14. Kali Kedua
Tetesan air terus mengalir deras di atas kepalaku. Tak mampu kumenahannya. Prediksiku akan cuaca benar-benar salah. Memang aku bukan seseorang yang pandai dalam bidang percuacaan. Namun, semua orang mungkin menganggap terik matahari beberapa jam lalu tak mungkin berubah sekelebat saja. Inilah kuasa Tuhan. Tak ada yang menduga, bahkan tahu pun tidak. Pikirku, berlari akan menjadi sia-sia. Pakaianku telah basah diguyur air hujan. Untung saja tas punggungku tidak terlalu basah karena semua dokumen penting kuliahku ada di dalam. Ya, aku seorang mahasiswa. Dua semester lagi aku akan menjadi sarjana. Itu pun kalau bebas dari halangan.
Sembari mengamankan tasku, aku terus mencari tempat untuk berteduh. Aku hafal betul dengan jalan ini. Ya, memang jalan ini yang biasa kulalui semenjak berkuliah di sini. Aku tahu, di daerah ini tidak ada tempat untuk berteduh. Beberapa meter lagi, aku bisa berteduh di halte yang pastinya sudah sesak oleh orang yang bernasib sama denganku - kehujanan. Ternyata tak sesesak yang kubayangkan. Hanya lima orang. Kulihat ruang kosong di sudut bangku tetapi aku memilih berdiri sembari merasakan butiran air jatuh dari pakaianku. Segelintir orang tadi mulai beranjak ketika sebuah angkutan umum berhenti. Menyisakan aku sendiri. Aku tidak berniat menunggu angkutan umum. Aku lebih suka berjalan ketika pulang pergi kuliah meski jaraknya lumayan jauh. Aku sangat menikmatinya.
Suara derap langkah kaki terdengar kian dekat. Tertangkap oleh sudut mataku, seseorang itu berhenti dan berdiri di sampingku. Rupanya ia laki-laki. Tinggi dengan bentuk tubuh yang cukup ideal. Bau parfum yang tercampur oleh air hujan masih tercium. Baunya cukup membuat tenang bagi orang yang berada di sampingnya. Sangat pas, tidak kurang atau lebih. Aku tak berani untuk menoleh. Tapi, buat apa? Aku kan tidak mengenalnya. Percuma. Deras air hujan tak kunjung berhenti. Menjebakku dan laki-laki yang tak kukenal ini. Percikan air hujan menemani kesunyian ini. Pakaian basahku mulai setengah mengering. Tak sengaja kumenoleh padanya. Sekita hatiku bergetar. Mata kami hanya bisa bertatap-tatapan. Terlihat jelas bahwa kami sangat terkejut. Tak berani berucap yang berujung tak mampu berkata. Ketidakpercayaan ini menghadang kami berdua. Hingga ia mulai berkata, "Kamu?" Suaranya bergetar.
Dengan konyolnya aku balik bertanya, "Kamu?"
Click! Jentikan jarinya membuatku sadar.
"Ternyata kamu tidak berubah ya? Kamu hanya sedikit berbeda dengan penampilanmu." Seulas senyum terlihat pada bibirnya.
"Kamu juga. Sama seperti yang dulu. Hanya bau parfummu yang membuat beda. Dan juga tinggi badanmu," balasku.
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik. Kamu?"
"Sama. Kuliah dimana?"
"Universitas impianku dulu. Kamu?"
"Universitas impianku dulu. Fakultas?"
Sebelum aku menjawabnya, ia mengatakannya, "Sudah pasti fakultas impian juga. Aku juga. Aku senang kita bisa berkuliah di tempat impian masing-masing dan juga fakultas impian masing-masing," ucapnya sambil melihat ke arah belakangku. Iya, aku memang menatapnya. Menatap tak percaya.
"Bagaimana? Aku lebih tampan ya? Aku senang bisa bertemu denganmu," lanjutnya. Seulas senyum kembali tergambar pada bibirnya. Kentara bahwa aku ketahuan ketika menatapnya.
"Tidak juga," jawabku singkat.
"Bagimana bisa? Kau menatapku lekat-lekat," dia seakan tak terima dengan jawaban singkatku.
Akhirnya, aku melepas tawaku. "Iya, iya. Aku senang bertemu denganmu. Kau tetap sama sepeti dahulu. Kau tampan."
Muka murungnya hilang ketika aku mengatakan itu. Sama seperti dahulu. Aku masih mengingatnya ketika ia mencoba memamerkan apa yang dia punya dan kubalas dengan ekspresi biasa saja. "Kamu selalu begitu. Kamu selalu sok biasa saja. Kamu tahu aku merindukan tawa lepasmu selama sekian tahun. Lebih tepatnya saat kita hilang kontak."
"Benarkah? Kukira kamu lupa. Dan berniat untuk melupakan."
"Ehh,, kok gitu. Kamu ga tahu, saat kita hilang kontak, aku mencoba untuk mencari kontak nomor sama temen kamu. Tapi, ga ada yang punya. Katanya kamu ganti nomor. Ya aku hampir putus asa dan sekarang Tuhan mentakdirkan untuk bertemu kamu. Aku sangat senang." Setitik air mengalir dari sudut matanya. Tak bisa tertahankan lagi.
"Kamu tahu aku mencoba untuk memendam rasa ini. Sekian tahun ditemani rasa sakit. Aku tak berani mengungkapkannya. Aku tahu kamu hanya menganggap aku teman. Dan aku nyaman dengan status itu. Sekarang, kupikir sudah saatnya aku menyatakan perasaanku. Aku ga peduli apa jawaban kamu. Yang pasti aku ingin bebas dari sesuatu yang menyesak dadaku. Sarah, kamu adalah seorang yang telah membuatku sadar. Sadar akan indahnya rasa menunggu. Aku menganggapmu lebih dari teman dan sempat berpikir untuk bisa memilikimu. Tapi sekarang, sahabat adalah kata yang pantas untuk hubungan kita. Terima kasih selama ini kamu menjadi bagian hidupku yang terindah."
Lantas, ucapannya membuat air mataku mengalir. Betapa buruknya aku yang selalu berpikir yang tidak-tidak padanya. Aku sempat berniat untuk membuang ingatan tentangnya jauh-jauh. Bahkan berniat membenci selamanya. Aku diam, tak tahu harus berkata apa. Maaf? Apakah ini cukup? Aku salah tentangnya. Dia begitu setia padaku. Kepeduliannya yang selalu disembunyikan membuatku ragu. Aku memang mencintainya. Tapi, sikapnya membuatku berubah. Memang aku salah tentangnya. Padahal dia adalah teman terdekat, sahabat lebih tepat.
"Maaf, Rey. Aku telah salah paham dengan kamu. Semenjak kita hilang kontak dan kamu tidak ada kabar selama tiga tahun lebih, aku mencoba berpikir positif. Tapi aku ga bisa. Sejak saat itu aku mencoba melupakan kamu walau aku tahu itu susah. Reyhan, aku juga menyukaimu. Aku seorang wanita, mana mungkin menyatakan perasaan kepada orang yang dia suka terlebih dahulu. Jadi, lebih baik aku menunggumu. Reyhan, kamu tahu? Saat aku mencoba melupakanmu, aku sadar melupakanmu dari ingatan dan hidupku itu mustahil."
Terdengar hembusan napas Reyhan, "Ya udahlah Sar, kamu mana mungkin bisa lupa sama aku," ucap Reyhan dengan percaya dirinya. Sontak tanganku menepuk pundak Reyhan setelah mendengar perkataannya. Itulah hal yang selalu aku lakukan ketika bersama Reyhan dulu. Entah saat Reyhan menggoda, mengerjai, apapun dan kapanpun itu.
"Pd banget kamu!" aku melirik ke arah mata Reyhan. Kulihat mata yang kurindukan itu. Aku menatapnya dengan tatapan tajam. Tak disangka, Reyhan malah berbalik menatap tajam juga ke arahku. Tawa pun datang di antara kami.
"Udahlah, ngapain juga sih?" aku memalingkan muka yang mengakhiri momen saling tatap kami.
"Udah ga sedih, Sar?" tanya Reyhan setelah pengakuan rasa rindu yang kami sampaikan.
"Ga."
"Bahagia?"
"Ga juga."
Reyhan kelihatan bingung dengan jawabanku. Setahuku, Ia tidak peka masalah cewe atau aku yang tidak mau berterus terang. Dasar.
"Terus?"
Sebelum aku mengucapkan jawabannya, Reyhan melontarkan kalimat lagi. Seakan ia bisa menebak apa yang akan kuucapkan. Maklumlah, kami sudah akrab dari bangku sekolah SMP dan menjadi sahabat setelahnya. Apapun mengenai satu sama lain pasti kami ketahui dengan baik. Bahkan sampai keburukan masing-masing. "Aku memang kepo banget. Ga apalah. Ya, aku ingin kamu bahagia."
"Udahlah Rey, tanpa aku bilang bahagia, kamu udah tahu. Mana mungkin kamu ga tahu. Pura-pura ga tahu iya," ucapku dengan senyum tersungging.
"Sama-sama menunggu ya? Sama-sama rindu? Sama-sama sakit hati? Sama-sama setianya juga? Ya, deskripsi yang sempurna buat kita,"
"Gitu?"
"Entah. Mulai dari awal?" ucap Reyhan seraya menjulurkan jari kelingkingnya. Menungguku membalas juluran itu.
" Sepertinya itu lebih baik," aku membalas juluran jari Reyhan.
"Kurasa buat komitmen juga baik," Reyhan senyum-senyum. "Kamu belum siap lebih dari itu."
Aku tertawa kecil mendengarnya. "Boleh juga."
Intensitas hujan mulia mereda. Suara gemiricik air perlahan melemah. Aku berniat melanjutkan perjalanan ke rumah kost. Ketika hendak pamit, Reyhan bertanya padaku, seakan ia tahu isi pikiranku.
"Hujan udah reda. Ga pulang?"
"Ya. Ini mau pulang."
"Dianterin ga?" Reyhan menawarkan.
"Ga usah. Udah biasa sendiri. Kamu juga ga bakalan tahu rumah kostku."
"Baiklah. Kapan-kapan aja aku mampir."
"Aku kan ga nawarin"
"Iya-in aja."
"Iya."
Ketika aku melangkahkan kaki sejengkal, Reyhan memanggilku. "Sar, jangan lupa untuk rindu aku."
"Kita akan ketemu lagi lain kali. Mungkin di sini," ucapku sebelum pergi.
Kali ini, aku benar-benar melangkahkan kaki. Terdengar suara bus dibelakang. Mungkin Reyhan menaiki bus itu. Benar. Reyhan sudah beranjak dari halte bus itu. Sudahlah. Aku bahagia bertemu dengannya. Rasa bahagia yang kututupi di depan Reyhan akhirnya dapat kuluapkan semua. Kesendirian tidak selamanya buruk, terkadang manusia membutuhkan itu untuk hal-hal tertentu. Senyum tak habis melekat pada bibirku. Entah bagaimana kondisi pipiku di depan Reyhan. Ah aku tak tahu. Hari ini mungkin hari gilaku.
***
I hope you like this story
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top