Prolog
PROLOG
Tahun 2054 M
Ruangan itu berarsitektur kerajaan kuno, dibangun menggunakan batu-batu pualam berukir bentuk daun dan hewan – sesuatu yang disebut orang awam ‘gaya ukir Jepara’. Enam sosok pria bersenjatakan perisai bulat dan tombak tengah berjaga di sana. Sebuah selubung transparan berwarna keemasan menyelubungi bagian tengah ruangan itu – menyelubungi sebuah kitab kuno bersampul kulit.
Suasana di sana seolah tenang dan damai, dan tampaknya akan terus begitu sampai … kepala-kepala penjaga itu berjatuhan dengan tiba-tiba di lantai. Tidak ada jeritan, tidak ada erangan. Sunyi! Mereka terbunuh tanpa sempat berteriak. Dan setelah semua usai masuklah sesosok bayangan hitam tak berbentuk ke dalam ruangan itu. Berdiri ia sesaat di hadapan selubung itu sebelum selubung itu akhirnya pudar secara perlahan.
“Kitab Takdir Jiptasara …,” sosok bayangan membentuk wujud seorang manusia dan mengambil sebuah buku tua bersampulkan kulit hewan yang tampak sudah usang, “Akhirnya!”
“Hei! Ada penyusup!” dua orang pengawal pria segera menghadang di depan pintu.
“Gandarwa? Apakah para dewata sudah hilang akal sehingga hanya tempatkan Gandarwa untuk menjaga benda ini?” kata-katanya mengalun sinis sebelum akhirnya ia berubah menjadi segumpalan asap hitam dan terbang melampaui dua orang penjaga tadi.
“Penyusup itu kabur!” seru seorang dari antara mereka, memanggil kawan-kawannya untuk turut berdatangan ke tempat itu.
“Kau, lapor kepada Sang Hyang Bathara Indra! Sekarang!” seorang Gandarwa segera menunjuk seorang rekannya untuk melapor kepada sang raja kahyangan itu.
“Ada penyusup?” tiba-tiba seorang pria berpewarakan seram dan bersuara menggelegar bertanya kepada sekumpulan Gandarwa itu.
Seluruh Gandarwa itu langsung bersujud sembah di hadapan sosok itu, “Benar Prabu Baladewa!”
“Kalian lihat wajahnya?”
“Tidak Tuan!”
“Apa yang ia ambil dari sini?”
“Ki-kitab Jiptasara, Tuan!”
“Mana dia? Biar kuurus penyusup itu!”
“Bathara Candra sudah menemukan penyusup itu, Kakang Baladewa,” suara lembut seorang pria terdengar di belakang Baladewa, “dan sekarang sedang bertempur dengannya.”
“Kau turut juga, Adik Bathara?”
“Tidak, kali ini tidak. Penyusup itu telah lari ke Arcapada, dan jika aku masuk ke sana berarti aku telah mengingkari kehendak Sang Hyang Widhi.”
“Kalau begitu biar aku saja yang urus dia,” Baladewa segera terbang keluar dari kahyangan, lalu melintasi gerbang menuju dunia manusia.
*****
Di antara awan-awan putih yang berarak perlahan dalam tuntunan sang bayu, Baladewa menyaksikan seorang pria berkulit putih seperti pualam – Bathara Chandra, sedang beradu-tanding dengan sesosok bayangan hitam, berbentuk abstrak dan berukuran tiga kali lipat dari ukuran manusia. Baladewa tahu, Sang Dewa Bulan tidak akan sanggup melawan makhluk macam itu. Dari penampilannya yang seperti itu serta aura hitam yang mengelilinginya, Baladewa sudah tahu bahwa makhluk itu adalah sesosok Daitya – iblis berkekuatan setara dewata.
“Minggir Chandra!” Baladewa langsung melesat ke tengah medan laga dan menghantam makhluk itu dengan kedua tangannya. Makhluk itu mundur beberapa jengkal sambil meraung-raung dengan suara mengerikan, tapi baru sebentar saja makhluk itu sudah kembali tegak. Dua buah bulatan cahaya merah yang tampak seperti bola mata menatap Baladewa dengan tatapan yang boleh dibilang tidak ramah dan tidak bersahabat.
“Ayo maju!” seru Baladewa yang kembali terbang melesat ke arah makhluk itu, berniat menghadiahi makhluk itu satu-dua pukulan tambahan. Tapi kini alih-alih menghadiahi makhluk itu pukulan, Baladewa justru terhempas – dipukul oleh sebentuk tangan yang keluar dari sosok itu.
“Wuah! Kurang ajar benar!” amarah Baladewa mulai naik.
“Saudara Baladewa, jangan lawan dia sendirian! Berbahaya!”
“Bah! Berbahaya? Kurasa tidak cukup berbahaya jika aku gunakan ini!” Baladewa mengusap-usapkan kedua telapak tangannya sehingga kedua telapak tangannya kini berpendar cahaya keemasan. Ia kembali melesat dan menghantam makhluk itu dengan telapak tangannya dan menghempaskan makhluk itu cukup jauh.
KROAAAA!!! Makhluk itu membentuk dirinya menjadi sosok mirip Garuda Wisnu Kencana – wahana milik Bathara Wisnu, dan langsung menyerang Baladewa dan Bathara Chandra. Bathara Chandra tidak tinggal diam, dikeluarkannya sebuah cakram dari balik jubah putihnya lalu dilemparkannya ke arah sosok hitam tersebut. Cakram itu berhasil menggores sedikit leher makhluk tersebut namun dengan cepat bagian tubuhnya yang tercabik itu menyatu kembali.
“Sial!” dewa bulan itu segera melesat – menghindar dari serangan sang garuda. Tak terlalu berhasil, garuda hitam itu sukses menggores lengan kanannya.
“Astra … Nenggala!” suara Baladewa menggema lirih di keheningan malam. Dua sosok naga berwarna emas dan hitam tampak keluar dari kedua telapak tangannya, kemudian bersatu membentuk sebuah tombak tiga bilah (trisula) berwarna paduan hitam dan kuning emas di tangan kanannya. Begitu di tangannya sudah terpegang senjata itu, Baladewa segera melesat dan menghantam makhluk itu dengan kekuatan penuh sehingga koyaklah sebagian besar tubuhnya.
KAAAAAA!!! Makhluk itu mengerang seram lalu membalas serangan Baladewa dengan paruhnya, Baladewa yang sigap dengan serangan itu langsung menghindar dan menusukkan Nenggala ke leher makhluk itu. Tapi makhluk itu masih belum menyerah juga, sayap kirinya yang masih utuh mengepak keras dan menampar Baladewa sehingga ia terpelanting. Burung raksasa itu tak menyia-nyiakan kesempatan itu, dengan bersiap menyambar Baladewa dengan cakarnya. Melihat saudaranya dalam bahaya, Bathara Chandra melempar kembali cakramnya ke arah burung raksasa itu. Cakram Sang Bathara sukses memutuskan sayap sang garuda. Baladewa yang telah bangkit kembali, segera melemparkan Nenggala ke arah kepala makhluk itu dan meledaklah tubuh makhluk tersebut.
Asap hitam membumbung ke langit, menciptakan suasana suram dan menyesakkan nafas bagi setiap makhluk hidup yang menghirupnya. Burung-burung di sekitar daerah itu mati lemas dan jatuh ke bumi. Serangga-serangga yang turut melintas pun tak luput terenggut nyawanya. Malam itu telah terjadi hujan, hujan bangkai-bangkai burung dan serangga.
Baladewa menghampiri tempat di mana sosok hitam itu tadi berada, di sana ia dapati sebuah kitab bersampul kulit hewan yang tampak telah usang. Dipungutnya kitab itu namun sebuah genggaman kuat mengejutkan dirinya. Genggaman itu adalah sebentuk tangan yang terbentuk oleh bayangan hitam.
“Sial! Nengga-!” Baladewa mencoba memanggil senjatanya yang teronggok tak jauh dari situ namun sosok hitam itu segera mengibaskan tangannya dan melemparkan Nenggala dengan jauhnya.
“Siapa kau!” bentak Baladewa.
“Ah, Prabu Baladewa. Tampaknya anda sudah melupakanku ya?”
Mata Baladewa dan Bathara Chandra membelalak menyaksikan sosok hitam itu perlahan-lahan membentuk sebuah rupa menjadi sosok yang mereka kenali. Sosok dari masa di mana Bharatayudha terjadi. Sosok sang putra Brahmana yang telah dikutuk jiwanya untuk mengembara selama 3000 tahun di dunia. Sosok yang bernama … Aswathama!
“Aswathama!” pekik Baladewa yang langsung melayangkan tinju tangan kirinya ke arah sosok itu. Tapi sosok itu dengan enteng menangkap pukulan Baladewa dan dengan tenaga yang luar biasa langsung menghempaskan Baladewa ke arah Bathara Chandra.
Bathara Chandra dengan sigap menangkap tubuh Baladewa yang terlempar ke arahnya. Baladewa pun dengan cepat turun dari pangkuan Bathara Chandra dan kembali berdiri menantang lawan.
Aswathama menyeringai licik, “Tanpa Nenggala, Prabu Baladewa, kurasa kau tak akan bisa mengalahkanku.”
“Sombong kau! Kau sudah bukan lagi seorang manusia. Kau sudah menjadi Daitya! Yang derajatnya bahkan lebih rendah daripada hewan!”
“Sebegitu berdosanyakah aku sehingga aku layak dikutuk seperti ini? Kurasa dari masa ke masa ada banyak orang yang bahkan lebih berdosa daripada aku. Tapi apakah kutuk yang sama terjadi pada diri mereka? Tidak! Tidak sama sekali! Aku membunuh orang-orang itu untuk membalaskan dendam ayahku! Tapi Pandawa dengan gusarnya langsung memburuku bagai binatang buruan dan Sri Kresna dengan kejamnya menjatuhkan kutuk ini padaku! Daitya? Oh ya! Mungkin aku kini Daitya, tapi karena itu …,” Aswathama tidak melanjutkan kata-katanya lalu dengan tersenyum mengejek memperlihatkan sebuah halaman buku yang disebut Jiptasara itu sudah bertorehkan tulisan yang tampak baru, ditorehkan oleh tinta hitam yang masih tampak basah.
Wahai Arcapada! Ucapkan salam kepada keturunan Bharata! Sebab anak-anak dari dua ayah ini akan melanjutkan kembali perseteruan yang telah lalu! Kepada Kurawa kuanugerahi harta kekayaan dan segenap Astra. Kepada Kurawa kukembalikan segala aji-aji yang telah terlupa dimakan zaman! Nusantara adalah tempat keturunan Bharata tumpahkan darah! Nusantara akan menjadi kuburan bagi keturunan Bharata yang tidak layak! Nusantara akan menjadi negara bagi keturunan Bharata – Hastina baru!
“Bajingan!” Baladewa mengumpat dan langsung menerjang ke arah Aswathama, tapi dengan tenang Aswathama langsung meletakkan kitab Jiptasara di depan dadanya lalu sebuah lubang hitam muncul dan menelan kitab itu ke dalam raga Aswathama.
“Sialan!” Baladewa melayangkan tinju tangan kanannya ke Aswathama, tapi pria itu berkelit lalu mencengkeram kepala Baladewa dan mengucapkan bait-bait mantra sebelum akhirnya menghempaskan dirinya ke daratan.
“Saudara Baladewa!” Bathara Chandra terbang melesat ke bawah untuk menangkap tubuh Baladewa yang terjatuh bebas ke daratan Arcapada.
“Mau ke mana, Bathara Chandra?” Aswathama tiba-tiba sudah berada di samping dewa bulan itu.
“Astaga!” Bathara Chandra segera berkelit, menghindar dari tangan Aswathama yang hendak mencengkeramnya.
“Kenapa Bhatara Yang Agung? Takut terjadi apa-apa dengan dirimu? Bukankah kalian semua itu abadi? Kenapa mesti takut oleh sentuhan seorang Daitya!”
“Iblis! Apa yang kaulakukan pada Baladewa?”
“Aku? Bukan apa-apa. Mungkin hanya sedikit mengacaukan ingatannya, ha ha ha!!”
“Iblis!”
“Apakah seorang Bhatara hanya bisa mengutuk?” ledek Aswathama.
“Chandra! Awas!” sesosok Bathara dari Kahyangan tiba-tiba berseru dari atas mereka, Bathara Chandra langsung terbang ke arah lain, sementara Aswathama yang terlambat menghindar langsung dihujani ribuan halilintar dari sekumpulan awan mendung yang menggantung di atas kepalanya sedari tadi tanpa ia sadari.
*****
“Ke mana perginya dia?” tanya seorang Bathara kepada Bathara Chandra ketika kakinya menjejak bumi.
“Aku tidak tahu, Kanda Bhatara Indra. Seharusnya ia jatuh di sini.”
“Mengenai kitab Jiptasara?”
“Aswathama menelannya!”
“Tunggu! Aswathama? Aswathama putra Rsi Drona?”
“Ya! Aswathama yang sama, yang dikutuk Sri Kresna untuk terus mengembara jiwanya selama 3000 tahun!”
“Astaga, itu berarti …,” kata-kata Bhatara Indra tak sempat selesai, seorang pria seram berkulit merah dan berjanggut hitam dengan pakaian dominan warna hitam mendekat ke arah Sang Raja Dewa.
“Bhatara Indra, saya punya kabar buruk.”
“Katakan!”
“Atman[1] seratus perkasa keturunan wangsa Kuru, Pandawa, dan anak-anak mereka telah menitis kembali ke Arcapada.”
“Astaga! Itu berarti jalan takdir telah dirusak!” Bhatara Chandra menatap ke arah kota di mana segenap bangunan bertingkat – tempat tinggal manusia – berdiri megah di kota yang gemerlapan.
“Apa langkah kita selanjutnya? Memohon Bathara Wisnu untuk menitis kembali sebagai Awatara?” tanya pria berkulit merah itu.
“Tidak! Kita tidak akan memohon Bathara Wisnu untuk menitis kembali!”
“Lalu?”
“Kita akan menitiskan Baladewa!”
“Baladewa?” ujar Bathara Chandra dan pria berwajah merah itu tak percaya.
“Ya!”
Sosok lain mendekat ke arah tiga dewata yang sedang berbincang serius itu. Pria itu berdehem sejenak sebelum akhirnya mulai bicara, “Baladewa telah dikacaukan pikirannya oleh Aswathama. Jika kita hendak menitiskan ia kembali sebagai Awatara, kita harus menemukan Nenggala terlebih dahulu!”
“Ah, Narada. Apakah kau bersedia mencarikan Nenggala bagi Baladewa?”
“Hamba bersedia saja. Tapi hamba juga mohon berkah dari para dewa untuk para Pandawa. Sebab Aswathama telah menurunkan segala berkah dewata kepada Kurawa, tapi tidak sedikit pun kepada Pandawa. Jika Aswathama sukses mengangkat derajat Kurawa pada masa ini maka bencana yang kita takutkan selama ini tak akan terhindarkan lagi!”
“Aku mengerti akan kekhawatiranmu, Narada. Tapi satu-satunya yang bisa kita lakukan sekarang … hanyalah memberikan ini kepada mereka,” Bathara Indra melemparkan sebuah bungkusan kepada Bathara Narada, “Bawalah itu kepada para Pandawa. Mereka akan membutuhkannya, selagi Baladewa belum mendapatkan kembali Nenggala.”
[1] jiwa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top