Bagian Keduabelas
Banyak yang kangen Bima katanya. Komen di IG sama di Watty. Saya sedang sibuk di dunia nyata.
Nanga Bima sendiri palingan sisa 10 part lagi sih sebenarnya. Kalau saya lanjut Bima, berarti saya harus hiatus dari SF untuk sementara.
***
Malam itu, mereka menghabiskan waktu bersama. Selesai makan malam mereka menonton televisi. Kali ini kepala Andrew yang berada dipangkuan Diandra.
"Di ruang atas ada apa Doo?"
"Perpustakaan, ada beberapa alat Gymku dan meja biliard"
"Nggak kamu tempati?"
"Nggak lah. Sebenarnya aku lebih suka tinggal dihotel. Satu kamar dengan ukuran kecil, sudah cukup untukku. Tapi aunty memaksa. Katanya aku tidak pernah tinggal di rumah ayahku"
"Selama ini?"
"Kalau kemari, aku menginap dihotel. Dulu aku menginap di tempat aunty. Kamu mau lihat ruang atas?"
Diandra mengangguk. Andrew segera bangkit dan menarik tangannya menyusuri lantai yang dibuat setengah melingkar. Ruang atas ternyata sama luasnya dengan ruang bawah. Hanya dua lampu sudut yang hiďup. Ada beberpa peralatan gym yang bahkan plastiknya belum dibuka. Disudut ada banyak buku buku. Andrew segera menghidupkan lampu.
Semua menjadi lebih jelas. Ada foto keluarga didinding tengah ruangan.
"Itu foto keluarga papa. Bersama nenek tiriku. Papa yang paling besar. Mereka enam bersaudara"
"Papa kamu yang mana?"
"Yang berdiri disebelah aunty. Paling kanan"
"Kelihatan blasterannya"
"Nenek kandungku warga negara USA. Sudah meninggal enam tahun yang lalu"
"Kalau mama kamu?"
"Warga negara Indonesia. Dan dia sudah bahagia dengan hidupnya. Aku tidak bisa menceritakan apapun tentangnya. Karena memang tidak pernah mengenalnya. Kami berpisah sejak aku lahir"
Diandra hanya mengangguk. Ia tidak akan memaksa Andrew untuk bercerita.
"Ayo duduk disana" ajak Andrew.menuju sebuah sofa berwarna merah.
Diandra menurut, dan mengikuti langkah kekasihnya. Kain gordyn terbuka dengan menggunakan remote. Tampaknya apartemen ini sangat modern. Menurut Andrew juga tadi, lampu ruang atas sudah diatur untuk menyala setelah pukul enam sore sampai enam pagi. Dari jauh terlihat kota yang penuh dengan lampu.
"Mau minum Di?"
"Aku nggak minum alkohol"
"Wine?"
Diandra menggeleng.
"Kalau kamu mau minum nggak apa apa"
Andrew menggeleng dan kembali menghampirinya. Kemudian merebahkan kepalanya dipangkuan Diandra. Segera jemari gadis itu membelai rambutnya.
"Aku akan merindukan kamu Di"
"Aku juga"
Andrew meraih pipi Diandra yang halus. Kemudian membelainya. Ia menatap wajah cantik itu.
"Apakah aku boleh berharap?"
Diandra mengangguk
"Aku sudah biasa ditinggalkan Di. Tapi kalau kamu meninggalkan aku. Aku akan sangat hancur"
Diandra menunduk dan mengecup kening kekasihnya. "Jangan pesimis, berusahalah agar kita bisa bersama"
"Bagaimana kalau kamu kelak disuruh memilih"
"Aku akan memilih kamu"
"Meninggalkan kedua orang tua kamu?"
Diandra terdiam, Andrew merasa menyesal dengan pertanyaannya.
"Maaf aku membuatmu harus memilih. Tidak seharusnya aku egois" bisik Andrew menyadari kesalahannya.
"Jangan membuat aku harus memilih Doo"
"Maaf Di, aku terlalu memaksakan kehendakku"
Diandra hanya mengangguk.
***
Andrew POV
Aku baru saja mengantar Diandra ke bandara. Setelah dua hari terakhir kami selalu bersama. Ada rasa kehilangan yang besar dalam diriku. Terutama karena kami semakin dekat secara fisik. Aku akhirnya menyadari, kenapa kontak fisik dalam sebuah komitmen sangat dibutuhkan. Ada rasa nyaman dan tenang saat orang yang kita cintai ada disamping kita. Saat ini aku merasakan sendiri bagaimana Diandra menguasai pikiranku.
Terbayang apa yang dirasakan papa saat dulu harus kehilangan mama. Cinta bisa semenyakitkan itu baginya. Aku sendiri belum punya gambaran apa apa. Diandra berjanji, akan berusaha mencari waktu memberitahukan hubungan kami pada kedua orang tuanya. Semoga tidak ada rintangan.
Aku turun dari taksi, menuju apartemen. Diandra pasti masih berada dalam pesawat. Padahal aku sudah sangat ingin menghubunginya. Aku sudah merindukannya padahal kami baru berapa jam berpisah.. Namun kembali aku harus menahan diriku. Kumasuki kamar yang kami tempati dua malam terakhir. Jejaknya masih ada. Semua terlihat rapi. Berbeda jauh jika hanya ada aku disini.
Aku tersenyum, sambil merebahkan tubuh. Berkhayal kelak ia akan berada disampingku. Menghabiskan hari bersama. Akankah hubungan kami akan seindah itu? Atau semua akan berakhir denga sia sia.
***
Diandra tengah memasuki kediaman orang tuanya di Cipanas. Hampir dua minggu ia tidak berkunjung kemari. Didapatinya mami tengah memasak di dapur. Dipeluknya perempuan setengah baya itu dengan erat dari belakang.
"Mami"
"Hei, sudah pulang? Kok nggak ngabarin?"
"Tiba tiba ada acara yang cancelled. Jadi aku bisa pulang. Tadinya rencana besok. Tumben mami siang siang di rumah?"
"Kamu ini, mami di rumah kok heran. Kebetulan tidak ada kegiatan diluar. Dan papimu kepengen makan masakan mami. Biasa, kumat manjanya"
"Ya kan bagus mi, kalau papi manjanya sama mami. Kalau sama yang lain kan gawat" cibir Diandra
"Kamu itu ngomong sembarangan" omel mami.
"Sama siapa kemari?" Tanya mami lagi
"Nyetir sendiri. Maya lagi ada acara. Papi dimana?"
"Ada di kantor. Meeting sama pihak distributor. Karena lahan yang disebelah timur kan sudah mulai panen. Untuk teh hitam"
Diandra hanya mengangguk, meski jujur ia tidak mengerti apapun tentang teh. Akhirnya ia memilih mengunyah apel yang diambil dari kulkas. Sambil duduk di kursi.
"Di"
"Ya mi"
"Gimana sama cowok yang kemarin dikenalkan tante Inggrid?"
"Nggak tahu mi"
"Kok nggak tahu, kalian nggak berhubungan lagi gitu?"
"Ada sih dia ngehubungin aku. Tapi aku enggaklah mi"
"Kenapa? Mami ternyata kenal lho sama orang tuanya. Seluruh keluarga besarnya bahkan. Mereka keluarga baik yang pekerja keras dan punya kehidupan sosial yang baik. Mami nggak masalah kalau kamu menjalin hubungan dengan Dennis"
Diandra terdiam. Ia menghentikan gigitannya. Apakah ini waktu yang terbaik untuk menyampaikan pada mami?"
"Aku belum sreg mi"
"Kurang apa sih dia Di? Pendidikannya bagus. Agamanya juga bagus. Tante Inggridmu benar. Sulit mendapatkan jodoh yang lebih baik dari dia"
Diandra hanya bisa menarik nafas dalam.
"Atau kamu sebenarnya sudah punya pacar?" Tanya mami lagi sambil memandang putrinya yang tengah termenung.
"Diii..."
"Hmmm, ya mi?" Diandra tersentak dari lamunannya
"Kok gak semangat gitu? Kamu bukan karena gak bisa move on kan kak?"
"Enggak lah mi"
"Atau kamu sebenarnya sudah punya pacar?" Tanya mami sambil duduk didepan putrinya. Lama Diandra menatap wajahnya. Sampai kemudian sang ibu menyadari bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Diandra.
"Ayo cerita ke mami" mami menatap putrinya. Ia tahu cara menaklukan Diandra.
"Aku sudah punya teman dekat mi" akhirnya Diandra berterus terang.
"Sudah berapa lama?"
"Empat bulanan"
"Yang waktu malam tahun baru kesini?"
"Bukan, dia orang yang dititipi hadiah tahun baru buat aku"
"Yang ngasih kamu anting berlian?" Suara mami terdengar semakin tajam.
Diandra mengangguk. "Kok mami tahu?"
"Kamu lupa, kamu nggak pernah membeli perhiasan sendiri. Apalagi berlian semahal itu"
Mami udah kayak tukang berlian aja. Bisik Diandra dalam hati.
"Lalu kenapa kamu diam diam aja?"
"Papi nggak akan suka sama dia" jawab Diandra pelan.
"Maksud kamu?"
"Bukan orang Indonesia mi. Meski dia bilang mamanya orang Indonesia. Lagian pekerjaan dia bukan pebisnis"
"Jadi?"
"Photographer"
Mami segera menghembus nafas kasar.
"Kamu yakin dengan laki laki seperti itu?"
Diandra mengangguk. "dia baik mi"
"Keluarganya?"
"Papanya sudah lama meninggal. Sepertinya orang tuanya bercerai semenjak dia bayi"
"Di, apa nggak ada laki laki lain yang lebih baik asal usulnya? Seperti Dennis misalnya?"
Diandra terdiam. Lama tak ada suara diantara mereka.
"Kita bicarakan dengan papi saat makan siang nanti"
Kalimat tegas mami membuatnya pasrah dengan segala kemungkinan buruk yang akan terjadi.
***
Diandra termenung di dalam kamarnya. Benar perkiraannya, hati kedua orang tuanya sudah terpaut pada Dennis. Yang sudah dipromosikan habis habisan oleh tante Inggrid. Meski akhirnya mereka mengalah dengan meminta Diandra untuk memperkenalkan Andrew pada mereka.
Tapi Diandra bisa merasakan, bahwa permintaan mereka untuk bertemu Andrew hanyalah topeng. Mereka sebenarnya menginginkan Dennis. Pria sempurna pilihan tante Inggrid.
Meski merasa bahwa harapannya sangat tipis. Diandra berusaha kuat. Saat ini bukan saat untuk menentang kedua orang tuanya. Ia harus bisa lebih bijaksana. Setelah mengucapkan doa akhirnya ia menghubungi Andrew.
"
Doo"
"Ya"
"Papi mengundang kamu untuk makan malam. Apa kamu punya waktu?" Tanya Diandra dengan hati hati. Ia tahu, ini adalah masalah sensitif untuk kekasihnya.
"Kapan?"
"Kalau akhir minggu ini bisa?"
"Apakah harus?" Tanya Andrew. Nada suaranya terdengar melemah.
"Katanya kamu serius sama aku"
"Apa kamu yakin orang tua kamu akan merestui kita?"
"Aku juga nggak tahu sih, tapi nggak ada salahnya kita coba kan?"
Andrew berusaha menentramkan debaran jantungnya. Perasaannya mengatakan ini bukan hal yang baik untuk hubungan mereka. Tapi ia tidak ingin mengecewakan Diandra yang sudah berusaha. Mereka harus saling mendukung pada saat seperti ini.
"Kamu bisa kan Doo?"
"Jam berapa?"
"Jam tujuh malam. Tapi di rumah Cipanas. Nanti aku share location ke kamu. Sekitar dua jam dari Jakarta"
"Ok, aku harus pakai baju apa Di?"
"Apa saja. Aku sarankan kamu pakai kemeja. Batik lengan pendek juga boleh. Atau nanti aku belikan. Jangan pakai jeans ya. Kurang sopan untuk orang Indonesia"
"Apa yang harus kupersiapkan?"
"Nggak ada sih. Datang saja. Itu sudah lebih dari cukup untuk aku"
"Aku tidak perlu datang bersama Aunty?"
"Doo, kamu cuma mau kenalan sama keluargaku. Bukan mau melamarku" jawab Diandra sambil tertawa. Ia menyadari keresahan kekasihnya.
"Maaf aku tidak tahu kebiasaan kalian"
"Ya sudah, kamu jaga kesehatan ya. Ini acara penting dalam keluargaku. Jangan sampai kamu nggak datang"
"Aku janji" jawab Andrew.
Diandra menarik nafas lega. Meski tahi bahwa ini bukan hal yang mudah untuk mereka jalani. Minimal mereka bersua audah mencoba menaklukan hati kedua orang tua Diandra.
Sementara diseberang sana Andrew tidak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. Hal yang paling ia takuti. Tapi mendengar permintaan Diandra ia takkan bisa menolak. Ia pun ingin semua berjalan lancar. Rencana rencana mereka untuk masa depan. Andrew menangkup kedua telapak tangan diwajahnya.
Semoga semua akan baik baik saja my Di. Aku akan berusaha keras melawan rasa takutku. Aku akan mencoba menjadi seseorang yang patut untuk kamu banggakan. Tunggu aku disana.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
190719
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top