Bagian kesepuluh
Diandra baru saja duduk saat salah seorang tantenya mendekati.
"Apa kabar Di?"
"Baik te" jawab Diandra ramah. Meski ia sangat tidak suka pada tante Inggrid. Perempuan setengah baya ini terkenal sebagai mak comblang dalam keluarga besar maminya. Kalau beliau mendekati seseorang, maka bisa dipastikan, akan ada perjodohan.
"Kamu tambah cantik"
Ih, tante basi banget. "Makasih te. Oh ya tante udah makan?" Tanya Diandra lagi, tetap berusaha untuk sopan.
"Makan mah gampang. Oh iya, tante mau ngenalin seseorang sama kamu. Tadi tante nanya sama mamimu. Katanya kamu masih sendiri"
Diandra hanya tersenyum.
"Sebenarnya aku lagi deket sama seseorang tan. Cuma memang belum ada yang tahu"
"Belum ada komitmen kan?" Desak tante Inggrid lagi.
Diandra menarik nafas dalam. Ia benar benar kesal. Tante inggrid melanjutkan kalimatnya
"Ini orangnya baik lho Di. Punya tambang batu bara juga beberapa usaha lainnya. Keluarganya juga baik. Jarang lho ketemu yang seperti ini. Kamu nggak akan kecewa"
"Maaf tan"
"Atau kalian kenalan dulu aja ya. Nah itu orangnya" ucap Tante Inggrid tanpa peduli kekesalan Diandra. Ia segera memanggil seorang pria berkulit putih dan bertubuh sangat tinggi. Pria itu mendekati mereka
"Hai Dennis, kenalkan ini keponakan yang pernah tante ceritakan waktu itu. Di, ini Dennis"
Diandra mengulurkan tangannya. Pria itu tampan dan tampak sopan. Tante Inggrid benar, ia terlihat pria baik. Namun hati Diandra sudah terpaut pada Andrew. Tante Inggrid kemudian meninggalkan mereka.
***
Andrew menatap sebuah video yang ditautkan pada akun Diandra. Ia terlihat tengah berbicara disebuah meja dengan seorang pria. Andrew menatap dengan teliti, ia bisa melihat tatapan intens pria itu, dan rasa tidak nyaman dipihak kekasihnya.
Sebenarnya ia ingin marah, apalagi melihat sikap pria itu yang jelas jelas memberikan tatapan kagum pada kekasihnya. Andrew berusaha mengatur nafasnya. Video itu baru berlangsung lima menit yang lalu. Dan pasti Diandra masih ada dipesta. Bukan waktunya untuk bertanya.
Ada rasa sakit sebenarnya dalam hati Andrew. Terutama saat Diandra meminta mereka menyembunyikan hubungan. Ia tidak ingin kedua orang tuanya tahu kondisinya sebenarnya. Padahal Andrew begitu serius menjalin hubungan. Apakah ia tidak dianggap layak untuk menjadi bagian dalam keluarga mereka?
Ditatapnya laut di kejauhan, semua sangat gelap. Segelap perasaannya malam ini. Hubungan mereka belumlah lama. Tapi entah mengapa, hati kecil Andrew berkata jalan mereka akan sangat panjang dan berliku. Tidak akan mudah mendapatkan kebahagiaan bersama Diandra.
Diputarnya kembali video tersebut, namun kali ini ia segera mematikannya. Rasa ini benar benar membuatnya tidak nyaman. Apakah rasa ini yang pernah papa rasakan saat melihat mama bersama pria lain? Apakah karena rasa ini papa tidak pernah ingin menginjak tanah Indonesia? Rasanya memang sakit pa, aku sudah mengalaminya sekarang. Ketika aku ingin berada didekatnya, menyatakan pada dunia bahwa ia milikku. Dan disaat yang sama, aku tidak bisa berbuat apa apa.
Berusaha menguasai diri setelah lama merenung. Andrew kembali membuka ponselnya. Tak lama bermunculan foto foto suasana pesta yang masih berlangsung. Ada Diandra yang tengah menari, Diandra yang mendapat tatapan kagum banyak orang. Dan akhirnya sebuah foto berdua yang diambil oleh seseorang. Diandra dan Fify utomo.
***
Diandra menghempaskan tubuhnya di kasur. Setelah selesai menghapus make up dan mengganti pakaiannya. Waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Apa Deedoo belum tidur? Pikirnya. Dicobanya mengirim pesan. Kalau belum tidur, kekasihnya pasti akan menelfon. Karena mereka sama sama tidak suka mengetik.
Sayang tidak ada balasan dari Andrew. Akhirnya Diandra berusaha memejamkan mata. Terbayang kembali pria bernama Dennis tersebut. Ia tahu, ada harapan besar dalam tatapan laki laki itu. Tapi jelas, hatinya sudah terpaut pada Andrew. Dan ia tidak ingin menghianati pria tersebut.
Ia pernah merasakan sakitnya diselingkuhi. Ia tidak mau Andrew mengalami hal yang sama. Entah kenapa ia merasa kalau Andrew sangat baik. Berbeda jauh dengan laki laki yang selama ini mendekatinya. Dulu, saat pertama mereka bertemu, kekasihnya itu tidak pernah mencuri kesempatan untuk menyentuhnya. Padahal pekerjaan mereka memungkinkan umtuk itu.
Saat mengantarnya ke kamar, Andrew juga hanya sekedar mengantar. Tidak ada tindakan berlebih. Itu yang membuatnya tak pernah lupa. Bahkan saat pertemuan kedua di apartemennya, Andrew tetap menjaganya. Diandra mencoba menutup matanya menghalau segala keletihan sepanjang hari ini. Sampai kemudian ponselnya berbunyi.
Sudah tidur? Bunyi pesan Andrew
Ia tersenyum, segera ditekannya tombol hijau untuk menelfon.
"Malam Deedoo" sapanya dengan suara serak.
"Malam my Di, belum tidur?" Tanya Andrew denga nada pelan.
"Belum, kangen sama kamu. Udah seharian nggak ngobrol" jawab Diandra.
Andrew tertawa kecil. Ia suka saat Diandra manja seperti ini.
"Doo, ngapain aja seharian?"
"Biasa pemotretan outdoor. Tema pelangi. Kamu kenapa nggak tidur saja. Saya tahu kamu sudah mengantuk"
"Terlalu capek malah nggak bisa tidur Doo. Kamu lagi ngapain sekarang?"
"Sedang mengedit foto. Mencari yang terbaik"
"Masih lama ya"
"Lumayan, baru beberapa. Nanti kalau lewat setengah kompetisi baru agak ringan. Lagian lusa saya kebetulan ada pemotretan untuk Singapore Tourism. Jadi ini harus selesai. Supaya bisa konsen untuk lusa"
"Pekerjaan kamu banyak ya"
"Lumayan, untuk menghabiskan waktu"
"Hari rabu depan aku mau ke Singapura. Biasa ke salon. Kamu ada waktu?"
Andrew melihat kembali jadwal kerjanya sebelum akhirnya menjawab
"Jam empat sore aku free sampai besok paginya. Kamu mau kita kemana?"
"Kebetulan aku akan sendiri. Maya ada acara keluarga"
"Kita bisa mengobrol di apartemenku"
"Kamu sewa?"
"Enggak sih, aku punya sendiri. Properti milik papa dulu. Diwariskan untukku"
Diandra tidak bisa menjawab. Ia ingin sekali berdua saja dengan Andrew selayaknya sepasang kekasih. Tapi apa yang akan terjadi kalau mereka hanya berdua disebuah apartemen? Jelas kekasihnya bukan pria yang hidup selibat. Merasa paham dengan pikiran Diandra akhirnya Andrew berkata.
"Kamu akan aman bersamaku"
Diandra sedikit merasa lega.
"Ok, kamu jemput aku di salon ya. Nanti aku kasih alamatnya"
"Tapi aku akan jemput kamu pakai taksi. Aku tidak punya mobil disini"
"Ok"
"Ya sudah, tidur dulu my Di. Kamu sudah capek seharian"
"Ok, kamu juga jangan tidur malam malam. Nanti sakit" balas Diandra.
"Tidur yang nyenyak my Di. Good night"
"Sama sama Deedoo. Mimpiin aku ya. Awas yang lain"
Andrew tertawa lebar. Bebannya beberapa jam terakhir hilang sudah. Diandra tetap menjadi miliknya. Ketakutan kadang hanya membuat kita semakin jauh dari tujuan pa.
***
Rabu pagi, Andrew bersiap siap untuk hari ini. Membereskan ruangan di apartemen yang baru ditinggalinya sekitar sebulan. Sebelumnya tempat ini disewakan. Karena ia memang tidak tinggal disini. Kunjungan pun hanya dilakukan untuk mengunjungi abu papanya.
Namun semenjak terikat kontrak untuk acara pemilihan top model Asia. Ia memutuskan tinggal disini. Kebetulan penyewa memutuskan untuk pindah. Jadi tak perlu tinggal dihotel atau menumpang di apartemen aunty Regine. Ia merasa
Ia membayangkan, malam ini akan terasa indah. Karena dihabiskan bersama orang yang ia sayangi. Ini pertama kali Andrew bersedia untuk terikat dalam sebuah komitmen. Setelah selama ini ia berusaha menghindar. Pesona seorang Diandra merubahnya. Sampai ia rela menghabiskan ribuan dolar untuk membeli sepasang anting cantik sebagai hadiah.
Andrew tersenyum, malam ini ia ingin menunjukkan keseriusannya pada Diandra. Semoga semua berjalan dengan lancar.
.
.
.
Sore hari disebuah tempat makan.
Diandra tengah memilih beberapa jenis sayur untuk direbus. Sementara Andrew disebelahnya ikut ikutan memilih ikan untuk disteam. Tangan keduanya tak henti bertaut. Sesekali dengan manja Diandra membisikkan sesuatu pada kekasihnya.
Menggunakan taksi, mereka berangkat kemari. Meski jarang memggunakan transportasi tersebut Diandra menikmatinya. Mereka bebas mengobrol tanpa salah seotang harus berkonsentrasi menyetir. Sesekali Andrew menjawab pertanyaannya. Namun lebih sering Diandra bercerita.
Selesai makan malam, berjalan kaki mereka menghampiri tepi laut. Angin berhembus cukup kencang. Tak ada lagi kecanggungan. Diandra merasa damai dalam dekapan Andrew. Disini seolah mereka tak perlu takut terhadap siapapun.
Diandra merapatkan jaketnya. Kemudian berbisik lirih.
"Doo, kita pulang yuk"
"Kamu ngantuk?"
Ia hanya mengangguk. Segera mereka menuju halte tempat pemberhentian taksi. Sayang setelah menunggu sekian lama tak ada taksi yang datang.
"Nggak ada taksi, kita tunggu sebentar ya. Aku mau minta jemput aunty"
"Jangan ah, malu maluin"
"Daripada kamu ngantuk dan kedinginan disini"
"Jauh nggak sih apartemen kamu?"
"Sekitar dua kilometer dari sini"
"Pelan pelan sambil jalan kaki yuk" ajak Diandra
"Itu jauh lho Di, nanti kamu nggak kuat"
"Kita coba aja dulu, sambil sekalian nunggu taksi"
"Ya sudah" jawab Andrew akhirnya.
Bersama melintasi pedestrian sambil bergandengan tangan. Beberapa kali Andrew bertanya, apakah ia letih. Tapi Diandra hanya tersenyum sambil menggeleng. Sambil membicarakan apa yang telah mereka lalui.
Langit Singapura cukup mendukung perjalanan mereka. Diandra merasa lucu. Kalau di Jakarta, ia takkan mungkin berani berjalan di waktu hampir tengah malam seperti ini. Tapi saat ini, ia merasa baik baik saja. Cinta merubah segalanya dalam hidup seorang Diandra.
"Apa kabar orang tua kamu?" Tanya Andrew tiba tiba.
"Baik, mereka sudah pulang ke Cipanas. Kok tiba tiba nanya mereka?"
"Sekedar nanya saja"
"Doo"
"Hmmm"
"Boleh nanya tentang orang tua kamu?" Tanya Diandra dengan sangat hati hati. Ini adalah pembicaraan yang selalu dihindari oleh kekasihnya.
Andrew menghentikan langkahnya, kemudian menatap Diandra lekat. Ada kesedihan yang sangat dalam disana. Entah kenapa Diandra merasa bahwa ada kepedihan yang dalam.
"Ayahku sudah meninggal, semenjak aku berusia tujuh belas tahun. Dan setelah itu aku hidup di asrama di London. Aunty Regine menjadi waliku. Sampai aku berusia delapan belas tahun"
Tiba tiba Diandra merasa bersalah. Ada yang tidak ingin dibagikan oleh Andrew sepertinya.
"Kamu masuk asrama di London. Biasanya tamatan sana kan jadi jurnalis, politikus, jarang yang ambil profesi seperti kamu"
"Awalnya tidak sengaja. Waktu ayahku mulai diketahui mengidap kanker.."
"Kanker?"
"Ya, kanker paru"
"Lalu?"
"Aku merasa harus mengabadikan setiap moment kebersamaan kami. Karena saat itu aku tahu, takkan lama lagi aku bisa melihat wajah dan merasakan pelukannya"
***
Happy reading
Maaf untuk typo
17.07.19
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top