15. Kekasih Dua Dimensi

Sejak aku kecil, aku mulai berpikir jika sebagai perempuan kita hanya akan dimanfaatkan laki-laki. Bukan maksudku merendahkan laki-laki, aku tau tidak semua sama. Hanya saja, aku terlanjur berpikir demikian. Entahlah bagiku mereka hanya mau menang sendiri. Merasa selalu benar dan tak bisa dibantah. Aku sering melihat kita sebagai perempuan sering dilecehkan. Baik secara langsung maupun tidak. Seolah mereka berhak atas semua perempuan. Aku katakan lagi jika tidak semua sama.

Aku Dini, gadis tahun kedua sekolah menengah atas. Aku benci dengan laki-laki. Hanya ada kenangan buruk bersama mereka. Pernah aku berpikir aku menyimpang. Nyatanya tidak. Aku tidak tertarik untuk memiliki hubungan romantis dengan perempuan.

Tapi orang-orang bilang aku aneh. Tak normal. Sekarang, aku menyukai seorang laki-laki. Tapi dia bukan lelaki biasa. Dia karakter dua dimensi. Namanya Levi dari Attack on Titan. Inilah yang membuat orang-orang menganggapku aneh. Aku terlalu takut untuk menjalin hubungan dengan laki-laki nyata. Dan akhirnya membuatku jatuh pada pilihan ini. Setidaknya mereka tidak akan menyakitiku.

Seperti yang terjadi pada ibu. Ayahku terlalu malas untuk bekerja sehingga hanya memanfaatkan ibuku. Ibuku sering mengeluh kelelahan. Ia tak tahan. Seringkali dalam tidurku, kudengar mereka beradu mulut lagi dan lagi. Pada akhirnya ikatan mereka berakhir di meja hijau. Sungguh aku membenci ayahku yang tega membiarkan ibuku bekerja keras sendiri. Laki-laki macam apa dia.

Cinta pertamaku pula. Dia adalah seniorku saat smp. Dia tampan. Sayangnya hatiku berakhir hancur sehancur-hancurnya ketika dia meninggalkanku saat kunyatakan perasaan bodoh itu. Aku menghabiskan hari-hari selanjutnya dengan hati yang terluka seperti mayat hidup.

Sejak saat itu aku mulai menikmati ketidaknormalanku ini. tiap hari hanya memandangi layar monitor untuk melihat Levi-ku. Berfantasi ria menikmati kesenanganku ini. Entahlah jantungku selalu berpacu kencang saat melihat Levi-ku. Aku membayangkan hidup bersamanya. Menjalin kisah cinta yang indah. Ah sungguh aku senang hanya dengan melihatnya.

Teman-temanku kadang bertanya, kapan aku bangun dari dunia semu yang kubuat ini. Dan selalu kujawab mereka dengan "tidak sekarang" meskipun aku sendiri tak tau kapan masanya aku berhenti. Dan jawaban yang kuterima dari mereka selanjutnya adalah celotehan-celotehan memuakkan yang menyuruhku mengakhiri fantasi bodohku ini.

Berisik. Memangnya mereka siapa? Aku muak. Persetan dengan berhenti. Aku tak mau keluar dari duniaku ini. Levi-ku terlalu sempurna untuk kutinggalkan. Apakah akan aneh jika suatu saat aku menikahinya? Bagi mereka tentu iya.
Sekolah terlalu bising. Disini aku duduk di sanding jendela. Memandangi layar monitor lalu larut dalam fantasi. Seseorang menepuk bahuku. Ah laki-laki ini lagi. Sejenak aku menghentikan fantasiku. Kualihkan atensiku padanya.

"Apa?"

"Kamu mau ke kantin Din?"

"Tidak."

"Aku traktir"

"Tidak."

"Kamu kok cuek sih? Yaudah nanti pulangnya bareng ya"

Tak kupedulikan ucapan laki-laki bodoh itu. Dia Adi, laki-laki yang pergi ke sekolah menengah pertama yang sama denganku. Hanya itu yang kutahu tentangnya. Aku tak peduli. Akhir-akhir ini aku sering menjumpainya menyapaku. Seolah-olah kami akrab. Teman sebangkuku berkata jika ia menyukaiku. Peduli setan. Itu omong kosong. Ia hanya menyukaiku lalu pergi meninggalkanku ketika bosan.

"Din, kenapa kamu selalu acuh sama aku? Kamu gasuka aku."

"Ya."

"Tapi aku gak mau nyerah Din. Kamu satu-satunya buat aku."

"Menjijikkan"

Klise. Itu juga yang terucap oleh ayahku ketika ibu memutuskan mengakhiri ikatan mereka. Ibu menganggap ikatan itu sebagai sebuah belenggu. Sedangkan ayah? Kuyakin ia bersedih. Bagaimana tak sedih jika tak ada lagi yang membiayainya. Dasar menjijikkan. Bersyukurlah aku. Aku tak tinggal lagi dengan orang itu. Mana percaya aku dengan omong kosong lelaki.

Hari ini ibu bertanya. Apakah aku sudah memiliki seorang kekasih. Bingung aku. Kujawab saja aku punya. Lagipula ada Levi-kan. Lagi-lagi ibu bertanya tentang seperti apa kekasihku.

"Tentu saja dia baik. Tak seperti ayah. Hanya saja kami tak bisa bertemu."

Setelah itu aku enggan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kembali ibu ajukan. Maaf bu, aku hanya bingung menjelaskannya. Kami tak bisa bertemu karena berbeda dunia. Mungkin ibu akan beranggapan aku gila jika tau kekasihku adalah karakter dua dimensi.

Tapi inilah aku. Aku yang gila. Aku yang aneh. Dan aku yang tak waras. Bukan salahku jika aku menggila dalam dunia semuku. Yang kulakukan adalah bersenang-senang. Tak peduli orang mengatakan aku apa. Mereka bukan tuhan yang bisa menghakimi kegilaanku. Karena ini hidupku, jadi akulah yang dapat memilih.

***

I hope you like this story by my friend ;)

DON'T EVER COPY HALF OR ALL THE STORIES IN THIS WORK WITHOUT PERMISSION

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top