Bagian Ke Dua Puluh Dua
Maaf minggu ini akan slow update ya. Vertigo saya lagi kambuh.
🌷☘🌷☘🌷☘
Diandra termenung saat para asisten perancang ternama membantunya memakai gaun pengantinnya kelak. Sampai kemudian lamunannya berakhir, saat mendengar mereka mengatakan.
"Sudah mbak, silahkan keluar. Supaya keluarga bisa melihat"
Diandra menurut. Ia keluar dari fitting room. Mami dan calon mama mertuanya menatap takjub.
"Ya ampun Di, kamu cantik banget dengan gaun ini. Padahal belum make up" ucap.maminya
"Kita memang nggak salah pilih perancang buat kamu" mama Dennis menimpali.
Diandra hanya terdiam dan enggan ikut berkomentar. Baginya gaun ini sangat berat. Ia tidak suka potongan dibagian dada. Juga lebar bagian bawah gaun yang membuatnya terlihat seperti pengantin dimasa lalu. Tapi ini adalah pilihan mami dan mama Dennis. Ia lebih suka menurut.
Setelah ini ia masih harus mencoba lima gaun dan dua kebaya lagi. Untuk beberapa acara menjelang dan selama pesta pernikahan. Akan menjadi hari yang sangat melelahkan. Saat berusaha tampil sempurna demi kebahagiaan banyak orang.
.
.
.
"Di, mau makan siang apa?" Tanya mama mertuanya saat mereka sudah selesai fitting.
"Terserah mama aja"
"Kamu jangan diet lagi lho. Kamu udah kurus banget. Tadi aja gaun kamu sudah harus dikecilkan. Padahal masih dua bulan lagi"
"Iya, selera makan Di turun drastis ma" jawabnya pelan.
Maminya menarik nafas dalam. Sudah beberapa bulan ini ia melihat perubahan dalam diri putrinya. Meski saat ditanya, ia tidak menjawab apa apa. Sebenarnya ia juga resah melihat perubahan itu. Diandra sangat tidak bersemangat menghadapi pernikahannya. Namun tetap menuruti semua permintaan mereka.
"Oh ya Di, lusa kita ke Singapura ya. Untuk beli goodie bag bridesmaid sama groom mates kalian"
"Iya ma" jawab Diandra singkat.
"Mbak Alice sekalian ikut ya" ajak mama Dennis.
"Maaf, saya ada pertemuan bulanan dengan pihak departemen. Biar Diandra saja"
"Ayo dong sekalian aja. Biar saya lebih enak milihnya. Ada temen sharring gitu" bujuk mama Dennis.
"Aduh gimana ya, saya jadi nggak enak. Nanti saya bicarakan dulu sama papinya Di kalau begitu"
Mama Dennis mengangguk setuju.
***
Memasuki paragon mal, kaki Diandra terasa dingin. Rasa mual kembali menghantamnya. Ini pertama kali ia menginjakkan kaki di Singapura setelah perpisahan dengan Andrew. Sebelumnya ia selalu menghindari tempat ini. Kalaupun harus transit ia takkan kemana mana.
Menatap sekeliling pandangannya meredup. Tiba tiba tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hanya ada jajaran toko yang benderang karena cahaya lampu. Banyak brand papan atas disini. Dulu... dulu sekali ini adalah salah satu tempat favoritnya. Sebelum perpisahan yang menyakitkan itu.
"Kita ke Marks &Spencer dulu ya cari kemeja untuk groom mates" ujar mama Dennis.
Diandra hanya mengangguk dan mengikuti. Dua orang asisten ikut bersama mereka. Termasuk mami. Berangkat ke Singapura menggunakan pesawat pribadi miliik keluarga Dennis. Rencana selesai belanja mereka langsung kembali ke Jakarta. Karena ada sepupu Dennis yang menikah.
Menyusuri area toko Diandra merasa sedikit pusing. Namun mencoba bertahan. Setelah memilih, maka diputuskan mereka akan mengenakan warna hijau. Beruntung seluruh ukuran yang dibutuhkan ada.
Perburuan dilanjutkan ke Metro. Untuk mencari asesoris dan sepatu pihak bridesmaid. Karena gaun sudah dipesan disebuah butik. Mama Dennis dan mami memilih dengan sangat teliti. Sampai akhirnya Diandra merasa tidak kuat dan pamit ke toilet.
"Ma, aku ke toilet sebentar ya" bisiknya.
"Ditemenin sama Ratih aja ya Di" balas mama Dennis.
"Nggak usah ma. Lagian nggak akan lama kok" balasnya.
Terburu buru Diandra menuju toilet. Sesampai disana ia kembali mengeluarkan isi perutnya. Matanya terasa berkunang kunang. Namun kembali ia mencoba bertahan. Kamu kuat Di, kamu kuat. Kamu pasti bisa melewati hari ini. Bisiknya dalam hati.
Sayang saat keluar dari pintu pandangannya terasa berputar. Seketika ia terjatuh! Bersamaan dengan teriakan seseorang.
"Di!"
.
.
.
"Diandra kok lama ya?" Tanya mama Dennis pada mami Diandra.
"Iya, saya juga khawatir" balas maminya.
"Ratih coba kamu susul Diandra" perintah mama Dennis pada asistennya.
Ratih bergegas meninggalkan mereka. Dan tak lama kembali dengan wajah pucat.
"Maaf bu, mbak Diandra tidak ada di toilet. Katanya tadi ada yang pingsan waktu keluar dari sana. Ciri cirinya persis seperti mbak Diandra"
"Trus dimana dia sekarang?"
"Katanya dibawa ke klinik dekat sini bu"
Alice segera menghubungi Diandra. Dan akhirnya seseorang mengangkat sambungan tersebut
"Hallo"
"Hallo, kamu siapa? Dimana Diandra!" Teriak Alice. Ia sangat khawatir dan takut.
"Saya Malia tante. Kebetulan tadi saya menemukan Di pingsan di depan pintu toilet. Saya bawa ke klinik"
"Dimana dia sekarang?"
Malia segera membelikan alamatnya. Kemudian Alice melangkah terburu buru keluar dari mall.
***
Klinik itu tidaklah besar. Alice segera mendatangi resepsionis. Baru kemudian mencari lokasi ruang rawat putrinya dengan wajah khawatir. Disebuah ruangan ia menemukan Diandra tengah diinfus. Sebenarnya Alice malas bertemu Malia. Namun karena ada calon besannya. Terpaksa ia beramah tamah.
"Hai Malia, apa kamu tadi yang menolong Diandra?"
Dengan sikap sopan Malia menjawab
"Iya tante, kebetulan saya mau ke toilet"
"Lho, kamu Malia yang perancang itu kan?" Tanya mama Dimas.
"Iya tante kebetulan saya sedang disini"
"Kalau begitu terima kasih ya Lia. Mungkin Di terlalu letih. Karena beberapa hari ini harus sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Dennis. Dia kurang istirahat aja sepertinya. Sekali lagi terima kasih karena sudah menolong Diandra. Kamu pasti sibuk disini"
Malia menatap Alice dari ujung matanya. Sikap arogan mami Diandra membuatnya muak. Akhirnya ia memutuskan untuk membuat sandiwara. Sambil tersenyum ia berkata
"Iya tante, kebetulan saya akan melakukan sesi pre wedding"
"Oh, kamu mau menikah? Dengan siapa?" Tanya Alice.
Dengan senyum penuh kemenangan Malia menjawab
"Andrew, salah seorang pemilik Tan Corp Singapura"
Tepat saat itu, Diandra membuka matanya.
"Sayang sudah bangun?" Sapa mama Dennis. Mengagetkan Malia dan Alice.
Diandra hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Kemudian membuang pandangannya. Ia enggan menatap wajah Malia setelah apa yang didengarnya dari mulut mantan sahabatnya tersebut. Malia langsung pamit pada mereka semua. Ia tidak tega melihat Diandra menderita. Dan menyesal telah mengucapkan kalimat tersebut.
***
Andrew memasuki ruangannya setelah mengikuti beberapa rapat rutin mingguan. Saat dilihatnya Malia tengah tiduran disofa.
"Hai Li, tumben kamu disini?"
"Iya, kebetulan ke Singapore besok mau ke Delhi"
"Ngapain?"
"Ada klienku keturunan India. Mau nyari baju pengantin. Dia minta aku untuk bantu dia mematangkan konsepnya. Karena dalam dua hari itu dia akan pakai multi culture"
"Repot banget ya mau menikah" ujar Andrew sinjs
"Kalau mau dibawa repot, ya pasti repot. Kalau mau dibawa santai juga bisa"
Andrew terdiam dan menuju mejanya.
"Drew"
"Hmm"
"Diandra masuk rumah sakit. Tadi aku nemuin dia pingsan waktu keluar toilet di Paragon. Ternyata mereka mau belanja untuk persiapan pernikahan"
Andrew segera membanting pena yang tengaj dipegangnya. Tampak ada oerubahan dalam wajahnya.
"Lalu hubungannya dengan aku apa? Bukan aku yang buat dia pingsan kan?"
"Andrew, apa kamu nggak mau tahu lagi kabarnya?"
"Enggak"
"Kamu nggak mau besuk Di?"
"Ngapain? Supaya diusir maminya gitu?"
"Kamu tuh ya, suka keterlaluan mikirnya"
"Bukan aneh Malia, tapi aku malas ketemu sama keluarganya. Lebih baik aku menjalani hidupku"
"Dia sakit Drew. Dan aku tahu kalau dia menderita"
"Bukan aku yang membuatnya menderita. Itu pilihannya sendiri"
"Cobalah mengerti. Kalau kamu berada pada posisi dia. Apa yang akan kamu lakukan?"
"Kami sudah memilih jalan kami Li. Dan biarkan saja seperti ini. Akan ada saatnya semua kembali baik baik saja"
"Maksud kamu?" Malia tiba tiba duduk dan menatap tak percaya.
Andrew hanya tersenyum dan mengedipkan matanya.
"No comment" jawabnya.
"Kalau kamu mau dengerin aku. Kamu culik aja deh tuh si Diandra. Bawa dia pergi pakai pesawat pribadi ke tempat dimana nggak ada orang tahu. Supaya kalian sama sama bahagia"
"Sejak pacaran sama kakek kakek kayak Harry. Otak kamu sedikit korslet"
"Eh, aku justru lebih merasa wise sekarang. Lebih realistis. Apalagi melihat kalian berdua sama sama menderita"
"Berapa lama kamu kenal aku?"
"Dua tahun"
"Dan itu bukan waktu yang cukup untuk mengenal aku"
"Harry suka cerita tentang kamu"
"Dia kadang berlebihan"
"Balik ke Di, kamu nggak kepengen gitu ngabisin masa depan sama dia?"
Andrew menarik nafasnya. Kemudian memutar kursinya ke arah luar jendela. Menatap langit sore yang tampak kelabu. Disalah satu tempat diluar sana. Ada Diandra. Nama itu masih mampu menggetarkan lubuk hatinya.
"Tapi hanya kamu dan Maya yang menginginkan itu"
"Percaya sama aku Di juga menginginkan hal yang sama"
"Dia sudah memutuskan Lia"
"Karena dia berada diantara kamu dan orang tuanya. Dan waktu itu dia tidak tahu bagaimana rasanya saat benar benar harus kehilangan kamu"
"Kamu pernah bicara tentang ini dengannya? Tidak kan? Jangan membuat kesalahan baru. Sudahlah aku juga sudah melupakannya"
"Dengan cara mencari perempuan dan dipacari dalam waktu singkat. Kemudian putus karena merasa nggak cocok?"
Andrew tertawa
"Harry benar, kamu kadang sok tahu"
Malia bangkit berdiri dan mendekati Andrew. Setengah berbisik ia berkata
"Dia sangat menderita. Yang aku dengar dari dokter dia menderita sakit lambung parah. Ini malah akan ada pemeriksaan yang lebih lanjut. Jangan mengira kalau hanya yang menjadi korban disini. Kamu enak, bisa bebas dari siapapun. Menentukan langkah kamu sendiri. Nah Diandra? Dia terjebak pada statusnya sebagai anak tunggal.
Sayangnya dia gagal. Aku sudah curiga saat kita ketemu di Jakarta. Dia muntah muntah dan kamu bilang hamil. Satu hal yang harus kamu ingat. Matanya mengatakan kalau dia sangat menderita. Banyak kematian akhir akhir ini yang disebabkan oleh penyakit lambung kronis. Kamu siap kehilangan dia selamanya?
Kalau kamu ingin dia bisa tersenyum lagi. Dan lebih bahagia dari sekarang. Kamu masih punya waktu. Seorang ksatria tidak akan pernah menyerah. Biarkan orang tuanya yang akan mengaku kalah. Jadi, ambilah waktumu. Jangan jawab aku sekarang. Tapi pikirkan semua dengan matang. Kalau kamu butuh bantuan. Kamu bisa mengandalkan aku"
Setelah mengucapkan kalimat tersebut. Malia melangkah pergi. Meninggalkan Andrew yang masih setia menatap mentari sore yang bersembunyi. Sama seperti ia yang bersembunyi dari semua orang. Berusaha memperlihatkan sosok Andrew yang kuat dan tegar. Padahal ia juga menderita.
***
Happy reading
Maaf untuk typo
07 08 19
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top