3. Emas dalam Kubangan Lumpur
Beep... Beep...
Suara klakson lagi, entah untuk yang kesekian kalinya terdengar seperti hal wajib di telingaku kala diri ini menunggu angkutan yang akan membawa menuju tempat di mana ribuan harapan ingin sekali tumpah. Tempat yang semoga menjadi wadah mengais rejeki.
Beberapa remaja berseragam putih abu-abu terlihat antusias berebut, sedang hati ini tak tega jika harus mengikuti ego. Keantusiasan mereka kerap kali mengingatkanku pada masa itu, masa dimana berjuang menjadi yang terbaik seolah menginginkanku untuk merasakannya. Masih membekas kala pertama kali perasaan yang sering orang katakan sebagai jatuh cinta kurasakan. Walau belum sempat kuungkapkan langsung. Dan itu semua... sudah terlambat. Pertemuanku kami bagaikan sesuatu yang tak diharapkan.
Plug
Sebuah botol menimpa kepalaku, bukan rasa sakit yang kupermasalahkan, namun murid seperti apa yang dengan kurang ajarnya membuang sampah sembarangan. Atau tampangku seperti seorang bullyable? Tidak, bukan? Kurasa benda berisi air itu jatuh dari atas pohon mangga yang rindang di belakangku ini. Kudongakkan wajahku.
"Hai!" Aku melotot tak percaya. Cowok berpenampilan acak-acakan dengan santainya berdiri dengan bertumpu pada salah satu ranting pohon.
"Siapa kamu?!" tanyaku ketus. Cowok tanpa dosa itu malah memberikan cengirannya lalu dalam hitungan detik—,
"Ha!" Ia mengkibas-kibaskan telapak tangan di hadapanku. Aku mendongak menatapnya. "Siapa, ka-mu?!" kutekankan. Tepat dugaanku, dia malah menyunggingkan bibir. "Anselino Tanuwijaya." Ia mengulurkan tangan kanannya. Cowok itu tersenyum sementara kucoba melepaskan tanganku yang terperangkap. "Jangan ngambek-ngambek, nanti suka loh, sama saya." Lagi, astaga... apa dia tidak sadar dengan siapa dia bicara? Jelas, dia siswa satu tahun di bawahku. Badge kami saja berbeda.
"Apa kamu tidak tahu aturan di sekolah ini? Perlu saya bacakan? Dan juga kamu sudah dengan sengaja menimpuk kepala saya dengan botol!" kutinggikan intonasiku. Bukannya menyesal, ia malah terkikik. "Huh! Jadi gini... seorang Anastasesya Martadinata, siswi berprestasi di sekolah i –"
"Apa maksud kamu?!" Apa dia mengejekku? Batinku kesal.
"Saya nggak berniat buat nimpuk kok, habisnya... kamu duduk di bawah sih, kan ya... salahin botolnya." Kuhembuskan napas berat. Hah... bisa-bisa aku jadi tidak waras. Tanpa berucap lagi, kulangkahkan kakiku menjauh, namun tangan itu mencekal dari samping. "Saya yakin, kamu akan jadi milik saya," bisiknya tepat di samping telingaku.
"In your dream," Batinku.
"Mbak cantik, deh." Suara itu, membuyarkan lamunanku. Kutolehkan pandangan ke kanan. Seorang murid SMA tengah merokok dengan enaknya, asap berkepul di hadapanku. Penampilannya berantakan, kemeja tidak rapi serta tak bertanda pengenal, tali sepatu tidak terikat sempurna dan... ujung bibirnya terdapat lebam. "Saya ganteng, ya, Mbak?" ucapnya pede, aku mersenyum mengejek, lalu diinjaknya batang rokok yang sudah mengecil.
"Jangan ngambek-ngambek, nanti suka loh, sama saya," ujarnya enteng. Kumembeku. Kata-katanya sama persis dengan Ansel. Kugelengkan kepalaku. Tidak mungkin! Wajahnya berbeda. Yang mirip hanya warna rambut dan alis. Beberapa orang mungkin memiliki kesamaan, bukan? Dia yang kukenal dulu memang berpenampilan seperti ini. Tapi... tidak mungkin dia masih SMA, bukan? Enam tahun sudah berlalu. Dia menyentuh rambutku.
"Jangan kurang ajar!" kupelototi dia. Dia malah tersenyum tanpa dosa. Kuteringat lagi. Ya, Anselino Tanuwijaya. Siswa yang terkenal sebagai troublemaker.
Entah apa yang membuatku akhirnya menerimanya sebagai "pacar". Beberapa kali si troublemaker itu menyatakan perasaannya. Pertama, ketika selesai olahraga. Tiba-tiba dia datang ke lapangan dengan pedenya dengan membawa sebuket bunga.
"Will you be my girlfiend?" ia berlutut di hadapanku. Semua temanku bersorak, aku melenggang. Benar-benar, kami saja baru beberapa kali bertemu, dan kini?
Selang beberapa hari, hujan deras menguyur kotaku, niat hati ingin segera pulang dengan scoopy-ku, tetapi, aku tidak ingin mengambil risiko, sebentar lagi ujian akhir semester. Jadi lah, kumenunggu di pos satpam. Setelah sekitar sejaman, tiba-tiba kurasakan benda tebal menyelimuti tubuhku dari belakang. Kutolehkan wajahku. Astaga... Ansel. "Jangan macem-macem, ya!" ketusku. Cowok beralis tebal itu malah tersenyum. Sementara, kucoba melepaskan itu, namun lengannya menahan.
"Saya nggak mungkin macam-macam sama cewek, apalagi kamu. Saya suka kamu semenjak saya pindah ke sini. Hanya saja saya yakin, kamu tidak mengenal saya, yang pasti terkenal hanyalah masalah yang saya timbulkan, bukan?" Haih... bahasanya, sok formal. Batinku. "Jangan membatin tentang saya, lebih baik diungkapkan." Aku diam. Berharap hujan segera reda. Namun beberapa saat, kuhabiskan dengan mendengarkan ocehannya.
Klakson bus selanjutnya berhasil membuatku terjaga. Segera kulangkahkan kaki. Tersisa setengah jam. Sudah sepuluh menit bus yang kunaiki membawaku dan sudah dua pemberhetian terlewati. Kuambil ponsel dan mengecek pesan. Tidak ada info. Lalu kubuka galeri. Bosan, ya, hal yang saat ini kurasakan. Membuka foto-foto masa SMA membuatku rindu pada teman-temanku. Di sana, aku, di tengah. Membawa piala kebanggaan olimpiade matematika. Pak kepsek tak henti-hentinya memuji kala itu. Berbagai prestasi terus mengalir bak air dan ditampung almamater kesayanganku itu. SMA yang terbilang elit. Paleo High School. Entah kenapa diberi nama yang berarti "Terawal/Tertua" tersebut.
Dan senyum miris seketika tercetak di bibir setelah kugeser layar ponselku. "Saya mau ambil foto sama kamu, Sya," ujarnya. Kutunjukkan senyum terpaksa pada seseorang yang sudah dua minggu ini menjadi kekasihku.
Dua bulan berlalu sejak kejadian botol mengenai kepala serta untuk pertama kalinya bertemu Ansel si pembuat onar yang anehnya selalu mendapat ranking. Bahkan semua warga sekolah membicarakannya. Bukan hanya kepandaian, namun parasnya juga sering dielu-elukan para gadis. Terlebih semakin gempar kala mengetahui dia sudah menjadi pacarku. Ya, alasan yang terbilang miris. Karena kasihan. Itu saja, bagaimana tidak? Yang membuatku... malu. Ya, malu karena di hadapan umum. Pernah waktu itu tiba-tiba terdengar seseorang akan memberikan info lewat speaker. Ya, dia Ansel. Ia mengatakan:
"Khusus kelas IPA 1 harus Sesya. Tidak boleh diganggu gugat. Oke?! Sesya, saya tunggu kamu. I love you..." Bisa ditebak bagaimana ekspresiku. Haih... Ansel... semua temanku menyorakiku. Kemudian terdengar sorakan dari kelas tetangga. Hah... bocah ini!
Sudah sebulan kami menjalin hubungan yang dimana hanya dia yang sepertinya memiliki perasaan. Tidak denganku. Aku hanya menganggapnya hanya adik kelas. Tidak lebih. Selama kita pacaran, tidak ada kencan atau apa, itulah peraturan semu yang kubuat. Ya, dia memahaminya. Dia selalu mengatakan: "Saya nggak akan maksa kamu Sya, saya akan nunggu kamu bilang "Saya sayang sama kamu, Sel" saya bakal nunggu."
Ansel, kuakui dia tergolong nakal, namun selama ini tidak merugikan negara atau aparat kepolisian. Bahkan dia bisa membuktikan, menjadi yang nomor satu. Dia tidak pernah menyontek. Ketika kutanya, dia mengatakan: "Kalau di sini hanya untuk menyontek, lebih baik saya di rumah. Saya di sini menuntut ilmu, berharap menjadi orang yang berguna. Saya ingin membanggakan keluarga dan membuktikan pada mereka yang sudah mencaci saya."
Ansel terbilang beruntung, selama ini tidak ada guru yang berani menghukumnya. Mungkin mereka beranggapan, Ansel adalah sebuah emas yang jatuh ke kubangan lumpur. Harus dibersihkan perlahan. Ia sering merokok di atap maupun toilet. Dan Ansel over protect, ia akan melontariku dengan berbagai pertanyaan ketika melihatku bersama seorang cowok.
Beberapa temanku bingung denganku yang. Mereka mengatakan jika aku beruntung memiliki pacar tampan walau badboy, tetap pandai. Hingga satu hal yang membuatku menyesal. Menyesal telah membuat Ansel menunggu dan merasa hubungan ini tanpa kepastian.
Kejadian itu, Ansel diketahui tengah berkelahi dengan salah satu siswa kelas 12. Keduanya babak belur, wajahnya penuh luka. Ingin sekali kudekati dan merawat lukanya. Namun egoku lebih mendominasi. Hingga kata-kata terkutuk Pak kepsek keluar. Pak kepsek terdengar lebih membela siswa itu yang orang tuanya seorang hakim dan donatur. Ansel mencoba menceritakan begaimana kronologisnya. Ia dihina dengan panggilan "sampah". Dan yang membuatnya marah, cowok itu mengatakan jika keluarganya "sampah" dan berantakan. Berkali-kali kudengar sang ayah mencoba minta maaf serta meminta agar Ansel tidak dikeluarkan. Dan cowok itu mencoba mencari celah dengan mengatakan jika semua yang diucapkan Ansel adalah kebohongan.
"Anselino Tanuwijaya, kamu saya ke-lu-ar-kan!" Dan detik itu pula air mataku turun, kerongkonganku tercekat, sulit untuk bernapas. Kusembunyikan diriku di balik tembok.
"Papa akan kirim kamu ke Amerika, secepatnya." Itu, suaranya. Terdengar begitu perfeksionis. Ayahnya menjauh, sedang Ansel, tahu keberadaanku.
"Jangan sedih Sya, ini bukan akhir. Ini awal. Saya tidak pernah menyesal bersekolah di sini. Ketidakadilan memang bisa saja terjadi." Aku tidak menjawab. Kurasakan jemarinya mencoba menghapus air mata ini. "Saya juga akan tetap nunggu ucapan kamu, Sya, walaupun kondisi kita mungkin berbeda nantinya. Saja janji, saya masih sama. Ansel yang selalu mencintai kamu. You're my first love, Sya." Terakhir, kecupan di dahi.
"Dia ganteng ya, Mbak?" Haih... aku sempat lupa jika cowok tengil ini masih di sini. Dalam hitungan detik, ia berdiri. "Oh ya, kita belum kenalan, Alleno Tanuwijaya. Senang bisa lihat, Mbak." Entah dorongan dari mana kuulurkan tanganku. "Sesya." Kemudian menghilang dari pandanganku. Tunggu, Tanuwijaya? Jangan-jangan, Haih... tidak mungkin!
***
Di sinilah aku sekarang, di depan pintu ruang CEO "Tan Corporation". Kucoba mengumpulkan nyali. Ya, aku diterima menjadi seorang sekretaris. Sesuai jurusan yang kuambil. Ini adalah kali pertamanya kumenemui bosku. Entahlah, aku sendiri lupa namanya.
Kudorong pintu. Seseorang berjas hitam berdiri membelakangiku. "Permisi," ucapku pelan. Yang diharapkan pun menoleh. Kumenatap wajahnya dan – semuanya menjadi gelap.
Beberapa saat kemudian. Kurasakan sebuah tangan menyentuh pipiku. Perlahan kucoba membuka mata dan bangun dari sofa. Ya, sofa hitam di... ruangan. "Hai!" suara itu. Menoleh ke depan. Ya Tuhan... apa aku sedang bermimpi? Dia, yang membuatku menyesali sifatku dulu. Seseorang yang membuatku sadar akan berharganya dia.
"Ansel..." tubuh kekarnya memelukku erat. Semua kerinduanku saat itu juga tumpah. Menangis sejadi-jadinya. Semua ucapannya bukan omong belaka. Dia sudah membuktikannya saat ini. Kami bertemu dalam kondisi yang berbeda, ya, berbeda. Dia, ansel yang dulu kukenal. Sekarang menjadi seorang pemimpin. Wajahnya, senyumnya, tetap.
"Saya nunggu ucapan itu, Sya," senyuman manis itu, kenapa aku baru sadar?
"Aku sayang kamu, Sel."
Brakk
Kami menoleh. Mataku membuat menatap siapa yang baru saja membuka pintu ruangan ini dengan seenaknya sendiri.
Cowok tengil itu!
"Proyeksi gue mana, Kak? Lo sih, pinjem segala. Gue yang repot. Tuh proyeksi dikumpulin sekarang." Segera Ansel melepar buku gambar besar dengan jengkel. Sebelum makhluk itu menghilang di balik pintu, masih sempat dia berdesis padaku dan mengedipkan sebelah matanya. Ansel yang melihat itu langsung menutup paksa pintu. Kakak dan adik, sama. Itulah Ansel, dan sifatnya juga diwarisi oleh Allen. Aku tersenyum bahagia padanya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top