BAB XVI : SURABAYA YANG KEMBALI MENJADI MEDAN LAGA

Markas Dakara, Surabaya, 21.20 WIB

Di dalam Markas Dakara, Riyadi yang telah menyerahkan chip ‘bermasalah’ itu pada para operator kini tengah menunggu hasil analisa para operator yang sudah berjam-jam mengutak-atik arsip di dalamnya.

“Masih belum?” tanya Riyadi jemu.

“Sabar Pak,” ujar seorang operator, “Chip ini diproteksi sejumlah enkripsi rumit. Membuka arsipnya dengan cara konvensional tidak bisa dilakukan karena isinya seolah hanya file-file biasa.”

“Perlu berapa jam lagi?”

“Setidaknya empat jam lagi,” jawab operator yang lain.

“Oke,” Riyadi beranjak berdiri, bermaksud turun sejenak untuk memesan satu atau dua gelas kopi di warung tenda ketika seorang operator memanggilnya, “Pak, ada keributan di Kya-Kya Kembang Jepun. Sensor identitas menunjukkan Iptu Markus Passaharya terjebak dalam keributan itu.”

Riyadi mendelik dan berjalan mendekat ke arah operator tersebut, “Ada pergerakan aparat TNI atau POLRI?”

“Dua peleton BRIMOB[1] tengah bergerak ke sana.”

“TNI?”

“Kekuatan TNI di Surabaya sebagian besar tengah dialihkan untuk memadamkan konflik di Pantai Utara Bali dan Sumbawa, Pak. Laskar Pralaya tengah berulah di sana.”

“Apa aku dapat izin untuk bertindak ofensif di saat begini?” tanya Riyadi.

“Pak, anda sudah diberi hak khusus untuk mengambil tindakan yang dirasa perlu. Apa sekarang Bapak merasa perlu ambil tindakan?”

“Ya.”

“Kalau begitu,” sang operator kembali menatap layar monitor di hadapannya, “kami akan mengalihkan perhatian BRIMOB untuk sesaat selagi Bapak membawa keluar Iptu Markus Passaharya dari tempat itu. Sementara itu kami juga akan pastikan seluruh jaringan kamera CCTV tidak merekam aksi anda.”

“Terima kasih,” Riyadi bergegas keluar dari ruangan itu dan berjalan menuju ruang di sisi lain gedung. Di sana ia membuka sebuah pintu ruang yang di dalamnya berisi aneka senjata. Riyadi dengan cepat mengambil beberapa granat asap dan granat berdaya ledak rendah, beberapa magasin pistol lalu kembali keluar dari ruangan itu dan turun ke lantai dasar.

*****

Kya-Kya Kembang Jepun, Surabaya, 21.20 WIB

“Apa saya mengenal anda?” tanya Markus sembari mengarahkan senjatanya ke arah pria kekar yang menyapanya.

“Ow hehehe, rupanya kau sudah melupakan saya, Gatot. Jujur saja aku juga pangling padamu, lebih-lebih karena kamu lahir sebagai orang Kepulauan Timur di abad ini. Hehehe,” pria kekar berotot itu maju sembari mengulum senyum yang bagi Markus terlihat menyebalkan.

“Siapa kau? Dan kenapa kau menembaki aparat negara?”

“Wew? Yang memberi perintah menembak bukan aku. Aku di sini cuma disuruh membunuh satu target, yaitu dirimu. Hehehe!”

“Kau,” Markus makin mendekat ke arah pria itu, “ikut saya ke kantor polisi!”

“Kantor polisi?” kali ini seorang pria menyahut dari belakang Markus, “Bukan pilihan yang bakal kami ambil.”

“Siapa?” Markus berbalik dan menodongkan senjatanya ke arah pria yang menyahut perkataannya barusan. Tangan kanan pria itu tampak diselubungi oleh kobaran api.

“Dua lawan satu Gatot, aku sarankan kau menyerah saja agar kematianmu tidak terlalu sakit. Hehehehe!” pria berotot itu masih juga terkekeh.

Markus memandang langit malam yang cerah dengan bulan purnama yang bersinar keperakan. Bukan cuaca yang buruk untuk terbang melayang di atas kota sebagai alternatif untuk melarikan diri, pikirnya.

Sementara itu kedua pria itu semakin mendekat ke arah Markus. Si pria berotot melepas sarung tangannya dan menyibakkan kepalan tangannya yang tampak tersusun atas otot-otot keras dan berhias cincin berukir di setiap jarinya. Sementara pria satunya lagi semakin mendekat ke arah Markus dengan tangan kanan yang mengobarkan api.

Markus mengambil nafas dalam-dalam sembari menutup mata untuk sesaat. Dua detik kemudian ia menghantamkan kaki kirinya kuat-kuat ke jalanan berpaving dan melesatlah tubuh pria Maluku itu ke angkasa.

“Eh?” baik si pria berotot maupun pria bertangan api itu terperanjat menyaksikan Markus terbang melayang meninggalkan mereka.

“Sial!” si pria bertangan api itu menoleh ke arah rekannya, “Tuan Yudhi, saya akan mengejarnya! Tuan tunggu saja di sini.”

“Oh aku juga akan ikut, Janggala,” pria berotot itu menghentakkan kakinya ke atas tanah lalu mulai melayang dan akhirnya melesat mengejar Markus.

Janggala melongo sesaat – tidak menyangka ada orang-orang selain dirinya yang punya kekuatan melawan gravitasi – sebelum akhirnya turut melayang, mengejar Markus dan rekannya itu.

*****

Markus mengira dirinya bakal lolos saat sudah melayang di angkasa, sayangnya ia salah. Alih-alih lolos, kedua orang yang ia temui ternyata bukan orang sembarangan. Markus mengarahkan senjatanya ke arah Yudhi – si pria berotot – dan menembak sebanyak enam kali namun peluru-peluru itu seperti tengah menghantam dinding cadas yang solid dan keras.

“Yoo Gatot! Panah, pedang, gada, dan peluru takkan bisa melukaiku! Tinju Brajamusti pun tidak!” ledek Yudhi sembari menggulung dirinya sedemikian rupa sehingga tubuhnya seolah membentuk sebuah bola. Bola itu kemudian berubah menjadi bola batu cadas yang langsung melesat ke arah Markus dan menghantam pria Maluku itu hingga terjatuh kembali ke bumi.

Tubuh Markus terbanting di atap berlantai beton sebuah gedung bertingkat sementara bola cadas jelmaan Yudhi terus berguling hingga membentur aspal. Ia merasa seperti habis ditabrak truk tronton – dalam arti harafiah. Hantaman pria berotot tadi membuat luka gores di dadanya, yang mulai mengucurkan darah.

“Bangsat,” Markus merutuk sesaat sebelum Janggala tiba di hadapannya dengan kedua tangan yang diselimuti kobaran api.

“Salam Pak Polisi,” sapa Janggala dengan keramahan yang dibuat-buat, “Sudah siap naik ke bus menuju akhirat?”

“Heeh,” Markus berdiri dan mulai mengambil posisi kuda-kuda. Tak berapa lama kemudian Janggala melesat dan melayangkan tinju apinya ke kepala Markus. Markus berkelit, dan menyapukan kaki kanannya sehingga membuat Janggala terjungkal. Tangan kanan Markus sudah bersiap untuk menghantam Janggala, namun dengan kemampuannya melawan gravitasi, Janggala melesat menjauh dari tempat itu.

Janggala melemparkan bola api ke arah Markus, Markus menepis bola api itu dengan tangan kanannya, membuat Janggala sedikit terkejut melihat lawannya tampak tidak terpengaruh serangannya. Namun dengan gesit, pemuda itu kembali melesat dan melayangkan tinju api ke arah kepala Markus. Tinjunya mendarat dengan tidak sukses, Markus menangkis serangannya dengan tangan kirinya lalu mencengkeram tangan kanannya dan memutar-mutar dirinya hingga ia terlempar ke sebuah griya tawang apartemen yang bersebelahan dari gedung tempat Markus berpijak.

Markus baru saja bersiap untuk terbang ke gedung apartemen sebelah ketika sebuah bola cadas tampak melayang turun dari angkasa menuju ke arahnya. Pria Maluku itu berguling ke samping dan bola cadas itu menghantam lantai beton hingga sebagian ubinnya remuk.

“Wew,” bola cadas itu berubah rupa menjadi sosok Yudhi – pria plontos berotot dengan senyum yang tidak bisa hilang dari wajahnya, “Kau semakin lamban Gatot.”

“Siapa kau?” bentak Markus yang mulai sebal pada pemandangan wajah pria di hadapannya itu.

“Namaku di masa ini Yudhi Wibowo. Tapi nama asliku harusnya kau tahu kan? Kita pernah menghabiskan waktu bersama-sama Raja Pringgadani. Waktu itu aku kalah, tapi sekarang giliran kamu yang kalah. Hohohohoho!”

‘Raja Pringgadani’ – kata-kata itu menimbulkan sekilas bayangan dalam benak Markus. Dalam kilasan itu ia melihat dirinya dalam sosok yang sama sekali lain. Warna kulitnya lebih terang daripada dirinya yang sekarang, otot-ototnya lebih kekar dan kukuh, ia mengenakan sebuah zirah tanpa lengan berwarna hitam dengan simbol bintang di dadanya. Dan di hadapannya tampak sesosok kesatria yang berzirah logam kuning tampak tengah menggelung dirinya menjadi sebentuk bola cadas yang melaju ke arahnya – sama seperti lawannya saat ini.

“Kau Dursala, putra Dursasana!” desis Markus.

“Bingo! Akhirnya kau ingat juga Gatotkaca!”

*****

Berjarak sekitar beberapa blok dari tempat pertarungan Markus dan Yudhi, tampak seorang pria bertopi pet merah, berkumis serta berjanggut tipis, tengah berdiri menunggu bersama beberapa pria lainnya. Semua pria itu tampak tengah menunggu sesuatu sementara pria bertopi merah itu tampak berbincang dengan seseorang melalui tc-earphone.

“BRIMOB sedang menuju kemari Say, kau ingin aku hancurkan mereka atau buat mereka kocar-kacir saja?”

Terdengar suara seorang wanita dari seberang, “Hancurkan saja sekalian.”

“Kau yakin?”

“Tentu, toh yang disalahkan nantinya juga Laskar Pralaya.”

“Oke,” pria itu memutus sambungan lalu melirik pada rekan-rekannya, “Baiklah teman-teman, waktunya kita menebar ranjau.”

Pria-pria itu mengeluarkan sebuah kotak berisikan beberapa buah bola berduri dari tas mereka masing-masing. Mereka menekan tombol pada bola-bola berduri itu lalu melemparkannya ke jalanan yang ada di hadapan mereka. Setelah melakukan itu, mereka merapatkan diri ke dinding sebuah gang sempit – menunggu.

Dua buah kendaraan angkut personel lapis baja bertuliskan BRIMOB tampak mendekat ke arah gang di mana sang pria bertopi merah dan rekan-rekannya bersembunyi. Dua kendaraan lapis baja itu baru saja hendak memasuki area Kya-Kya ketika bola-bola berduri yang ada di bawah mereka tiba-tiba meledak. Satu kendaraan terlontar hingga enam meter ke udara dan jatuh dalam posisi terbalik dan terbakar. Sementara yang satunya lagi terlontar dan menghantam dinding. Para personelnya segera keluar menyelamakan diri namun mereka segera dihujani rentetan tembakan dari kelompok pria bertopi merah tersebut.

Beberapa personel BRIMOB tersebut selamat dari rentetan tembakan dan balas menembak. Si pria bertopi merah itu memberi isyarat pada rekan-rekannya untuk terus menembak sementara ia sendiri berjalan mendekat ke arah kendaraan lapis baja tersebut. Sebuah cincin bermata batu kuning di tangannya menyala terang bersamaan dengan kata-kata yang berdesis dari mulutnya, “Astra Gada Rujakbeling!”

Sebuah gada berwarna kuning tembaga termaterialisasi di tangan pria bertopi merah tersebut. Begitu tangannya menggenggam gada tersebut, ia segera melemparkan gada itu ke ke kendaraan lapis baja yang terguling. Gada itu menancap di pipa bahan bakar kendaraan tersebut dan menimbulkan sebuah ledakan yang menghanguskan sejumlah anggota BRIMBOB yang tadinya menggunakan kendaraan itu sebagai tempat berlindung. Suara-suara jeritan histeris aparat-aparat yang tengah terbakar itu membahana selama beberapa saat sebelum beberapa butir peluru mengakhiri penderitaan mereka.

Gada yang tadi dilempar oleh si pria bertopi merah itu kini kembali padanya dan kembali menjadi wujud sebuah cincin bermata batu kuning transparan. Tc-earphonenya kembali ia nyalakan, “Say, aku sudah habisi para BRIMOB itu.”

“Bagus sekali, Suamiku,” suara wanita itu kembali terdengar, nada suaranya mesra dan menggoda, “Kau memang yang terbaik.”

Pria itu terkekeh sesaat, “Mulai detik ini, dunia harus tahu diri untuk tidak pernah buat masalah dengan seorang Jayadratha.”

*****

Janggala sempat tak sadarkan diri sesaat setelah kepalanya membentur sekumpulan beton yang berfungsi sebagai pot tanaman. Dirinya terhuyung untuk sesaat ketika kembali bangun sebelum akhirnya bisa berdiri dengan normal kembali. Matanya menyaksikan bahwa Yudhi dan Markus masih saling baku hantam di bangunan sebelah. Meski sudah tampak jelas bahwa si pria Maluku itu tengah terdesak, tapi ia tidak bisa membiarkan begitu saja si pria botak berotot itu mengambil seluruh kesenangan begitu saja. Janggala mengambil ancang-ancang, bersiap untuk meloncat kembali ke gedung sebelah ketika sebuah rantai terlontar dari atap sebuah gedung yang bersebelahan denga gedung tempat ia berada dan menjerat kakinya. Janggala terhenyak dan tak sempat melawan ketika rantai itu menariknya ke sebuah atap gedung bertingkat dan membuat dirinya terbentur berkali-kali di lantai beton.

“Bangsat, siapa?” Janggala mengutuk.

“Halo Mas, kita ketemu lagi,” sosok Riyadi tampak berdiri tegap sambil menenteng sebuah rantai besi yang bersinar temaram keperakan ditimpa cahaya lampu-lampu malam.

“Oh, Pak Tentara rupanya. Ada gerangan apa saya mendapat kehormatan seperti ini lagi?”

“Oh bukan apa-apa kok, kau hanya nyaris mencelakakan adik saya saja.”

“Adik?” Janggala menelengkan kepalanya, “Oh, dia,” kepalanya kini menoleh pada adegan pertarungan Markus dan Yudhi.

“Kalian bergerak atas perintah siapa? Satyawati Corp. atau Hastinaputra Corp.?”

“Bukan urusanmu!” Janggala bangkit dan langsung melesat ke arah Riyadi, menghantam prajurit itu hingga terlontar, nyaris ke pinggir atap. Tapi Riyadi berkelit bak seekor ular dan balas menghantamkan sebuah pukulan hook ke pipi Janggala. Janggala terlempar oleh tenaga pukulan di luar batas kewajaran manusia itu sehingga kini adalah gilirannya terpojok hingga pinggir atap.

Rantai di tangan Riyadi melesat kembali dan membelit kaki kiri Janggala dan sekali lagi Riyadi membanting Janggala hingga tubuh pemuda itu menghantam lantai-lantai beton dan sebuah tiang penyangga yang belum selesai dibangun.

“Auh,” Janggala merasa seluruh tubuhnya sakit namun ia masih tetap berdiri menantang lawannya. Riyadi sendiri kagum atas ketahanan fisik pemuda itu, tidak banyak orang yang bisa tetap hidup setelah ia serang seperti itu.

“Jadi Mas, beritahukan aku siapa namamu!” Riyadi melingkarkan rantai miliknya di kedua tangannya dan mengambil posisi kuda-kuda untuk menyambut serangan lawannya.

“Janggala. Aji Ranta Janggala.”

 Dahi Riyadi mengernyit mendengar nama itu, seingatnya tidak ada satupun Adipati Hastina ataupun raja-raja yang bergabung dengan Kurawa pada masa lalu yang bernama seperti itu, “Maksudku nama aslimu.”

“Itu nama asliku!” bentak Janggala.

“Ah sudahlah, mari kita selesaikan saja semua ini Mas,” Riyadi merentangkan kedua tangannya yang dengan sengaja ia belit dengan rantai sementara api di kedua tangan Janggala kembali berkobar. Janggala menerjang dan melayangkan pukulan ke arah Riyadi, Riyadi menangkisnya dengan belitan rantainya, merasa belum kalah Janggala menendang sisi kanan Riyadi dengan lutut kirinya. Riyadi bergeming atas serangan itu dan balas membelenggu tangan Janggala dengan rantai miliknya. Janggala yang menyadari bahwa kondisi pertarungan ini semakin tidak menguntungkan baginya, menghentakkan kaki kanannya kuat-kuat di lantai beton dan membawa dirinya beserta Riyadi melesat ke udara.

“Cih!” Riyadi merenggut sebal ketika menyadari kecerobohannya. Pertarungan udara sangat tidak menguntungkan baginya. Ia berusaha keras mengarahkan tubuhnya ke bawah sedemikian rupa untuk mempengaruhi titik berat mereka sehingga Janggala tidak terus naik, tapi pemuda lawannya ini ternyata punya kekuatan di luar dugaannya. Janggala terus naik dan naik hingga akhirnya mereka menembus sekumpulan awan. Suhu di ketinggian ini menurun drastis, baik Riyadi maupun Janggala mulai merasa kedinginan, tapi setidaknya Janggala masih bisa menghangatkan diri dengan kobaran api yang muncul dari tangannya.

Begitu tiba di ketinggian tertentu – yang tampaknya adalah ketinggian maksimal yang mampu dicapai Janggala – Janggala meronta, membebaskan diri dari belitan rantai Riyadi. Riyadi berusaha menahannya, namun sia-sia. Janggala akhirnya terbebas dan Riyadi langsung terjun bebas ke bumi.

Janggala sendiri memekik keras. Kobaran api di tangannya semakin membesar dan membesar hingga akhirnya menyelimuti seluruh tubuhnya. Sesudah itu ia lakukan, ia melontarkan seluruh api yang menyelimuti tubuhnya itu ke arah Riyadi yang tengah terjun bebas.

Riyadi menatap ngeri pada sebuah kobaran api raksasa yang tengah menuju ke arahnya sementara ia tengah terjun bebas dari angkasa. Ia tidak bisa bermanuver di udara dan sialnya lagi ia tidak membawa parasut atau pakaian bersayap. Otaknya berputar mencari cara untuk mengalihkan kobaran api itu namun ia segera sadar bahwa itu mustahil.

“Terpaksa deh,” Riyadi mendesah lalu melepaskan sabuknya yang berisi beberapa buah granat dan melemparkannya ke bawah, kemudian ia mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat dan berkonsentrasi penuh. Sisik-sisik mirip sisik ular berwarna kehijauan mulai bermunculan di sekujur tubuhnya, tepat sedetik sebelum kobaran api itu menelannya bulat-bulat.

*****

Tubuh seorang Yudhi Wibowo ini keras bagai karang, begitu pikiran yang terlintas di benak Markus. Ia sudah menghantam kepala pria botak tukang senyum ini berkali-kali, bahkan sampai menghantamnya dengan sebuah beton konstruksi namun tidak juga membuat si pria ini berhenti menyerang. Otot-otot tangannya sudah nyeri menahan serangan-serangan dari lawannya dan luka gores yang ia alami sudah semakin banyak. Hal yang paling mengganggunya adalah luka sayat di dahinya yang tak henti-hentinya mengucurkan darah – dan sesekali mengganggu pandangannya karena darahnya mengalir ke mata.

“Kok kamu semakin payah Gatot? Tampaknya kisah pewayangan harus dirombak sampai 100%, terutama bagian yang menceritakan keperkasaanmu itu. Haha!” Yudhi tertawa mengejek sembari merentangkan tangannya. Sejumlah besar bebatuan melayang ke tangan Yudhi dan berubah rupa menjadi sebuah bilah pedang batu cadas.

Orang ini kuat.  Gumam Markus dalam hatinya. Kalau aku tidak bisa kabur bisa-bisa aku jadi mayat di sini.

“Kenapa Gatot? Gemetar? Takut?”

Sejumlah tabung berwarna perak tiba-tiba saja menggelinding ke arah Markus dan Yudhi.

“Eh?” perhatian Yudhi teralihkan sesaat pada tabung-tabung itu, tangannya memungut satu di antaranya.

Sementara Markus yang melihat perhatian lawannya teralihkan langsung melesat terbang, menjauh dari tempat itu.

“Hei!” Yudhi memekik, “Urusan kita belum selesai!” tanpa ia sadari tangannya mencengkeram tabung itu terlalu keras sehingga tabung itu pecah dan mengeluarkan sejumlah besar asap putih tebal.

“Ho, hei!” Yudhi meraba-raba sekitarnya dengan panik, matanya terasa pedas akibat terpapar asap putih tersebut sementara targetnya sudah meloloskan diri darinya.

*****

Dari atas sebuah bangunan pusat perbelanjaan tampak seekor kucing liar jantan berwarna abu-abu tampak mengamat-amati arah larinya Markus serta kondisi Yudhi yang tampak kebingungan di tengah-tengah kabut asap tersebut.

“Bantuan tidak langsung Antaboga?” seorang pria yang mengenakan topeng wajah berwarna merah tampak mendekat ke arah kucing tersebut.

“Granat itu bekerja dengan baik. Aku kagum pada kreativitas manusia masa kini,” mulut kucing itu mengeluarkan suara bariton seorang pria.

“Antareja mana?”

“Masih mengurus lawannya.”

“Antaboga, kalau Antareja sampai bunuh pemuda itu pasti ada yang marah besar padamu.”

“Ya, ya, aku tahu. Maka dari itu,” Antaboga merubah dirinya menjadi seekor burung perkutut berwarna coklat keabu-abuan, “aku akan berusaha hentikan mereka sebelum salah satu dari mereka terbunuh.”

[1]Brigade Mobil – Polisi yang dilatih untuk perang dan mengatasi huru-hara.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top