BAB XVII : MANDALA

Jakarta, 22.00 WIB

Kartawijaya tampak berjalan mengekor Sudrajat melalui lorong sebuah gedung perkantoran yang sudah sepi dan lengang karena hari sudah malam. Sudrajat tampak menghampiri sebuah pintu ruangan yang tampaknya adalah ruang seorang pejabat penting di kantor ini dan mendekatkan retina matanya di sebuah interkom.

Identitas diterima. Selamat datang Bapak Sudrajat. Bapak Sunardi bersedia menerima anda.

 

Pintu ruangan itu terbuka dan tampak di dalamnya lima orang pria tengah menghadap sebuah meja dan bermain kartu poker.

“Halo saudara-saudaraku!” Sudrajat menyapa kelima orang itu, lalu mendekat ke arah seseorang yang perawakannya mirip dengannya dan memperkenalkan Kartawijaya padanya, “Kakang Dursasana, ingatkah Kakang pada Kakang Prabu Baladewa?”

“Prabu Baladewa?” kelima pria itu berdiri dengan terhenyak lalu memberi hormat pada Kartawijaya – yang malah jadi kikuk dan kebingungan.

“Silakan duduk Kakang Baladewa,” seorang dari antara mereka bangkit berdiri dari kursinya dan memilih duduk agak jauh dari tempat itu. Kartawijaya sendiri langsung menduduki bangku yang diberikan kepadanya sambil menatap dalam-dalam ke arah pria yang dipanggil Dursasana itu.

“Sudrajat – atau aku harus panggil Dewala – sudah memberitahuku secara singkat mengenai kelahiran kembali kalian – para Kurawa –ke dunia ini. Tapi jujur, aku masih sulit percaya dan aku sama sekali tidak paham, bagaimana kalian bisa tahu aku ini Baladewa?”

“Anda sama sekali tidak mendapat kilas balik ingatan masa lalu Kakang Baladewa?” tanya Dursasana.

“Berupa apa?”

“Mimpi saat tidur atau kadang bayangan yang tiba-tiba muncul di benak kita saat kita tersadar penuh.”

“Sama sekali tidak. Dan sekali lagi aku tanya, bagaimana kalian bisa tahu aku ini Baladewa?”

Kali ini Sudrajat yang menjawab, “Sudah lama kami tahu bahwa relik berupa tongkat logam berujung bisula yang ditemukan beberapa tahun lalu dan disimpan di Museum Nasional itu adalah Nenggala. Kami, manusia awatara, mampu mendeteksi energi benda yang berupa astra. Kami sempat berusaha mengaktifkan astra satu itu, namun gagal.”

“Dari situ kami tahu bahwa setiap astra itu unik. Setiap astra hanya cocok dimiliki oleh satu orang. Melalui astra-astra itulah kami mampu mendeteksi identitas kami masing-masing. Mendeteksi mana kawan dan lawan kami,” sambung Dursasana.

“Lawan? Siapa lawan kalian?” tanya Kartawijaya.

“Siapa lagi? Tentu saja para Pandawa,” jawab Dursasana.

“Apa yang kalian lakukan pada mereka?”

“Pandawa dan Kurawa tidak bisa eksis dalam satu dunia Kakang Baladewa, karena itu pilihan bagi kami hanya satu : saling bunuh!” ujar Sudrajat geram.

“Pandawa telah membunuh dua puluh orang dari antara kami dan sebagai balasannya kami membunuh tiga dari mereka,” sambung Dursasana, “Tapi itu masa lalu. Yang tersisa dari Pandawa hanya tinggal Nakula dan Sadewa. Kami tidak lagi pernah terlibat perang dengan mereka. Apa yang ingin kami capai kini adalah sebuah tatanan baru yang mampu menyejahterakan segenap rakyat di negeri yang kami tinggali ini.”

“Dan apa yang hendak kalian lakukan?”

“Mulai dari bidang yang anda kuasai dahulu Kakang Baladewa, sudahkah Kakang tahu bahwa dalam 70 tahun terakhir ini jumlah perusahaan konstruksi nasional kita berkurang hingga 40 %?”

“Ya, tentu saja saya tahu soal itu.”

“Di permukaan para ekonom pasti akan berkata bahwa itu diakibatkan akibat berkurangnya pembangunan fisik pasca pembangunan kota metropolitan baru – Tenggara – 80 tahun yang lalu, tapi masalah sesungguhnya bukan itu kan?”

Kartawijaya mengangguk, “Profit keuntungan para pengusaha konstruksi terlalu kecil. Tender kini menjadi tidak transparan sehingga banyak oknum departemen-departemen negara yang mendatangi para pengusaha untuk minta uang suap. Belum lagi para pejabat pemerintahan di tingkat kota yang minta pembayaran ‘sogokan’ di muka, bahkan sebelum proyek berjalan.”

“Nah!” Sudrajat mengacungkan jempol kanannya, “Jika proyek itu masih terus berlangsung maka para pengusaha akan dapat untung, tapi bagaimana dengan yang dananya terhambat sehingga proyeknya terbengkelai?”

Dursasana menyambung perkataan adiknya, “Reputasi perusahaan itu ke depannya akan menurun dan di sisi lain mereka tidak mendapat keuntungan yang maksimal dari proyek yang mereka jalani sebelumnya. Dalam kondisi seperti ini satu-satunya cara mereka mempertahankan hidup adalah dengan menjalin koneksi dengan para pejabat korup, mengandalkan jaringan koneksi macam itu untuk mendapatkan tender.”

“Tapi jika ketahuan pers, wuah! Hancurlah sudah!” sambung seorang lain yang duduk di samping Kartawijaya.

“Pemberitaan pers akan menghancurkan kredibilitas sebuah perusahaan secara total. Dan karena hal itulah perusahaan-perusahaan konstruksi kita saat ini sedang mati secara perlahan-lahan. Dan itu baru sektor konstruksi, bagaimana dengan sektor lainnya? Sektor pertambangan, industri senjata, kapal laut, pesawat terbang, dan sebagainya?” ujar Dursasana.

“Saya tahu arah pembicaraanmu Dursasana,” ujar Kartawijaya, “kau mengusulkan untuk membentuk sebuah mandala – kesatuan dalam naungan sebuah organisasi – kan?”

“Ya, mandala yang benar-benar mandala. Yang dipimpin oleh Kakang Duryodhana dengan kami semua sebagai pengendalinya,” jawab Sudrajat.

“Tapi model seperti ini rentan akan terjadinya korupsi dan terhitung nepotisme,” sanggah Kartawijaya.

“Anda kenal kami sejak dulu kan Kakang Baladewa? Kapan kami mengambil sesuatu yang bukan jatah kami? Kapan kami menuntut sesuatu yang bukan hak kami? Bharatayudha terjadi karena Pandawa masih saja menuntut tanah yang bukan hak mereka. Lagipula sepanjang Kakang Duryodhana memerintah, jarang sekali ada rakyat Hastina yang kelaparan kecuali jika terjadi kemarau panjang atau bencana alam. Masyarakat memuja-muja Yudhistira sebagai raja paling bijak di atas muka bumi, tapi bisa apa dia tanpa saudara-saudaranya? Angkatan perang diurus oleh Bratasena dan Arjuna, ekonomi dan kesehatan diurus oleh Nakula dan Sadewa. Sementara dia? Hanya mengkaji dan mengkaji pemikiran para filsuf kuno yang pemikirannya tak lagi relevan di zaman kami.”

Ada sekilas ingatan masa lalu terlihat di benak Kartawijaya. Dalam penglihatan itu tampak seorang berkulit gelap, berpakaian kain satin berkilau dan berhiaskan aneka perhiasan serta mahkota emas tampak tengah berbicara di hadapan banyak orang yang rata-rata mengenakan mahkota emas di kepala mereka – para raja.

“Saudara-saudara sekalian, kita semua hadir di sini untuk berbicara mengenai Indraphasta yang kini tengah dikuasai oleh Prabu Duryodhana. Seperti yang telah kita ketahui, Indraphasta adalah hak Pandawa, tanah yang diberikan oleh Prabu Drestharata pada Pandawa untuk dikelola. Namun dalam pertandingan dadu 12 tahun yang lalu Pandawa harus menyerahkan wilayah itu kepada para Kurawa karena mereka kalah judi. Kini 12 tahun telah lewat, Pandawa kini menuntut kembali haknya dan aku – Kresna – telah datang ke Hastina untuk membicarakan persoalan ini kepada Prabu Duryodhana. Tapi apa yang aku dapat? Rentetan kata-kata berbisa telah keluar dari segenap mulut para Kurawa. Rentetan kata-kata macam itu tidak layak diucapkan oleh para Kesatria! Dari mulut kaum Sudra pun tidak! Jadi sekarang saudara-saudara, siapa yang akan maju bersamaku, bersama Pandawa, untuk membasmi si raja zalim Prabu Duryodhana ini?”

 

“Aku!” seorang raja bangkit berdiri.

 

“Aku!” dua orang raja lagi ikut berdiri.

 

“Aku! Aku! Aku!” para raja yang hadir di sana nyaris semuanya berdiri.

 

Tidak dengan Kartawijaya, dalam penglihatan itu ia merasakan dirinya bangkit dari duduknya dengan enggan lalu berujar, “Saudaraku Kresna, mohon maaf aku harus undur diri dari pertemuan ini. Apa yang Saudara Kresna katakan ada benarnya, tapi di sini aku hendak bertindak netral. Hatiku memang lebih terpagut pada Kurawa daripada Pandawa, tapi ini bukan berarti aku membenci Pandawa. Tidak, tidak sama sekali. Namun haruskah masalah macam ini diselesaikan dengan perang? Menumpahkan darah atas sebidang tanah yang ... oh ya ampun, sekecil itu?”

Kilas pandangan itu menghilang dan Kartawijaya mendapati para Kurawa yang tadi berbincang dengannya menatapnya dengan khawatir.

“Kakang Baladewa?” Sudrajat mengguncang-guncangkan bahu Kartawijaya.

“Um ya,” Kartawijaya menyahut secara spontan.

“Anda tadi sempat hilang kesadaran selama beberapa menit. Ada apa Kang?”

“Kilas masa lalu. Pertemuan akbar para raja, Sri Kresna dan para sekutu Pandawa.”

“Oh, anda sudah mulai melihat kilasan masa lalu? Itu bagus!” ujar Dursasana gembira.

“Aku membantu kalian,” ujar Kartawijaya kembali, “aku memihak kalian. Tapi atas dasar apa?”

“Kebenaran Kakang Prabu,” jawab Dursasana, “Kakang Prabu melihat kebenaran yang terkubur di balik opini publik. Kakang Prabu masih menyaksikan hal-hal baik yang telah kami lakukan untuk Hastina, lepas dari opini sebagian besar raja-raja itu.”

Kartawijaya memijit-mijit pelipisnya yang terasa pening sementara Sudrajat langsung beranjak ke sebuah lemari obat dan menekan panel kontrolnya lalu mengambil sebotol obat pereda nyeri.

“Minum dulu Kakang Baladewa,” Sudrajat menyodorkan botol obat itu beserta segelas air pada Kartawijaya. Kartawijaya langsung meminum satu kapsul dan menenggak habis segelas air itu.

“Apa Kakang sudah merasa baikan?” tanya Dursasana.

“Tampaknya iya,” jawab Kartawijaya.

“Dewala,” Dursasana melirik ke arah Sudrajat, “antarkan Kakang Baladewa pulang ke rumahnya.”

*****

Narada tampak berdiri dengan gelisah di hadapan sebuah apartemen yang dihuni oleh Kartawijaya. Ada selubung kekuatan tak kasat mata yang membatasi geraknya. Ia tidak bisa masuk ke dalam apartemen itu lagi seperti malam-malam sebelumnya. Karena itulah ia memilih menunggu di taman air mancur yang ada di depan bangunan apartemen, berharap akan melihat Kartawijaya saat pulang nanti.

“Menunggu seseorang Narada?” ada suara seseorang menyapanya. Suaranya lembut menggoda, suara seorang wanita, namun Narada – sebagai makhluk kahyangan – langsung merasakan adanya energi hitam dalam kata-kata itu.

Narada menoleh ke arah sumber suara itu dan menyaksikan sesosok wanita cantik dengan rambut lurus yang diurai sebahu. Wanita itu mengenakan pakaian tertutup serba merah dan matanya menatap Narada dengan tatapan penuh nafsu membunuh.

“Raksasi – raksasa wanita! Mau apa kau kemari?” bentak Narada.

“Justru aku yang harusnya bertanya apa keperluanmu datang kemari, Narada.”

“Aku datang kemari atas perintah kahyangan!”

“Dan aku datang atas perintah Yang Mulia Aswathama untuk memberimu peringatan terakhir. Pergilah dari sini sesegera mungkin Narada, jangan pernah muncul di hadapan Baladewa lagi. Ia secara sukarela telah bergabung dalam Mandala para Kurawa dan bersama-sama mereka, ia akan membangun Hastina baru di atas negeri ini.”

“Kau mencoba mengancamku heh, Raksasi? Ayo serang kalau kau berani.”

Wanita itu menyeringai lalu menjentikkan jarinya hingga sekumpulan pria dan wanita muncul dari balik kegelapan dan berjalan mendekati Narada, “Perkenalkan Narada, ini teman-temanku.”

“Oh sial!” rutuk Narada.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top