24. Luapan Samudera dan Kawannya
Pernahkah kalian berpikir jika semua yang ada di semesta ini dapat bertingkah? Bukan, bukan seperti halnya hewan yang berbicara dalam dongeng belaka. Tetapi segala hal yang ada di muka bumi ini. Mulai dari tanah, air hingga udara yang selama ini tidak pernah bisa dijamah oleh netra.apakah bisa? Itulah pertanyaan kita. Karena kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya dirasa.
Salah satunya juga karena kita, para manusia terlampau semena-mena. Seakan sudah nyata menjadi penguasa alam semesta tanpa mengingat siapa yang menciptakannya. Bisakah luapan ini menyadarkan mereka?
"Wahai Samudera yang kaya akan jiwa di dalamnya, mengapa kau tampak murung?" tanya sang Surya dari atas nan jauh di sana.
"Oh hai sang Surya, aku tidak tahu jawaban apa yang harus kuberikan untuk pertanyaanmu itu," jawabnya.
"Demi lambaianmu yang selalu membuat siapa saja gundah, ada apa? Apa kau bersedih karena aku mengikismu?"
"Astaga tentu saja tidak. Itu kan memang aturan alam. Suhumu yang mengenaiku akan membentuk para bayi di atas itu," tunjuknya pada gumpalan awan memanjang memenuhi angkasa.
"Lalu apa?" Sang Surya makin penasaran sembari mengamati kawan di bawahnya. Tampak tenang di bawah teriknya.
"Kau lihat? Semakin lama aku semakin berubah."
"Apa maksudmu?"
"Aku tidak lagi sebiru Samudera yang diketahui manusia ribuan tahun silam. Aku sudah tidak murni. Aku kotor oleh jamahan tangan-tangan mereka."
"Karena ulah manusia kah?"
"Kebanyakan iya," ungkapnya jujur.
"Itu juga yang kupikirkan?"
"Apa?"
Sang Surya menjawab, "Saat alam murka, manusia menyalahkan kita tanpa menyadari seperti apa perlakuan mereka terhadap kita."
"Aku membenci mereka semua." Samudera tampak bersungut. Lambaiannya mulai meninggi.
"Aku pun. Semakin lama manusia ingin mengaturku. Apa kau sudah mendengar? Bahkan mereka menciptakan tenaga buatan untuk menandingiku?" ucap sang Surya tampak resah.
"Benarkah? Astaga semakin lama dunia menjadi gila karena ulah makhluk berakal tapi berotak dangkal itu."
"Wahai Samudera dan Surya. Kalian tidak lebih parah dariku. Lihatlah aku sekarang. Tandus, hangus, dan rusak. Tidak ada kehidupan lagi di sekitarku." Tiba-tiba lLembah berceletuk.
Sang Surya dan Samudera menatap ke arah Lembah yang dulunya rindang sekarang tinggal tumpukan sisa tebangan.
"Perlahan tapi pasti kita semua akan binasa..." Samudera mengayun deburannya pelan.
"Seharusnya mereka memakai otak mereka untuk menyelamatkan bumi dan seisinya dengan uang mereka toh kita yang memberi mereka kekayaan." Lembah menambahi.
"Tapi mereka lebih memilih membangun kehidupan di tempat lain," sahut Bulan dari atas yang langsung mengikuti percakapan kawan-kawannya.
"Mereka tidak bersyukur," kata sang Surya.
"Karena tidak ada yang ditakutkan," tambah Lembah.
"Mereka tidak pernah benar-benar berpikir." Samudera menambahi.
"Manusia benar-benar egois. Mereka bahkan menghabiskan banyak harta untuk membangun kehidupan di planet sebelah," ucap Bulan mengamati tempat yang dimaksud sekilas.
"Jiwa bedebah mereka sudah mandarah wahai Bulan," ucap Samudera.
Keempatnya tampak gundah sementara ditatap oleh gundukan tinggi yang melemah. "Astaga apa itu?" Bulan terkejut melihat warba hitam mengambang di atas kawannya.
Samudera menghela. "Apalagi kalau bukan ulah manusia Mengeruk terus minyakku. Saat terjadi kebocoran, aku ditinggalkan. Kemudian mencari di sisi bagian lain. Terus seperti itu. Jika boleh kukatakan. Ini benar-benar menyakitkan. Aku tidak bisa memarahi atau menghardik mereka atas ulah serakah itu."
"Aku sudah rusak. Mahkotaku ditebangi tanpa adanya hati yang mengasihi. Dibiarkan sisanya terbengkalai. Lebih parah lagi jika api lah yang dipakai untuk menuntaskan pekerjaan mereka. Butuh waktu lama untuk tumbuh. Itu pun jika disengaja untuk tumbuh." Lembah tampak frustrasi.
"Semakin lama manusia seenaknya saja."
"Ya, lihatlah diriku juga. Lubangku makin banyak bukan karena peristiwa alam. Melainkan tangan manusia yang merasa dirinya paling pandai dan ingin melakukan trobosan untuk umat bumi. Nyatanya hanya merusak saja," ungkap Bulan melemah.
"Bagaimana jika kita datangkan bencana agar manusia sadar?" celetuk Samudera yang sedari awal menahan amarah.
"Boleh. Kau harus memanggil angin, awan, petir dan semuanya," ucap sang Surya.
"Aku benci manusia," ungkap Samudera lagi
"Baiklah kita tunggu saja tanggal mainnya." Samudera tersenyum licik.
"Tunggu! Tapi..." cegah Bulan.
"Apa?"
"Bagaimana nasib mereka yang tidak tahu apa-apa?" kata satu satunya satelit bumi itu.
"Aku—aku tidak tahu."
Kemudian sang Surya menengahi. "Tenanglah kawan. Lebih baik kita menunggu sang kuasa bertindak."
Samudera mengembuskan napas pasrah. "Baiklah..." Bulan dan Lembah pun menghela setuju.
TAMAT
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top