Alasan Penolakan
Sudah hampir sepekan Yumna mengabaikan pesan-pesan Yafiq. Apa pun yang berhubungan dengan lelaki itu, sebisa mungkin dia hindari.
Bagi Yumna, semua sudah jelas. Tidak perlu diributkan lagi. Dia menolak. Titik.
Akan tetapi, tampaknya orang lain tidak dapat menerima keputusannya. Mereka melabeli Yumna bodoh dan sok jual mahal.
Seperti malam ini, misalnya. Ketika tiba-tiba Yusra mengetuk pintu kamarnya.
Gadis itu ..., saudara kembarnya, seseorang yang mencibir betapa suram sarangnya, rela berlama-lama demi mencerca Yumna dengan berjibun pertanyaan.
Duh, yang benar saja.
"Kau serius menolak Kak Yafiq?"
Mereka berhadap-hadapan. Yusra menempati kursi plastik, sedangkan Yumna duduk bersila di atas kasur.
"Kurang jelas?"
"Kenapa? Aku tidak paham seleramu! Kak Yafiq adalah laki-laki yang paling diidamkan jadi suami di kampung ini! Dia memenuhi impian seluruh perempuan. Tampan, cerdas, dan mapan."
Yumna memutar bola mata bosan. "Kau terlalu menyanjungnya."
"Katakanlah, apa alasanmu sejujurnya?"
"Berjanjilah untuk membiarkanku tidur tenang setelah aku menyebutkan alasannya," tukas Yumna lempeng.
Yusra mengangguk mantap. Pandangannya lurus ke arah Yumna. Dia siap mendengarkan dari sudut pandang sang adik.
"Dia aneh."
"Hah?"
Yumna meraih ponsel di sisinya. Dia melemparkan benda itu ke depan. Yusra refleks menangkap.
"Coba kau simak betul-betul pesan Yafiq. Pertama, dia mulai menerorku sehari sebelum kunjungan kemari. Bertingkah seolah tahu banyak tentangku. Padahal, kami tidak dekat sama sekali. Itu agak-agak menyeramkan. Kedua, dia menyebalkan. Di depan orang lain, image-nya luar biasa sopan. Saat hanya ada kami, dia bertingkah seperti setan. Menebar godaan seenak jidat.
"Ketiga, dia lebih memilih aku dibanding kau. Sekeras apapun aku berpikir, rasanya tidak ada alasan untuk melakukan hal itu. Kecuali dia benar-benar sinting. Tidak ada untungnya menikahiku. Bagusan kau ke mana-mana."
Yusra mendongak sambil mendengus tipis. Dia meremas pelan ponsel milik kembarannya. "Baru kali ini aku tidak senang menerima pujian."
Yumna tersenyum datar. "Kau sudah dengar penjelasanku. Silakan keluar."
"Kak Yafiq jatuh cinta padamu. Hanya itu yang mungkin membuat manusia melakukan hal-hal sinting," kecap Yusra pahit.
"Terserah apa katamu. Pendapatku tidak akan berubah."
"Kau yang sinting!" maki Yusra. Dia menjilat bibirnya cepat. "Kak Yafiq susah payah mengejarmu, lalu begini responmu? Dengar, banyak gadis di luar sana yang bersedia menggantikan posisimu!"
"Tentu, silakan. Bukan urusanku. Ah, ya, bukankah kau salah satunya?"
Yusra memelotot. Kesal luar biasa. "Kau jangan mengejekku!" geramnya keras.
Yumna mengembuskan napas panjang. Dia menggeleng prihatin. "Kembalilah ke kamarmu. Kau butuh istirahat."
"Aku belum selesai bicara!"
"Ya sudah, lanjutkan. Omong-omong, kemarikan ponselku." Yumna menyodorkan tangan.
Yusra mencebik. "Kau akan menyesal karena menolak Kak Yafiq."
"Tidak. Aku yakin."
"Alasanmu tidak masuk akal!"
"Sikap kalianlah yang tidak masuk akal. Aku satu-satunya yang waras di sini. Coba renungkan, dengan semua keganjilan yang kupaparkan, apa kalian tidak penasaran tentang motifnya?" tutur Yumna dengan suara rendah.
Sungguh, dia muak.
Semua orang menuntutnya menerima laki-laki itu.
Yafiq yang sopan, tampan, mapan, menawan, idaman semua perempuan.
Ck, kenapa mereka tidak memahami pola pikirnya?
Pemuda waras mana yang melamar gadis di depan wastafel, lalu buru-buru pergi ketika ada yang mempergoki?
Pemuda normal mana yang lebih memilih sampah sepertinya, dan mencampakkan berlian sekelas Yusra?
Tingkah Yafiq terlampau mencurigakan.
Apa kata mereka? Cinta? Omong kosong!
Yumna mengembuskan napas berat. Sia-sia saja memaksa orang lain memahami argumentasinya. Percuma.
"Sudahlah. Kau ..., yang memandang Yafiq dengan cinta buta, tidak akan mengerti maksudku. Ah, ya, bukankah seharusnya kau senang? Kesempatanmu untuk mendekatinya masih terbuka lebar."
"Andai dia mau melihatku sedikit saja, aku pasti mengejarnya sampai dapat. Sayangnya, cuma kau yang dia inginkan. Bila menolakku di hadapan orang tua dia berani, bagaimana aku masih punya muka untuk mendekatinya? Pada akhirnya, yang dapat kulakukan hanya mendukungnya."
Yumna melongo.
Si Yusra, gadis yang memiliki harga diri setinggi langit, rivalnya dari orok, baru saja mengakui kekalahan?
Luar biasa.
"Jangan pasang ekspresi begitu! Kau membuatku tersinggung!"
Yumna membuang muka. "Kau benar-benar mencintai Yafiq, ya," gumamnya lirih.
"Sangat. Egoku terluka saat dia lebih memilihmu. Namun, aku sadar cinta tidak dapat dipaksakan. Ya, meski sebetulnya, aku masih mengharapkan dia. Semoga dia segera bosan padamu. Dengan begitu, aku punya peluang lagi." Yusra bersedekap sambil mengangkat dagu. Sebuah sikap yang menunjukkan kesombongan.
"Aku tidak ingin mendengar topik tentang harapan dan segala omong kosongnya."
"Ck, kau benar-benar suram!" Yusra beringsut mendekat, lalu menangkup kedua pipi Yumna. "Matamu sayu, kulitmu kusam, bibirmu kering. Ya, Tuhan! Aku merasa terhina melihat salinan wajahku di sini!"
"Aku rasa kau perlu mengikuti jejakku jika ingin Yafiq melirikmu." Sarkasme.
Yusra memelotot geram. Kehilangan kata-kata. Dia menjauh. Kembali ke posisi semula. Dia menghela napas sebelum berkata, "Aku serius. Setidaknya cobalah membalas pesan Kak Yafiq. Dia selalu menanyakanmu."
"Jika kurespon, apa dia akan berhenti menggangu?"
"Kau ini ..., jangan sok jual mahal. Apa kau mau jadi jomlo selamanya? Siapa laki-laki yang bersedia menikahimu selain dia?"
"Terima kasih karena telah mengkhawatirkanku. Aku tersanjung." Sarkasme, lagi.
Yusra memijat pelipisnya. Merasa dongkol. Sikap yang paling menyebalkan dari Yumna; tetap lempeng dalam segala situasi.
Kalau boleh dianalogikan, ketika bumi gonjang-ganjing, dia hanya akan menatap kerumunan manusia berlarian dengan pandangan layu!
"Aku harus pergi sebelum berubah sinting karenamu," cetusnya sinis. Tanpa bicara lagi, Yusra bergegas melangkah ke luar.
BRAK!
Pintu berdebam. Yumna mengelus dada. Bukankah dia sendiri yang datang tanpa diundang? Kenapa dia malah bertingkah seakan Yumna yang mengusiknya? Ada-ada saja.
Gadis itu termenung sesaat. Terus terang, kata-kata Yusra lumayan menganggu. Bukan soal siapa yang bersedia menikahinya, tetapi itikad baik untuk mempertimbangkan perjuangan Yafiq sejauh ini.
Mungkin benar. Bagaimanapun kondisinya, dia harus menghargai Yafiq.
Dalam sejarah hidupnya, tidak pernah ada laki-laki yang berlaku demikian. Ah, jangankan mengejar, mereka bahkan enggan melirik. Pesona Yusra mengalahkan segalanya.
Yafiq telah melakukan apa yang dia kira mustahil. Walapun tingkahnya agak menakutkan, motifnya belum jelas, Yumna perlu memberikan respon yang lebih layak. Minimal mengirimkan sebuah pesan.
Baiklah.
Yumna memandangi ponselnya. Jari-jemarinya bergerak mengecek aplikasi WhatsApp. Mencari kontak Yafiq. Banyak pesan masuk dari lelaki itu.
Maaf kalau perlakuan saya waktu itu bikin Yumna tersinggung. Terus terang, saya tidak menemukan kesempatan untuk bicara berdua. Konyol juga kalau saya melamar lewat HP. Itulah kenapa saya nekat. Paling tidak, sebelum mengaku di depan para tetua, saya mau Yumna mendengarnya lebih dulu.
Yumna, jangan hanya dibaca.
Kenapa pesan saya tidak dibalas? Yumna masih marah? Saya betul-betul minta maaf.
Yumna sekarang kelihatan sedih, ya. Padahal, Yumna dulu murah senyum. Sayang kalau lesung pipitnya disembunyikan, lho.
Apa Yumna punya masalah? Kalau kita menikah, saya siap jadi tempat curhat.
Apa saya harus datang lagi ke rumah Yumna?
Dan seterusnya. Dan sebagainya. Tak ada kata menyerah.
Yumna mulai mengetik balasan. Dia akan menyampaikan beberapa poin penting. Sesuatu yang memang butuh diluruskan. Kebetulan Yafiq juga sedang online.
Halo, Pak Dokter yth., terima kasih telah menunggu respon saya.
Pertama-tama, tolong jangan menyebut nama saya begitu. Berbicaralah sebagaimana orang kampung ini pada umumnya. Karena umur saya lebih muda, seharusnya Anda bisa menggunakan kata ganti aku-kau.
Kedua, Anda yang bertingkah seolah sangat mengenal saya, sungguh menakutkan. Tolong hentikan itu.
Ketiga, terlepas dari apa pun alasan perbuatan Anda tempo hari, saya menolak untuk dinikahi.
Sekian.
Tegas dan jelas. Dia sengaja menggunakan bahasa yang sangat formal. Sebagai indikasi perihal hubungan apa yang mereka miliki. Yafiq harus tahu batasannya.
Yumna bernapas lega. Dia tidak yakin ini akan menyelesaikan masalah, tetapi biarlah. Dia sudah memberikan tanggapan terbaik.
Tidak sampai lima menit, pesannya berbalas.
Halo, Yumna.
Aku menunggumu setiap hari. Terima kasih karena sudah merespon. Aku senang.
Baiklah. Aku akan menuruti keinginanmu untuk poin satu dan dua. Namun, untuk poin tiga, boleh aku tahu apa alasanmu?
Yumna merenung sejenak. Mempertimbangkan.
Haruskah dia berbicara frontal? Percis seperti yang dia sampaikan kepada Yusra? Berterus terang tentang pendapatnya?
Yumna menggeleng. Itu akan menyakiti hati Yafiq. Dia tak tega. Terlalu kasar. Cukup sebatas penolakan. Jangan ada caci-maki.
Dia sangat paham bagaimana rasanya dihancurkan. Lebur. Tak bersisa. Sampai nyaris mati rasa. Hingga air mata mengering.
Betapa menyedihkan. Betapa mengenaskan. Reka ulang Yumna di benaknya.
Cukup dia yang mengecap hal itu. Tidak perlu menambah korban. Lalu Yumna pun mulai merangkai kalimat atas dasar pemikiran tersebut.
Sebelumnya, saya punya beberapa pertanyaan.
Satu, bagaimana Anda tahu banyak tentang saya?
Dua, kenapa sikap Anda manis saat hanya berdua dengan saya (online ataupun offline), lalu abai bila ada orang lain?
Tiga, kenapa Anda lebih memilih saya dibanding Yusra?
Terkirim. Yumna menengadah. Menerka-nerka bagaimana tanggapan Yafiq.
Ponselnya bergetar. Lebih cepat dari yang dia kira. Yumna sampai ragu laki-laki itu berpikir dahulu sebelum menjawab.
Jawaban singkat, karena aku mencintaimu.
Jawaban panjang, boleh kusampaikan secara langsung? Setelah bertemu, bila kau tetap menolak, aku akan berhenti mengganggumu. Itu janjiku.
Yumna tersenyum datar. Cinta?
Baik. Ayo selesaikan urusan ini. Saya akan menghubungi Anda lagi untuk waktu dan tempat pertemuan.
-Bersambung.
11 Juni 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top