6. Vega
Lokomotif bergerak secepat yang dia bisa, dan matahari sudah menghilang beberapa jam lalu. Dalam hal ini, guncangan dan hawa dingin di malam bulan Agustus jadi tidak terasa sama sekali – atau malah diriku saja yang tidak peka? Entahlah. Hal seperti ini tidak akan bisa mengganggu lamunan orang yang sedang kasmaran, kan?
Yah, bagaimana aku mengawalinya ya?
Saat sadar, semua yang sudah kulalui selama setahun ini tampak seperti ilusi ribuan lembar film yang diputar secara bersamaan. Segalanya terasa kabur. Bahkan saat menatapi diriku sendiri di cermin kamar mandi atau menghitung titik air di wastafel, yang tampak bukanlah kehidupan sehari-hari yang kulalui.
Aku menatap langit, mencari segi tiga musim panas – sesuatu yang entah bagaimana bisa membuatku yakin dia milikku.
Ini gila. Maksudku, kami sama-sama manusia, tapi bagiku dia bagaikan bintang Vega yang hanya bisa dilihat pada bulan Juli hingga Oktober, sedangkan aku hanya seorang gembala biasa yang hanya menunggu kemunculannya dan memujanya di bawah sini.
Dia sangat tegas, terlalu galak bahkan. Dia sering memukul pundakku dengan kekuatan penuh yang bisa membuatku terlempar, baik terlempar secara fisik atau terlempar dalam kesenangan. Bicaranya sangat kacau, kasar, dan suka sekali mencaci. Tapi di dalamnya selalu tersimpan kekhawatiran pada hal sepele. Seolah yang kuhadapi adalah anak nakal yang butuh perhatian.
Dan puncaknya, yang kutunggu adalah jeweran di telingaku dan tendangan pelan di tulang keringku. Menoleh pun yang kulihat adalah wajah masam. Namun, semua itu berubah sedetik kemudian bersamaan dengan sebuah mantra paling mujarab yang nyaris membuatku langsung menurutinya.
"Jangan pergi dulu!"
Sungguh sebuah mantra. Senyuman yang kusunggingkan adalah kebalikan dari keinginan yang tertahan. Tentu saja aku ingin tinggal lebih lama, tapi pekerjaan yang aku lakukan sekarang tidak lain adalah untuk masa depan kami juga.
"Kau hanya berkunjung pada akhir minggu keempat setiap bulan. Bagaimana bisa kau yakin aku tidak jalan dengan cowok lain?" ada nada naik di kalimat itu.
Aku memegang pundaknya dan menghela napas, berusaha menguatkannya dan menguatkan diriku sendiri. "Ayolah, aku akan kembali lagi bulan depan, kan?"
Kemudian, ia akan menepis tanganku dengan kasar sembari berdecak kesal dan barkacak pinggang. "Kau harus cepat kembali."
Oh, tentu saja.
Aku akan tertawa sendiri saat ini terjadi. Maksudku, memikirkannya secara tiba-tiba. Yang terbayang bukan hanya wajah, tapi juga suara, ekspresi, hingga sentuhannya.
Pulang-pergi dari London ke Manchester setiap bulan adalah rutinitas wajib yang aku lakukan sejak beberapa tahun lalu. Jadi, bagaimana bisa aku bertahan selama ini?
Oh, tentu saja karena dia selalu ada di sana.
Jarak London dengan Manchester jadi tidak ada artinya.
Tanpa sadar, laju lokomotif semakin melambat seiring dengan decitan antara roda besi dan rel, kemudian berhenti secara absolut diikuti guncangan terakhir. Kakiku melangkah keluar gerbong dengan ransel di pundak.
Peron masih cukup ramai dengan orang yang berlalu-lalang. Tapi, meskipun banyak sekali orang, aku langsung mengenali sosok dari kejauhan yang mendekat ke arahku. Hoodie-nya sedikit kebesaran, sementara langkah kaki yang menghentak-hentak itu seolah mengatakan, "Kemari kau, bodoh!"
Tentu saja aku mengikuti perintah khayalan itu. "Apa ini? Terlalu merindukanku sampai mau menjemput ke sini?"
Ketika kami sudah cukup dekat, aku bisa melihat wajah cemberutnya. "Kau lama sekali, Daniel. Kukira kau mati di perjalanan," kasar seperti biasa.
Aku terkekeh sejenak, sementara dia kelihatan jengkel.
"Aku kembali, Sophie,"
"Heh..." katanya sambil memiringkan kepala. Lalu, kulihat senyuman asimetris yang membuatnya kelihatan sangat sombong, seperti Vega yang mendominasi rasi Lyra. Dan inilah yang sangat aku rindukan. "Sepertinya ini adalah hari yang sial buatku."
***
THE END
This story from my friend Tita TitaRusiarta ... I hope you like this
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top