4. Misi Paling Konyol

Sepulang sekolah, aku dan teman-temanku berkumpul di depan pintu gerbang. Kami mendiskusikan tentang perayaan Halloween nanti malam. Temanku, Brian menantangku datang ke rumah yang berada di ujung kompleks. Ku dengar dari tetangga sekitar, sejak dua tahun lalu, rumah itu seperti rumah yang tidak berpenghuni, rerumputan melingkari pagarnya, lumut-lumut menghiasi tangganya, dan tak kalah penting lampu yang menyinari teras dan taman tidak pernah menyala.

Sepasang suami-istri menempati rumah itu sejak dua tahun yang lalu. Orang-orang masih mempertanyakan tentang asal usul mereka. Mereka selalu menutup pagar dan mengunci pintu rumahnya. Mereka jarang keluar rumah. Berbaur pun juga tidak pernah. Gelombang kecurigaan muncul dari benak masyarakat dan aku harus menepis semua itu. "Mengapa mereka tidak mau keluar rumah?", "Mengapa mereka tidak pernah berbaur dengan tetangga-tetangganya?, "Mengapa mereka mengunci pagar dan selalu menutup pintu?, "Apa yang sebenarnya mereka lakukan di dalam rumahnya?" Semua pertanyaan itu hanya bisa ku jawab asalkan aku bisa masuk dan bertemu si pemilik rumah secara langsung.

Malam pun tiba. Baik anak maupun orang dewasa sudah siap dengan kostum mereka masing-masing. Ku susuri jalan, terlihat olehku pernak-pernik Halloween yang terpasang di setiap sudut kompleks. Temanku sudah berkumpul.

"Akhirnya kau datang juga Jack," kata Brian meremehkanku,"Ku kira kau pengecut."

"Aku pengecut??? Seorang pengecut tidak kan menepati janjinya," jawabku enteng.

"Terserah, pengecut hanya bisa mencoba untuk berani."

"Lihat saja nanti kawan!!!"

"Sudah-sudah, kalau kalian melakukan debat kusir, kapan kita akan memulai misinya," Daniel, salah temanku yang mencoba menghentikan omong kosong ini.

Setibanya, aku, Brian dan dua lainnya mencari-cari bel rumah. Tapi tidak ada bel rumah. Kami pun berteriak, pertama tidak ada yang menyauti, makin keras juga tidak ada. Lalu bagaima? Brian mencoba membuka engsel pagar, dan ternyata pagar itu tidak di kunci, "Mengapa pagar ini tidak di kunci?","Apa ini memang di sengaja?","Apa ini kode bahwa si pemilik ruah menerima tamu untuk pertama kalinya?" Berbagai pertanyaan berkecamuk di benakku.

Kami pun masuk. Rumah ini beda dari yang lain, di saat pernak-pernik Halloween terpasang, di sini nihil. Depan teras dan seisi rumah begitu gelap. Mungkin si pemilik rumah sedang memasang jebakan atau semacamnya. Aku tak bisa melihat apa-apa. Aku juga tidak tahu kemana semua teman-temanku. Kami terpisah oleh kegelapan ini. Dalam benakku misi, teman, semuanya campur aduk. Mencari teman atau menjalankan misi itu.

"Ahhhh..... Aku tidak tahu."
Ku melangkah, serasa rerumputan liar sedang menggores kakiku. Ku bertanya-tanya, apa si pemilik rumah memelihara rumput-rumput ini. Pertanyaan tidak penting melintas di pikiranku. Sambil menenteng keranjang, aku mencari-cari dimana pintu masuk rumahnya. Sesaat ku melihat sebuah lampu labu, ku mendekatinya lalu hilang begitu saja. Mungkin mereka pikir bisa menakut-nakuti dengan seperti ini, tapi tidak untukku. Kembali ku mencari pintu masuknya.

"BRAAAKKK.........," ku menabrak sesuatu dan terjatuh. Aku mencoba bangkit dan berpengang sesuatu, sesuatu seperti lumut, licin. "Apa ini tangganya? Orang-orang bilang kalau tangganya berlumut. Pasti ini yang akan membawaku ke pintu masuk rumah."

Ku menaiki tangga, berderit begitu keras. Sekelebatan cahaya putih lewat di depanku. Aku mengabaikannya dan mengalihkan pikiranku, misi penting masih menunggu. Tangga terakhir sudah ku lewati, berjalan ke depan lalu meraba-raba, kasar, keras, berdebu, dan knop pintu. Sudah ketemu. Knop pintu ku tarik dan pintunya tidak di kunci. Ku tutup kembali pintu itu. Sejenak ku berpikir, mengetuk pintu terlebih dahulu atau langsung masuk ke dalamnya. "Ahhh.... terlalu lama, masuk saja."

Di dalam, kumelihat seberkas cahaya, cahaya entah dari mana datangnya. Terlihat juga dua sosok anak seperti Brian dan Daniel ketawa gembira. Di tangan kiri mereka terdapat sebuah keranjang yang sudah terisi penuh oleh permen. Ku menghampirinya. Tiba-tiba seberkas cahaya itu hilang dan keadaan gelap seketika.

Rumah ini serasa menjebakku. Aku tak tahu harus kemana. Depan, belakang, samping, semuanya gelap. Aku hanya bisa meraba-raba. Berjalan kesana-kemari percuma saja, tidak ada jalan keluar. Sesaat ku melihat sebuah ruangan yang berlampu, seorang temanku lainnya menjerit ketakutan. Ku mendekat, tak ada seorangpun dan ruangan kembali gelap. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya mereka rencanakan, apa ini juga bagian dari rencana teman-temanku untuk menakut-nakuti dan menguji nyaliku, tapi mana mungkin mereka semua melakukan itu.

"BLAAKKK.....," suara pintu menjeblak terbuka, berasal dari sebelah utara, ku menghampiri dan sebuah senter tergeletak yang menyala. Lalu ku ambil untuk penunjuk jalan. Ku sinari sekitar ruangan, ternyata aku di dapur. Terkejutnya aku ketika melihat sebuah bercak merah yang tercecer di atas lantai. Dan lebih terkejutnya lagi, ada sebuah gelang tangan bertuliskan BRIAN di samping bercak itu. Ketakutan mengguncang diriku. "Apa yang terjadi dengan Brian?", "Apa yang mereka lakukan pada Brian". Tanganku bergetar ketika mengambil gelang itu, tubuhku hujan keringat.

"JAAAAAACCCCCCKKKKKK.......... TOLONG AKUUUUU, TOLONG AKU JAAAACCKK."

Brian, itu suara Brian. Ya, aku sangat yakin itu suara Brian. Tapi, dimana dia? Apa yang sedang terjadi dengannya? Ku berlari dari satu ruangan ke ruangan lainnya. Namun, tak ada hasil.

"JAAACCCKKK TOLONG KAMI, TOLONG KAMI JAAAACKK."

Suara itu terdengar lagi, kali ini ketiga temanku yang meminta bantuanku. Aku harus apa? Aku tak tahu mereka ada di mana? Di seluruh ruangan tidak ada. Aku pun keluar. Dengan disinari cahaya senter, aku menangkap wajah ketiga temanku yang bersimba darah. Aku pun melonjak dari tangga dan berlutut di hadapan mereka. Kebodohan serasa membakar diriku. Mengapa aku tak bisa menyelamatkan teman-temanku. Mengapa aku bodoh sekali. Apa yang akan ku katakan kepada kedua orang tua mereka. Rasa sakit menusuk jantungku. Ku mencoba membangunkan mereka, berharap ada keajaiban yang datang. Namun, itu semua sudah terlambat. Mereka sudah pergi meninggalkanku dan takkan pernah kembali. Di bawah pohon cemara, ku menggeleng dan memeluk ketiga temanku erat.

"Bernapaslah, ku mohon! Ku mohon, bernapaslah!"

Halloween kali adalah Halloween terburukku. Mana mungkin aku bisa kehilangan ketiga temanku. Tanganku bergetar saat mengusap-usap darah di wajah mereka.

"Selama yang aku ingat kalian semua memiliki kelebihan masing-masing. Brian, kau pemberani dan kau juga selalu peduli dengan teman-temanmu. Daniel, kau si pintar yang selalu membantuku mengerjakan PR. Dan kau Jamie, si bijak yang selalu memotivasiku. Kalian semua orang istimewa dalam hidupku. Aku teringat di saat kita sedang bertengkar dan aku juga teringat setiap kali bertemu dengan mu, Brian kita selalu melakukan debat kusir. Aku rindu masa-masa seperti itu. Aku rindu masa-masa disaat kita bersama. Maafkan aku yang tidak bisa menyelamatkan kalian. Maafkan aku selama ini. Maafkan aku selama ini," air mataku terjatuh begitu deras. Namun, semua ini tak ada artinya bila dibandingkan teman-temanku.

Ku berdiri dan hendak beranjak pergi. Meminta perhitungan atas apa yang sudah di lakukan si pemilik rumah. Rasa bersalah masih menyayat-nyayat diriku. Goresan-goresan luka mencekik diriku. Air mataku terus berlinang. Aku ingin menyampaikan pesan pembalasan untuk teman-temanku. Dengan berbekal sebatang kayu, aku akan melawannya.

Saat ku melangkah, sesuatu menarik kakiku dan membuatku berhenti seketika. Ku menoleh. Brian, Daniel, dan Jamie terbangun lalu berdiri tanpa merasa sakit sedikitpun. Mereka terbahak satu sama lain. Aku bingung dengan semua ini. Luka, darah, apa semua itu bohongan? Mereka semakin terbahak ketika melihatku seperti orang linglung. Sesaat kemudian, si pemilik rumah keluar dengan kostum unik mereka. Tak kalah, mereka juga tertawa melihat ekspresi lucuku saat itu.

"SATU, DUA, TIGA, HAPPY HALLOWEEN........... TRICK OR TREAT," teriak mereka serempak.

"T-t-t-tapi...., apa maksud semua ini? Apa ini bohongan? Dan Brian, Daniel, Jamie, k-k-kalian.....," tanyaku untuk mencari tahu yang sebenarnya.

Sepuluh menit menjelang tengah malam, ketiga temanku menjelaskan yang sebenarnya. Tak kusangka mereka berhasil dengan misi mereka sedangkan aku gagal dalam misiku. Misi konyol yang tak kusadari dari awal. Betapa bodohnya aku kalau temanku sedang mengerjaiku.

"Tenang saja kawan, misimu akan terpecahkan kok!" sindir Brian meledek,"Pak dan Bu Kendrick akan menjelaskan semuanya."

"Silahkan di mulai Pak Kendrick," Daniel mempersilakan Pak Kendrick untuk berbicara.

Pak Kendrick menjelaskan semuanya dengan rinci, mulai dari alasannya selalu menutup pintu pagar juga pintu rumah karena untuk menjaga keamanan barang-barang, ia dan juga istrinya harus pergi bekerja ke kota. Kedua, alasan kenapa ia tidak pernah keluar rumah dan berbaur dengan tetangga karena ia juga istrinya ada di rumah hanya saat di akhir pekan saja. Berikutnya, alasan mengapa rumahnya begitu kumuh dan tidak terawat, karena ia jarang membersihkan rumahnya, waktu di akhir pekan mereka gunakan untuk beristirahat. Setelah mendengar semua penjelasannya, aku merasa bersalah kepada Pak Kendrick karena sudah berburuk sangka kepadanya. Lagi-lagi ku merasa kalau semua ini bagian dari rencana teman-temanku. Aku bertanya kepada ketiganya, dengan enteng mereka menjawab "tentu saja."

"Emmm.... sebelumnya saya minta maaf karena saya sudah berburuk sangka sama Pak dan Bu Kendrick."

"Tidak apa-apa kok."

Hari ini memang hari yang penuh kejutan. Tepat pukul dua belas malam, teman-temanku membawa sebuah kue tart yang tertancap lilin bertuliskan angka "empat belas." Hampir saja aku lupa kalau hari ini merupakan hari ulang tahunku. Ku tiup lilin lalu ku potong kue. Semua temanku mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku, salah satunya Brian.

"Selamat ulang tahun bung. Sehat selalu, panjang umur, tambah pintar dan jangan mudah untuk dibohongi,"ucap Brian.

"Aku bukan orang yang mudah untuk dibohongi, tapi misi kalian saja yang terlalu sulit," ucapku sebagai pembelaan diri.

Tak ku sangka, Pak dan Bu Kendrick juga ikut memberiku kejutan. Mereka menyiapkan makanan ala Halloween. Kami pun makan bersama di samping teras dengan disinari dua buah lampu labu. Aku sangat tersanjung dengan semua ini. Di balik peristiwa konyol tadi, ternyata terselip suatu momen indah.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top