Bagian Ke Dua Puluh Lima

"Akan kupikirkan malam ini. Kamu tolong cari tahu dulu bagaimana kondisi Diandra" jawab Andrew dengan nada cemas.

Ia segera menjauhi kedua pasangan tersebut dan mencoba menghubungi seseorang. Kemudian menggelengkan kepala. Andrew ingin marah, namun berusaha menahan diri.

***

Seorang perawat yang baru saja datang karena harus bertugas memasuki ruang  jaga. Dengan santai ia menyapa beberapa rekannya. Tidak banyak yang bertugas disini. Namun semua adalah perawat terpilih. Karena di lantai inilah terletak ruangan VVIP. Hanya ada lima ruang disini. Selesai mengganti pakaian dengan pakaian kerja. Perawat itu meneliti status pasien. Ia sengaja mencari nama yang baru masuk tadi pagi. Tidak ada yang curiga, karena ia adalah seorang perawat senior.

Nah ini dia! Diandra! Ia sedikit terkejut membaca diagnosa dan juga obat yang sudah diberikan. Penyakitnya terlihat cukup serius. Apalagi pasien ditangani langsung oleh Profesor Sudoko. Orang yang paling mereka segani untuk urusan penyakit lambung.

Perawat itu kembali duduk. Dan mengirimkan pesan pada seseorang. Sambil berjanji saat waktunya tiba. Ia akan mengunjungi pasien. Tak lama, ponselnya berdenting. Notifikasi yang berasal dari sebuah bank swasta. Harga informasinya sudah diterima. Ia tersenyum lebar. Orang kaya memang kadang aneh pikirnya.
.
.
.
Delapan jam lalu

Seseorang mengetuk pintu rumah kontrakan Sarita. Ia melongok ke jendela kaca. Apakah ini orang yang dimaksud Maya? Kemudian membuka pintu.

"Ada yang bisa saya bantu?" Ujarnya.

"Selamat siang ibu Sarita. Saya kenal ibu dari bu Maya. Katanya kalian berteman baik"

"Oh iya, tadi Maya sudah menghubungi saya. Sillahkan masuk"

"Saya tidak punya waktu banyak, begini. Saya ingin ibu memberi informasi mengenai kesehatan seorang pasien, yang dirawat di rumah sakit tempat ibu bekerja pagi ini. Namanya Diandra"

Sarita menatap tamunya dengan tak suka.

"Maaf kalau anda bermaksud saya harus melakukan sesuatu yang buruk pada pasien. Saya tidak bisa!" Tolaknya tegas.

"Bukan bu. Kami hanya ingin mendapatkan informasi kesehatannya. Atasan saya sangat mencintai perempuan tersebut. Tapi orang tuanya menentang hubungan mereka. Akhirnya mereka dipisahkan. Atasan saya ingin tahu perkembangan kesehatan kekasihnya. Ia sangat khawatir sekarang. Jangan takut, kami akan memberikan imbalan yang sesuai untuk setiap informasi ibu.

Kami tidak meminta agar ibu melakukan perbuatan yang merugikan pasien. Kami hanya meminta ibu memberikan informasi minimal sehari tiga kali. Satu juta untuk setiap kali informasi. Bagaimana?"

Sarita membelalakan matanya. Mereka membayarnya sangat mahal. Terbayang rupiah yang akan ia terima. Tapi, ia terikat pada sumpah jabatannya. Hal tersebut membuatnya mundur sejenak. Pria itu seperti mengerti.

"Ibu sedang butuh uang kan. Anak ibu tengah menempuh pendidikan di fakultas kedokteran. Dan perlu biaya besar. Coba ibu pikirkan lagi. Kalau ibu tidak bersedia, saya akan mencari jalan lain. Tapi saya harap ibu mempertimbangkan."

Sarita hanya terdiam menatap tamunya.

***

Andrew membaca pesan dari Sarita. Kemudian mengirimkan  kembali  pada salah seorang dokter pribadi keluarganya. Dan jawaban dokter Oh membuatnya terhenyak. Diandra separah itu? Ini pasti salah, tidak mungkin penyakit Diandra sudah seperti itu.

Perlahan ia memejamkan mata. Terbayang seorang Di dengan senyum malu malu padanya. Yang berbaring dipangkuannya. Yang menatapnya penuh cinta. Yang suka mengelus rambutnya saat mereka bersama. Lalu sekarang, terbaring tak berdaya.

Ia tak suka keadaan ini. Ia ingin kesana, memeluknya. Memberikan kekuatan dan juga cinta. Tapi apakah itu akan berguna? Ia tahu, kalau Di masih mencintainya. Terlihat jelas saat mereka bertemu di Singapura. Bagaimana Diandra marah marah saat mengira ia dan Malia akan menikah. Ia bahagia saat itu. Tapi tidak tahu harus bagaimana sekarang.

***

Diandra membuka mata. Tubuhnya terasa lemah. Disebelah kanannya tampak mami yang langsung tersenyum menatapnya.

"Sudah sadar Di?" Tanya mami setengah berbisik sambil mencium punggung tangannya. Diandra mengangguk pelan.

Disebelah kirinya ada papi dengan kantung mata menebal tanda kurang tidur. Menatapnya intens namun tak berkata apa apa. Diandra hanya menelan salivanya.

"Tanggal berapa sekarang mi?" 

"Jangan dipikirkan. Yang penting kamu sembuh sayang" jawab mami.

"Maaf, Di mengecewakan mami dan papi."

"Kenapa nggak ngomong kalau perut kamu masih sakit dan kamu lemas? Mami khawatir Di?"

"Di nggak papa mi. Di baik baik saja. Kapan Di boleh keluar. Mami sudah menyiapkan semuanya kan? Mami ingin melihat Di menikah dengan Dennis kan?" Tanya Diandra dengan tatapan kosong. Tidak ada guratan emosi disana.

Papinya menarik nafas dalam. Sementara sang mami menangis terisak.

"Di janji, nggak akan mengecewakan papi dan mami lagi. Di akan nurut asal mami sama papi seneng."

Tangis Michael dan Alice semakin deras. Sementara mata Diandra kian meredup. Sampai akhirnya terpejam kembali!

Michael memeluk bahu istrinya. Seorang perawat memasuki ruangan bersama dokter Sudoko.

"Maaf mengganggu, saya mau memeriksa keadaan Diandra." ujar Sudoko

"Silahkan dok." jawab orangtua Diandra bersamaan kemudian sedikit menjauh dari ranjang.

Dokter Sudoko memeriksa keadaan Diandra, sambil bertanya

"Bagaimana  hari ini?"

"Barusan bangun dok, ngomong sebentar lalu tidur lagi." jelas Alice.

Dokter Sudoko hanya mengangguk. "Karena masih dibawah pengaruh obat tidak apa apa. Setelah saya mendengar penjelasan anda. Sepertinya penyakit putri anda berasal dari depresinya. Pikiran adalah hal paling jahat dalam diri manusia. Dia bisa menyebabkan penyakit apa saja.

Makanan dan pola hidup memang menyumbang beberapa persen. Tapi stress merupakan pemicu terbesar. Kalau nanti sudah sembuh, ada baiknya anda membawa ke psikolog."

"Maksud dokter? Apa putri saya separah itu?" Tanya Michael.

"Ada beberapa orang yang lebih suka memendam emosinya. Boleh dikatakan ia tidak mampu mengelola masalahnya dengan baik. Akarnya banyak. Dan membutuhkan orang lain untuk membantu. Atau mungkin ada masalah yang anda tahu tengah ia pendam selama ini?"

Kedua orang tua Diandra hanya terdiam dan saling melirik.

"Saya mengerti, ini sulit buat anda berdua. Tapi kalau masalah ini tidak diselesaikan secepatnya. Bisa saja sebentar lagi anda akan kehilangan putri anda. Karena dari data yang saya lihat, baru beberapa bulan lalu ia dirawat di Singapura dengan penyakit yang sama"

Kedua orang tua Diandra menarik nafas dalam. Dokter Sudoko kemudian menepuk bahu Michael.

"Saatnya kalian berpikir jernih. Dan mengutamakan keselamatan pasien. Saya hanya menyarankan. Keputusan tetap ada ditangan kalian. Saya permisi." kemudian dokter dan perawat itu meninggalkan ruangan.

"Bagaimana pi?"

"Papi nggak tahu mi."

"Hari pernikahan semakin dekat. Kalau Diandra begini terus. Entah apa yang akan terjadi."

"Apa kita masih bisa membatalkan mi?"

"Pi, pemberkatannya diatas kapal pesiar. Dan papi tahu harga sewanya? Ribuan dollar. Belum lagi dekorasi, catering dan lain lain. Sementara acara pesta di tiga kota semua sudah dibayar lunas. Tidak akan selesai dengan hanya mengucapkan maaf pada keluarga Dennis. Meski kita juga ada bantu soal dana."

"Papi akan coba bicara dengan keluarga Dennis. Kita tidak bisa memaksa kondisi Diandra mi."

"Mami bingung pi. Takut keluarga Dennis mengira kita tidak becus merawat Diandra." Jawab Alice sambil menangis.

Michael memejamkan matanya. Kepalanya terasa pusing. Apalagi mengingat kalimat kalimat yang diucapkan putrinya dengan tatapan kosong. Tidak tahu apa yang harus dilakukan.

***

"Kita bisa memindahkan pemberkatan ke rumah sakit om. Saya sendiri khawatir dengan kesehatan Diandra. Jangan berpikir soal uang dulu. Sekarang yang penting keselamatan Diandra." Dennis memberi ide.

Alice hanya menghela nafas dalam.

"Saya kira, Dennis ada benarnya. Yang penting pernikahan mereka nanti sah dimata agama dan hukum. Masalah resepsi dan  segala macamnya kita pikirkan belakangan." ujar papa Dennis.

"Saya akan berkonsultasi dengan dokter dulu. Apakah kondisi Diandra memungkinkan untuk itu" jawab alice.

"Saya rasa nggak akan butuh waktu lama. Mengucapkan janji nikah kan cuma beberapa menit. Dan Diandra juga nggak akan letih. Dia cukup tiduran diranjang saja" Mama Dennis menimpali.

"Saya nggak minta apapun mi. Yang penting kami sah sebagai suami istri. Saya berjanji akan menjaga Diandra dengan baik. Setelah pernikahan, saya juga akan menunda bulan madu kami. Dan akan membawa Diandra berobat. Percaya saja, bahwa Diandra akan aman bersama saya." Ujar Dennis berusaha meyakinkan kedua calon mertuanya.

Sampai akhirnya Michael dan Alice hanya bisa mengangguk.

***

Diandra tengah berada diatas kursi roda di ruang terbukatempatnya dirawat. Taman mungil ini disediakan untuk tempat beristirahat pasien dan keluarganya. . Matanya menatap kejauhan. Jakarta tampak mendung. Seseorang mengantarnya kemari. Karena kamar tidurnya tengah dihias. Malam ini mereka akan melangsungkan pemberkatan pernikahan.

Diandra hanya bisa menurut, sekeras apapun ia menghindar. Hari ini akhirnya tiba juga. Setelah beberapa hari yang lalu kedua orang tuanya menyampaikan keputusan yang diambil oleh kedua belah pihak keluarga. Diandra sudah pasrah dan tidak berharap lagi. Ia membiarkan saja semua hal  yang datang menghampiri.

Ditatapnya bunga yang tengah merekah. Nasib mereka jauh lebih indah, meski beberapa saat lagi akan layu. Tak berbeda jauh dengan seorang Diandra. Beberapa tahun lalu, apa yang tidak ia miliki. Ketenaran, uang, sahabat dan kekasih. Semua ada dalam genggamannya. Ia begitu bahagia dikelilingi oleh banyak cinta. Tapi sekarang? Apa? Semua sudah hilang.

Sebuah suara helikopter tengah mendekati rumah sakit. Diandra menutup kedua telinganya. Setelah suara heli tersebut berhenti barulah ia menurunkan kedua tangannya.

Dibetulkannya letak pashmina yang melindungi tubuhnya dari terpaan angin. Rambutnya pasti sudah terlihat berantakan pikirnya. Ditengah kegamangannya tiba tiba seseorang berpakaian biasa datang menghampiri. Sepertinya ia pengunjung. Pikir Diandra.

"Selamat sore mbak"

"Sore" jawab diandra sambil tersenyum.

"Sedang istirahat?" Tanya perempuan itu.

Diandra mengangguk sambil tersenyum. Tidak ada salahnya memiliki teman bicara saat ia merasa putus asa seperti ini. Tiba tiba sang perempuan mengeluarkan ponselnya. Menghubungi seseorang dan wanita itu membunyikan loudspeaker. Membuat Diandra bergidik dan menatap wanita itu dengan aneh.

"Hallo" sapa suara diseberang sana.

Diandra terpaku dikursinya. Itu suara Andrew.

"Bicara saja pak" ujar wanita itu

"Di, dengarkan aku sekarang. Kita hanya punya waktu tiga menit. Dan kamu harus putuskan. Tetap tinggal disini melanjutkan semua. Atau ikut bersamaku! Kalau kamu memilih bersamaku. Kamu ikuti Namira keatas. Aku menunggu kamu di helikopter!"

Diandra menatap perempuan itu tak percaya!

***

Next part Vote 1.100.

Happy reading

Maaf untuk typo

13 aguatus 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top