Bagian Ke Tiga Puluh Dua
Saya baru tahu lho. Suara Ed Sheeran itu seksi sekali. Nenangin banget.
Oh ya, pernahkah kalian membaca Grey Wedding? Bagaimana pendapat kalian?
***
Regine membanting tasnya saat masuk kembali ke ruang rawat Andrew. Membuat Diandra kaget. Beruntung suaminya sedang tidur.
"Ada apa aunty?"
"Memang Dennis itu brengsek. Ternyata dia ada dibalik ini semua. Apa maksudnya coba. Jadi laki laki itu yang gentle. Kalau sudah ditinggal ya cari yang baru. Bukannya malah mencoba membunuh orang!"
"Apa dia ditahan?" Tanya Diandra penasaran.
"Tidak, karena orang orangnya sudah pasang badan untuk keselamatannya. Kamu harus lebih hati hati. Saya khawatir kamu akan menjadi target selanjutnya."
Diandra menarik nafas dalam.
"Saya akan hati hati aunty."
"Lusa saya akan membawa A Siang kembali ke Singapura. Kamu ikut kan?" Tanya aunty
"Ya" jawab diandra singkat. Ia tidak punya pilihan lain.
***
Ditemani oleh bodyguard Diandra memasuki ruang rawat maminya. Tampak selang infus mami sudah dilepas. Sementara papi tengah asyik dengan macbooknya di sofa. Mungkin bekerja, pikir Diandra. Mami menatap kedatangannya seperti biasa. Diandra hanya menarik nafas dalam. Sulit sekali menaklukan mami. Namun ia tetap berusaha. Karena memang merasa bersalah.
"Hai mi. Bagaimana kabar mami hari ini?"
"Lebih baik" jawab mami sambil mematikan televisi.
Diandra kemudian mencium papinya dan hanya mendapat balasan senyum kecil. Baru kemudian ia mencium pipi maminya.
"Bagaimana suami kamu?" Tanya mami.
"Sudah lebih baik mi. Besok kami pulang."
"Dia sudah sembuh total?"
"Belum sih, tapi dengan alasan keamanan. Aunty minta pindah ke Singapura. Dan sudah diijinkan dokter"
"Kamu ikut?"
Diandra menatap maminya lama. Akhirnya ia mengangguk lesu. Ia tahu kalau mami tak akan suka dengan jawabannya.
"Kamu disini cuma berapa hari. Kita tinggal digedung yang sama. Tapi baru sekarang kamu bisa lihat mami lagi. Besok kamu akan pulang. Dan kita nggak bisa ketemu lagi."
"Mami kan bisa kesana juga?"
"Lalu kami harus bertemu suamimu yang membawa lari anak kami? Tanpa ada lamaran dan segala macam menikahi kamu secara diam diam. Dan anehnya kamu mau dijadikan seperti barang tidak berharga dimata mereka." Suara mami terdengar kesal.
Diandra hampir menangis mendengar jawaban maminya. Ia tahu keluarganya tidak suka dengan keputusannya. Ia juga tahu, kalau apapun yang dilakukannya sekarang ini akan dianggap salah. Tidak tahu apa yang harus dibicarakan lagi, akhirnya ia pamit. Mami melengos saat Diandra hendak mencium tangannya. Sementara papi sedikit lebih baik. Pria itu mengelus puncak kepalanya. Dan berkata
"Hati hati ya, kabarin papi kalau sudah sampai."
Diandra hanya mengiyakan. Berlama lama di ruangan mami ia takut masalah mereka akan lebih panjang lagi. Keluar dari ruangan mami, kepala Diandra terasa sakit. Entah karena merasa terlalu letih, atau stress menghadapi banyak masalah. Sesampai di ruang inap Andrew ia segera merebahkan tubuh disamping suaminya.
"Kamu darimana?" Tanya Andrew yang terbangun karena kaget.
"Tempat mami, sekalian pamit."
"Kamu mau istirahat?"
Diandra mengangguk tanpa membuka matanya. Ia benar benar tengah malas bicara. Meski dengan Andrew sekalipun.
***
Diandra terbangun saat Andrew mengelus perutnya dengan gerakan melingkar. Membuatnya merasakan sensasi geli. Ia masih sangat mengantuk. Setelah seharian sibuk menenangkan Andrew yang merasa tidak nyaman dengan bekas lukanya.
"Doo, stop" bisiknya. Saat ini ia benar benar tidak ingin diganggu. Katakanlah ia egois karena mementingkan rasa letihnya. Tapi sakit kepala dan juga emosi yang tidak stabil membuatnya semakin lemah.
"Why?" Jemari Andrew malah sudah semakin turun kebagian intinya.
"Kamu masih sakit. Nanti berbahaya kalau aktifitas fisik kamu kayak gini" Bisik Diandra berusaha menolak.
"Tapi aku menginginkanmu." Andrew tak mau kalah.
"Iya, tapi kamu belum sembuh benar Doo. Besok besok kan masih bisa."
"Sudah berapa lama aku tidak menyentuhmu. Hmmm?" Kali ini jemarinya malah sudah sampai didada Diandra. Membuat perempuan cantik itu semakin merasa tidak nyaman. "Please, kita cuma berdua malam ini." Andrew kembali mencoba merayu. Malam ini memang aunty menginap di hotel.
Diandra mencoba mengerti bahwa keinginan suaminya adalah perintah. Akhirnya ia bangkit dan mematikan lampu ruangan. Kemudian berbisik.
"Blow job hmmm?"
Andrew mengangguk sambil berusaha menahan desahannya. Diandra segera mengarahkan jemarinya kebagian bawah tubuh suaminya. Kemudian mengelus junior sang suami dan mulai bekerja.
.
.
.
Wajah Diandra memerah saat menyelesaikan tugasnya. Tidak pernah terbayangkan kalau harus melayani suaminya dirumah sakit seperti ini. Tubuhnya semakin terasa lelah karena harus memuaskan suami dalam keadaan terpaksa. Sementara Andrew tersenyum lebar dan mencium keningnya berkali kali sambil mengucapkan terima kasih. Dengan cekatan Diandra membersihkan bagian bawah tubuh Andrew.
"Kamu mau?" Tanya Andrew pelan.
Diandra hanya menggeleng. Ini bukan tempatnya.
Selesai membersihkan dan mengganti pakaian dalam Andrew. Diandra memilih pergi ke kamar mandi. Disana ia menangis. Rasanya berat sekali menjalani saat ini. Tubuhnya yang letih, pikirannya juga bercabang diantara sakit suami dan maminya. Tidak bisa membesuk mami sesuka hati. Harus terus menerus berada disamping Andrew. Serta besok harus kembali pulang membuatnya benar benar merasa putus asa.
Bagi Diandra seks adalah sesuatu yang sakral. Harus dilakukan ditempat tertutup. Tapi apa mau dikata. Ia mengenal Andrew dengan baik. Sebelum menikah suaminya memang bisa menahan diri terhadapnya. Tapi sekarang? Ia baru tahu kalau Andrew memiliki libido yang begitu tinggi.
Peristiwa tadi benar benar membuatnya kesal. Bagaimana Andrew memaksanya melakukan itu. Meski ia tahu, bahwa memuaskan suami adalah tugasnya sebagai seorang istri. Setelah memejamkan mata sejenak ia memilih kembali ke ruangan. Andrew akan curiga kalau dia berlama lama di kamar mandi.
Ia keluar dan kembali ke ranjang. Ia tahu suaminya belum tidur. Meski matanya terpejam sempurna. Perlahan Diandra kembali berbaring.
"Kok kamu lama di kamar mandi?" Tanya Andrew.
"Cuci tangan sama bersihin wajah."
"Kamu marah atau kecewa sama aku?"
"Enggak, kenapa ngomong gitu?"
Andrew tersenyum samar.
"Sedikit saja perubahan kamu aku tahu Di."
"Aku baik baik saja Doo. Ya sudah sekarang istirahat saja"
"Apa permintaanku barusan mengganggu kamu?"
Dianda terdiam. Nada suara suaminya sedikit berubah. Tidak ingin memperpanjang masalah, akhirnya ia memilih memejamkan mata dan memeluk perut suaminya. Andrew membuang nafas kesal.
"Kamu selalu diam setiap kali kita punya masalah."
"Masalah apalagi sih Doo? Aku ngantuk, capek. Jadi tolong jangan berpikir terlalu jauh. Aku mau tidur." Jawab Diandra tidak suka.
"Apa aku salah kalau menginginkan kamu?"
"...."
"Aku hanya rindu ingin disentuh Di. Aku merasa nyaman dengan pelukan kamu. Aku terbiasa hidup sendirian. Aku tahu kamu capek. Maaf, tadi aku memang keterlaluan."
"..."
Andrew menatap Diandra yang memejamkan mata. Perlahan ia melakukan hal yang sama. Sepertinya istrinya memang butuh diam sejenak.
***
Pagi hari, seluruh asisten tampak sibuk membenahi barang pribadi mereka. Andrew sudah bisa duduk. Meski masih diperban. Diandra memakaikan pashmina dipundaknya. Mereka akan menggunakan helikopter menuju Halim.
"Kamu tidak menemui orang tuamu?" Tanya aunty.
Diandra menggeleng. "Sudah kemarin."
"Apa pendapat mereka?"
Diandra berusaha menutupi rasa kesalnya atas pertanyaan aunty. "Tidak ada. Hanya meminta supaya aku hati hati." Jawabnya sambil berharap tidak ada pertanyaan lain.
"Fify?"
"Saya tidak tahu aunty. Sepertinya tante benar benar sakit."
"Ya sudah, kalian siap siap, setengah jam lagi heli akan sampai."
Diandra menurut. Ia segera membantu Andrew turun. Mereka masih saling diam. Seorang perawat segera menyerahkan kursi roda. Setelah Andrew merasa nyaman. Mereka keluar ruangan menuju lantai teratas rumah sakit.
***
Menghirup kembali udara Singapura, tidak membuat Diandra semakin tenang. Entah kenapa tiba tiba ada rasa sedih dan tertekan. Meninggalkan mami yang masih sakit, masalah penembakan yang dilakukan orang suruhan Dennis yang berakhir begitu saja. Sudah membuat Diandra pusing. Apalagi tingkah Andrew sepanjang penerbangan yang terlalu menuntut perhatiannya.
Akhirnya mereka segera menuju rumah sakit yang sudah ditentukan. Andrew segera masuk ke ruangannya. Entah kenapa, aunty kelihatan tidak percaya dengan hasil pemeriksaan di Jakarta. Ia kembali melakukan pemeriksaan ulang. Membuat Diandra hanya bisa membuang nafas kuat.
"Saya tidak yakin dengan dokter di negara kalian. Sama tidak yakinnya dengan para aparat kepolisian disana. Yang menerima begitu saja pengakuan seseorang. Apa mereka tidak bisa berpikir logis? Yang sedang berada bersama Andrew saat itu semua orang biasa. Seandainya kamu berada pada posisi saya. Baru kamu bisa menyadari kenapa saya melakukan ini" ujar aunty dengan nada pedas.
Diandra ingin marah, tapi akhirnya surut. Ia tidak suka ada orang yang merendahkan negara asalnya. Hanya saja iapun menyadari, kalimat aunty mengandung kebenaran. Kasus Andrew ditutup begitu saja. Karena dari sisi aunty pun tidak ingin ini menjadi konsumsi media.
Semua hal itu membuat energi Diandra makin menipis. Tidak ada lagi hal hal yang bisa membuatnya tersenyum. Rasanya ia butuh keluar sejenak dari semua masalah ini. Tapi mau kemana? Sementara untuk keluar ruangan saja ia harus didampingi. Semua terasa semakin sempit.
***
Pagi itu, Diandra terbangun dengan tubuh lemas. Rasa mual sejak semalam membuat tidak bisa tidur nyenyak. Hingga pagi ini ia benar benar tidak bisa lagi menahan. Cepat cepat turun dari tempat tidur. Ia segera memuntahkan seluruh isi perutnya. Andrew yang memang sudah terbangun sedari tadi segera ikut turun. Tubuhnya masih lemah. Tapi melihat kondisi Diandra jelas ia tidak tega.
Dengan tangan yang masih bebas ia memijat tengkuk istrinya. Sampai akhirnya Diandra berhenti muntah.
"Sudah baikan?"
Diandra hanya mengangguk. Andrew memeluknya dari samping dan mengecup puncak kepalanya.
"Maaf, sudah membawa kamu pada situasi sulit seperti ini. Tidak mudah hidup denganku Di."
Diandra akhirnya menangis keras. Ada rasa bersalah dalam dirinya. Andrew seperti ini karena kekeraskepalaannya. Maka tidak layak ia menimpakan kekesalannya pada seorang Andrew. Seharusnya ia bisa bersikap lebih bijaksana. Sama seperti Andrew yang selalu mempertimbangkan sesuatu dengan matang.
"Menangislah, kalau kamu masih merasa sesak." Bisik Andrew lagi.
Namun kali ini ia bisa menangis sambil tersenyum. Rasanya lega sekali, saat keluarganya menolak kehadirannya. Masih ada Andrew yang menerima dengan segala kekurangannya.
"I love you, Di. So much"
"Thank you. I love you too" air mata Diandra mengalir semakin deras.
***
Happy weekend
Happy reading
Maaf untuk typo
24 agustus 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top