Bagian Ke Sembilan Belas
Ternyata cukup sulit ya menemukan bacaan yang penulisnya rajin update. Di library saya ada 60 persen bacaan yang sampai sekarang tulisannya gak kelar kelar. Padahal cerita mereka bagus bagus. Ada juga yang update setahun sekali. Sampai saya lupa sama ceritanya. Memang mood menulis kalau sudah dihentikan seringnya malah gak muncul muncul.
Next part, vote 770...
🌷☘🌷☘🌷☘
Andrew memasuki terminal kedatangan di Bandara Sukarno Hatta. Cuaca Jakarta terlalu panas untuknya. Meski masih berada dalam ruangan berpendingin. Namun ia bisa merasakan terik matahari diluar sana.
Menuju keluar, ia segera disambut seorang supir. Salah seorang karyawan di Tan Corp Indonesia. Aunty Regine sudah mengatur semuanya. Kali ini memang ia tidak bisa sendirian menghadapi keluarga besar Diandra. Masih mengenakan kacamata hitam, Andrew memasuki mobil menuju hotel bintang lima di kawasan Kuningan.
Flashback.
"Drew, ini aku Maya"
"Senang bisa bicara dengan kamu. Bagaimana kabar Diandra?" Tanya Andrew dengan nada cemas.
"Buruk"
Andrew membuang nafas kesal.
"Dia baik baik saja kan?"
"Kalau dia baik baik saja. Kamu pasti masih bisa menghubungi dia. Seluruh agenda aktifitasnya sudah diambil alih orang tuanya. Aku dipecat!"
Andrew terkejut.
"Kenapa? Ada masalah?"
"Orang tuanya ingin menjodohkannya dengan Dennis. Pria yang dulu kamu lihat di IG ngobrol sama dia. Malam itu mereka berencana melakukan pertemuan keluarga. Diandra menolak, sebagai tanda protes lalu kami pergi ke Bali.
Orang tuanya marah besar. Mereka menuduh aku dan kamu berkonspirasi mempengaruhi Diandra. Mereka langsung menyita ponselnya dan membawa Diandra pulang ke Cipanas. Aku tahu itu dari security apartemen yang sempat dititipi pesan oleh Di sebelum pergi"
"Apa dia benar benar tidak pernah ke Jakarta lagi?"
"Kemarin ada sebuah pekerjaan di Cirebon. Dia datang dikawal beberapa bodyguard. Aku saja tidak bisa mendekatinya. Hanya dari jauh kulihat Diandra berjalan menunduk sambil memakai kacamata hitam"
"Apa yang bisa saya lakukan Maya"
"Kamu bisa melakukan banyak hal. Diandra sangat menderita. Dia menuruti kedua orang karena paksaan. Aku kenal dia, kamu satu satunya orang yang dia cintai saat ini. Dan aku yakin kamu bisa membebaskannya"
Andrew terdiam, ia benar benar merasa kacau.
"Maya, apa saya boleh tanya sesuatu?"
"Boleh"
"Apa menurut kamu, Diandra benar benar mencintai saya?" Andrew merasa harus meyakinkan dirinya terlebih dahulu sebelum membuat sebuah keputusan
"Kamu tuh aneh ya, di kabur dari pertemuan itu karena dia hanya mencintai kamu! Kok kamu malah meragukan dia?"
"Saya harus bicara dulu dengannya May"
"Kamu nggak akan punya waktu lagi kalau menunggu saat itu"
"Ya sudah, saya akan cari waktu untuk ke Indonesia"
"Rencana kamu apa Drew?"
"Bicara dengannya dulu. Kalau dia mau, saya akan membawanya pergi"
"Kebetulan paspornya masih di aku. Kamu ngomong sama aku kalau memerlukan benda itu"
"Ok, terima kasih Maya" ujar Andrew.
Flashback off
Andrew melangkah memasuki apartemen Maya. Ia ingin meminta penjelasan tentang kekasihnya. Dan juga tentang rencana keluarga Diandra. Maya sendiri yang membuka pintu untuknya. Namun ternyata Malia juga ada disana.
Andrew menyapa keduanya sebelum memasuki ruang tamu. Mereka kemudian mempersilahkan pria itu duduk.
"Saya tidak ingin basa basi. Ada apa dengan Diandra?"
"Seperti yang sudah kuceritakan" jawab Maya.
"Apa tidak ada jalan lain?"
"Nggak ada, papi Diandra terlalu kaku untuk hal ini"
Andrew menatap keduanya bergantian
"Saya akan menemui orang tuanya"
"Kamu gila Andrew! Kamu tidak akan berhasil"
Andrew menggeleng sambil menarik nafas dalam.
"Saya akan mencoba, kita tidak tahu hasilnya kalau kita tidak mencoba" ujar Andrew.
"Kamu nggak akan berhasil kalau dengan cara seperti itu. Saranku cuma satu. Kamu culik ia lalu bawa lari ke tempat yang jauh"
Andrew kembali menggeleng. "Saya akan mencoba dulu maya. Hal itu tidak baik untuk Diandra"
***
Dan disinilah sekarang Andrew berada. Diruang tamu kediaman sang kekasih. Disana hanya ada kesan dingin. Ada papi, mami dan Diandra dihadapannya. Sementara itu ia hanya sendirian untuk mencapai tujuannya. Andrew memang tidak ingin melibatkan orang lain. Ditatapnya Diandra dengan penuh rindu. Namun sang kekasih memilih menunduk pada akhirnya. Mata Diandra terlihat sedikit sembab.
Papinya hanya diam, kali ini mami Diandralah yang berbicara dengan nada sangat tegas. Suaranya terdengar tamah namun menusuk.
"Tante berterima kasih, kamu masih bersedia datang kemari. Itu menandakan kalau kamu adalah pria yang bertanggung jawab. Dan mengerti sopan santun"
Andrew hanya bisa menatap tanpa bersuara. Ia bisa merasakan, kalau harapannya sudah terlalu tinggi. Ia akan pulang dengan tangan hampa. Nada suara itu diucapkan bukan untuk memberi harapan. Tetapi untuk menyampaikan penolakan.
"Tapi tante minta mengertilah. Diandra putri kami satu satunya. Saya mendapatkannya dengan susah payah. Setelah berkali kali menjalani proses bayi tabung. Ada banyak harapan saat dia hadir dalam hidup kami. Dan setelah Di lahir, saya dinyatakan dokter tidak boleh lagi mengandung.
Saya pernah meminta papinya untuk menikah lagi. Karena ia adalah satu satunya penerus keluarga. Tapi karena cinta, papinya menolak. Ia tidak ingin meemberikan ibu tiri bagi Di. Dan juga saingan dalam kehidupan saya. Papinya adalah laki laki yang menginginkan ketenangan dalam hidup dan sangat mencintai keluarganya. Saya dan Diandra"
Andrew semakin menunduk. Ia menautkan kedua tangannya. Penolakan itu sudah dimulai.
"Andrew, tante menghormati kamu. Tante merasa bahwa kamu sebenarnya adalah pria yang baik. Tapi sebagai orang tua, kami ingin yang terbaik untuk putri kami. Dan maaf, kamu bukan pria yang tepat bagi Diandra"
Kekuatan Andrew luruh seketika. Tapi ia mencoba bertahan dengan tidak mempermalukan dirinya sendiri. Kuatkan saya papa. Saya tidak sanggup seperti ini. Diliriknya Diandra yang tengah menghapus airmata dengan selembar tissue. Dilihatnya tubuh kekasihnya bergetar. Diandra sangat lemah.
"Saya sangat mencintai Di. Saya berjanji akan membahagiakannya. Beri saya kesempatan untuk membuktikan kata kata saya. Terlepas dari latar belakang saya" suara Andrew terdengar bergetar.
Alice menatap pria dihadapannya. Meski sayapnya sudah patah. Tapi ia belum menyerah.
"Andrew, kelak kamu akan menjadi orang tua. Saat ini ada seseorang yang tertarik pada Diandra. Memiliki karakter yang baik. Latar belakang pendidikan yang baik. Besar disebuah keluarga yang harmonis. Dan saat kami menyelidiki kehidupan pribadinya. Kami tidak menemukan hal yang buruk.
Menurut kamu apakah kami sebagai orang tua, akan memberikan putri tunggal kami kepada seorang pria yang memiliki masa lalu buruk? Yang pendidikannya hanya berupa sekolah fotografi singkat. Yang pekerjaannya tidak memiliki penghasilan yang tetap? Bagaimana ia tahu membina sebuah rumah tangga, kalau ia sendiri tidak pernah tumbuh dalam sebuah keluarga harmonis! Beberapa dari keluarganya menderita cacat mental. Juga ada yang menjadi lesbian. Kami orang tua normal. Jelas kami akan memberikan putri kami kepada seseorang yang terbaik. Dan sekali lagi maaf, kamu bukan pria pilihan kami"
Ada keringat yang membasahi tubuh Andrew seketika. Amarah yang sangat ditahan olehnya. Ditatapnya ketiga orang didepannya. Hanya Diandra yang membalas tatapannya dengan pilu. Sementara kedua orang tua gadis itu menunjukkan wajah tenang. Seolah dengan kekuasaan mereka, Andrew harus menyerah.
Kemarahannya bukan karena penghinaan dan penolakan terhadap dirinya. Tapi karena semua disangkut pautkan pada papa dan keluarga besarnya.
"Bolehkan saya bertanya apakah keputusan ini disetujui oleh Diandra? Saya hanya ingin mendengar dari lidahnya sendiri"
Kalimatnya membuat kedua orang tua Diandra terdiam. Dan menatap putri mereka. Sementara Diandra hanya bisa meremas kedua tangannya. Airmatanya mengalir deras.
"Bicaralah Di. Aku hanya ingin kepastian dari kamu. Bukan dari orang tua kamu"
Diandra memejamkan matanya sejenak. Kemudian perlahan mata indah itu terbuka dan menatap Andrew dengan penuh luka. Berusaha menguasai emosinya dengan menarik nafas panjang. Namun saat hendak mengatakan sesuatu ia kembali terisak. Andrew masih terdiam menatap wajahnya. Namun akhirnya ia tidak tega.
"Jangan menangis Di. Aku tahu ini sulit untuk kamu. Aku tidak akan membiarkan kamu memilih. Terima kasih sudah mencintai aku sebesar ini. Aku menjadi tahu bagaimana rasanya dicintai, diperhatikan dan juga memiliki. Aku tahu rasanya bahagia. Aku menghargai semuanya. Dan setelah ini aku ingin kembali melihat senyum kamu seperti dulu. Lupakan aku"
Tanpa pamit, Andrew melangkah meninggalkan kediaman Diandra tanpa menoleh kebelakang ia memasuki sebuah mobil van keluaran terbaru. Ia pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal.
***
Diandra menatap langit mendung diluar kamarnya. Kejadian tadi siang tak akan pernah dilupakannya. Mereka sudah kalah oleh takdir. Ia dan Andrew tidak mampu melawannya. Tak ada lagi panggilan my di dan Deedoo. Diandra merasa terluka.
Berada disituasi ini sangat sulit. Saat engkau mencintai kedua orang tuamu sama besar dengan kekasihmu. Tidak ingin melepaskan salah satu dari mereka. Tapi engkau harus memilih. Diandra.menghembus nafas pelan. Langit Cipanas tampak mendung. Diandra sengaja tidak menutup jendela kamarnya. Berharap Andrew akan tiba tiba muncul dan memanggilnya.
Airmata kembali memggenangi pipi mulus tersebut. Tidak mudah melupakan kekasih yang selama delapan bulan ini menemaninya. Tapi sekali lagi, ia adalah satu satunya harapan kedua orangtuanya. Dan ia tidak ingin membuat mereka kecewa. Ini adalah baktinya. Bukan bakti seperti Siti Nurbaya. Tapi berusaha untuk ikhlas dalam menerima.
Ia harus menguburkan kenangan tentang Andrew. Bisakah? Tidak, sosok Andrew tidak akan tergantikan oleh siapapun bahkan oleh Dennis yang begitu sempurna dalam pandangan orangtuanya. Tatapan Andrew yang begitu memujanya. Saat mereka menghabiskan beberapa malam di Singapura.
Merasakan hangatnya pelukan Andrew. Menghabiskan hari sambil menonton televisi. Berbagi kesedihan kegundahan dan tawa. Diandra tidak sanggup. Teringat saat Andrew mengantarkannya ke kamar hotel pertama kali. Saat ia merasa jatuh hati pada sosok tak sempurna itu. Merasa aman dan terlindungi.
Ditatapnya wajah dicermin. Dinyalakannya lampu yang biasa menemani saat harus make up saat pagi hari. Tak ada Diandra yang dulu disana. Ia hampir tak mengenali siapa sosok yang ada didalam cermin. Benda yang tak pernah berbohong mengenai siapa dirinya. Bagian mana yang belum terpulas rata.
Diandra merasa kosong. Cahaya itu sudah menjauh. Bukan karena ada pihak ketiga seperti saat bersama Arga. Tapi restu yang tak pernah didapatnya. Kembali Diandra menghapus airmatanya. Kantung mata itu semakin menebal. Diraihnya sisir untuk merapikan rambutnya yang kusut. Mulai pagi nanti, semua akan berubah. Termasuk ia dan seluruh keinginannya.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
020819
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top