BAB XVIII : KESATRIA DARI PRINGGADANI
Surabaya, 22.15 WIB
Markus bermaksud terbang lumayan jauh, mungkin sampai Markas Besar di mana ia bisa berlindung dari serangan orang-orang aneh ini, namun tenaganya sudah terkuras habis dalam pertarungan tadi dan kelelahan yang amat sangat membuatnya terjatuh ke bumi dan menimpa sebuah tong sampah di sebuah gang sempit pertokoan yang sudah tampak sepi. Ia berusaha untuk bangun namun ia tidak punya tenaga sama sekali. Kesadarannya juga terombang-ambing antara alam sadar dan alam bawah sadar, bahkan untuk sekedar menggerakkan tangannya saja ia merasa berat.
“Hei! Ada orang mabuk tuh!” terdengar suara beberapa remaja.
“Wah Asu Cuk, pakai tidur di tengah jalan segala!” sahut yang lainnya.
“Mas, Mas,” seorang dari mereka menghampiri Markus, “jangan tidur di sini Mas.”
“Engghh,” Markus mengerang ketika remaja itu menyentuh kepalanya.
“Ya ampun!” remaja itu terkejut.
“Kenapa Wan?” tanya teman-temannya.
“Ini Pak Markus! Budi! Cepet kamu lapor Pak Daud!”
“Eh?” kawan-kawannya terperanjat sesaat sebelum satu di antara mereka langsung berlari menembus gang-gang sempit. Kesadaran Markus sendiri sirna sesaat kemudian.
*****
Ketika siuman Markus mendapati dirinya tengah berada di sebuah balai pertemuan dan tengah dikelilingi sekumpulan anak muda yang berpakaian acak-acakan dengan seorang pria telanjang dada yang seluruh punggungnya berhiaskan tato tampak mengompres kepalanya dengan kain basah.
“Daud,” ujar Markus kepada pria bertato itu. Pria yang ia kenali sebagai mantan kepala preman yang sudah insaf dan menjadi salah satu informan divisinya.
“Markus, ada apa? Apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba Surabaya jadi medan perang?” tanya Daud.
“Jujur saja, aku tidak tahu,” Markus melirik ke arah jam dinding yang terpasang di sudut balai pertemuan itu, “dua jam yang lalu aku menghadiri pesta perpisahan kawanku dan satu jam yang lalu kami ditembaki sekumpulan orang tak dikenal. Bisa tolong beri aku penjelasan singkat mengenai kondisi yang kau tahu?”
“Brigade Mobil bergerak memasuki kota dengan kendaraan lapis baja. Rentetan tembakan terdengar berkali-kali. Masyarakat panik, dan karena polisi tak bisa dihubungi, kami pun turun ke jalan. Dua kendaraan lapis baja BRIMOB terguling dan terbakar di seputaran Kya-Kya, dan beberapa mayat polisi bergelimpangan di jalanan di depan kampung kami.”
“Laskar Pralaya,” ujar Markus, “Pasti mereka.”
“Di mana TNI?” tanya seorang anak muda yang hadir di sana.
“Entahlah,” jawab Markus.
“Oh ya Markus,” Daud menyerahkan kembali arloji milik polisi itu, “tadi kakakmu menelepon dan kuberitahu saja bahwa kau ada di sini. Katanya ia sedang menuju kemari.”
“Panjang umur,” ucap Markus ketika melihat Riyadi datang dengan wajah yang separuhnya tertutup material seperti kulit hangus.
“Assalamualaikum,” sapa Riyadi.
“Wallaikumsalam,” balas Daud dan anak-anak muda itu.
“Mas Daud,” Riyadi mengulurkan tangannya dan menjabat tangan Daud, “terima kasih sudah menolong adik saya.”
“Bukan masalah Mas,” jawab Daud, “tapi sebenarnya ada apa ini sebenarnya?”
“Ceritanya panjang, Mas. Dan hei Markus, kita harus keluar dari area ini secepatnya sebelum duo itu menemukan kita.”
“Setuju,” Markus menggamit tangan kakaknya yang terulur itu dan bangkit berdiri.
“Daud, pastikan saja anak-anak dan warga tidak keluar ke jalan sebelum matahari terbit. Aku akan kembali ke markas dan mencari informasi. Besok aku akan kembali ke sini dan mengabarkan kondisinya.”
“Baik Markus, aku dan teman-teman akan berusaha melindungi warga kami sebisa mungkin.”
“Ayo Dik,” Riyadi tampak menaiki motornya dengan tergesa dan menyalakan mesinnya lalu mengisyaratkan Markus untuk naik bersamanya.
Motor itu langsung melesat dengan kecepatan tinggi sesaat setelah Markus duduk di jok belakangnya.
“Ada apa ini sebenarnya Mas? Dari mana datangnya orang-orang ini?”
“Aku tahu dari mana mereka datang, tapi nanti saja kuberitahu. Prioritas pertamaku sekarang : membawamu ke tempat yang aman.”
“Hei? Untuk apa?”
“Dua orang itu mengincar nyawamu, Adikku Sayang!” bentak Riyadi gusar, “Dan mereka tidak main-main soal itu.”
“Kenapa mereka mengincar nyawa saya?”
“Itu karena ... LOMPAT!” Riyadi langsung melompat dari motornya sembari mencengkeram kerah kemeja Markus. Sedetik kemudian sebuah bola api menghantam motor Riyadi sehingga motor itu meledak dan hancur menjadi serpihan-serpihan panas.
“Cih! Susah sekali membunuh anda berdua,” sosok Janggala tampak muncul dengan menunggangi sebuah motor.
“Itu karena kau kurang sabar Janggala. Santai saja! Tidak ada mangsa yang terlalu sulit untuk dibunuh kok,” sosok pria-botak-berotot-nan-murah-senyum bernama Yudhi Wibowo itu tampak muncul dari balik Janggala dengan beberapa bilah pisau cadas tergenggam di tangannya.
“Ayooo!!!” ia melemparkan pisau-pisau cadas itu dengan tingkah bak anak kecil. Pisau-pisau cadas itu membentur tangan dan kaki Riyadi serta Markus, tapi pisau-pisau itu tak mampu melukai mereka.
“Hoo! Siapa yang satu ini, Antareja-kah? Atau Antasena?” ucap Yudhi.
“Tebak sendiri siapa aku, Dursala,” bentak Riyadi.
“Hoho, baiklah,” Yudhi terkekeh sesaat sebelum menoleh ke arah Janggala. Rekannya itu mengangguk dan langsung terbang melesat ke arah Riyadi, bermaksud menghempaskan Riyadi ke dinding yang ada di belakang mereka.
Tapi alih-alih menghempaskan Riyadi, justru Janggala-lah yang dihempaskan balik oleh Riyadi. Prajurit TNI itu mencengkeram leher Janggala dan melemparkannya ke sebuah bangunan pertokoan yang tampak telah ditutup. Tubuh Janggala menghantam pintu toko dan terus melaju hingga menembus bagian belakang toko tersebut. Terdengar suara panik beberapa wanita dari dalam toko.
“Kau bisa urus dia kan Dik?” tanya Riyadi sembari menunjuk ke arah Yudhi yang masih senyum-senyum saja.
“Tampaknya bisa.”
“Gunakan Brajamusti kalau perlu,” ujar Riyadi sembari berjalan masuk ke arah toko yang sudah rusak pintunya itu.
Ada sekilas bayangan masa lalu yang masuk ke dalam benak Markus. Kali ini ia melihat dirinya kembali menjadi seseorang yang mengenakan zirah tanpa lengan berwarna hitam dengan simbol bintang di dadanya. Dirasakannya tangan kirinya kini panas dan tampak mengalirkan sejumlah besar energi listrik sebelum tangan itu menghantam seorang lawan yang sosoknya kabur dan tampak tidak jelas. Sosok lawannya itu langsung menjerit dan terkoyak menjadi dua bagian pasca terkena pukulannya.
Pandangannya kini kembali berubah ke ingatan masa kecilnya, masa di mana ia tampak tengah berhadapan dengan seorang tua – kakek dari pihak ibunya – seorang pria keturunan Flores-Ambon yang tengah menusukkan sebatang bambu berwarna keemasan ke dadanya. Anehnya ia sama sekali tidak merasakan sakit. Bambu itu masuk ke dalam tubuhnya dan hilang begitu saja, dan kini kakeknya tengah menggenggam erat tangan kanannya dan mengucapkan bait-bait mantra dalam bahasa yang asing dan tidak ia ketahui lalu memaksa jari-jari tangannya membentuk sebuah kepalan.
“Markus,” kata pria tua itu, “Bambu yang kumasukkan itu adalah Bulu Pamali milikku sementara apa yang kumasukkan pada tangan kananmu ini adalah Ambus dari Tanah Flores. Gunakan ilmu ini hanya saat nyawamu benar-benar terancam.”
Begitu kembali ke dunia nyata, Markus tersentak karena pria botak berotot itu sudah ada di hadapannya dan sudah melayangkan sebuah hook tangan kanan. Markus menepis serangannya dan melakukan tendangan setengah lingkaran dengan kaki kanannya. Tendangan itu menghantam rahang lawannya telak namun Yudhi hanya terhuyung ke belakang selama beberapa detik sebelum balas menyerang lagi dengan rentetan pukulan yang cepat dan brutal.
Markus menghindar sedapat yang ia bisa, dan menangkis serangan-serangan lainnya, menunggu adanya kesempatan untuk menyerang. Selagi ia melakukan itu cincin bermata biru safir di tangan kirinya tampak bersinar dan menjalari tangan kirinya dengan aliran energi yang bercahaya kebiruan.
Di satu kesempatan, Markus mengunci gerakan tangan kiri Yudhi dengan mengepit tangan lawannya itu dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya sengaja ia adu dengan tangan kanan lawannya.
“Gah!” Yudhi melayangkan kaki kanannya dan menendang Markus sehingga polisi itu terhempas sekitar dua meter dari tempatnya berdiri semula.
Markus sendiri langsung bangkit sesaat setelah dihempaskan seperti itu. Tangan kirinya kini terasa sangat panas, dijalari oleh energi-energi listrik yang entah datang dari mana. Lalu tanpa ia sadari mulutnya mengucapkan kata-kata itu, “ASTRA! BRAJAMUSTI!”
Seolah ada kekuatan lain yang mengendalikan tubuhnya, Markus melesat ke hadapan seorang Yudhi Wibowo dan menghantamkan tinju tangan kirinya ke arah lawannya itu. Yudhi berusaha menahan serangan Markus dengan sebelah tangannya namun tindakannya itu sia-sia. Adu pukul antara tangannya dan tangan Markus justru membuatnya terhempas sejauh beberapa meter.
“Wohooo!!! Sekarang kau pakai Brajamusti, Gatot? Menyenangkan sekali!” ujarnya sembari bangkit berdiri dengan tangan kiri yang tampak terkulai – mungkin mengalami patah tulang.
Markus tidak menjawab. Alih-alih menjawab, kepalan tangan kanannya kini bersinar terang selagi ia mengucapkan untaian kata-kata yang asing di telinga Yudhi. Kembali ia melesat ke arah Yudhi. Sementara Yudhi mengubah dirinya kembali menjadi sebuah bola cadas dan langsung menggelinding ke arah Markus. Dua kepalan tangan Markus menghantam bola cadas jelmaan Yudhi sehingga kilatan energi terlihat menyala terang selama beberapa saat sebelum terdengar sebuah suara dentum. Bersamaan terdengarnya suara dentum itu baik Markus maupun Yudhi sama-sama terhempas ke arah yang berlawanan.
*****
Janggala merasa seluruh otot dalam tubuhnya seolah mencair. Seumur hidupnya, ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu lawan setangguh dan sekuat ini. Seumur hidupnya ia merasa dirinyalah yang paling kuat – terlebih setelah mendapatkan kemampuan mengendalikan api ini. Seumur hidupnya tidak pernah ada buruannya yang melawan seperti yang dilakukan prajurit TNI bernama Riyadi ini.
Dan sekarang Riyadi berdiri tegap di hadapannya dengan ekspresi muak. Riyadi menarik kerah baju pemuda itu dan melemparkannya ke dinding. Janggala mengerahkan sisa tenaganya dengan berkelit di udara sembari menembakkan lidah api ke arah Riyadi. Namun sisik-sisik mirip ular kembali keluar di sekujur tubuh Riyadi dan sekali lagi melindungi tubuhnya dari hantaman panas api.
“Heih!” Janggala melenguh karena merasa dirinya semakin lemah, namun belum ada perintah dari atasannya untuk mundur.
“Janggala,” terdengar suara dari tc-earphonenya, “Mundur!”
Perintah yang sudah ia tunggu sedari tadi akhirnya datang juga. Janggala berdiri dengan gamang dan berusaha lari, menjauh dari Riyadi. Namun Riyadi kembali mengeluarkan cambuk rantainya dan menyabetkannya ke arah Janggala. Janggala tersungkur lalu meronta-ronta ketika Riyadi menariknya kembali ke ruangan tadi.
“Saya tak bisa membiarkan orang sepertimu berkeliaran bebas di luar sana, Mas,” Riyadi menghantam wajah Janggala dengan bogem mentah dari tangan kanannya. Sekali, dua kali, tiga kali, hingga akhirnya Janggala tidak berdaya dan tidak mampu melakukan apapun selain mengerang lemah.
Melihat lawannya sudah tidak berdaya, Riyadi memasukkan jari-jemari tangan kirinya ke dalam mulutnya dan menyentuh lidahnya sembari merapal untaian kata-kata :
Dengan lidah ini :
Aku berbicara atas nama penguasa Sapta Pratala
Aku berbicara atas nama dharma
Dengan lidah ini :
Aku bertindak untuk memusnahkan adharma
Aku akan menghapus nama dan ragamu dari Arcapada
Dan mengirim jiwamu kepada kehidupan selanjutnya.
Wujud lidah Riyadi berubah menjadi wujud lidah yang mirip lidah ular – bercabang dua. Lalu dengan langkah pasti ia berjalan mendekat ke arah Janggala.
“Tunggu Antareja,” seekor burung perkutut tiba-tiba sudah bertengger di sebuah bingkai jendela, “jangan bunuh dia!”
Riyadi menoleh ke arah burung itu, “Kenapa Eyang? Bukankah dia ini musuh? Bukankah dia ini kalau tidak Kurawa ya sekutu mereka? Kenapa kita harus beri belas-kasih pada mereka?”
Burung perkutut itu mendekat dan membisikkan sesuatu di telinga Riyadi. Ekspresi muka Riyadi langsung berubah pasca mendengar kata-kata Antaboga. Dipandanginya Janggala selama beberapa saat dengan perasaan campur-aduk antara benci, marah, sedih, prihatin, dan iba lalu beranjak pergi dari tempat itu.
Sepeninggal Riyadi, tc-earphone di telinga Janggala kembali berbunyi. Suara seorang pria kembali terdengar dari seberang, “Janggala, di mana kamu? Kami sudah menjemput Dursala. Di mana kamu?”
“Saya,” Janggala berujar dengan lirih, “akan kirimkan koordinat saya,” pemuda itu menekan sebuah tombol pada arlojinya kemudian kembali terkulai lemah di antara puing-puing toko itu.
*****
Begitu keluar dari ruangan itu, Riyadi langsung menemukan sosok Markus tengah bersandar lemah di emperan sebuah toko pakaian yang tutup. Ada luka sayat di sekujur tubuhnya dan semacam luka bakar di kedua tangannya. Tapi begitu melihat sosok kakaknya ia malah tersenyum sambil melambaikan sebelah tangannya, “Hei!”
“Masih hidup saja kau ini,” Riyadi mendekati sosok adiknya itu dan mengacak-acak rambutnya.
“Oh masih dong,” jawab Markus sambil tertawa.
“Mana lawanmu?”
“Entah, dia terlempar jauuuh sekali ke sana,” telunjuk Markus menunjuk ke satu arah, “Bagaimana dengan si bocah api itu?”
“Dia kubiarkan hidup.”
“Eh? Kenapa?”
“Kau pasti takkan percaya kalau kuberitahu alasannya. Tapi sekarang,” Riyadi menekan beberapa tombol pada arloji komunikasinya dan menghubungi markas Dakara, “Musuh berhasil diusir. Target Markus Passaharya berhasil diamankan.”
“Dimengerti Letnan Riyadi. Agen lapangan akan segera menjemput anda.”
“Sekarang apa?” tanya Markus.
“Kita sekarang menunggu jemputan.”
“Rokok?” Markus mengeluarkan sekotak rokok dari balik saku celananya.
“Terima kasih,” Riyadi mengambil sebatang lalu menyulutnya dengan sebuah pemantik. Asap putih segera mengepul dari mulut kedua orang itu.
“Eh,” tiba-tiba Markus teringat sesuatu, “aku lupa.”
“Lupa apa?” tanya Riyadi.
“Di sini daerah bebas rokok,” Markus menunjuk ke tulisan ‘DILARANG MEROKOK DI AREA INI’ yang tertulis di atas aspal jalan.
“Bodo amat!” Riyadi tertawa dan terus menghisap rokoknya, “Toh tidak ada polisi yang lihat kita merokok selain kamu.”
“Haha, iya juga,” Markus turut meneruskan hisapannya.
Ketika batang rokok dua orang itu tersisa setengah, sebuah taksi anti-gravitasi muncul di hadapan mereka dengan pengemudinya seorang wanita.
“Letnan Riyadi dan Ipda Markus Passaharya?” tanya wanita itu.
“Yap, itu kami,” jawab Riyadi.
“Naik!” wanita itu membuka pintu palka di samping kemudi dan di bagian belakang sembari mengisyaratkan dua orang itu untuk segera naik.
“Boleh merokok di taksimu Nona Cantik?” tanya Riyadi dengan nada menggoda.
“Kalau kau tidak sayang pada gigimu Letnan, boleh-boleh saja,” jawab wanita itu.
Riyadi menatap ke arah Markus yang duduk di kursi belakang lalu mengulurkan tangannya untuk meminta batang rokok Markus. Markus segera menyerahkan batang rokoknya kepada Riyadi yang langsung dipadamkan Riyadi di sebuah asbak.
“Selama ini,” wanita yang mengemudi itu mulai bicara, “aku pikir ilmu magi di Nusantara ini cuma mitos, tapi setelah melihat aksi kalian tadi ... tampaknya aku harus merubah pikiranku.”
“Kau bukan dari Dakara?” tanya Riyadi.
“Bukan Letnan, aku dari BIN, divisi kontra-intelijen dalam negeri.”
*****
Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, 01.00 WIB
Pria yang memanggil dirinya dengan sebutan Jayadratha itu tampak mengamati sosok Yudhi alias Dursala yang tengah dirawat oleh dua orang dokter. Tangan kirinya patah dan tangan kanannya tampak terkulai lemas, otot-ototnya menjadi lembek seperti bubur serta tampak berair. Seorang pengawal berambut ikal dan berkulit hitam tampak didekati oleh Jaydratha, “Petrus, kau pernah melihat kondisi macam ini?”
Yang ditanya langsung menoleh ke arah Jayadratha dan mengangguk, “Ini adalah ilmu Ambus Pak, ilmu hitam dari Tanah Flores.”
“Kau tahu cara menyembuhkannya?”
“Jujur saya tidak tahu Pak, tapi para tetua di kampung asal saya mungkin tahu.”
“Apa kampung asalmu itu ada di pinggir pantai?”
“Tidak Pak, ada di tengah pulau.”
“Baiklah kalau begitu,” Jayadratha tampak menghampiri seorang anak buah kapal, “tolong sampaikan pada pusat kalau kita butuh helikopter untuk membawa Dursala ke Flores sekarang juga.”
“Baik Pak,” ABK itu segera keluar dari ruangan itu dan naik ke ruang kemudi.
Sementara menunggu jawaban dari pusat, pandangan Jayadratha teralihkan kepada Janggala yang tampak terduduk lemas di sudut ruangan. Ia menghampiri si pemuda yang wajahnya tampak lebam-lebam berlutut di hadapan si pemuda, “Hei, kamu yang namanya Janggala ya?”
“Iya Pak,” jawab Janggala.
“Kenalkan, saya Iksa Manggala Putra, suami Ibu Parwati.”
“Sebuah kehormatan bisa bertemu dengan anda Pak.”
“Tidak, justru aku yang senang. Aksimu tadi luar biasa, Nak. Sudah lama aku tidak melihat anak-anak muda setangguh itu.”
“Terima kasih Pak.”
“Jadi ...,” kata-kata Jayadratha terpotong oleh sebuah panggilan yang masuk melalui tc-earphone miliknya, “Maaf, permisi sebentar.”
“Ya, ada apa?” Jayadratha keluar dari kabin dan menerima panggilan itu.
“Jayadratha,” terdengar suara Duryodhana dari seberang.
“Oh Kakang Prabu rupanya. Ada apa?”
“Apa anak bernama Janggala ada bersamamu saat ini?”
“Iya, dia ada di sini.”
“Bagus! Lenyapkan dia malam ini juga!”
“Eh?” Jayadratha tampak terkejut, “Untuk alasan apa?”
“Citraksi dan Citrangada baru saja memberiku hasil tes DNA anak sialan itu. Dan coba tebak siapa dia? Dia itu Awatara Wisanggeni, putra Arjuna.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top