman tidur.

"Aku memang tidak menarik," gumam Yumna sambil menunduk. "Wajar kalau kau enggan. Tapi, paling tidak, aku pernah menikah. Jadi, aku tahu bagaimana caranya."

Yasril makin tersentak. Ternyata lebih parah hingga melampaui dugaan. Lisannya kelu seketika.

Yumna benar-benar mengalami krisis kepercayaan diri. Betapa rendah menilai makna eksistensinya.

Kini, Yasril dilema. Apa pun keputusannya, semua berpotensi melemahkan mental Yumna. Serba salah.

Kerutan perlahan muncul di dahi Yasril, pertanda berpikir keras. Dia harus segera menemukan jalan keluar tanpa menambah cedera psikis sang istri.

"Bagaimana kalau kita salat dulu?" putusnya. Yumna mendongak. Yasril mengulum senyum. "Nanti kita bahas lagi setelah salat."

"Uhm, iya," bisik Yumna, lalu berjalan memasuki kamar mandi, melewati sisi kiri badan Yasril di ambang pintu.

Ada embusan napas lega selepas suasana ganjil yang mengudara. Yasril bergegas mengenakan pakaian, menyiapkan perlengkapan salat, dan melepas seprai kotor. Sambil menunggu giliran berwudlu ulang, dia menyusun rencana di otaknya.

Sayang, jarum jam rasanya bergerak lebih cepat. Yasril belum menemukan respon yang tepat, bahkan seusai salam terakhir diucapkan.

Yumna pun seolah tak memberi peluang untuk berkelit lagi. Perempuan itu mencium tangannya takzim. Ingin hati membalas satu kecupan di dahi, tapi Yasril takut kelepasan. Niatnya urung dilakukan.

Dia lantas mengaitkan jari-jemari mereka, seakan hendak menyalurkan keyakinan pada Yumna. Bahwa dia berharga. Tak peduli sepelik apa kisah yang telah dilalui.

Mereka duduk berhadapan. Lutut saling menyentuh. Yumna sedikit mendongak, juga Yasril yang menunduk. Bertatapan dalam diam selama beberapa saat.

"Jangan meyakini prasangkamu tadi. Bagaimanapun bentuknya," tutur Yasril. "Kau tahu, kau amat berharga."

Yumna membuang muka. "Dulu maupun sekarang, aku selalu merepotkanmu. Tidak ada yang kulakukan untukmu. Berhenti menghiburku, Yas."

"Apa aku pernah mengatakan omong kosong demi menghibur orang lain? Kau lupa bagaimana karakterku?"

"Kalau begitu," Yumna menoleh pelan-pelan, "jawab aku, kenapa kau menikahiku? Padahal, masih tersisa cara lain yang dapat ditempuh. Aku menunggu penjelasanmu. Sekuat apa pun aku pikirkan, tak kutemukan alasan logis yang dapat melegalisasi tindakanmu."

"Contohnya?" sahut Yasril mencoba tenang. Dia enggan mengungkapkan perasaannya sekarang. Khawatir membebani Yumna kalau-kalau isi hati mereka berbeda.

"Kau meminjamkan uang dan selanjutnya terserah aku."

"Siapa yang menjagamu? Bagaimana kau akan menjalani hidup di kampung orang? Bagaimana bila terjadi sesuatu? Siapa yang akan menolongmu?" cecar Yasril. "Dengan menikah, kau menjadi tanggung jawabku."

"Ternyata benar, aku adalah beban bagi orang lain," gumam Yumna linglung.

"Hei, jangan bikin kesimpulan seenaknya!"

"Fakta. Kau tahu, kenapa aku tidak nekat kabur sendirian? Karena tidak ada yang tersisa dari pernikahanku sebelumnya." Yumna menarik napas payah. "Aku mengembalikan sisa uang yang dia berikan selama tiga tahun. Dia menolak, tapi aku bersikukuh. Agar mamaknya tidak beranggapan bahwa aku memanfaatkan harta mereka."

Hening.

"Tiga tahun, aku merasa dipandang sebagai mesin pencetak anak. Jika rusak, boleh diganti. Sekarang, aku sadar, hal tersebut benar. Aku tidak punya kemampuan spesial. Aku pengangguran. Biarkan aku melaksanakan tugasku walau tingkat keberhasilannya rendah. Orang tuamu pasti menginginkan cucu. Aku ...."

"Diam!" potong Yasril.

Bibir Yumna bergetar. "A-aku ...."

"Diam, diam, diam. Jangan teruskan!" sentaknya sambil meremas tangan sang istri. "Tatap aku dan dengarkan baik-baik!"

Yumna meringis saat merasakan genggaman Yasril menguat. Sakit, batinnya. Dia tak berani protes.

Lelaki itu tampak marah. Untuk pertama kali sepanjang saling mengenal, Yumna menyaksikan mimik mengerikan milik Yasril. Rahangnya kaku, tatapan tajam dan mata memerah. Kulit wajahnya seakan menghitam.

"Sejak kapan kau mengenal aku dan keluargaku?"

Dingin.

Hati Yumna sontak mencelus. Hampir-hampir menyaingi rasa sakit di tangannya.

"Apa pernah kami memperlakukanmu dengan buruk? Membuat perbandingan-perbandingan yang selalu kau takuti? Apa pernah, sekali saja, kami menyakitimu?"

Senyap, lagi.

"Jangan menunduk!" bentak Yasril. "Jawab! Apa pernah orang tuaku bersikap dingin padamu? Bagaimana kedua abangku?"

Yumna menggeleng. Ketakutan menyergapnya. Matanya berkaca-kaca.

"Jadi begini ..., sikapmu terhadap orang yang kau percayai?" Yasril tersenyum. Senyum yang belum pernah dia lihat sebelumnya. "Terima kasih. Berkatmu, aku tahu rasanya pura-pura diakui. Tetap saja, aku tidak mengerti letak kesalahanku. Kenapa kau bertindak seolah aku akan mengulangi hal serupa? Kau menyamakan keluargaku dan keluarga mereka. Aku kira, kita saling mengenal sangat baik. Nyatanya, cuma aku yang berprasangka begitu."

Luruh sudah pertahanan Yumna. Cairan bening mengaliri pipinya. Tatkala Yasril melepaskan genggaman mereka, isakannya kian kencang.

"Berapa kali harus aku katakan? Aku berbeda! Kau benci dibanding-bandingkan, sementara kau sendiri adalah pelakunya!"

Yumna berusaha meraih telapak tangan Yasril, tetapi langsung ditepis kasar.

Yasril mendengus keras. "Pendapatku tidak penting untukmu, 'kan? Kau cuma meyakini isi kepalamu. Jadi, mari akhiri obrolan kita. Anggap tidak pernah terjadi. Bersiaplah untuk salat Subuh. Aku mau ke masjid."

Yasril berbalik. Yumna tergugu. Secara spontan mengejar sang suami, memeluknya dari belakang.

"Maafkan aku. Maaf. Aku salah, aku egois. Aku minta maaf. Jangan pergi dalam kondisi marah. Aku bersedia menuruti semua permintaanmu. Maafkan aku." Yumna menangis, memohon sekuat tenaga.

Akan tetapi, Yasril terlanjur menelan aneka kekecewaan akibat kata-kata Yumna. Walau lengan kurus sang istri semakin erat melingkari perutnya, dia tetap bergeming.

"Yas ...."

"Sudahlah. Lakukan sesukamu," tukas Yasril, lalu pergi tanpa menoleh walau hanya sedetik saja.

Yumna terperosok jatuh. Memandang nanar punggung lelaki itu yang kian menjauh.

-Bersambung.

Nah lho, Yas kecewa. Gimana menurutmu?

Oh iya, kok, targetnya cepat tercapai? Terpaksa update sesuai janji deh. Maaf baru sempat update soalnya baru selesai nulis semalam jam 23.30. Nggak ada juga yang mau baca jam segitu. Ini ngebut nulisnya. Tolong dikoreksi kalau ada typo, gaes. 😅

Padahal, aku berniat bikin adegan yang manis-manis. Lah, Kok, malah gini. Efek nulis tengah malam? Jadi baper sendiri. Wakaka.

Next chapter: views 7,5k, vote 2,1k, coment, 3k.

13 Agustus 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top