Arah Hubungan Kita
"Ngapain sih, lo?" tukas Yasril sebal karena merasa Raza memperhatikannya sedari tadi. Dia menjauhkan tangannya dari atas keyboard.
"Lo nggak pulang?"
Yasril menoleh sambil menyorot aneh, enggan menjawab.
Lembur bukanlah situasi baru dalam dunia mereka. Di samping itu, kebiasaannya ini sudah berlangsung rutin selama beberapa waktu belakangan. Sebelumnya tidak seorang pun ambil pusing karena memang sangat wajar terjadi.
Malam kian menyapa. Karyawan lain telah lama meninggalkan kantor. Kini hanya tersisa mereka.
Raza memutar kursinya dan menghadap ke arah Yasril. "Gue nemanin lo tidur di sini kalau gitu."
"Hah?"
"Gue udah dengar dari Yusra."
Yasril berdecak kecil. Sesuai dugaan, pikirnya. Tidak masalah asal gadis itu tetap tutup mulut terhadap keluarga mereka.
"Atau gini aja, lo tinggal bareng gue untuk sementara. Daripada lo bolak-balik apartemen tiap subuh, 'kan?" lanjut Raza usai mempertimbangkan ulang keputusannya.
Yasril termenung. Tawaran Raza merupakan solusi paling masuk akal. Kesepian yang belakangan terasa mengintainya dari berbagai penjuru mungkin juga akan teratasi. Dia dapat sedikit mengisi kekosongannya jika mendapati kehadiran orang lain di bawah atap yang sama.
Kedatangan Yusra kemari agaknya memberikan efek tersendiri. Sejauh ini dia kerap berpikir bahwa beban hati tak perlu dibagi. Kegigihan Yusra membuatnya sadar, bahwa masih ada orang di sekitar yang siap membantu. Dan Raza, pemuda itu termasuk salah satunya.
"Oke, gue ikut lo. Thanks."
Raza mengibaskan tangan. Isyarat bahwa dia tak memerlukan ucapan terima kasih. Sebagai kawan, memang sudah sepatutnya begini. "Satu lagi, ada baiknya lo konsultasi ke psikolog. Maksud gue, lo nggak bisa terus-terusan kayak gitu." Raza menggaruk kepala agak canggung, merasa sudah ikut campur terlalu jauh.
"Gue paham. Gue tau lo mau ngedukung argumen Yusra."
Raza menyengir, tidak bisa mengelak. Percakapannya dengan Yusra memang memberi pengaruh signifikan dalam meningkatkan kepekaannya terhadap situasi yang tengah terjadi. Mereka pun sepakat untuk membantu mendamaikan pasangan itu.
"Ngomong-ngomong soal Yusra, em, gue ... lagi ngedekatin dia," tukas Raza tak enak. Kondisi Yasril memang sedang tidak baik, tapi dia pikir perlu mengatakannya. Entah mengapa, rasanya dia butuh izin dari lelaki ini.
Sederhananya, pertemuannya dengan Yusra dilandasi oleh insiden menyedihkan. Rasa bersalah sedikit merasuk ke jiwa. Bagaimana pun juga, dia berupaya meraih bahagia di saat kawannya tengah terluka. Itu agak ... kontradiktif.
"Udah tau," sahut Yasril malas. "Bukan cuma lo, kali."
Raza mengerutkan dahi bingung.
"Yusra nanya-nanya tentang lo."
Raza membeliak. "Nanya apaan?"
Yasril memutar bola mata. "Intinya, lo nggak usah ragu."
Raza menghela napas sesaat, pun Yasril.
Hidup memang berjalan seperti ini. Cara kerja takdir memang begini. Tatkala sebagian orang tengah bersedih dan patah hati, sebagian lainnya justru bahagia dan tersenyum. Di saat pasangan lain sedang bergerak mendekati perpisahan, di sisi berseberangan justru baru merayakan sebuah pertemuan.
Malam itu, mereka tiba-tiba terdiam. Tanpa berkata-kata lagi, kembali menghadap perangkat elektronik masing-masing. Raza merasakan sebuah kelegaan amat besar. Terpancar semangat dari bola matanya.
Namun, di pihak lain, Yasril justru mengalami kebingungan. Perkataan Raza dan Yusra menggoyahkan tekadnya untuk tidak menghubungi Yumna sama sekali.
Benar apa kata mereka, mau sampai kapan? Bukankah dirinya tak bisa terus bertahan dalam situasi demikian?
Jika dia menggantungkan Yumna begini, akankan perempuan itu memperoleh kesembuhan?
Bagaimana kalau ternyata usaha mengobati Yumna berujung sia-sia?
Setidaknya, Yasril harus memberi kejelasan. Apakah dia mau mewujudkan keinginan sang istri untuk berpisah sebagaimana yang tertera dalam surat, atau memilih bertahan.
Hanya saja, tepatkah bila mengambil keputusan di saat Yumna sedang kehilangan jiwanya?
Yasril membuka dan menutup secara acak folder-folder yang terpampang pada dekstop. Pikirannya mengembara, hatinya dirundung kebimbangan.
Apa yang harus dia lakukan?
Terus terang, dia belum siap menemui Yumna lagi. Tidak sekarang, tidak pula besok. Entah kapan dia berani menampakan muka di hadapan sang istri.
Dia khawatir terbawa emosi, lantas berakhir menyakiti Yumna. Jauh di atas itu semua, dia tak tahu harus bersikap seperti apa.
Yasril memejamkan mata seraya menarik napas dalam. Agak lama sebelum dia membuka mata lebar-lebar.
Tunggu, bukankah mereka punya satu cara khusus untuk berkomunikasi sejak dulu?
Lelaki itu buru-buru membuka tab baru pada lembar kerja Microsoft Word. Ya, dia akan mengirimkan surat kepada Yumna lewat perawat. Mereka tidak harus bertemu langsung, tetapi isi hatinya dapat tersampaikan. Semoga saja Yumna berkenan membacanya.
Perlahan, jemari Yasril menari di atas papan tik.
*
Hai, Yumna.
Aku tidak tahu harus memulai surat ini dari mana. Banyak hal yang ingin kusampaikan padamu. Namun, aku rasa kita belum cukup siap untuk bertemu lagi.
Bagaimana kabarmu? Aku berharap kau sedikit menyesal di sana. Terdengar agak jahat memang, tapi aku ingin kau sadar bahwa tindakanmu keliru.
Bukankah selama ini aku sudah melakukan semua yang terbaik untukmu? Lantas, kau ingin mengakhiri usahaku dengan kematianmu?
Yumna, kau selalu memercayai asumsimu sendiri, bukan? Kau tidak pernah mempertimbangkan perasaanku.
Maka, lewat surat ini, izinkan aku berkata terus terang padamu.
Kau bodoh! Kau pikir tindakanmu hebat? Kau kira aku akan berterima kasih karenamu?
Sialan, kau tidak tahu kan, betapa sekarang aku sangat kesusahan?
Aku tidak bisa tidur, aku dihantui mimpi buruk. Aku tidak sanggup berlama-lama di apartemen. Aku akan tinggal dengan Raza untuk sementara. Pun, aku harus konsultasi ke psikolog.
Ini yang kau inginkan terjadi padaku? Atas seluruh pengorbananku, begini caramu membalasku?
Kau bilang, aku hanya akan merugi bila terus bersamamu, bukan?
Memangnya apa yang kau tahu tentangku, huh? Kau hanya mengikuti keegoisanmu semata.
Kau meninggalkanku! Padahal, kau yang dulu memintaku untuk bertahan di sisimu. Kau yang menyuruhku membawamu pergi. Kau yang memohon padaku!
Kau bilang, kau ingin memulai hidup baru denganku? Mana buktinya, hah? Ah, atau yang kau maksud, hidup baru di alam baka, begitu?
Kau pengecut, Yumna. Kau pecundang paling sialan yang pernah aku kenal. Aku kecewa padamu.
Baiklah, dunia memang tidak bersahabat. Kau mendapat perlakuan buruk. Kau hidup dalam serangan kecemasan hampir sepanjang usiamu.
Namun, apa aku yang melakukan itu? Aku yang membuatmu menangis? Aku yang mematahkan hatimu?
Kenapa aku yang harus menanggung akibatnya?
Kau bilang, kau mencintaiku. Kau menyayangiku sedari dulu. Lalu, begini caramu memperlakukan orang yang mengisi hatimu? Dasar pendusta!
Jika seluruh pengakuanmu benar, lantas kenapa aku tidak bisa jadi alasan untukmu bertahan? Bukankah bagimu aku berarti?
Kenapa, Yumna, kenapa kau begitu peduli terhadap penilaian orang lain, tetapi mengabaikan pandanganku?
Apa mereka yang selama ini mati-matian menjaga senyummu? Apa mereka yang senantiasa menerimamu dalam kondisi terburuk sekalipun? Apa mereka yang berjuang untukmu?
Kenapa kau sangat memikirkan asumsi orang lain, hah!
Aku, aku ada di sini untukmu.
Tidak bisakah kau melihatku dengan benar? Tidak bisakah kau menyadari keberadaanku?
Apa usahaku belum cukup untuk menjadikan diriku sebagai prioritasmu? Paling tidak, aku berharap kau mempertimbangkan perasaanku sebelum memutuskan sesuatu.
Apa keinginanku sedemikian sulit bagimu? Apa permintaanku terlalu banyak?
Sialan, aku tidak sanggup membencimu meski sangat menginginkannya.
Aku tidak mengekor padamu karena janji masa kecil, brengsek!
Aku benar-benar ... menyayangimu.
Dulu ataupun sekarang, hatiku tidak pernah berubah.
Yumna, bagaimana aku harus mengatakannya agar kau percaya? Apa aku harus terluka dulu agar kau yakin padaku?
Aku tidak peduli bagaimana asumsi orang lain terhadapmu. Aku yang paling tahu tentangmu, tumbuh bersamamu. Bahkan, meski kau membenci dirimu setengah mati, aku tetap menyayangimu sepenuh hati.
Namun, seperti yang kau katakan terakhir kali, kau ingin berpisah denganku, bukan? Menyakiti diri sendiri adalah caramu untuk melepaskanku, begitu?
Baiklah.
Kalau begitu, kau harus sembuh terlebih dahulu. Aku mohon, berdamailah dengan rasa sakitmu. Ikutilah arahan dokter.
Setelah itu, jika kau tetap menginginkannya, barulah kita membahas arah hubungan ini selanjutnya. Pisah atau terus, semua bergantung padamu.
Pada akhirnya, aku juga sepertimu. Kita sama-sama memendam luka.
Meski demikian, kau harus tahu, aku ingin selalu di sisimu, tak peduli sekuat apa pun kau berusaha mendorongku menjauh.
Sayangnya, aku mungkin tidak akan sanggup terus-terusan berjuang untuk seseorang ..., yang bahkan tidak ingin diperjuangkan.
Mari bertemu kembali dengan kondisi lebih baik, Yumna.
Bersambung.
:(
21 Februari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top