17. Bunga di Akar

"Dia itu hanya penjual sayur!" Suara bentakan terdengar dari arah selatan kamar. Sudah bisa ditebak, mereka bertengkar lagi. Pagiku, selalu ditemani perseteruan.

"Kamu memang selalu banyak alasan! Aku melihatmu berpegangan tangan dengannya!" Ayah melotot dan menunjuk-nunjuk ibu. Seperti biasa, tidak mau salah.

"Saat dia memberikan kembalian? Kamu selalu membesar-besarkan masalah!"

"Tapi kamu berpegangan tangan."

"Kamu tadi malam kalah kan?"

Ayah terpaku. Suasana tenang sesaat. Sepersekian jam diisi keheningan.

"Kamu selalu menjadikan aku sebagai pelampiasan! Tidak cari uang, bermalas-malasan, malah berjudi, kamu niat atau tidak menjadi kepala keluarga?" Ibu akhirnya angkat bicara.

Ayah tetap terdiam. Mungkin dia baru sadar kesalahannya, tapi sebagai pengamat, aku yakin sudah terlambat.

"Aku akan menghidupi keluargaku sendiri! Akan kuurus surat cerai secepatnya."

Keputusan ibu mengakhiri pertengkaran hari ini, dan selamanya.

***

"Ibu, ini." Kugerakkan kedua tanganku yang menenteng tas, memberi kode kepada ibu bahwa aku kesusahan membawanya. Ibu langsung sigap membawa salah satu tas tersebut.

"Dan ini." Aku memberikan hasil uang jualan.

"Kamu tidak perlu seperti ini, Ninda." Ibu berkata seperti itu dengan wajah yang mulai menunjukkan guratan-guratan, apa aku tega membiarkan ibu bekerja sendirian dengan keadaan seperti itu? Akhirnya, kekhawatiran ibu hanya kubalas dengan senyuman.

Aku adalah Ninda. Tidak cantik. Tidak ramah. Tapi, setidaknya aku tidak seperti anak-anak remaja di luar sana. Menggunakan uang orang tua untuk alat penentu siapa yang berhak berkuasa. Lebih baik kuberikan pada ibuku, untuk membantu modal usahanya. Kenapa tidak kutabung uang yang kuhasilkan dan melanjutkan usaha makananku sendiri, daripada kuberikan pada ibu yang usahanya gagal berkali-kali? Aku bisa saja melakukannya, bahkan nilai akademik dan IQ ku sangat jauh diatas ibu. Tapi, aku tidak bisa mengalahkan semangat yang selalu memancar dari wajah ibu. Aku pun tidak tega melihatnya mondar-mandir menapaki tanah di seluruh kota untuk mencari modal.

Dan, ini hanya tambahan. Jaga-jaga jika kamu tidak memiliki pemikiran yang sama denganku. Bila kamu menyerahkan semua yang kau punya untuk ibumu, yakin saja, kamu pasti sukses, serendah apapun itu nilai akademismu. Kamu pasti sadar kan, nilai itu bukan penentu kesuksesan?

Ibu berada pada titik terendahnya saat ini. Beliau telah bangkrut berkali-kali, tidak ada sanak saudara, tidak ada suami. Tentu aku juga kena imbasnya. Aku tegar menghadapinya. Tapi, ibu lebih tegar. Perlu bukti? Ibu bisa saja meninggalkanku dulu waktu aku berumur 5 tahun di pinggir jalan, atau memasukkanku ke panti asuhan, lalu pergi bunuh diri. Dan, apa ibu melakukannya?

Menurutku, bila ada 0,1% kaum hawa terhebat dari populasi seluruh dunia. Ibuku salah satunya. Ambisinya pula yang membuatku yakin ibu pasti sukses. Dan yang perlu kamu tahu, aku sangat menyayangi ibuku. Dia sosok yang selalu sabar dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang, padahal dia sendiri sedang dalam keadaan psikologis yang tersiksa. Kamu ingin hidup sengsara? Hina saja ibuku.

***

Pintu itu mulai dibuka lebar setiap pukul 6 pagi. Tapi aku selalu berada disana sebelum pembuka pintu datang. Aku memasuki wilayah itu. Kenapa aku datang pagi sekali? Bahkan petugas kebersihan pun masih belum menyelesaikan tugasnya. Karena aku menghidari tatapan-tatapan itu. Tatapan yang suka mencari-cari kesalahan orang lain. Aku sangat pendiam dan cuek. Aku tidak suka dijadikan pusat perhatian. Tapi, ternyata dugaanku salah. Jam 6 adalah jam datangnya para bos penggosip di sini, sekolahku. Mereka selalu berbisik saat aku lewat, tapi aku dapat mendengarnya dengan jelas. Entah mereka sengaja atau tidak. Aku rangkum bisikan-bisikan mereka yang sering kudengar. Diantaranya,

"Eh, padahal dulunya anak itu penjual makanan. Kok bisa ya?"

"Ih buat apa sih ke sekolah aja pakai tas seperti itu. Mau pamer apa?"

"Dia itu dulu temanku. Eh, sekarang sudah berada di roda teratas, malah lupa denganku."

Aku masih mentolerirnya. Aku dari kecil hidup di lingkungan yang keras. Omongan buruk mereka tidak ada apa-apanya dengan ayah yang selalu mencaci maki aku walaupun aku tidak salah.

***

Hari ini, aku berangkat ketika matahari telah keluar sempurna dari tempatnya. Meskipun begitu, aku masih tetap mendengar bisikan-bisikan setiap aku berjalan.

"Taunggak? Ibunya ternyata seorang janda miskin. Dan yang lebih parah lagi, tau ibunya kerja apa?"

Aku melambatkan langkahku di depan anak yang tiba-tiba membahas ibuku. Padahal, aku pun tidak tahu dia itu siapa.

Emosiku mulai tersulut ketika dia menekankan pada kata "janda miskin".

Teman berbisiknya itu semakin mendekatkan telinganya, penasaran.

"Pelacur." Aku berhenti tepat di depannya saat dia mengatakan hal tabu tersebut. Kamu bisa menebak sendiri apa yang terjadi selanjutnya. Sebelumnya, dia bisa tertawa lebar-lebar, tapi, sekarang, mau bicara saja susah.

***

Aku dipanggil ke ruang bk. Aku dianggap gila karena tiba-tiba menyerang seseorang yang pura-pura tidak melakukan apa-apa. Kamu tahu? Luka di mulutnya dibanding dengan luka di hatiku, tidak ada apa-apanya. Aku sebenarnya paham, aku hidup di dunia yang tidak adil. Tapi, siapa yang tidak gegabah dan marah bila mendengar kata-kata seperti itu. Bayangkan, kamu berjuang dari titik terendah bersama seseorang, siapapun itu. Dan disaat kamu telah sukses dengannya, masih tidak apa-apa bila dirimu sendiri yang dibicarakan. Tapi akan menjadi beda, jika dia yang menjadi topik pembicaraan, apalagi tidak senonoh semacam itu. Ditambah 'dia' itu adalah ibumu.

Tentu saja ibuku juga dipanggil ke tempat yang penuh dengan penggosip kejam itu. Saat aku disalahkan, aku pun tidak mengelak. Aku memang salah, aku tidak bisa mengendalikan emosiku. Tapi apa yang mereka harapkan dari seorang remaja yang masih dalam tahap kelabilan emosi. Ibu marah-marah. Aku diam saja. Aku sebenarnya merasa benar dalam konteks pemikiranku sendiri, karena aku telah membela orang yang aku idolakan sejak kecil. Aku sangat jarang tersenyum, hampir tidak pernah malah. Tapi, hari ini aku tersenyum lagi.

***

Kejadian ibuku menjadi topik pembicaraan tidak senonoh ternyata semakin menyebar di sekolah. Orang-orang semakin terpancing untuk membicarakannya. Mereka ingin melihat langsung bagaimana lemahnya aku dalam menahan emosi. Sebenarnya semakin aku melawan, semakin menjadi-jadi pula mereka. Aku sering melihat ekspresi yang tergambar dalam wajah mereka ketika aku menghajarnya. Bahagia. Wajar. Mereka tahu dengan begitu aku akan sangat tersiksa. Menahan emosi dan sakit hati mendengar mulut palsu mereka. Sudah lumrah, bila mereka ingin bahagia, makan saja kesengsaraan orang lain.

Ketika aku mendengar seseorang menyebutkan nama ibuku, aku langsung terbakar. Banyak yang menjadi korban dari ledakan emosiku. Sehingga aku dianggap anak paling gila di sekolah ini. Aku benar-benar tidak bisa menahan diri. Mulut para remaja di sekolah sudah diluar nalar dan perasaan manusia. Mereka saja selalu menghajarku secara mental. Setidaknya, mereka harus mendapat perlakuan adil. Mata dibayar mata.

Ibu sudah sangat sering dipanggil ke sekolah. Hingga suatu hari ibu tidak dipanggil lagi, karena mendapat sebuah surat pernyataan. Berisi, aku dipulangkan kepada ibu.

***

Aku berhenti sekolah. Setidaknya di rumah lebih baik daripada sekolah. Aku bisa menenangkan diriku. Aku tekankan, aku bukan psikopat. Sebenarnya, aku marah pada diriku sendiri karena tidak bisa menahan seseorang untuk tidak membicarakan hal buruk tentang ibu. Ibu sudah sering berkorban untukku. Apa aku harus diam saja ketika mendengar hal-hal buruk tersebut? Aku sebenarnya tidak apa-apa bila dijadikan bahan hujatan, asalkan tidak berhubungan dengan ibu.

Aku tidak ingin sekolah sedari dulu. Lebih baik aku membantu ibu mencari uang. Tapi, kata ibu sekolah itu penting. Bila aku ingin membahagiakan ibu, aku harus sekolah. Aku tersenyum. Dalam hati aku berkata, "Aku akan lakukan apa saja, meskipun aku tidak menyukainya, agar ibuku bahagia."

Reaksi ibuku saat aku dikeluarkan? Beliau biasa saja. Ibu sudah tahu mengapa aku seperti ini. Ibu marah dan cemas tapi disisi lain ibu bangga terhadapku. Ibu merasa sangat dicintai oleh seseorang. Aku tahu ibu membutuhkan itu dari dulu, karena ibu selalu mendapatkan sesuatu yang palsu. Lebih baik seperti ini, agar aku juga tidak tersiksa mendengar omongan yang diragukan kebenarannya.

***

Hari ini aku pergi keluar bersama ibu untuk melepas kejenuhan kami yang sering mengurung diri di rumah. Sederhana, hanya pergi ke pasar. Aku berjalan menyusuri pasar bersama ibu. Sama-sama memicingkan mata, mencari barang-barang yang perlu dibeli. Sekilas, saat aku memperhatikan sekitar, terlihat seseorang yang tidak asing. Anak sekolahku. Aku merasa menjadi pusat perhatian, padahal hanya diperhatikan oleh satu orang. Aku mendengarnya berbisik. Kelihatannya tidak bagus.

"Ibu, itu anak yang selalu menyerangku. Lihatlah dia berjalan bersama ibu pelacurnya itu." Ternyata satu keluarga sama saja, sama-sama bermulut Rafflesia. Aku langsung menghajarnya lagi, untuk kesekian kalinya. Karena itu aku tidak asing dengannya, dia yang paling sering berurusan denganku. Aku menghajarnya hingga kehilangan kendali, mengeluarkan emosi selama ini yang sebagian masih tersimpan dalam diriku. Kami menjadi pusat perhatian. Ibu berusaha menarikku. Aku sudah lupa daratan.

"Berhenti nak, berhenti."

Aku benar-benar kehilangan kontrol tubuhku sendiri.

"NINDA!"

Siku milikku tidak sengaja mengenai wajah ibu saat berusaha melerai. Ibu pingsan.

***

Aku dibawa ke psikiater. Tepatnya, rumah sakit jiwa. Banyak yang mengira aku sakit jiwa, padahal tidak. Aku melakukan tes kejiwaan. Hasilnya positif, aku tidak normal. Padahal, aku merasa normal-normal saja. Aku mengambil positifnya, aku tidak membuat ibu khawatir bila berada disini. Aku menurut apa saja perkataan mereka yang ahlinya. Agar aku bisa membuktikan bahwa aku normal.

Lalu, aku dibawa ke ruangan yang seluruhnya berwarna putih. Aku tahu ruangan ini dikhususkan untuk seseorang yang tingkat kejiwaannya sudah tidak bisa disembuhkan. Aku menerimanya, walaupun secara tidak langsung mereka menghinaku. Lama-kelamaan mereka semakin menjadi-jadi. Aku dipaksa melupakan ibu, mereka bilang pusat masalah kejiwaanku adalah ibu. Aku tidak terima. Aku kehilangan kontrol lagi. Mereka memegang seluruh tubuhku. Aku berontak, tapi aku langsung lemas, ketika sebuah jarum menusuk lenganku. Ibu, maaf, aku mengecewakanmu lagi.

***

Pusing. Itu yang pertama aku rasakan. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, berharap bisa melihat dengan sempurna. Samar-samar aku melihat seseorang menatapku penuh harap. Air bergelinang di matanya yang sudah sangat sembab. Dia membuka mulutnya,

"Ninda? "

Aku dapat melihat dengan sempurna sekarang. Tapi, aku malah memicingkan mata pada sosok yang berada di depanku sedari tadi.

"Kamu baik-baik saja, nak?"

Aku mengerutkan dahi.

"Anda siapa?"

***

Kuharap kalian suka cerita ini. This story by my friend. Taca

DON'T EVER COPY ALL OR HALF THE STORIES IN THIS WORK WITHOUT PERMISSION

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top