Bagian Ke Tiga Puluh
Next part... vote 1.150
Disini hujan dari pagi. Saya masih selimutan. Setelah tugas pagi ngurusin 3 anak yang berangkat sekolah selesai.
Kadang full jadi IRT itu enak. Apalagi cuacanya kayak gini. ❤❤❤
🌷☘🌷☘🌷☘
Pintu ruang operasi terbuka. Regine berdiri mendahului semua. Seorang dokter disertai perawat keluar dan segera mendekatinya.
"Pasien sudah selesai dioperasi. Keadaanya stabil. Peluru sudah berhasil dikeluarkan."
"Apa saya sudah bisa masuk?" Tanya Regine.
"Sebentar lagi ia akan dipindahkan ke ruang recovery. Pasien masih belum sadar. Mohon tidak terlalu mengganggu."
Regine mengangguk. Kemudian benar benar menunggu diluar pintu. Wajah khawatirnya sedikit berkurang. Tak lama seorang perawat kembali keluar. Dan mengatakan kalau Andrew sudah dipindah. Ruang recovery ternyata terletak disamping ruang operasi. Segera mereka melangkah kesana.
Diandra dan Fify mengikuti Regine dari belakang. Jujur, Diandra sangat takut saat melihat ekspresi tante dari suaminya itu saat menatapnya. Namun ia berusaha untuk menguatkan diri. Saat sampai di depan pintu, seorang perawat kembali keluar dan menyambut mereka.
"Satu satu saja masuknya ya bu. Pasien butuh ketenangan"
Regine kembali menatap Diandra tajam. Sampai kemudian berkata.
"Saya masuk lebih dulu, setelah ini baru kamu bebas menemaninya."
Diandra hanya bisa mengangguk lega dibawah dominasi Regine. Ia tidak punya pilihan lain. Awalnya ia takut kalau benar benar tidak diijinkan menemui Andrew lagi. Mengingat selama ini, segala keputusan di rumah mereka sedikit banyaknya bergantung pada aunty. Beruntung semua tidak serumit yang ada dalam pikirannya. Aunty tidak semnakutkan kata katanya.
Sementara Fify yang masih tampak shock memeluk bahu keponakan yang kini sekaligus menjadi menantunya. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Kamu disini saja dulu, sama tante." Bisik Fify saat Regine memasuki ruangan.
Diandra merebahkan kepalanya dibahu Fify. Ia benar benar khawatir karena belum melihat keadaan Andrew.
"Mi" Jeffrey mendekati mereka. Sementara Fify lebih memilih membuang pandanganya.
"Bisa kita bicara sebentar, berdua saja"
"Saya masih harus menemani Diandra. Dia sendirian disini."
Jeffrey tampak mengalah. Tidak mau mencari masalah baru. Kemudian memilih bersandar pada dinding disudut ruangan. Berkali kali ia menatap Fify yang sekalipun tak pernah berpaling padanya. Istrinya sibuk menenangkan Diandra yang tampak sedih.
Jeffrey menyadari, cepat atau lambat rahasia ini akan terbongkar suatu saat. Ia harus siap membicarakan secara terbuka dengan Fify. Diandra masih terisak. Sementara istrinya berkali kali menghela nafas dalam dalam. Ada banyak hal yang mengganggu pikirannya.
Setengah jam kemudian, Regine keluar dengan wajah lebih lega. Kembali menatap tajam pada Diandra. Kemudian dengan tatapan matanya memberi kode agar Diandra masuk. Dengan menunduk istri Andrew tersebut memasuki ruang recovery. Ia tidak berani mengucapkan satu kata pun. Karena ia benar benar merasa bersalah. Ia yang meminta ditemani Andrew. Dan sama sekali tidak berpikir bahwa penembakan itu akan terjadi.
Sementara diluar, tampak Fify mengejar Regine.
"Regine, tunggu saya!"
Regine menghentikan langkahnya dan menatap Fify marah.
"Saya tidak punya waktu. Saya harus menemui dokter. Kapan saya bisa membawa A Siang pergi secepatnya dari sini."
"Jelaskan pada saya, kalimat kamu tadi. Bahwa Andrew anak saya!" Teriakan Fify menggema.
Regine mendekati Fify dibawah tatapan penuh pengawasan Jeffrey.
"Kenapa sesudah tiga puluh lima tahun kamu bertanya? Kemana saja kamu selama ini?"
Fify terdiam.
"Mereka mengatakan kalau anakku meninggal"
"Bukankah waktu itu kakakku mengatakan kalau A Siang membutuhkan kamu? Dia mengejar kamu sampai di jakarta tapi kamu malah menolaknya dan pergi?"
"Siapa yang harus kupercaya saat itu? Stephen yang terus menerus membohongiku? Atau keluarga yang terus mencari keberadaanku"
"Tidak ada yang membohongi kamu Fy, kamu yang buta dan tidak bersedia membuka telinga." Selesai mengucapkan itu, Regine meninggalkan Fify.
Jeffrey memegang pundak istrinya.
"Kita pulang dulu, kita bicara di rumah"
"Beraninya kamu ngomong begini setelah sekian tahun membohongiku"
"Kamu salah, bukan begitu sebenarnya. Kami hanya ingin kamu melupakan semuanya"
"Dan kamu nggak merasa bersalah sama sekali? Mengatakan seseorang yang masih hidup sudah meninggal? Kamu tahu bagaimanapun saya pasti kembali ke kamu saat itu! Tapi bukan dengan mengabarkan sesuatu yang tidak pernah ada. Kamu tega sama saya. Kamu nggak peduli dengan rasa kehilangan saya. Kamu menghancurkan kepercayaan saya"
"Mi"
"Sekarang dia ada di dalam sana, sedang sekarat. Dan saya sama sekali tidak bisa mendekatinya. Kamu pikirkan perasaan saya! Baru dua jam lalu saya tahu kalau anak saya masih hidup. Dan saya tidak pernah tahu, apakah saya masih bisa melihat dia dalam keadaan hidup"
"Mi"
"Tinggalkan saya sekarang. Kalian adalah orang yang sedang tidak ingin saya temui."
***
Diandra mendekati ranjang tempat Andrew berbaring. Tubuh yang biasa memeluknya dengan hangat itu kini tidak berdaya. Untuk bernafaspun memerlukan bantuan. Menurut dokter, peluru itu hanya berjarak tiga sentimeter dari jantungnya. Yang satu lagi tepat mengenai bahunya. Penembak itu hampir berhasil membunuh suaminya.
Perlahan dikecupnya kening Andrew. Pelan sekali, karena takut membuatnya kesakitan. Terasa dingin! Juga saat ia mengecup bibir yang selalu menginginkannya. Tidak ada sambutan apapun. Namun ia sedikit tenang, saat suara mesin detak jantung di dekatnya masih berbunyi. Menurut suster tadi, suaminya masih dibawah pengaruh obat bius.
Diremasnya jemari besar yang biasa membelai rambutnya disaat malam. Mencoba mengirimkan kehangatan yang tersisa dari tubuhnya. Ia tak percaya, kalau jemari itu kini layu. Tadi pagi ia masih bisa merasakan hangatnya saat memeluk pundaknya. Saat menenangkan debaran jantungnya karena takut harus bertemu orang tuanya.
Dan kini hanya ia sendiri. Ditatapnya kembali wajah tampan namun pucat itu. Tidak ada ekspresi apapun. Ia sangat suka menatap Andrew saat tertidur dan baru bangun. Saat mencari dadanya dan berbaring disitu. Sesuatu yang selalu mereka lakukan setiap pagi hari. Saling bercerita tentang rencana hari ini.
Doo, kenapa begini? Aku yang sudah buat kamu menjadi seperti ini. Aku yang meminta kamu ke Jakarta. Kamu pernah bilang kalau kadang aku terlalu naif. Menganggap tidak ada orang jahat didunia ini. Dan ternyata aku salah Doo. Banyak orang yang tidak suka melihat kebahagiaan kita.
Tadi aunty menatap tajam padaku. Aku tahu, dia menyalahkan aku atas peristiwa ini. Aku memang salah Doo. Kenapa aku harus meminta kamu ikut? Kenapa aku nggak berangkat sendiri saja? Toh aku bisa, karena kamu juga akan menyertakan bodyguard untuk melindungiku. Minimal aku tidak akan pernah melihat kamu dalam keadaan seperti ini.
Doo, yang kuat ya. Jangan pernah meninggalkan aku. Aku nggak akan sanggup tanpa kamu. Aku akan menyesal seumur hidupku. Kenapa kemarin aku menunjukkan rasa sedihku ke kamu? Membuat kamu juga tidak tega melihat aku menangis. Seharusnya aku bisa lebih dewasa. Dan memikirkan semua resiko yang harus diambil kalau kita pulang ke Jakarta.
Diandra kembali membenahi letak selimut suaminya. Udara di ruangan ini sangat dingin. Apalagi Andrew tidak mengenakan penutup apapun dibagian atas tubuhnya. Kemeja yang tadi dikenakan sudah digunting dan dibuang karena penuh darah.
Diandra memejamkan mata sejenak. Jujur ia sangat lelah sekarang. Tapi tidak bisa tidur. Tidak tahu harus berbaring dimana. Sekaligus tidak ingin meninggalkan Andrew sendirian. Ditatapnya sekeliling ruangan. Hanya ia dan seorang suster yang berjaga.
Sekilas mata mereka saling memandang.
Perawat itu tersenyum kecil. Menatapnya dengan penuh rasa kasihan. Sekilas Diandra menatap pakaiannya yang lusuh dan bau. Percikan darah masih terlihat diblousenya. Tadi tidak sempat mengganti pakaian. Meski di mobil ada koper mereka. Diandra ingat, setidaknya ia membawa dua stel baju ganti tadi.
Sekilas ditatapnya kembali selang yang terdapat di seluruh tubuh suaminya. Akhirnya ia hanya bisa menatap tubuh lemah itu sambil menangis. Kenqpa ini harus terjadi?
***
Regine masih marah saat keluar dari kantor polisi. Laporan atas penembakan keponakannya memang sudah ditindaklanjuti. Tetapi sang penembak yang baru tertangkap itu mengatakan bahwa ia melakukan itu atas unsur ketidak sengajaan. Targetnya bukanlah Andrew. Lalu siapa?! Hanya orang tolol yang percaya itu! Teriaknya dalam hati.
Regine tahu pria itu berbohong. Namun apa yang bisa dia lakukan sebagai warga negara asing. Dengan marah ia kembali ke rumah sakit. Didapatinya Fify masih berada diluar ruangan. Namun ia mengabaikan kehadiran perempuan itu. Beberapa anak buahnya masih berjaga di depan pintu.
"Diandra?" Tanyanya pada salah satu dari mereka.
"Masih di dalam"
Regine melangkah masuk. Ternyata perawat yang bertugas sudah berganti. Hanya terlihat Diandra yang masih mengelus tangan suaminya yang tidak diinfus. Seketika Regine merasa kasihan. Ia tahu, menantu keluarga Tan tersebut sangat mencintai keponakannya. Ya, kalau tidak, mustahil ia bersedia lari dihari pernikahannya. Meninggalkan keluarga yang sangat dicintainya demi bisa hidup bersama A Siang.
Regine sebenarnya tidak benar benar marah padanya. Ia adalah perempuan yang penuh logika. Hanya saja ingin melampiaskan kekesalannya atas keputusan terburu buru yang diambil keponakannya. Akhirnya ia melangkah mendekati menantunya.
"Di"
Diandra tersentak dan langsung menjawab.
"Ya aunty?"
"Kamu istirahat saja. Ini sudah malam. A Siang sudah mendapatkan kamar. Kamu bisa mandi dan berganti pakaian disana. Menurut dokter kondisi A siang stabil dan malam ini akan segera dipindah ke ruangan biasa. Akan ada empat orang bodyguard wanita yang menemani kamu nanti. Hanya untuk berjaga jaga." Diandra terpana menatap Regine tak percaya. Ia tak menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini setelah aunty memarahinya tadi.
"Oh ya, sampaikan pada keluargamu yang bernama Fify itu. Sebaiknya dia pulang. Kita tidak membutuhkan dia disini. Lebih baik kamu yang bicara. Kamu bisa memilih kata kata yang lebih halus untuknya. Saya tidak suka padanya. Dulu saat A siang membutuhkan dia. Entah dimana dia berada. Sekarang malah menangis terus. Membuat saya pusing." Ujar aunty.
Diandra tidak berani menjawab. Ia hanya bisa mengikuti perintah aunty. Sebelum pergi ia kembali mengecup kening suaminya. Dan berbisik untuk pamit sebentar. Ia memang berencana mandi dan mengganti pakaian. Tapi akan segera kembali kemari. Ia tidak akan bisa tidur. Lebih baik menemani Andrew disini. Paling tidak ia merasa lebih tenang. Meski dokter mengatakan kondisi Amdrew stabil. Tapi ia masih tetap khawatir.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
210819
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top