Bagian Ke Tiga Puluh Lima

Kalau membaca sesuatu, cobalah pelan2
Jadi ngerti sama jalan ceritanya. Jangan tiba tiba nanya, padahal cerita diatasnya begitu jelas.

Dan satu lagi kelemahan saya. Kalau sudah nulis yang happy happy. Bingung apa yang harus ditulis.

🌷☘🌷☘🌷☘

Setelah satu minggu dirawat, Diandra akhirnya diijinkan untuk pulang. Dengan hati hati ia melangkah ke pelataran rumah. Entah mengapa secara refleks sekarang ia selalu menyentuh perutnya saat berjalan. Ada rasa nyaman saat ia meraba bagian tubuhnya tersebut. Merasakan kedekatan dengan kedua janinnya.

Entah kenapa ia merasa kalau mereka adalah laki laki. Sementara Andrew sama sekali tidak berpikir tentang jenis kelamin bayi. Suaminya lebih fokus pada kesehatan Diandra. Lusa mami akan datang. Menemani Diandra karena Andrew harus kembali ke Singapura. Ia belum diijinkan naik pesawat.

Sementara Malia yang juga tinggal di London hampir setiap hari membesuknya. Diandra senang karena masih punya teman. Memasuki kamar mereka Diandra langsung merebahkan tubuhnya. Mami akan datang bersama seorang asisten rumah tangga. Sehingga Di tidak akan terlalu letih.

"Kamu mau beli pakaian hamil?" Tanya Andrew.

Diandra menatap tidak percaya. Kemudian ia menggeleng sambil tersenyum. Ternyata Andrew lebih heboh daripada yang dipikirkannya..

"Belum waktunya juga. Lihat nih perutku masih rata." Tolak Diandra sambil membuka blousenya.

"Nggak ah, itu sudah sedikit membesar." Bantah Andrew.

Pelan Diandra berdiri kemudian melangkah ke depan kaca dan berdiri menyamping,  melirik perutnya dengan teliti. Ya, ada perubahan disana. Juga bentuk pinggul dan payudaranya. Andrew memeluknya dari belakang kemudian membelai perutnya. Semua sudah lebih  besar

"Kamu cantik saat seperti ini." Bisik suaminya.

"Kalau nanti aku gemuk, lemak dimana mana dan nggak kurus lagi. Apa kamu masih sayang sama aku?" Tanya Diandra sambil menatap mata suaminya dikaca.

Andrew tersenyum kemudian mengecup bahu istrinya lembut.

"Kamu mau kurus atau seperti apapun. Aku akan tetap cinta."

Diandra mengelus rambut suaminya. Menikmati hari yang menakjubkan ini. Saat menatap perubahan tubuhnya. Ada dua janin, benih cintanya dan Andrew. Sebuah cinta yang mereka perjuangkan cukup lama. Baik baik ya nak. Ada papa dan mama yang menunggu kalian dengan sabar.
.
.
.

Diandra memasuki lantai dua kediaman mereka. Andrew sedang ke bandara menjemput maminya. Ia penasaran dengan bagian atas rumah tersebut. Suasana diatas tampak sangat terang. Jendela kaca menghadap kearah jalan di depan rumah dan juga halaman belakang. Ada juga sebuah sofa besar berwarna coklat tua ditengah ruangan.

Sebuah pintu  menarik  perhatiannya. Pelan ia membuka dan melihat kedalam. Sepertinya sebuah ruang kerja!  Karena tidak tampak tempat tidur disana. Mengurangi rasa penasarannya, ia masuk ke dalam. Ada banyak foto tertempel didinding. Bahkan ada yang berbentuk kolase. Sebuah wajah yang tampaknya diambil setiap tanggal yang sama selama berbulan bulan. Ia tahu, itu adalah foto ayah mertuanya. Dari wajah yang masih terlihat segar, hingga akhirnya terlihat sayu dan kurus.

Bagaimana perasaan kamu saat mengambil foto foto ini Doo? Saat kamu tahu bahwa wajah yang kamu potret harus pergi. Bagaimana rasanya kehilangan cahaya secara perlahan? Dan kamu mengabadikan semua momen yang ada.

Lama Diandra berdiri disana. Sudut pengambilannya tetap sama. Pada foto terakhir tatapan ayah mertuanya sudah terlihat kosong. Kepalanya sudah botak. Namun tetap terukir sedikit senyum.

Diandra kemudian memilih menghampiri meja kerja yang besar. Sedikit terkejut saat mengetahui wajahnya dan wajah tante Fify muda ada disana. Berdampingan dalam sebuah pigura berbahan perak. Diandra segera tahu, itu adalah fotonya saat menjadi model disebuah iklan sabun. Saat pertama mereka saling mengenal. Foto ini pasti sudah sangat lama berada disini. Dan tidak diberikan kepada pihak yang mengontraknya.

Menatap wajah tante Fify waktu muda, ia jadi mengerti. Kenapa ayah mertuanya begitu tergila gila pada tantenya. Wajah tante sangat cantik, dan ada keteduhan dimatanya. Sampai sekarang Diandra menyadari hal itu. Kecantikan tantenya sangat abadi. Juga kepedulian tante pada orang orang yang kurang mampu.

Apakah Deedoo masih membenci ibunya? Tanya Diandra dalam hati. Mereka memang tidak pernah membicarakan tante Fify. Rasanya sudah bisa ia mulai bertanya. Kalau nanti suaminya merasa nyaman, maka segala pertanyaannya akan dilanjutkan. Bila tidak, ia akan berhenti sampai disitu.

Merasa letih setelah berkeliling, Diandra memutuskan untuk kembali turun. Ia ingin beristirahat sejenak. Sambil menunggu kedatangan maminya.

***

Kedatangan mami disambut gembira oleh Di. Jujur ia merindukan ibunya. Dan bersyukur, karena kehamilannya mereka bisa bertemu disini. Papi tidak ikut dengan alasan banyak pekerjaan di pabrik. Tapi menitipkan sebuah pashmina batik berbahan wol untuknya. Diandra sangat menghargai itu.

Apalagi ada bi Ratna yang mendampingi. Nama yang terakhir adalah perempuan setengah baya yang dulu mengasuhnya waktu kecil. Bi Ratna adalah seorang janda tanpa anak. Daan mengabdikan diri pada keluarga pemilik kebun teh di daerahnya. Mami segera memeluk putrinya dengan erat kemudian mengucapkan selamat. Diandra hanya bisa tersenyum bahagia.

Tak lama mami dan bi Ratna sudah berada di dapur, seolah tidak lelah dengan perjalanan puluhan jam. Malia memang sudah membantunya belanja mingguan. London adalah kota besar. Dimana bahan makanan Asia tidak terlalu sulit didapat. Meski ia kurang suka pada jenis berasnya.

Hubungan mami dan Andrew tampak belum pulih benar. Masih ada tatapan tidak suka dimata mami. Yah, seandainya ia seorang ibu dari anak perempuan yang dilarikan orang. Mungkin ia juga akan bersikap seperti mami. Seperti yang mami bilang tadi. Mami datang karena khawatir akan kesehatannya. Namun tak urung ada senyum dibibir mami. Saat menatap perutnya yang sedikit membuncit. Kehadiran dua bayi dalam rahimnya jelas tidak bisa ditutupi lagi. Dan itu membuat mami bahagia.

Saat makan malam, mereka duduk bersama bersama. Meski hanya ada sop dan tumisan sayur, tapi rasanya jauh lebih nikmat. Karena masakan rumah. Andrew makan dengan lahap. Ia sangat suka dengan masakan berkuah. Diandra hanya bisa menatapnya dengan senyum. Sementara mami hanya diam. Diandra  menganggap kalau mami terlalu letih. Dan bersoa semoga perlahan kebekuan hati mami akan mencair.
.
.
.
Malam harinya saat akan beranjak tidur. Diandra bertanya pada suaminya.

"Doo, yang di ruang  atas itu. Kamu semua yang motret?"

"Ya, kenapa? Kamu tadi keatas?"

"Iya, aku belum pernah ke lantai dua. Terus penasaran sama ruang yang diatas. Aku kira kamar. Nggak tahunya ruang kerja. Hasil foto kamu bagus banget dari dulu."

"Terima kasih." Jawab Andrew singkat.

"Doo"

"Ya?"

"Foto tante Fify kenapa masih disana?"

Andrew menatap istrinya.

"Foto itu diletakkan oleh papaku disana. Dan aku tidak ingin merubah apapun yang ditinggalkannya.

"Tante Fify tahu kalau papa masih mencintainya?"

"Kurasa tidak, semenjak dia meninggalkan kami. Komunikasi mereka terputus."

"Bagaimana kalau ternyata selama ini tante Fify tidak tahu bahwa ternyata kamu masih hidup?"

"Stop Di, aku tidak suka berbicara tentang kemungkinan. Yang pasti, dia tidak pernah menginginkanku. Selesai." Andrew segera membalikan tubuhnya. Pertanda tidak ingin ada pembicaraan lanjutan.

Diandra hanya menarik nafas dalam. Ia tidak bisa memaksakan kehendak. Ia hanyalah orang luar dalam kehidupan mereka. Dan tahu pasti bagaimana rasa sakit Andrew terhadap tante Fify. Tapi jujur, ia juga ingin kebahagiaan menghampiri suaminya. Meski tampaknya hal itu semakin jauh.

Perlahan Di memperbaiki letak bantalnya. Dan akhirnya tidur sambil memeluk Andrew dari belakang. Dari deru nafas, ia tahu kalau Andrew  belum tidur. Meski tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Saat hampir terlelap, Di merasakan genggaman erat pada jemarinya. Ia memilih diam dan melanjutkan tidurnya.

***

Pagi ini Andrew akan kembali ke Singapura.  Diandra merasa moodnya kurang baik. Sejak pagi  ingin menangis. Entahlah, semenjak menikah ini pertama kali mereka berpisah. Dan ia ditinggal di negara yang asing untuknya. Meski ada Malia dan Harry disini. Andrew memahami perasaan istrinya. Setelah memotret Istrinya beberapa kali, dengan taksi ia berangkat ke bandara.

Ia juga melarang Diandra mengantar, karena masih khawatir dengan kondisi kesehatannya. Andrew hanya  diantar sampai halaman. Diiringi tangisan Diandra. Andrew hanya bisa menggelengkan kepala. Ia merasa sangat berat meninggalkan Diandra.

Memasuki bagian dalam rumah, Di merasa tidak bersemangat. Akhirnya memilih duduk di sofa.  Mami yang melihatnya bersedih segera menghampiri bersama segelas teh.

"Minum dulu Di." Ujar mami.

Diandra menyecap tehnya dengan malas. Kemudian meraih sepotong kue jahe. Mami duduk didekatnya dan melakukan hal yang sama.

"Malia belum kemari semenjak mami datang." Ucap mami membuka pembicaraan.

"Mereka sedang ke Irlandia mi. Mengunjungi sepupunya Harry."

"Berapa lama rencana disini?"

"Tergantung ijin dokter aja. Kalau udah boleh berangkat ya aku balik."

"Bisa kita bicara serius?" Tanya mami hati hati. Ia tahu mood Diandra masih buruk.

"Mami mau ngomong apa?" Tanya Diandra balik. Ia tahu, banyak hal yang harus diselesaikan. Meski semua telah berlalu.

"Kenapa kamu lari dihari pernikahanmu?"

Diandra terdiam seketika. Ia tahu pertanyaan ini, cepat atau lambat akan datang. Mencoba menentramkan detak jantungnya ia mencoba menjawab pertanyaan mami.

"Dari awal Di tidak mencintai Dennis. Tapi terus memaksakan diri. Karena ingin  melihat papi dan mami bahagia. Sayang semakin kemari, Di semakin merasa terperangkap. Rasanya sesak setiap kali berada diantara mami dan keluarga Dennis.

Apalagi, saat pembicaraan tentang pernikahan. Tidak ada satupun dari usul Di yang kalian terima. Semua mengabaikan keinginan Di. Di merasa sendirian mi. Itu juga membuat Di bolak balik sakit. Sampai saat itu Andrew sama sekali tidak pernah menemui Di.

Hari itu, Di benar benar lelah. Tidak tahu mau kemana. Tidak punya teman bicara mengenai apa yang Di rasakan. Sampai akhirnya salah seorang suruhan Andrew menemui. Andrew hanya bertanya, ia tidak memaksa. Apakah Di mau ikut dengannya.

Di mengenal Andrew dengan baik. Ia bukan tipe pria kasar. Tapi Di tahu dia sangat menyayangi dan selalu menjaga. Jujur saat itu Di putus asa dengan hidup Di sendiri. Tawaran Andrew membangkitkan semangat Di. Karena Di tahu, dia tidak akan mengecewakan dan selalu melindungi Di. Dan bersama dia Di bisa menjadi diri sendiri.

Di minta maaf sudah membuat mami malu dan merasa kecewa. Di tahu kami salah. Tapi satu yang mami harus percaya. Saat ini Di bahagia. Andrew memang tidak sesempurna Dennis. Banyak kekurangannya. Tapi dia mencintai dengan segala kekurangan Di. Ijinkan kami bersama mi."


***


Happy weekend

Happy reading

Maaf untuk typo

Penghunjung agustus 2019.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top