1. Bunda

Seorang pria berjas putih berjalan menyusuri lorong sebuah rumah sakit. Di sepanjang jalan tersebut, dilihatnya banyak sekali orang-orang berkeliaran tidak jelas. Ada yang berbicara sendiri, bertingkah layaknya anak kecil, memarahi petugas dan perawat yang berada di tempat tersebut.

Ia mengedarkan pandangannya ke segala penjuru tempat itu. Lalu ia berhenti di sebuah taman kecil di sana.

Taman itu dipenuhi dengan tumbuhan hijau dan juga bebungaan yang sama indahnya. Suasana sejuk masih bisa ia rasakan di sore hari ini. Ia berdiri dengan kedua telapak tangan yang ia masukkan ke dalam saku jasnya. Ia berjalan pelan, seperti ada yang ia cari sedari tadi.

Beberapa saat kemudian seorang suster berseragam putih menghampirinya.

"Dokter Ali, silahkan Dok." suster itu menunjukkan arah ke sebuah bangku di pinggiran taman.

Ali – panggilan pria tersebut berjalan ke arah bangku yang ditunjuk tadi, sedangkan suster itu berjalan di belakangnya.

Di bangku itu terlihat seorang wanita paruh baya yang mengenakan baju seperti seorang pasien. Sepertinya wanita itu tidak mengetahui kedatangan seseorang dari arah belakangnya.

Ia berjongkok tepat di hadapan wanita itu. Wanita itu belum mengetahui siapa yang berada di depannya, karena ia terlihat sedang melamunkan sesuatu.

"Bunda!" pangilnya. Lalu dengan pelan ia mengambil sebuah boneka yang berada di genggaman wanita itu. Sontak saja wanita itu langsung menatap tajam ke arahnya.

"Kembalikan!" ucapnya seolah mengancam. Namun dokter yang bernama Ali itu tetap tidak menghiraukan. Suster di belakang wanita itu mencoba mengingatkannya, namun yang ada Ali malah memberikan sebuah kode agar ia meninggalkan mereka berdua.

Ali tetap menyembunyikan di belakang punggungnya. Entah apa maksudnya seperti itu.

"Lihat aku Bunda!" ia menggenggam erat kedua telapak tangan wanita yang ia sebut 'Bunda' itu dengan tangan kanannya. Kemudian ia duduk di sebelahnya. Wanita itu diam tidak memprotes sedikit pun.

Pandangan wanita itu seolah kosong ketika menatap mata pemuda yang berada di depannya saat ini. Entah apa yang ada di pikirannya ketika menatap wajah pemuda tersebut.

Ia terdiam.

"Siapa kamu?" tanyanya dengan lembut. Namun tak ada jawaban yang keluar dari mulut Ali. Sebaliknya, tidak disangka Ali memajukan badannya untuk memeluk wanita itu.

Wanita itu terlihat bingung.
Ia memeluk sang ibu dengan erat seakan ingin melepas rindu yang teramat sangat selama bertahun-tahun lamanya. Wanita yang ia panggil bunda itu hanya terdiam mendapat perlakuan darinya.

Suasana hening seketika dan hanya yang terdengat adalah suara isakan tanpa air mata yang mengalir, lebih tepatnya isakan penyesalan yang terlihat jelas dari raut wajah Ali.

Ali melepas pelukannya tanpa melepas genggamannya pada tangan dingin ibunya tersebut.

"Ini Ali. Ali tahu Bunda tidak mengingat apapun, tapi Ali akan berusaha untuk membuat Bunda sembuh dan mengingat semuanya. Ali janji!" ucapnya seolah meyakinkan, ia menggenggam erat kedua tangan wanita itu. Lagi-lagi wanita itu hanya diam, seolah membiarkan pemuda di depannya saat ini memanggilnya dengan sebutan 'Bunda'.

Walaupun dalam hatinya ia bingung siapa pemuda tersebut.

"Kau bukan anakku, dia anakku!" ia menunjuk boneka menyerupai anak laki-laki kecil yang masih berada di samping Ali. Ali pun menyodorkan pelan boneka tersebut sehingga berada di pangkuan ibunya lagi.
Ali menatap piluh ke arah ibunya saat ini.

"Kenapa Bunda menjadi seperti ini? Ini semua salahku!" kesalnya dalam hati.

Tidak henti-hentinya ia merutuki dirinya sendiri saat ini.

"Aku anak bunda," ucapnya lirih dan lagi, wanita itu menatap ke arahnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kau bohong! Dia anakku yang sebenarnya. Dia selalu berada di dekatku dan tidak pernah meninggalkanku sedetik pun. Dialah anakku!" ucapnya seperti meracau, seolah kata-kata tersebut terlontar begitu saja.

Namun perkataannya barusan seolah menampar keras isi hati Ali.

"Kumohon Bunda... maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku dulu untuk selalu menjagamu. Tapi, sekarang aku sudah mewujudkan impian Bunda, Ali sudah menjadi dokter." ucapnya dengan senyuman miris. Seperti mengingatkan wanita tersebut pada masa saat ia masih kecil.

Wanita itu terdiam mendengar perkataan yang baru saja pemuda itu ucapkan. Ia masih tidak mengerti.

Walaupun jiwanya tidak seperti orang normal lainnya, sepertinya ia mulai paham. Seolah tidak cukup bukti untuk meyakinkan ibunya tersebut, Ali mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat dari saku jasnya. Dibukanya amplop tersebut.

"Lihat Bunda. Ini surat terakhir yang pernah Bunda kirim ketika Ali masih di Indonesia. Bunda selalu mengirimi Ali surat setiap minggunya bukan? Tapi maaf setelahnya Ali sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi pada Bunda waktu itu." ia menjulurkan surat tersebut dan sang ibu menerima itu dengan sedikit gemetar setelah mendengar pernyataan yang menurutnya aneh.

Wanita itu membuka surat tersebut dan ternyata di dalam surat tersebut terdapat selembar foto yang membuatnya tercengang seketika. Di dalam foto tersebut terdapat foto seorang wanita muda tengah duduk bersama seorang anak laki-laki berusia sekitar enam tahunan. Ia terdiam menatap foto seorang wanita yang sangat mirip dengannya. Namun ia sepertinya tidak yakin kalau itu dirinya.

Tiba-tiba ibunya itu memegang kepalanya yang terasa sakit. Sontak saja Ali langsung menopang tubuh ibunya tersebut sebelum ia tidak sadarkan diri.

Ali membawa ibunya ke salah satu ruangan di rumah sakit itu. Ia langsung memanggil beberapa suster untuk membawakan beberapa peralatan medis yang ia butuhkan.

Setelah beberapa menit, wanita itu terbaring di kasurnya dengan tenang. Suster-suster langsung keluar setelah mendapat perintah dari Ali.

Ia menatap sendu ke arah ibunya yang masih terbaring lemah. Ia duduk di sebelah ranjang itu, dan berharap ibunya cepat sadar. Dalam hatinya ia tahu bahwa penyakit ibunya sulit untuk disembuhkan di dunia medis. Hanya gejala-gejalanya saja yang bisa diatasi.

Di sela renungannya, ia merasakan sesuatu bergerak dari bagian tubuh ibunya. Ya, dilihatnya satu persatu jari tangan ibunya bergerak. Itu menunjukkan bahwa sebentar lagi ia akan sadar, walaupun kemungkinan kecil ia akan mengingat semuanya, terutama siapa yang berada di dekatnya saat ini.

"Bunda, Bunda bangun." ucapnya pelan, lebih mirip dengan bisikan.

Perlahan tapi pasti wanita itu membuka kedua matanya dan langsung memegangi kepanya yang mungkin terasa sakit.

"Tenanglah, mungkin itu efek dari obat yang kuberikan tadi." ucapnya mencoba menenangkan.

"Kamu siapa anak muda?" tanya wanita itu dengan mencoba untuk duduk di ranjang tersebut dengan Ali yang mencoba membantunya.

Pertanyaan itu membuat Ali semakin merasa bersalah pada sang ibu.

"Apakah jika aku mengatakannya lagi Bunda akan percaya? Ali tahu, mungkin saat ini memang ingatan Bunda sudah hilang tentang Ali. Tapi Ali berjanji akan membuat Bunda sembuh apapun caranya." ucapnya mencoba untuk meyakinkan sang ibu.

"Walaupun kemungkinannya sangat kecil." lanjutnya dalam hati. Ali mengenggam tangan ibunya seolah meyakinkan.

Wanita itu terdiam tanpa mengeluarkan suaranya.
Lalu Ali mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, seperti akan menghubungi seseorang.

"Halo! Dokter Irwan, tekad saya sudah bulat. Saya akan membawa ibu saya keluar dari sini. Apapun yang terjadi saya yang akan bertanggung jawab."

"..."

"Terima kasih." ia mematikan sambungan teleponnya. Lalu menatap lagi ibunya lagi, Seolah menatap berapa banyak penderitaan yang harus dipikul ibunya tersebut selama ini.

"Ali tidak akan mencelakai Bunda. Sebentar lagi Ali akan membawa Bunda ke suatu tempat. Bunda mau kan?" entah dorongan dari mana ibunya itu mengangguk perlahan yang membuat Ali tersenyum kecil.

Beberapa jam kemudian, Ali membawa ibundanya menuju sebuah rumah sakit yang sangat besar dan mewah. Ia membawa ibunya ke sebuah ruangan yang cukup besar. Lebih tepatnya ruangan itu khusus untuk pasien VVIP.

Setelah dilihatnya sang ibu mulai beristirahat di tempat itu, Ali kemudian masuk ke dalam ruangannya yang juga berada di rumah sakit tersebut. Ia duduk di kursinya sambil sesekali menyisir rambutnya dengan jari. Ia sedikit merasa lega.

"Kenapa mereka tega melakukan itu semua padaku dan pada bunda?" Ia membatin sambil mengingat kembali 20 tahun yang lalu.

20 tahun yang lalu.

Semua bermula ketika Ali masih berusia enam tahun. Saat itu seseorang yang tidak lain adalah ibu dari ayahnya datang ke rumah kecilnya. Selama ia tinggal bersama ibunya tidak ada satu pun yang datang menengoknya, terutama keluarga dari pihak ayahnya.

Saat itu Aisyah – Ibunda Ali tidak bisa berbuat apa-apa ketika Ali dibawa oleh neneknya tersebut. Dengan jaminan bahwa Ali akan mendapatkan pelayanan yang baik jika ikut bersama neneknya itu, Aisyah pun rela, walaupun di dalam hatinya ia sungguh tidak bisa jika harus berjauhan dengan anak semata wayangnya itu.

Ia tahu bahwa sang mertua tidak pernah menginginkan keberadaanya kala ia masih bersama suaminya. Oleh karena itu sikapnya masih sama seperti yang ditunjukkan dulu ketika bertemu dengannya kembali.

Tempat tinggalnya dengan tempat tinggal ibu dari almarhum suaminya itu tentunya sangat jauh. Sebuah desa terpencil di ujung pulau.

Ditambah lagi ia hidup sendirian di rumah kecilnya. Demi dapat mengetahui keadaan sang putranya, ia selalu mengirim surat ke alamat rumah yang ditinggali putranya dan keluarga suaminya itu.

Bagai pungguk merindukan bulan. Selama itu juga tidak sekalipun ada surat balasan dari anaknya. Dan itu berlangsung selama bertahun-tahun. Tapi ia mencoba berpikiran positif.

Niat hati ia ingin menemui anaknya tersebut, namun keadaanlah yang tidak mendukungnya. Mengandalkan uang dari hasil menjahit saja tidak cukup, sehingga ia tetap berusaha agar ia bisa menemui anaknya yang entah seperti apa.

Bertahun-tahun lamanya ia mengumpulkan uang agar bisa melihat anaknya itu. Dan keinginannya akhirnya terwujud.

Melewati kota-kota besar dengan harapan hanya ingin melihat anaknya yang selama enam tahun berpisah dengannya.

Setibanya di alamat yang ia tuju, tidak sedikitpun rona karamahan yang ditunjukkan mantan ibu mertua serta saudara-saudaranya.

"Ibu, dimana Ali? Aku ingin melihatnya. Seperti apa dia sekarang?" tanya Aisyah penuh harap.

"Cucuku sekarang sudah berada di luar negeri, dan sepertinya akan berada di sana sampai ia lulus kuliah nantinya." jawaban mertuanya itu sontak saja membuat hatinya bangga dan juga seolah teriris.

Bagamana tidak? Tanpa sedikitpun kabar selama ini yang ia dapatkan, tiba-tiba saja ia sudah tidak berada di rumah itu.

"Sudahlah, urusi saja dirimu. Cucuku akan terjamin pendidikannya. Tidak seperti ketika denganmu," ucapnya dengan ketus. Dan lebih parahnya lagi ia memanggil seorang security untuk mengusirnya. Entah apa yang membuat ibu dari suaminya itu sangat membencinya.

Dengan langkah gontai dan mata berkaca-kaca Aisyah berjalan entah kemana. Ia tidak tahu kota itu. Dengan teganya keluarga itu tidak mengabarinya. Dia ibunya. Ibu yang melahirkan buah hatinya dengan susah payah. Tanpa satupun sanak keluarga yang menemaninya ketika bertarung antara hidup dan mati.

Habis manis sepah dibuang. Pepatah itu sepertinya tepat untuk menggambarkan situasi yang dialaminya saat ini.

Bagaimana tidak? Di saat ia tengah bahagia dengan putranya walaupun hidup apa adanya, tiba-tiba saja ia dipisahkan begitu saja dengan seseorang yang selama itu tidak pernah menganggap keberadaanya.

Bertahun-tahun tanpa kabar dan ketika ia akan mendapatkan kembali apa yang ia nanti selama ini, semuanya seolah sirna begitu saja. Sia-sia perjuangannya selama ini.

Dua belas tahun kemudian Ali pulang ke Indonesia dengan sudah menyandang gelar seorang 'Dokter'. Ia menjadi dokter di usianya yang masih muda yaitu 24 tahun. Di sekolah menengah ia selalu mendapat akselerasi karena kepandaiannya tersebut.

Setelah itu ia melanjutkan studinya di salah satu universitas yang sangat terkenal yaitu universitas Al Azhar, Mesir.

Saat ini Ali sudah menjadi seorang pemuda yang tampan, menurut neneknya ia mirip dengan almarhum ayahnya ketika masih muda. Rambut lurus, kulit putih bersih dan tinggi badannya sangat proporsional membuatnya terlihat sempurna sebagai seorang dokter muda.

Selama ia berada di luar negeri, ia tinggal bersama pamannya dari ayahnya. Dan sesekali keluarganya melihatnya. Ya, karena keluarga dari pihak ayahnya memang kaya, jadi kapan saja bisa menengoknya.
Sesampainya di Indonesia ia disambut ramah oleh keluarganya.

"Ali, Oma bangga denganmu Nak. Kamu sudah besar sekarang, sangat mirip dengan ayahmu dulu," ucap neneknya dengan memeluk Ali ketika ia sudah sampai di rumah yang dua belas tahun lalu ia tempati.

"Alhamdulillah Nek, ini semua juga karena doa nenek dan semuanya." ia menatap semua yang berada di rumah itu. Namun ada yang mengganjal di hatinya.

"Nek, bunda tidak ke sini?" tanyanya dan semua anggota keluarganya terlihat diam. Seperti ada yang disembunyikan mereka.

"Tidak," ucap neneknya kemudian. Raut wajah Ali seketika murung.

"Apa bunda tidak mau melihatku?" pikirnya.

"Ali, sekarang kamu masuk ke kamar kamu gih, kamu pasti lelah. Oma dengar kamu ditugaskan di rumah sakit 'Pelita Harapan' bukan?" tanya neneknya.

Ia mengangguk pelan lalu berjalan menuju kamarnya.
Selama satu minggu itu ia di rumah, dan sesekali berbincang dengan keluarga besarnya mengenai pendidikannya tersebut. Tidak lama lagi ia akan menjadi dokter tetap di sebuah rumah sakit.

Keesokan harinya Ali sudah siap akan berangkat ke tempat yang mulai sekarang menjadi tempat kerjanya. Ia menuruni tangga, dilihatnya semua keluarga besarnya sedang sarapan di meja makan.

"Tenanglah, dia tidak akan mungkin kembali ke sini lagi."

"Tapi Oma, bagaimana jika dia..."

"Sudahlah, orang gila seperti Aisyah tidak mungkin bisa sembuh."

Ali menghentikan langkahnya ketika tidak sengaja mendengar neneknya berbincang dengan keluarganya yang lain.

Ali terdiam, apa ia tidak salah dengar? Neneknya tadi menyebut nama Aisyah.

Aisyah. Ibunda Ali.

Ali berjalan pelan menuju mereka, sepertinya mereka tidak menyadari jika sedari tadi Ali mendengar perbincangan mereka.

"Maksud nenek apa? Siapa yang gila?" suara Ali terdengar sangat mengintimidasi. Semua diam tak berkutik.

"Maksud kalian apa? Aisyah, itu bunda bukan?" Ali menoleh ke arah tente-tantenya yang juga diam. Matanya menatap semua anggota keluarganya dengan pandangan tidak percaya.

"Kenapa kalian diam? Sebenarnya apa yang kalian sembunyikan?" dengan sikap mereka yang terlihat takut akan kemarahan Ali, Ali semakin yakin bahwa yang mereka maksud adalah ibunya.

"Bukan seperti itu Nak," sergah neneknya. Ternyata sifat asli neneknya selama ini belum diketahui oleh Ali.

Wajah Ali sudah mengisyaratkan akan kemarahannya. "Tante, jelaskan pada Ali. Apa maksud dari semua itu. Siapa yang gila?" pinta Ali, ia bertanya pada salah satu tantenya. Tantenya terlihat gugup untuk menjawab.

"Sebenarnya bunda kamu dulu memang pernah ke sini, dan sekarang dia berada di rumah sakit jiwa," cicitnya pelan.

Mata Ali terbelalak. "Kenapa kalian tidak memberitahuku? Apa maksudnya seperti itu?" amarah Ali mulai memuncak. Namun ia masih mencoba mengontrolnya.

"Rumah sakit mana Nek?" neneknya tetap terdiam.

"Rumah Sakit 'Harapan Kita'." sahut tantenya tadi.

Ali menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya mendengar kebenaran itu, dan ia langsung bergegas menuju pintu keluar dengan tergesa-gesa. Ia tidak mempedulikan keluarganya saat ini yang memanggil-manggilnya.

Bagaimana bisa mereka menyembunyikan itu semua darinya? Pikirnya.
Sebelum memasuki mobilnya, seorang pembantu menghampirinya.

"Mas Ali tunggu!" Ali pun berhenti ketika mendengar panggilan itu.

"Ini, Mas. Bibi tahu Mas Ali sekarang sedang kecewa. Bibi juga minta maaf, karena Bibi tidak memberitahu Mas Ali yang sebenarnya." Ali masih bingung dengan perkataan pembantunya itu. Ditambah lagi pembantu itu menyodorkan sebuah amplop coklat kepadanya.

"Ini apa Bi?" Ali menerima amplop tersebut.

"Itu surat terakhir yang ibu Mas Ali kirimkan dua belas tahun yang lalu sebelum dia kemari. Mungkin bisa membantu untuk saat ini," jelasnya.

"Jadi benar, bunda pernah kesini?" pembantu itu hanya mengangguk pelan.

"Terima kasih Bi." lalu Ali memasuki mobilnya dan mengendari dengan sedikit mengebut menuju rumah sakit yang sudah diberi tahu tadi.

Di dalam mobil pikirannya sangat kacau. Ia merasa kecewa dan juga bersalah di saat yang bersamaan.

Walaupun ini adalah kali pertamanya ia keluar setelah kepulangannya dari luar negeri, ia cukup tahu beberapa tempat, salah satunya rumah sakit 'Harapan Kita'. Sedangkan mobil yang sekarang ia kendarai tidak lain adalah peninggalan dari almarhum sanga ayah yang sudah tiada ketika ia masih di dalam kandungan ibunya.

Menurut keluarga besarnya ayahnya memberikan semua aset-asetnya kepada anaknya, yang tidak lain adalah dirinya.
Ia juga tidak mengetahui apa sebab ibunya selama ini hidup berjauhan dengan keluarga besar ayahnya. Dan amanat dari ayah itu baru diketahui ketika ia berusia enam tahun dan ia tidak tahu mengapa sang ibu tidak ikut ketika ia dibawa oleh neneknya waktu itu.

Sesampainya di tempat yang ia tuju, hal pertama yang ia lakukan adalah mencari keberadaan dokter yang berada di sana.

"Alzheimer?" Ali sangat terkejut dengan ucapan dokter yang saat ini berada di hadapannya.

"Iya, Ali. Pasien dengan nama Bu Aisyah sudah berada di sini kurang lebih empat tahun. Pada saat itu salah satu dokter spesialis syaraf memeriksanya dan Bu Aisyah selama itu sudah mengidap penyakit tersebut. Apa benar dia ibu Anda?" tanya Dokter Irwan – Dokter di rumah sakit itu.

Hati Ali seolah tertusuk ribuan jarum ketika mendengar penuturan dari Dokter Irwan. Selama ini ibunya berada di tempat yang menurutnya sangat tidak pantas untuknya.

Ditambah lagi dua belas tahun bukanlah waktu yang sebentar. Ia tidak sedikitpun tahu keadaan sang ibu selama ini. Dimana ia tinggal, dengan siapa dia, apa dia baik-baik saja? Ia tidak tahu sama sekali.

Dengan suara lirih ia kembali bertanya. "Kalau boleh saya tahu siapa yang membawa ibu saya ke sini Dok?" Dokter itu termenung lalu mulai menjawab.

"Maaf, sebelumnya. Yang saya tahu sekitar empat tahun yang lalu Bu Aisyah dibawa oleh keluarga Wiraatmaja."

Seketika tubuh Ali menegang mendengar penuturan itu.

Wiraatmaja? Itu nama keluarganya dan juga nama belakangnya.

Jadi, yang memasukkan ibunya tidak lain adalah keluarganya sendiri? Pikirnya.

"Iya, maaf saya waktu itu tidak bisa berbuat apa-apa. Karena saya bukan dokter tetap di sini. Dan sejujurnya ketika Bu Aisyah datang ke sini perilaku yang ditunjukkan adalah gejala dari penyakit yang ternyata dideritanya. Tapi keluarga Anda meminta agar ia berada di sini. Saya tidak mampu berbuat apa-apa." amarah Ali mulai muncul.

Ia benar-benar tidak menduga akan menjadi seperti ini.

"Ya Allah... penderitaan apalagi yang kau berikan padanya?"

Ali menatap langit-langit ruangan tersebut sekilas dan mencoba menahan bendungan air matanya.

"Dan... menurut informasi, Bu Aisyah tinggal di sebuah tempat penampungan anak-anak sebelum ia dibawa ke sini oleh keluarga Anda."

"Waktu itu, Ibu Aisyah terus memanggil nama Anda dan ia tidak ingat apapun selain itu. Saya sudah berusaha, Anda tahu bukan penyakit itu saat ini belum ada obatnya?" tuturnya.

"Lalu, apakah memang penderita Alzheimer berpeluang mengalami gangguan juga?" tanyanya untuk memastikan.

Meskipun ia sendiri adalah dokter ,tapi ia ingin mendengar penjelasan dari dokter di hadapannya saat ini. Dokter Irwan hanya mengendikkan bahu dan menggeleng pelan.

Ali mulai mencerna perkataan Dokter Irwan, ia tahu memang penyakit Alzheimer adalah jenis demensia paling umum yang awalnya ditandai dengan melemahnya daya ingat, hingga gangguan otak dalam melakukan perencanaan, penalaran, persepsi dan berbahasa. Ia mengerti betul faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang terkena penyakit itu.

"Bunda maafkan Ali bunda, selama ini Ali tidak mengetahui apa-apa," rutuknya dalam hati. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Apa Anda akan menemuinya saat ini? Saya mohon jika Anda menemuinya tolong jangan memaksakannya untuk mengingat semuanya. Dan selama ini saya sudah berbuat sekuat tenaga untuk Bu Aisyah." jelasnya.

"Saya belum siap menemuinya sekarang. Mungkin besok saya akan ke sini," ucap Ali. Kemudian Ali beranjak dengan langkah pelan. Ia menundukkan wajahnya menuju mobilnya.

Hari mulai sore. Ia pun sudah tiba di rumahnya kembali. Ali memutuskan untuk kembali ke rumah itu dan ingin menanyakan banyak hal yang tidak ia ketahui.

Sesampainnya di rumah itu, beberapa anggota keluarganya sudah duduk di ruang tengah. Tidak terkecuali neneknya. Ali melangkah gontai. Rasa lelah dan kecewa bercampur menjadi satu.

"Ali!" panggil neneknya yang kemudian berjalan ke arahnya.

"Kenapa kalian tega melakukannya terhadap ibu Ali sendiri?" suara Ali terdengar memiluhkan. Semuanya terlihat diam, sama seperti tadi.

"Nek, apa salah bunda? Kenapa... kenapa kalian tega melakukan itu terhadapnya? Apa karena bunda berasal dari keluarga miskin yang dinikahi oleh seorang pengusaha kaya? Dan... apa karena itu kalian membencinya?" semua kekesalan di hati Ali ia lontarkan semua saat ini.

"Ali kecewa dengan kalian semua. Selama Ali kecil bunda lah yang selalu merawat Ali bagaimanapun caranya. Ali tahu sejak Ali kecil bunda sudah hidup seperti sebatang kara dan tiba-tiba kalian datang dan membawa Ali. Memisahkan Ali tanpa membawa dia. Ali sudah menegerti semuanya. Ali bukan anak kecil yang menurut jika dibohongi hanya dengan perkataan muslihat." matanya mulai berkaca-kaca.

"Maafkan kami Ali, sekarang kami mengaku salah. Tolong maafkan kami, Nak." ucap salah satu tantenya. Neneknya berjalan pelan dan berusaha menyentuh Ali.

"Jangan pada Ali, pada seseorang yang telah kalian dzolimi. Assalamu'alaikum Ali ingin menenangkan pikiran Ali dulu." setelah mengucapkan kata-kata itu. Ali pergi meninggalkan keluarga itu yang terlihat merasa bersalah.

Ia memutuskan untuk menuju rumah sakit tempat ia bertugas. Dan berharap ia bisa menenangkan dirinya sejenak dan menunggu keluarganya bisa sadar dengan apa yang telah diperbuat mereka. Dan sepertinya esok hari ia akan melihat sang ibu yang sudah lama ia rindukan itu.

***

Dering telepon membuyarkan lamunan Ali setelah memeriksa seorang pasien. Pagi ini ia sudah bertugas layaknya seorang dokter tetap. Setelah menempatkan ibunya di salahsatu ruangan rumah sakit kemarin, ia sudah melaksanakan tugasnya sebagai dokter.

Setelah menerima telepon yang berasal dari salah satu dokter yang bertugas, ia langsung menuju ke ruangan sang ibu. Entahlah wajahnya terlihat sumringah.

Sesampainya di ruangan ibunya, di sana terlihat salah satu dokter telah selesai memeriksa ibunya.

Tanpa diberi perintah, dokter itu langsung keluar dan memberikan waktu untuk Ali bersama sang ibu.

"Bunda," panggilnya dengan senyuman mengembang. Dokter yang telah memeriksa ibunya tadi mengatakan bahwa sang ibu mencari-carinya. Ia sangat senang mendengar itu, walaupun ia tidak tahu ibunya mengatakan dengan sadar atau tidak.

"Ali." Ali tersenyum lebar ketika mendengar seseorang yang paling ia sayangi memanggil namanya. Dengan cepat ia memeluk tubuh itu. Dan ia menitihkan air mata harunya saat itu juga.

"Bunda, apa Bunda sudah bisa mengingat Ali?" tanyanya dan ia bisa melihat jika ibunya mengangguk.

Di dalam hatinya ia sangat bersyukur karena ini seperti sebuah mukjizat terbesarnya. Bagaimana mungkin orang yang menderita penyakit Alzheimer tiba-tiba mengingat semuanya? Ditambah lagi gangguan pada syarafnya membuatnya selama ini seperti kehilangan jiwanya.

"Bunda." Ali menatap mata sang ibu. Wajah ibunya tak jauh beda dengan ketika ia masih kecil.

"Ali," panggilnya lirih. Matanya mulai berkaca-kaca. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini.

Beberapa jam yang lalu tiba-tiba saja ingatan ibunya itu kembali lagi. Seperti belasan tahun yang lalu. Setelah itu seorang dokter memeriksanya. Ia terus menanyakan keberadaan anaknya dan dokter itu menelepon seseorang yang tidak lain adalah Ali – anaknya.

"Ali sangat merindukan Bunda." air mata Ali tidak dapat dibendung lagi, ia menumpahkannya bersamaan dengan rasa rindunya selama ini.

"Bunda juga, Nak," ucap Aisyah pelan. "Bagaimana bisa Bunda bisa mengingat semuanya? Bukannya kemarin bunda...," ia menggantung perkatannya.

Sang ibu hanya menggeeleng pelan. Ia juga tidak mengetahui. Mungkin ini adalah kuasa sang Maha Pencipta kepada umatnya.

Terlihat kondisinya sudah mulai membaik. Berbanding terbalik dengan keadaannya kemarin.

Entahlah mungkin terlalu depresi atau apa sehingga membuat ibunya bersikap layaknya pasien rumah sakit yang memang benar-benar gila.

"Kamu sekarang sudah menjadi dokter, Nak?" tanyanya. Dan Ali mengangguk. Kemudian Ali menggeser kursi di samping ranjang itu, ia duduk di sana.

Ibunya menyentuh setiap bagian wajah Ali mulai dari wajah, hidung, mata hingga jas putih yang saat ini ia kenakan.

"Ini semua berkat do'a Bunda selama ini. Ali ingat, dulu Bunda sangat ingin Ali menjadi seorang dokter bukan?" ucap Ali dengan senyuman tipisnya. Ia mencoba tersenyum di depan sang ibu untuk saat ini. Ali ingat, ketika ia masih kecil dan masih tinggal dengan sang ibu, ia pernah berkata bahwa ia akan menjadi seorang dokter kelak. Dan semua impiannya saat ini sudah menjadi nyata.

Ibunya terlihat bangga dengan Ali saat ini. "Bunda senang mendengarnya." lagi-lagi suaranya terdengar sangat lirih.

"Menjadi seorang dokter adalah tugas yang mulia, kamu bisa menyelamatkan dan menolong banyak orang yang sedang membutuhkan kamu, Nak," tuturnya. Ali mengangguk paham. Ini adalah kali pertamanya Ali mendengar nasihat dari ibunya setelah sekian lama ia tidak bersama sang ibu.

Ibunya mengelus pelan rambut Ali. Ali sangat suka saat-saat seperti ini. "Kamu tumbuh menjadi seorang yang tampan, Nak" Ali tersenyum mendengar perkataan ibunya.

"Jadilah seseorang yang selalu dibutuhkan oleh orang yang membutuhkan, bukan menjadi orang yang selalu membutuhkan orang lain," tutur ibunya sambil mengelus rambut ikal Ali. Ali merasa agak bingung dengan perkataan ibunya itu.

"Iya, Bunda. Ali minta maaf sudah membuat hidup Bunda menjadi seperti selama ini, dan... Bunda juga harus berada di rumah sakit jiwa," ucap Ali lirih.

"Ali masih tidak habis pikir Bun, kenapa mereka sangat membenci Bunda," ucapnya seolah menekankan siapa mereka itu.

"Sudahlah, jangan menyalahkan siapapun. Bagaimanapun juga mereka juga berjasa atas kesuksesanmu, Nak." Ali terdiam mendengar penuturan sang ibu.

Walaupun ia juga menahan amarah. Ibunya memang pribadi yang sangat baik dan tidak pernah dendam pada siapapun.

Ia tidak habis pikir bahwa sang ibu bisa sembuh dengan cepat. Ia berharap dalam hati jika ini memang nyata dan bukan hanya mimpi. Kemudian ia mengangguk paham lalu kembali memeluk sang ibu.
3 bulan kemudian.

Ali sekarang sudah menjadi dokter tetap di rumah sakit yang sekarang menjadi tempat kerjanya. Ia adalah seorang dokter ahli syaraf. Hari-harinya dipenuhi dengan kebahagiaan.

Ali menjalani kehidupannya saat ini dengan tenang. Ia selalu mengingat pesan terakhir yang disampaikan oleh mendiang sang ibu dua bulan yang lalu.

Aisyah – sang ibu menghembuskan napas terakhirnya tepat dua bulan yang lalu. Saat itu Ali dan beberapa dokter di rumah sakit tersebut sudah mengupayakan berbagai hal, namun sang pencipta berkata lain.

Shok, tentu saja. Pada saat itu ia tidak mampu berbuat banyak. Hampir satu bulan ibunya dirawat di rumah sakit tersebut karena penyakit yang dideritanya.

Penyakit Alzheimer di jaman yang serba modern ini tetap belum ditemukan obatnya.

Diagnosis penyakit Alzheimer umumnya hidup sekitar delapan hingga sepuluh tahun, namun ada juga yang dapat bertahan melebihi diagnosis itu. Tapi, tidak untuk ibunda Ali. Ia hanya bisa bertahan kurang dari empat tahun. Di umurnya yang belum menginjak kepala enam, tidak menutup kemungkinan memang untuk penyakit ini diidap seseorang di usia muda.

Hubungan keluarga Ali yang sempat tidak berjalan dengan baik akibat kejadian itu, lambat laun kian membaik. Ali memanglah bukan pribadi pendendam. Dan yang membuat ia menjadi seperti itu tidak lain adalah kata-kata dari sang ibu. Walaupun ia hanya bisa menatap raganya hanya sebentar.

Ketika prosesi pemakaman sang ibu berlangsung sejak saat itulah hubungannya dengan keluarganya mulai terjalin kembali. Ketika itu neneknya dan juga beberapa sanak saudaranya ikut berkabung. Sang nenek yang yang duduk di kursi rodanya mengucapkan turut berduka citanya dan juga permintaan maafnya.

Sungguh miris memang, yang Ali inginkan bukan setelah kepergian ibunya tapi apa boleh buat ia juga tidak mungkin menyalahkan keluarganya itu atas kepergian ibunya. Karena ia tahu hidup dan mati seseorang sudah diatur oleh sang pencipta.

Kini Ali dan keluarganya hidup layaknya keluarga bahagia pada umumnya. Tidak ada pertengkaran, kesalah pahaman di dalamnya. Seolah sudah melupakan yang lalu-lalu. Ia juga sudah mengetahui apa penyebab keluarganya dulu tidak menginginkan sang ibu. Namun, ia sudah melupakannya dan mencoba untuk memaafkannya.

Satu hal yang diingat Ali sampai saat ini adalah pesan ibunya yaitu;

"Menjadi seorang dokter adalah tugas yang mulia karena dapat menolong semua orang yang sedang membutuhkan bantuan kita dan selalu lah menjadi seseorang yang selalu dibutuhkan dan bukan membutuhkan orang lain."

Kata-kata itulah yang sampai saat ini menjadi pegangan Ali dalam menjalani hidupnya walaupun tanpa seseorang yang sangat ia sayangi.

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top