BAB XX : REQUIEM - KIDUNG DUKA
We can easily forgive a child who is afraid of the dark; the real tragedy of life is when men are afraid of the light.
– Plato –
Jakarta, 10.45 WIB, 3 hari kemudian
Dari dalam Gereja Katedral Jakarta terdengar suara koor menyanyikan kidung duka – requiem – mengiringi sekumpulan orang berseragam polisi yang mengusung sebuah peti kayu berwarna putih dalam derap langkah yang teratur, membawanya keluar dari bangunan katedral tersebut. Sejumlah polisi berseragam lengkap tampak mengikuti iring-iringan jenazah itu di belakang seorang wanita dan seorang anak lelaki yang berjalan tepat di belakang peti tersebut.
“Ma, Papa didatangi banyak orang kok nggak bangun?” tanya anak kecil berambut hitam dan tampak masih berusia 6 tahun tersebut, “padahal kan Papa biasanya suka ngobrol?”
Wanita yang ditanyai anak itu hanya tidak langsung menjawab, sambil terus menggamit tangan anaknya ia menuju tempat parkir dan menuntun anak itu naik ke sebuah mobil jenazah dan membisikkan sesuatu di telinga anak lelaki tersebut.
Di tempat parkir, Riyadi yang mengenakan pakaian sipil – setelan jas dan dasi hitam – tampak membukakan sebuah pintu mobil sedan abu-abu bagi seorang petugas polisi yang mendekat ke arahnya.
“Naik Markus,” ujar Riyadi.
Markus – dalam balutan seragam lengkapnya – langsung naik ke bangku di samping pengemudi. Riyadi pun turut masuk dan mulai menyalakan mesin mobil tersebut sembari bertanya, “Kau tidak apa-apa?”
“Tidak,” Markus memijit-mijit dahinya berulang-ulang sebelum akhirnya mengambil sebotol balsam dari dashboard mobil dan dengan tangannya yang penuh terbalut perban mengoleskan balsam itu ke dahinya.
“Sudah kubilang kau seharusnya istirahat saja di rumah sakit,” ujar Riyadi.
“Mana bisa aku istirahat di hari pemakaman kawan baikku?”
“Markus, aku tahu kau dekat dengan Alex, tapi itu bukan berarti kau harus abai akan kesehatanmu. Lebih-lebih sampai memaksa diri ke Jakarta seperti ini.”
“Tidak masalah buatku, toh institusimu juga meminta aku untuk datang ke kota ini secepatnya kan?”
Mobil jenazah itu mulai berjalan dan mobil-mobil pengiringnya mengikuti dari belakang. Riyadi menjalankan mobilnya sesaat setelah empat mobil mengambil posisi di belakang mobil jenazah tersebut dan terus mengikuti rute iring-iringan itu hingga tiba di sebuah tanah pemakaman dua jam kemudian.
Para pelayat turun dari kendaraannya masing-masing. Enam orang anggota polisi menarik keluar peti jenazah itu dari mobil jenazah berwarna putih itu dan memanggulnya di bahu mereka dan dengan langkah berderap membawa peti itu ke sebuah liang lahat yang telah digali dan diberi empat balok kayu yang melintang.
Peti itu diletakkan di atas balok-balok kayu tersebut dan seorang pastur berjubah ungu maju mendekat ke arah peti. Para pelayat membentuk lingkaran di sekeliling peti jenazah. Doa-doa pun diucapkan, kidung-kidung duka kembali dinyanyikan. Lalu sebuah bendera merah putih dibentangkan di atas peti tersebut dan secara perlahan-lahan peti itu diturunkan ke dalam pelukan bumi dengan iringan kidung yang masih dinyanyikan oleh para pelayat. Begitu peti itu menyentuh dasar lubang, masing-masing pelayat melemparkan segenggam tanah ke arah lubang tersebut sebelum akhirnya para penggali kubur menutup lubang itu dengan tanah dan menancapkan sebuah prasasti nisan di bagian kepala lubang.
Para pelayat mulai meninggalkan makam itu satu demi satu hingga akhirnya hanya tersisa lima orang saja yang masih berdiri di depan makam itu. Markus, Riyadi, istri dan anak sang almarhum, serta seorang perwira polisi berpangkat AKBP. Sang pastur sendiri memilih berdiri agak jauh dari kelima orang tersebut.
Sang AKBP tampak mengucapkan beberapa patah kata pada sang istri almarhum sementara si anak lelaki malah menjauh dari ibunya dan menghampiri Markus lalu menatap Inspektur Polisi itu dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Hei,” Markus berjongkok di hadapan anak itu, “kenapa Dik?”
“Om Markus ya?”
“Iya, kenapa Dik?”
“Papa suka cerita soal Om Markus.”
“Oh ya? Cerita apa?”
“Kalau Om Markus ini kuat dan tidak kenal rasa takut. Om Markus juga yang selalu bantu Papa menangkap penjahat.”
Anak itu tersenyum ke arah Markus dan Markus pun turut tersenyum pula, “Jadi Om, boleh Adi minta tolong?”
“Minta tolong apa?”
“Om Markus harus tangkap penjahat yang bunuh Papa ya? Supaya penjahat itu nggak bunuh papa orang lain lagi.”
Markus terdiam selama beberapa detik sebelum meletakkan kedua tangannya yang terbalut perban putih di kedua bahu anak tersebut, “Iya. Om janji. Tapi Adi juga harus janji ya?”
“Janji apa?”
“Adi harus rajin belajar, nurut sama Mama Adi, dan cepat besar supaya bisa jaga Mama. Ya?”
“Iya. Tapi Om jangan lupa sama janji Om ya?”
“Iya, iya. Om tidak akan lupa. Janji?” Markus mengulurkan tangannya ke arah anak lelaki itu dan anak lelaki itu menyambut uluran tangan Markus. Kedua orang itu saling berjabat tangan sebelum akhirnya ibu si anak mendekati Markus dengan wajah yang dipaksakan tegar.
“Markus,” ujar wanita itu lirih, “terima kasih atas segala yang sudah kau lakukan untuk suamiku. Terima kasih juga telah jauh-jauh datang kemari meski ... kau tidak sehat.”
“Irma,” Markus mengeluarkan selembar plat tipis dari bahan mirip plastik dan mengulurkannya ke arah wanita tersebut, “mungkin ini tidak seberapa tapi terimalah.”
“Tapi,” wanita itu mencoba menolak pemberian itu tapi Markus mendesak. “Sudahlah, terima saja.”
“Terima kasih banyak, Markus,” wanita itu menerima plat tipis pemberian Markus itu dan memasukkannya ke tas jinjingnya sembari menggamit putranya pergi dari tempat itu. Si anak masih sempat melambai ke arah Markus dan Riyadi dan kedua orang itu pun balas melambai.
Sang perwira berpangkat AKBP itu mendekat ke arah Markus dan Markus pun segera mengambil posisi sempurna serta memberi hormat pada Sang AKBP, tapi perwira itu menyuruhnya untuk segera menurunkan tangannya.
“Aku akan kehilanganmu, Markus. Aku akan kehilangan salah seorang reserse terbaikku. Tapi kesempatan ini memang tak boleh kau sia-siakan. Jalani saja tugas ini Markus.”
“Terima kasih, Pak.”
Sang AKBP tersenyum simpul sebelum akhirnya beranjak pergi dari area pemakaman itu. Riyadi menepuk bahu adiknya dan mengajaknya pergi dari tempat itu. Markus mengangguk dan berjalan bersama Riyadi menuju kembali ke kendaraan mereka.
“Anak tadi ...,” Riyadi memulai pembicaraan.
“Kenapa?” tanya Markus.
“Membuatku ingat pada dirimu dulu. Waktu Papa meninggal, seorang kapten TNI bertanya kepadamu : ‘Kus, cita-citamu apa?’. Dan kau menjawab : ‘Jadi polisi, supaya bisa menangkap pembunuh papa.’. Mirip kan dengan putra temanmu tadi?”
Tak ada jawaban dari Markus. Ketika Riyadi menengok ke arah adiknya itu, ia dapati adiknya itu hanya termenung menatap jalanan dengan tatapan kosong. Pada akhirnya Riyadi memutuskan untuk tidak melanjutkan perbincangan ini lagi.
*****
Pejaten Timur, Jakarta, 15.00 WIB
Sedan abu-abu yang ditumpangi Markus dan Riyadi memasuki sebuah areal kompleks bangunan dengan patung Presiden pertama RI menghiasi gapura masuknya. Beberapa petugas bersenjata lengkap mendekat ke arah mobil yang ditumpangi Riyadi dan Riyadi mengeluarkan sebuah hologram identitas dari layar arlojinya. Petugas itu mengangguk ketika melihat identitas Riyadi dan mempersilakannya masuk.
Mobil sedan itu kembali meluncur menuju pelataran parkir yang tampak telah dipenuhi sejumlah mobil aneka tipe dan warna. Riyadi mengambil satu tempat yang kosong, mematikan mesin mobilnya, dan turun dari mobil itu bersama Markus.
“Kita ke sana sekarang,” Riyadi menunjuk ke sebuah bangunan bertingkat sepuluh yang tampak berdiri angkuh dan seram di tengah-tengah kompleks. Suara adzan terdengar dari sebuah masjid yang terletak di dalam kompleks itu pula, memanggil para umat Islam untuk menjalankan shalat ashar. Markus pun mengikuti langkah Riyadi menuju bangunan itu.
Di pintu depan sekumpulan petugas bersenjata kembali memeriksa identitas Riyadi dan identitas Markus serta memeriksa bawaan mereka.
“Oke Pak, anda bersih. Silakan masuk,” salah satu petugas itu mempersilakan Markus dan Riyadi masuk ke dalam gedung tersebut.
Markus dan Riyadi masuk melalui pintu kaca geser otomatis dan di dalam sana mereka menemukan sejumlah orang berlalu-lalang dengan tempo cepat dan nyaris tanpa ekspresi. Ada aura tegang dan serius di seluruh penjuru tempat ini. Beberapa layar holografik tampak melayang-layang di aula utama lantai dasar, menampilkan sejumlah grafik, gambar, dan paragraf-paragraf yang entah berisi informasi apa. Riyadi langsung mengajak Markus menemui seorang resepsionis wanita yang tampak telah menunggu mereka.
“Saya kemari hendak membawa laporan bagi Brigjen Jafar Hamadi,” ujar Riyadi.
“Letnan Hariyadi, anda sudah ditunggu Bapak Kepala di lantai delapan. Silakan naik lift itu,” resepsionis itu menunjuk ke arah sebuah lift. Riyadi mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju lift itu. Begitu mereka berada di dalam lift, Markus memencet tombol lift dan lift itu pun naik menuju lantai delapan.
*****
Riyadi dan Markus diantar masuk ke dalam sebuah ruangan yang berpenerangan redup tersebut dan menemukan sesosok pria paruh baya – Brigjen Jafar – tengah berdiri menyambut mereka di ruang tamu ruangan tersebut.
“Letnan Riyadi Passaharya dan Ipda Markus Passaharya? Betul?” sapa sang jenderal.
“Benar Pak,” jawab Riyadi.
“Mari, mari. Silakan duduk,” sambut Jafar ramah.
Markus dan Riyadi duduk dengan canggung dan tidak berkata sepatah kata pun sebelum seorang pria lain memasuki ruangan.
“Ah Ketut, kami sudah menunggu,” Jafar kembali berdiri dan menyambut tamunya itu lalu kembali menghadap ke arah Riyadi dan Markus, “Letnan Riyadi, Ipda Markus, saya perkenalkan Kolonel I Ketut Puja Syailendra. Kepala Dakara.”
“Halo,” Syailendra menjabat tangan kedua pria itu sebelum duduk di sebuah sofa, “Pertama-tama saya ingin memuji aksi kalian di Surabaya tempo hari. Itu sangat mengesankan.”
“Terima kasih, Pak,” jawab Riyadi dengan nada formal dan sesopan mungkin.
“Tidak usah terlalu formal di sini, Riyadi. Bahkan kalau perlu kita tak usah sebut pangkat di sini. BIN adalah institusi gabungan militer dan sipil. Dakara pun demikian, jadi seperti kata Bunga ...,” kata-kata Syailendra dipotong oleh Jafar.
“Pangkat itu hanya atribut pada acara-acara formal saja,” sambung Jafar.
“Oke, Markus, kau sudah dapat gambaran umum mengenai pemanggilanmu kemari?”
“Sudah Pak,” jawab Markus, “Laskar Pralaya memiliki orang-orang tertentu yang berkekuatan supranatural dan kami direkrut untuk menjadi tim gerak cepat untuk melawan mereka. Apa saya benar?”
“Bagus, kau sudah tahu seperti apa tugas yang menantimu. Berhubung Tim A sedang bertugas di Belanda, saya ingin anda berdua siap untuk diterjunkan ke wilayah mana saja dan kapan saja setidaknya sampai Tim A kembali.”
“Ehm,” Jafar berdehem, “kau tidak cerita soal calon rekan mereka Ketut?”
“Oh iya, Markus dan Riyadi, mari ikut saya. Jafar, kami permisi dulu,” Syailendra bangkit berdiri dan menjabat tangan Jafar. Markus dan Riyadi pun turut bangkit berdiri dan menjabat tangan sang jenderal lalu keluar dari ruangan itu dan turun ke area basement menggunakan sebuah lift.
Di basement mereka menemui kembali sekumpulan penjaga bersenjata dan sekumpulan orang yang tengah berlatih menembak di dalam sebuah ruang latihan. Syailendra menghampiri sebuah kendaraan mirip mobil golf namun berkapasitas empat orang, dan duduk di kursi kemudinya. Markus dan Riyadi langsung turut naik ke kendaraan yang sama.
Syailendra menyalakan mesin kendaraan itu lalu membawa kendaraan itu melalui sebuah lorong panjang berdinding biru muda. “Lorong bawah tanah ini menghubungkan setiap bangunan di kompleks ini, ada juga lorong yang menghubungkan kompleks ini dengan beberapa tempat lain.”
“Akan ke mana kita Pak?” tanya Markus.
“Ke Gedung Klinik, ada seseorang yang harus kalian temui,” jawab Syailendra kalem.
Mobil golf itu akhirnya berhenti di sebuah area yang juga dijaga oleh beberapa pasukan bersenjata namun di sini kondisinya lebih ramai. Sejumlah staff berjas laboratorium tampak sibuk lalu-lalang membawa aneka peralatan seperti tabung reaksi, gelas elenmeyer, pipa-pipa kaca, kotak-kotak logam berlabel ‘SAMPEL’ serta keranjang-keranjang berisikan cairan aneka warna.
Syailendra menghampiri seorang petugas jaga, menunjukkan identitasnya lalu masuk ke lift bersama Markus dan Riyadi. Lift itu membawa ketiga orang itu ke lantai atas dan berdenting ketika mencapai lantai tiga. Syailendra melangkah keluar terlebih dahulu dan membawa dua bawahannya ke sebuah ruangan bertuliskan : ‘RUANG PEMULIHAN’. Tampak di sana beberapa orang berjas putih tengah mengamati sebuah tabung kaca berisikan cairan hijau di mana seorang pria muda yang hanya mengenakan celana boxer hitam tampak terapung-apung di dalamnya.
“Oh ya ampun! Dia!” Markus tak bisa berkata-kata lagi saking terkejutnya ketika melihat sosok pria muda itu.
“Ya Tuhan! Kenapa dia bisa ada di sini?” Riyadi pun tak kalah kaget.
“Kau tahu alasannya kan Antareja? Alasan kenapa dia harus ada di sini?”
Markus menoleh dengan tatapan penuh tanya pada saudaranya itu. Riyadi kini merasa dirinya tengah dihakimi oleh dua pasang mata – seluruh pasang mata yang hadir di ruangan itu. Kolonel itu pun tak buka suara, seolah berharap dirinya yang menjelaskan soal identitas pria muda dalam tabung kaca itu.
“Dia Wisanggeni, Dik,” ujar Riyadi, “Si Pengacau Kahyangan.”
“Apa?” Markus menatap ngeri ke arah pria di dalam tabung kaca itu.
“Ya, kau benar Riyadi. Aji Ranta Janggala adalah Awatara Wisanggeni, dan segera sesudah ia pulih kalian akan bekerja bersama-sama dalam satu tim.”
==00==
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top