Bagian keenam

Andrew memasuki sebuah rumah dipinggir kota London. Rumah yang pernah ia tinggali bersama  sang ayah. Rumah  tersebut masih tampak bersih. Ada seseorang yang ia pekerjakan untuk membersihkan tempat ini seminggu sekali. Ia menjaga semua, bahkan kamar ayahnya masih sama seperti saat dulu ditinggalkannya.

Memasuki ruang kerja ayahnya. Masih terlihat disudut meja kerja, ada fotonya saat masih bayi. Berdampingan dengan sepasang foto lama milik ibu dan ayahnya. Andrew tersenyum getir, seandainya ibunya masih ada, apakah panggilan yang akan ia sebutkan untuknya? Mama, mommy, atau malah ibu atau bunda seperti kebanyakan panggilan terhadap para ibu dinegara asalnya?


Andrew menatap foto itu dengan intens. Ia tahu nama perempuan itu. Ia tahu tempat tinggalnya. Ia tahu kehidupannya yang bahagia. Perempuan itu telah menemukan pria yang benar benar mencintai dan dicintainya. Satu yang tertanam dalam diri Andrew, ayahnya hanya bisa mencintai, tapi sayang cinta itu tak pernah berbalas.

Saat membuka Instagram milik Diandra tadi malam. Ia menemukan nama perempuan itu dalam tautan. Tak sengaja jemarinya menelusuri. Kehidupan ibunya sangat sempurna. Apakah ia pernah mengingat nama Andrew? Apakah ia pernah tahu bahwa namanya adalah Andrew Stephen Tan? Rasanya tidak, karena perempuan yang ditakdirkan menjadi ibunya itu meninggalkannya saat ia baru lahir. Tanpa pernah menanyakan keadaannya.

Tepatnya ketika ia keluar dari rumah sakit, mereka berpisah. Ibunya dijemput oleh keluarganya, sementara ia dibawa pulang oleh ayahnya. Mereka tidak pernah bertemu lagi. Ayahnya pernah bercerita, ingin mempertemukan mereka. Tapi semua pintu untuk mereka sudah ditutup oleh keluarga ibunya.  Andrew meremas rambutnya. Ia tidak ingin memgingat hal itu lagi. Semua sudah berlalu, dan takkan pernah kembali.

Dikeluarkannya sebuah foto dari saku jaketnya. Gambar Diandra yang tengah tersenyum. Perlahan diraihnya sebuah figura berbahan perak yang kosong. Diletakkannya foto itu dengan hati hati. Berdampingan dengan milik kedua orang tuanya.

Tempat itu sudah terisi pa. Dengan perempuan yang berasal dari negara yang sama. Mereka memiliki senyum dan rambut yang sama panjang. Hitam dan bergelombang alami. Tapi aku hanya memutuskan untuk menyayangi. Bukan mencintai.

Karena mencintai akan membuatku ingin memiliki. Tapi dengan menyayangi, aku bisa tetap menyimpannya dihatiku.

***

Diandra menatap foto Andrew saat tengah duduk di sebuh Cafe di London. Pria itu baru saja mengirimkan potret dirinya. Mengenakan kemeja hitam dengan lengan digulung. Juga celana jeans. Dibawah fotonya tertulis

Saya masih berada disini sampai seminggu yang akan datang. Setelah ini saya akan ke Spanyol. Melakukan pemotretan untuk keluarga kerajaan.

Diandra menarik nafas dalam, banyak hal yang berkecamuk dalam pikirannya. Hubungan mereka memang sudah lebih mencair. Namun tidak ada tanda tanda pria itu mendekat. Meski juga tidak menjauh. Andrew masih mengiriminya pesan. Tapi terasa sangat formal. Tidak pernah ada emoc ataupun kata kata yang membuat jantung Diandra berdebar. Semua tampak biasa saja. Meski sebenarnya menerima pesan dari Andrew sudah membuatnya tersenyum bahagia.

Ia memejamkan mata sejenak, haruskah ia mundur sekarang? Ia tidak ingin mengejar bayangan. Karena jelas takkan pernah  bisa menyentuhnya. Apakah pria itu memang tidak ingin melanjutkan hubungan ke jenjang yang lebih serius dengannya? Atau memang ia tengah memiliki hubungan  dengan seseorang? Adalah hal yang biasa pria dengan profesi seperti Andrew memiliki hubungan dengan banyak perempuan.

Diandra masih termenung saat sebuah pesan memasuki ponselnya.

"Apa kamu sibuk diawal april nanti?"

Diandra tertegun menatap pesan yang ditulis Andrew.

"Sampai saat ini belum ada jadwal. Kenapa?"

"Saya akan ke Singapura. Ada perayaan Cheng beng. Kami sekeluarga besar akan berkumpul untuk melakukan  upacara kepada arwah leluhur. Saya akan berada disana selama tiga hari. Kalau kamu ada waktu kita ketemu di Singapura atau di Bali"

Diandra terkesiap, pertanyaan itu terlalu tiba tiba baginya.

"Kira kira tanggal berapa?"

"Setelah tanggal tujuh april"

Diandra menggigit bibirnya. Ini terlalu tiba tiba.

"Nanti aku bicarakan dengan Maya dulu. Kalau bisa, aku kabari"

"Terima kasih, saya tunggu"

"Ok"

Diujung sana Andrew menutup ponselnya. Kembali diteguknya gelas yang masih terisi. Ia berbohong pada Diandra. Tidak ada perayaan yang akan dihadirinya. Ia bukan orang yang diharapkan untuk turut bergabung oleh keluarga besar. Tapi benar ia akan ke Singapura. Memghormati arwah ayahnya sendirian. Melaksanakan upacara sebagaimana mestinya. Ia khawatir kalau nama ayahnya tidak terselip dalam upacara meriah yang dilaksanakan keluarga besarnya Disaat itu ia berharap Diandra akan menemaninya.

Apakah mimpinya terlalu tinggi? Sementara ia masih ragu untuk melangkah? Andrew kembali menghisap rokoknya. Akankah Diandra bersedia menerimanya? Andrew menggelengkan kepala. Kenapa hanya nama itu yang ada disana. Sebuah nama yang akan sangat sulit untuk diraihnya.

Ia tahu mendapatkan perempuan Indonesia sekelas Diandra tidak mudah. Perempuan itu dikelilingi oleh banyak orang yang mencintainya. Lalu siapakah seorang Andrew? Ayahnya tidak pernah menikah. Tantenya seorang Lesbian. Apakah ia akan diterima ditengah keluarga besar Diandra yang tampak sempurna?

Seketika Andrew menyesali pesan yang dikirimnya barusan. Seharusnya ia tidak terburu buru. Mestinya ia berpikir lebih dalam lagi agar tidak ada yang kecewa. Tapi kenapa kali ini pikiran dan tubuhnya tidak  bisa bekerja sama dengan baik? Kenapa nama Diandra selalu menari dalam pikirannya? Andrew menutup matanya sejenak. Apakah ini yang ada dalam pikiran ayahnya saat jatuh cinta pada ibunya? Ingin selalu dekat, dan ingin memiliki!

***

Fify Utomo Jeffrey. Perempuan paruh baya itu tengah berada disebuah butik milik perancang terkenal. Sebentar lagi ia akan melaksanakan pesta pernikahan putrinya. Semua harus terlihat sempurna. Ini terakhir kali ia mantu.

"Hallo  Fify, apa kabar?" Tanya sang pemilik butik. Seorang sahabat lamanya bernama Anita Gunawan.

"Baik Nit, gimana gaun  dan kebaya untuk Jennifer"

"Masih empat puluh persen. Nanti yang lama buat payetnya aja"

"Gaunku?"

"Sama aja, sabar dong. Masih lama juga pestanya. Tumben kesini, pasti ada yang lain ingin kamu omongin"

Fify tersenyum. Anita adalah sahabat terbaiknya. Mereka berteman sudah sangat lama. Ibaratnya seluruh kebaikan dan keburukan masing masing, mereka sudah saling tahu.

"Kamu mau ngomong apa?" Tanya Anitha setelah mereka berada diruangannya.

"Akhir akhir ini aku kok ngerasa gelisah ya Nit. Kayak sedih gitu. Rasanya aku ingin selalu menangis. Tapi nggak tahu kenapa?"

"Karena pernikahan Jennifer semakin dekat mungkin. Terlalu banyak yang kamu khawatirkan"

"Bukan Nit"

"Lalu?"

"Tiba tiba aku ingat sama Stephen"

Anita menatapnya tak percaya

"Jangam gila Fy, itu masa lalu yang harus kamu kubur. Apa Jeffrey buat masalah?"

"Nggak ada, Jeffrey baik, sangat baik malah. Aku cuma keingat sama Stephen"

"Buang dia jauh jauh Fy, ingat kamu dulu memilih untuk meninggalkannya. Supaya bisa kembali ke Jeffrey. Kubur semua! Jangan biarkan pikiran itu mengganggu kamu"

Fify terdiam, matanya menerawang.

"Apa yang kamu rasakan sebenarnya? Dan sejak kapan?"

"Aku nggak tahu, kadang aku tiba tiba ingin menangis. Tapi disaat yang sama aku tahu, bahwa aku tidak punya masalah"

"Hubungannya dengan Stephen?"

Fify menggeleng. "Aku nggak tahu hubungannya. Tiba tiba kepikiran dia aja"

"Itu sudah lama banget lho Fy. Siapa tahu malah dia sudah bahagia. Bahkan sudah menikah!"

"Apa mungkin dia mengingatku ya Nit?"

"Bisa saja sih, lagian kalian kan punya anak. Mungkin anak itu sudah besar dan mau menikah juga. Sampai si Stephen ingat kamu terus. Ya wajarlah, kamu kan ibu dari anaknya"

"Apa bayi itu masih hidup Nit? Dan tengah terjadi sesuatu yang buruk padanya?"

"Aku nggak tahu, tapi gini deh. Kamu stop mikirin mereka. Mending kamu fokus pada pernikahan Jennifer. Masa kelam kamu itu sudah berlalu. Jangan jadi orang bodoh yang selalu terpaku pada masa lalu"

Fify terdiam, ia memejamkan mata indahnya sejenak. Tidak banyak yang mengetahui hal ini. Hanya keluarga terdekat, Anita sahabatnya. Dan Jeffrey suaminya.

Flashback

Bayi itu sudah lahir. Bayi yang sangat ia benci. Bayi yang hadir karena kesalahan semalam yang dibuatnya karena tengah mabuk dalam sebuah pesta ulang tahun kantor. Yang akhirnya diketahui bahwa ia sengaja dibuat mabuk oleh ayah sang bayi. Bayi yang membuatnya harus jauh dari keluarga dan kekasihnya.

Saat perawat menyerahkan sang bayi dalam pelukannya, sebelum harus dibawa ke ruang bayi. Ia memang memeluknya. Tapi tidak punya perasaan apa apa. Rasa itu sudah mati karena ayah si bayi. Ia melakukan semua, karena itu adalah sesuatu yang harus dijalani dalam ruang bersalin.

Ayah si bayi ada diluar, tengah menunggunya selesai. Fify bisa melihat kecemasan yang berlebih dalam wajah Stephen tadi. Saat tahu ia akan melahirkan. Dan kini ia bebas. Semua sudah selesai. Tugasnya untuk melahirkan bayi itu sudah dilaksanakan.

Ia begitu menghormati Stephen sebagai atasannya. Tapi kenapa laki laki itu tega menidurinya saat ia sedang mabuk? Bukankah saat itu  atasannya  dalam keadaan sadar? Stephen tahu, Fify adalah milik  Jeffrey. Yang notabene  sahabat Stephen satu satunya di Indonesia. Tapi kenapa malah menodainya?

Fify memejamkan mata saat ia didorong keluar ruangan. Ia tahu disana laki laki bejat itu pasti sudah menunggu.  Ia tahu, laki laki itu tidak akan melewatkan sedetikpun saat bersamanya. Ia juga tahu segunung harapan yang sudah dipupuknya.

Yang Stephen tidak tahu. Fify tetap pada pendiriannya. Ia mematuhi perjanjian mereka. Dan akan pergi setelah ia boleh keluar dari rumah sakit ini. Ia tidak peduli pada Stephen dan bayinya. Ia hanya akan peduli pada luka di hati Jeffrey dan juga airmata kedua orang tuanya. Ia sudah memilih, dan tidak akan pernah menyesali apapun!
.
.
.

Anita menatap sahabatnya yang tengah termenung. Ia tidak tahu sumber kegalauan Fify. Tapi ia sangat mengerti sahabatnya. Fify tidak pernah bercerita pada siapapun mengenai kegundahannya selama ini tentang masa lalunya. Kecuali padanya. Dan itupun baru kali ini.

Anita mengenal Fify dari masa putih biru. Dan ia tahu, sahabatnya yang cantik ini, selain pintar, juga aktif dalam segala kegiatan sosial. Sampai sekarang juga seperti itu. Fify tidak pernah punya waktu luang untuk termenung. Jadi kalau saat ini ia mengatakan tengah mengingat Stephen. Dan merasa sedih, itu artinya ada sesuatu yang tidak beres. Karena nama itu sudah sangat lama dikubur oleh Fify.


***


Rulenya masih sama.....

Happy reading

Maaf untuk typo

120719

Semoga kalian bahagia....❤❤❤



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top