Bagian Ke Tiga Puluh Enam
Mami menarik nafas panjang.
"Apa selama ini dia baik dalam memperlakukan kamu?"
Diandra tersenyum, ia memahami kekhawatiran perempuan yang sudah melahirkannya itu.
"Andrew baik kok mi kami sudah kenal lama juga. Sampai sekarang dia nggak berubah. Masih sama kayak dulu pertama kami ketemu. Dan semoga selamanya akan seperti sekarang"
"Kamu bahagia?" Tanya mami akhirnya.
"Aku bahagia mi, sangat. Apalagi karena mami ada disini sekarang. Ditambah lagi, aku hamil bayi kembar."
Mami memeluk Diandra erat. Ia mencium kedua pipi putrinya. Hal biasa yang mereka lakukan saat dulu setelah selesai bertengkar.
"Kamu sudah dewasa sekarang. Sudah mau jadi ibu. Semoga kamu bahagia."
Diandra tersenyum lebar. Meski percakapan mereka tidak sedikitpun menyinggung restu mami pada suaminya. Ia beranggapan bahwa ini adalah kemajuan dalam pemulihan hubungannya dengan perempuan paling dikasihinya.
***
Andrew baru pulang dari kantor saat mendengar suara ribut di dapur. Ternyata aunty!
"Hai aunty" sapanya sambil mengecup pipi adik ayahnya tersebut.
"Hai, kamu baru pulang?"
"Ya, ada sedikit pekerjaan tadi. Masak apa?"
"Sup dan tumis sayur kesukaan kamu. Ini ada jamur goreng juga. Bagaimana kabar istrimu?"
"Baik, my twin juga. Kemarin waktu akan berangkat aku sempat mendengar detak jantung mereka."
"Kamu bahagia?"
"Yap." Jawab andrew sambil mencomot sepotong jamur yang sudah digoreng.
"Semoga mereka sehat selalu. Apa sudah diketahui jenis kelaminnya?"
"Belum, apakah itu penting?"
Aunty memukul bahunya dengan keras. Sampai keponakannya itu mengaduh.
"Sangat penting untuk posisi kalian kelak. Semoga mereka laki laki. Saya ingin melihat wajah A Lim, A Cuan dan A Hin terbelalak. Mengetahui ada cucu laki laki disini."
"Berhentilah mendendam, itu tidak akan ada ujungnya."
"Menurutmu, tapi buat saya tidak. Kamu tidak pernah melihat bagaimana wajah nenek tirimu saat memandang mommy. Apalagi saat papamu salah memilih perempuan. Dan meninggalkan kamu yang masih bayi. Saya tidak akan melupakan itu." Ucap adik papanya itu dengan tubuh menegang.
"Buatku, yang penting Diandra dan mereka sehat. Itu sudah lebih dari cukup. Masalah laki laki atau perempuan. Aku akan tetap menerima kehadiran mereka." Jawab Andrew pelan.
"Kalau Diandra tidak bisa melahirkan anak laki laki?" Tantang aunty.
"Apa dulu aunty akan membunuhku seandainya aku seorang perempuan?"
Kali ini perempuan berambut pendek itu diam. A Siangnya sudah berbeda.
"Apa menurutmu cukup dengan delapan persen? Sementara mereka menguasai dua puluh delapan?"
"Aku bisa membiayai keluargaku dengan memotret. Tidak harus menjadi pengusaha. Angka bukan hal penting untukku. Yang penting adalah, aunty tetap sehat dan bisa mendampingiku. Diandra dan twin juga baik baik saja. Itu sudah lebih dari cukup."
Regine akhirnya membiarkan tubuhnya jatuh dipelukan Andrew. Keponakan kandung satu satunya. Orang yang akan mengkremasi tubuhnya kelak. Andrew sama persis dengan papanya. Memilih hidup tenang. Jauh dari bisingnya sebuah kerajaan bisnis. Meski pada akhirnya tetap tidak bisa mengelak dari takdirnya.
***
Tiga bulan kemudian.
Andrew menatap perut Diandra yang sudah bertambah besar. Selama ini ia hanya bisa menatap lewat skype. Kemudian memeluk tubuh calon ibu dari bayinya dengan erat.
"I miss you." Bisiknya ditelinga sang istri.
Diandra hanya tersenyum lebar dalam dekapan hangat suaminya.
"I miss you too. Apa kabar Doo?"
"Tidak baik, karena kamu tidak ada disampingku, kamu my dee?" Tanya Andrew.
"Seperti biasa. Dan rasanya tubuhku mulai berat. Aku suka sekali makan. Ini saja berat badanku sudah naik delapan kilo."
Andrew tertawa mendengar istrinya bersungut sungut. Sudah lama ia tidak mendengar secara langsung.
"Naik sepuluh kilo lagi tidak masalah. Yang penting kamu dan babies sehat. Siap pulang ke Singapura?"
Diandra mengangguk. Bukan kotanya yang membuat Ia merasa rindu. Tapi pada sosok yang kini memeluknya. Berpisah tiga bulan jelas membuat Diandra uring uringan. Karena biasanya ada suami yang selalu menemaninya. Tapi apa mau dikata. Itulah yang harus terjadi. Pekerjaan Andrew tidak bisa ditinggalkan. Dan ia pun tidak boleh lagi menjadi perempuan manja yang bergantung pada suami. Semua demi bayi mereka.
Memasuki rumah, mereka tetap bergandengan tangan. Sampai sampai Malia menggelengkan kepala.
"Lo berdua makin lama makin kayak anak abege."
Di hanya tertawa. Malia adalah salah satu teman yang bisa diajaknya berbahasa Indonesia disini. Bukan karena tidak bisa berbahasa inggris. Tapi untuk mengobati rasa kangennya terhadap tanah air.
"Daripada tiap hari gue ngelihatin adegan mesum lo berdua ama Harry? Gantian dong?"
"Ih mesum apaan jeng, eike masih tahu batas kesopanan yeiy" balas sahabatnya itu tak mau kalah. Membuat mereka berdua tertawa. Diiringi tatapan tak mengerti dari para suami. Yang memang kurang fasih berbahasa Indonesia.
Sementara Andrew dan Harry mengobrol di lantai dua. Seperti biasa Malia dan Diandra memilih berada di dapur Sambil menunggu bu Ratna membuat cemilan.
"Kapan balik Di?"
"Mungkin lusa."
"Kalau lo pergi, gue bakal kesepian disini." Jawab Malia dengan nada sedih."
"Tapi katanya lo mau lanjut kuliah lagi? Kan bakal tetap sibuk?"
Malia menggeleng. "Kayaknya gue mau program hamil aja deh. Pengen kayak elo sama Maya."
Diandra menyentuh jemari sahabatnya. Ia tahu diusia seperti ini, punya bayi adalah harapan setiap perempuan.
"Elo dah ngomong sama Harry?" Tanya Diandra hati hati. Karena setahunya Harry enggan untuk punya anak.
Malia mengangguk dan tersenyum. "Udah, dan gue beruntung. Karena dia akhirnya setuju. Apalagi waktu dia liat gue selalu cerita tentang bayi Maya dan kehamilan elo. Meski dia cuma kasih ijin untuk punya satu anak."
"Ya udah, nggak apa apa. Gue nggak nyangka kalau Harry bisa secepat itu berubah. Dia sayang banget sama elo Mal."
"Gue malah bersyukur lihat elo sekarang. Bisa bebas kayak gini. Dan dapet Andrew yang sayang banget sama elo. Tante Alice juga udah kasih lampu hijau."
"Iya sih, kehamilan gue bawa berkat banyak." Diandra tersenyum lebar sambil mengelus perutnya.
Kedua sahabat tersebut tersenyum satu sama lain. Sudah lebih dari tujuh tahun mereka saling mengenal. Seakan menemukan saudara kandung karena masing masing adalah anak tunggal. Tuhan menyiapkan seorang sahabat agar kita tidak perlu merasa sendirian.
***
Malam sudah hampir larut saat Andrew kembali ke kamar. Didapatinya sang istri masih asyik membaca.
"Baca apa Dee?"
"Ini, buku tentang bayi. Kamu kan tahu aku nggak pernah merawat bayi."
Andrew tertawa kecil. "Tapi nanti Bu Ratna ikut kita kan? Jadi kamu nggak perlu terlalu repot."
"Iya, nanti akan ditambah satu lagi. Kalau aku sudah melahirkan."
"Mau melahirkan dimana?"
Diandra meletakkan bukunya kemudian menyusul sang suami ke tempat tidur.
"Di Singapura aja. Lagian kan mereka nanti ikut kewarganegaraan kamu. Biar lebih mudah juga mengurus surat surat mereka."
"Ya sudah kalau begitu. Nanti kita akan belanja dan mempersiapkan kamar mereka."
"Oh ya, mami kemarin minta aku untuk buat acara baby shower di Indonesia. Boleh?"
Kali ini Andrew terdiam dan menatapnya lama.
"Aku khawatir dengan keselamatan kalian. Kalau hanya untuk menunjukkan kebahagiaan kita karena kehadiran mereka. Kita bisa mengirimkan makanan saja sekaligus kartu ucapan. Maaf, aku masih trauma dengan kejadian dulu."
Diandra terdiam. "Aku akan bicara dengan mami." Jawabnya pada akhirnya.
Ia merebahkan kepala di bahu pria yang berhasil mencuri setiap mimpinya itu. Sampai saat ini, trauma akan peristiwa penembakan suaminya masih menghantui. Siapa yang bisa menjamin keselamatan mereka? Karena itu ia tidak berani membantah Andrew.
Ditatapnya mata yang telah terpejam sempurna itu. Ia tahu kalau pria yang paling dicintainya itu sangat letih. Belasan jam penerbangan hanya untuk menjemputnya. Meski masih ada kerinduan dalam hati. Di tidak berani mengganggu tidur Andrew. Cukuplah menghirup aroma tubuhnya. Ia sudah merasa bahagia.
***
"Apa sih maksudnya Andrew sampai acara baby shower aja nggak diijinkan? Apa dia kira negara kita ini nggak aman banget? Dan kita nggak bisa menjaga keselamatan mereka?" Teriak Alice pada suaminya.
Michael hanya diam. Meski sebenarnya ia lebih setuju pada keputusan Andrew. Sampai saat ini, Dennis tidak menunjukkan batang hidungnya. Mereka juga tidak tahu dimana mantan calon menantunya itu berada. Semenjak kejadian penembakan terhadap Andrew Dennis menghilang.
"Papi ngerti, mami sedih. Tapi kita juga memang harus mempertimbangkan pendapat Andrew. Bagaimana kalau kejadian itu terulang lagi. Dan kali ini korbannya adalah putri dan cucu kita. Jangan sampai nanti kita malah menyesal karena kehilangan mereka.
Kalau nanti kondisinya sudah aman. Kita akan buatkan pesta. Apapun itu namanya. Papi yakin Andrew akan bersedia mengikuti keinginan kita."
"Apa papi sudah bisa menerima Andrew?" Tanya istrinya.
"Kalau hati kecil papi, tetap nggak bisa. Mami masih ingat bagaimana Jeffrey kayak orang bingung mencari keberadaan Fify. Saat Stephen menyembunyikannya. Papi ada disana bersama Jeffrey. Berhari hari dia seperti orang gila. Sebagai ayah, papi ingin Di mendapatkan laki laki yang terbaik. Bukan dari keturunan Tan. Tapi apa mau dikata, anak kita sendiri yang sudah memilih dia.
Akhir akhir ini papi berpikir sendiri. Pasti ada sesuatu yang membuat Diandra nyaman bersama dia. Entah apa, kita tidak tahu. Mungkin karena kita tidak pernah bertanya. Seandainya waktu masih bisa kita ulang." Jawab Michael dengan mata menerawang.
"Mami baru sadar, kenapa dulu papi nggak ngasih Di menikah dengan orang luar. Jadinya seperti ini, kita jauh sekali. Saat mami kangen, kita malah nggak bisa ketemu."
Lama suaminya menatap Alice. Sampai kemudian ia memeluk bahu sang istri.
"Papi merasa belum siap kehilangan Di. Masih rindu pada masa masa ia masih sangat kecil. Bisa kita peluk, cium sesuka hati. Papi masih ingat saat pertama mengantarnya ke sekolah. Dan dia menangis karena nggak mau papi tinggal.
Waktu terlalu cepat berlalu mi. Dan sekarang, Di malah sudah akan menjadi ibu. Dan papi masih menganggap dia anak anak."
"Mami kangen Di."
"Papi juga, sudah telfon dia hari ini?"
"Belum, dia sepertinya masih dalam perjalanan ke Singapura. Andrew sudah menjemputnya."
"Semoga dia baik baik saja ya mi."
"Ya, kita cuma bisa berdoa seperti itu." Alice kembali menyenderkan kepala dibahu suaminya.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
4 sept 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top