Aku Ada Untukmu

"Tidak ada yang bisa lepas dari mata tetangga."

Yasril membuka jendela. Pemandangan kerlap-kerlip lampu di bawah sana tampak indah. Semilir angin malam membelai wajah.

Dari atas ketinggian lantai 15, dia khidmat mendengarkan seseorang di seberang telepon mencerocos.

"Tahu apa yang mereka pikirkan waktu melihat kau dan keluargamu bolak-balik ke rumah kami? Kau mau menikah denganku."

"Respon kalian?"

"Cuma senyum. Biarkan orang berspekulasi. Jika sudah waktunya, mereka akan tahu sendiri."

"Kau sudah dewasa rupanya."

"Heh, maksudmu?!"

Yasril terkekeh pelan. "Tapi sayang, ya?"

"Apa?"

"Masih setia jadi fotografer. Kapan giliran mempelai?"

"Yasialan ...!"

Yasril makin tergelak. "Itu gelar baruku?"

"Adik ipar durhaka!"

"Oh, sudah diakui secara resmi?"

"Ck, terserah kau!"

Yasril berdehem. "Jangan ngambek. Sejauh ini, kondisi di sana aman?"

"Ya, cuma sebatas itu."

"Hm, oke, terima kasih informasinya."

"Untunglah Yumna sudah pergi. Kalau belum, bisa-bisa makin stres. Aku sendiri mulai pusing. Apa sebaiknya aku kabur juga, ya?"

"Meninggalkan semua pencapaianmu?" sahut Yasril serius.

"Aku bisa memulai dari awal."

Yasril mendengus. "Di usiamu yang sekarang? Jangan konyol. Kau pikir kabur adalah solusi?"

Hening sekian detik.

"Kenapa kau terdengar kesal?" timpal Yusra heran. "Jika kabur bukan solusi, kenapa kau mau membawa Yumna pergi?"

"Kau bukan Yumna. Situasi kalian berbeda. Bukankah kau yang dulu bilang mau beradaptasi dengan standar masyarakat? Sekarang, kau terpikir untuk berhenti karena orang lain melakukannya?"

"Astaga, aku bercanda. Kau serius sekali! Tapi, terima kasih sudah peduli. Aku jadi merinding. Kau tak apa, 'kan?"

Yasril mengusap wajah. Sadar telah bereaksi berlebihan. Dia hanya tak suka mendengar kata-kata tersebut keluar dari mulut Yusra. Menurutnya, gadis itu ... kuat. Mentalnya bukan main. Jadi, sangat disayangkan jika Yusra memilih mundur.

"Aku oke, sedikit capek. Kemarin kami baru tiba di sini sekitar jam sepuluh. Terus ...."

"Sebentar, ini ceritanya kau sedang curhat padaku?" potong Yusra.

"Tidak boleh?"

"Ck, ck, kasihan sekali pengantin baru. Diabaikan Yumna, huh?"

"Jangan memancing keributan," kecap Yasril malas, disambut tawa puas dari ujung alat telekomunikasi.

"Omong-omong, kalian sudah membahas masalah konsultasi ke psikolog?"

"Belum sempat."

"Serius? Belum sempat, kau bilang? Aku makin penasaran, apa saja yang sudah pengantin baru ini lakukan selama dua hari. Eh, satu hari, ya? Setelah ijab kabul, kau kan, pulang ke rumah orang tuamu. Kalau dipikir-pikir, sepertinya enak jadi fotografer."

Yasril memutar bola mata kesal. "Kau yakin mau meneruskan lelucon ini?"

"Haha, iya, aku paham. Santai. Kau benar-benar butuh istirahat. Aku tutup, oke? Nanti aku kabari jika terjadi sesuatu di sini."

Yasril mendesah berat. Dia menutup jendela terlebih dahulu sebelum berbalik. Menghampiri Yumna yang sedang menonton, bukan, ditonton televisi.

"Hei," panggilnya rendah sambil duduk di samping perempuan itu.

"Siapa yang menelepon?"

Mereka tidak saling melihat. Pandangan lurus ke depan. Membiarkan suara televisi mengisi celah-celah percakapan mereka.

Yasril bersandar pada punggung sofa. Mencari posisi ternyaman. "Yusra. Kau belum mengantuk?"

"Belum. Kalian sering bicara jam begini?"

"Sesekali. Kau butuh sesuatu? Kopi, teh, cemilan?"

"Yas, lihat aku."

Yasril memutar kepala demi mendapati tatapan intens Yumna.

"Sampai kapan aku harus menunggu?"

"Maksudmu?"

"Kau menyuruhku diam sampai kau sendiri yang menjelaskan. Aku setuju. Hanya saja, aku merasa kau menyembunyikan sesuatu. Sedangkan bersama Yusra, kalian punya chemistry yang tidak dapat aku pahami. Sejak kapan kalian ... sangat dekat?"

"Sudah lama. Kami berteman. Rasanya kami tidak sedekat yang kau ... bayangkan?" tuturnya ragu.

"Begitu? Jadi, apa yang kalian bahas sampai jam ...," Yumna mengitarkan pandangan, mencari keberadaan jam dinding, "sepuluh?"

Yasril mengernyit samar. Tak lama, senyumnya mengembang. Dia memutar tubuh, menghadap sempurna ke arah Yumna. Kakinya dinaikkan ke atas sofa, duduk bersila. "Kau tampak seperti istri ... posesif?"

Yumna refleks memutar bola mata.

Yasril mengacak-acak rambut perempuan itu. "Bukan menyembunyikan, tapi menunda informasi. Baiklah. Karena kau sudah duluan bertanya, maka tugasku menjawab."

"Mencurigakan," komentar Yumna lempeng.

"Aku sudah membaca seluruh curhatanmu," gumam Yasril, menunggu respon. Namun, perempuan itu diam saja. Akhirnya dia menambahkan, "Kupikir, perasaan sesak yang kau ulang-ulangi dalam catatanmu perlu penanganan lebih lanjut?"

Senyap. Yumna tetap bergeming. Seolah menunggu penjelasan utuh.

"Bagaimana jika kita bertemu psikolog?"

Saat itulah, ketika Yasril mengemukakan tujuan utamanya, senyum Yumna perlahan terbit. Semula tipis, lama-lama kian melebar. Hingga terlihat agak mengerikan.

"Kau sama saja rupanya. Kupikir, kau mau membebaskanku. Ternyata justru lebih parah, ya? Kau sengaja mengajakku ke Jakarta agar bisa mengendalikanku? Karena aku tak punya siapa-siapa di sini, begitu?" Yumna menelengkan kepala. Kemudian tertawa patah-patah. "Kau bekerja sama dengan keluargaku?"

Hati Yasril mencelos. Perih. Yumna berubah, batinnya. Walau demikian, dia tak ragu mengambil tindakan pencegahan. Kalau-kalau Yumna melakukan gerakan ekstrem, seperti membanting remot atau sejenisnya.

Dekap.

Tangan kiri Yasril menyentuh pinggang Yumna, sedang tangan kanannya di bagian tengkuk. Dagunya disandarkan pada bahu kanan sang istri.

Yasril belum tahu apa tepatnya jenis gangguan mental yang diderita perempuan ini. Dia sudah bertanya pada seorang psikolog kenalannya, serta membaca literatur relevan. Hipotesis sementara yang dia dapatkan, Yumna menunjukkan gejala distimia.

Distimia adalah depresi kronis berkepanjangan atau disebut sebagai persistent depressive disorders (PDD). Berlangsung minimal dua tahun bagi orang dewasa dan satu tahun untuk anak kecil. Penderita distimia akan kesulitan merasa bahagia sehingga kerap dipandang sebagai pemurung.

Gejala-gejala yang dialami berupa gangguan tidur, kehilangan nafsu makan atau justru sebaliknya, mudah marah, sering merasa bersalah saat mengingat masa lalu, dan merasa kehilangan harapan.

Para pakar psikiatri belum menentukan penyebab pasti distimia. Ada kemungkinan hal ini terkait faktor genetis, tetapi pada sebagian penderitanya tidak ditemukan rekam jejak keluarga dengan masalah sejenis. Kemungkinan lain, terjadi fungsi abnormal di otak. Bisa juga dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa buruk dalam relasi atau pekerjaan yang pernah dialami, penyakit fisik, serta efek obat.

Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mendiagnosis kondisi sebenarnya, adalah dengan mendatangi tenaga profesional secara langsung, mengikuti serangkaian tes. Demi Yumna, agar memperoleh penanganan yang tepat, Yasril bersedia melakukan apa pun.

"Lepas!"

Yasril menggeleng. Justru kian merapatkan tubuh mereka. "Kita manusia. Wajar kalau frustrasi. Aku juga merasakannya. Semua orang pernah berada di titik terendah. Atas segala hal yang telah kau alami, betapa hebat karena sanggup bertahan hingga detik ini. Jika kita bertukar posisi, aku tidak yakin bisa dan siap."

"Bohong! Kalian menganggapku gila!" Yumna menggeram. "Padahal aku percaya padamu, Yas. Selalu."

Yasril melonggarkan pelukan. Tangannya berpindah di pipi Yumna. Wajah mereka hanya terpisah beberapa senti.

"Menurutmu, aku mau menikahi orang gila?" tukasnya rendah, berupaya untuk tidak memprovokasi. "Menemui psikolog bukan berarti gila. Sama halnya seperti keluhan fisik, mental pun perlu bantuan tenaga medis."

Bola mata Yumna bergerak gelisah. Terlihat tidak fokus. Menyiratkan ketakutan dan ketidakberdayaan.

Yasril menahan kedua sisi wajah Yumna. Menyatukan dahi mereka. Berusaha menyerap atensi sang istri. "Tidak seorang pun akan menghakimimu di sini. Kau aman. Aku bisa jadi pendengarmu, tapi, keresahan yang mengganggumu perlu penanganan lain."

"Aku ... aman?"

"Tentu."

"Aku takut." Bibir Yumna bergetar. "Seseorang pernah bilang akan membuatku bahagia. Katanya, dia mencintaiku, nyatanya ...."

Jeda.

Kalimat tersebut tak selesai, tertahan di ujung lidah. Sebab, tanpa aba-aba, Yasril langung menempelkan bibir mereka. Tiga detik. Mengabaikan ekspresi terkejut Yumna, satu kalimat penuh percaya diri meluncur dari lisannya. "Namaku Yasril dan aku berbeda."

Saat itulah, tatkala menemukan sorot kesungguhan di bola mata lawan bicaranya, Yumna akhirnya menyadari satu hal.

Bahwa Yasril, bahkan jika seluruh dunia mencibir, akan senantiasa berdiri di pihaknya.

Dulu ataupun sekarang, lelaki itu tidak pernah berubah.

Setitik cahaya perlahan melingkupi hatinya yang kelabu.

Seharusnya Yumna tahu, bersama Yasril, dia tak perlu mengkhawatirkan apa pun.

-Bersambung.

Mulai sekarang aku mau update pakai target (entah sampai kapan). Mungkin sampai aku sidang skripsi? Gak lulus-lulus aku nih, keenakan nulis cerita. Kudu yudisium bulan Desember, mumpung lagi bebas UKT. Doakan yee~ 🤒

Masang target ternyata asyik, gaes. Jadi santai gitu. Aku nggak buru-buru, kalian juga nggak ngerasa di-PHP-in karena aturannya jelas. Iya nggak, siiih. Haha.

Hng ... apa pakai rentang waktu gitu, ya? Semingguan?

Kalau target gak tercapai, pekan selanjutnya baru up. Sesuai hari update terakhir.

Nah, ini targetnya.

Views 6,5k, vote 1,15k, coment 2,18k

11 Agustus 2020.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top