BAB XV : PERBURUAN

Surabaya, 13.00 WIB keesokan harinya.

Ada setidaknya puluhan layar hologram berisikan fakta-fakta yang ditemukan di sebuah TKP terbentang di hadapan Markus. Mata polisi muda itu menelusuri satu demi satu layar hologram itu sambil sesekali membuat catatan di sebuah layar hologram yang ia bentangkan di atas mejanya. Setelah sekian lama mencoret-coret di atas layar itu, ia mulai menarik satu layar ke hadapannya lalu mengisi sejumlah kolom yang tersedia dalam layar yang ternyata adalah form itu. Beberapa saat kemudian ia menekan pilihan ‘kirim’ pada layar tersebut dan sebuah suara terdengar : Laporan Terkirim.

Mata Inspektur Polisi itu mengerjap-ngerjap untuk sesaat sebelum menutup semua layar itu dan membuka sepuluh layar lainnya. Sepuluh layar yang memuat info kasus lain yang butuh ia analisa dan harus ia laporkan, dan ia harus melakukannya dengan cepat sebelum tiba waktunya ia harus turun ke jalan.

“Inspektur,” terdengar suara seorang polisi yang menghampiri mejanya.

“Ya Ikhwan? Ada apa?”

“Anda masih ingat dengan pria yang mengenal Nyonya Maryati, korban pembunuhan di Tamansari Boulevard beberapa waktu yang lalu?”

“Ya, tunggu ... jangan bilang,” Markus mendesah lalu menundukkan kepalanya.

“Ya Pak, pria itu sudah tewas. Ditemukan tewas di Pelabuhan Gilimanuk sekitar tiga jam yang lalu. Penyebab kematiannya karena tenggelam.”

“Terima kasih karena sudah memberitahuku Ikhwan.”

“Satu lagi Pak, Iptu Alex mengundang Bapak dan seluruh staff Reserse Kriminal untuk datang ke The Canton House di Kya-Kya nanti malam. Pesta perpisahan.”

 “Oh, jam berapa?”

“Delapan malam Pak.”

“Oh oke,” Markus memutuskan untuk mempercepat pembuatan laporannya ketika secara tiba-tiba seluruh layar hologram di hadapannya menghilang.”

“Hei!” Markus menggerutu ketika menyadari bahwa layar-layar berisi laporannya tiba-tiba sudah menghilang dari komputernya. Bahkan datanya pun tidak ada. Markus langsung berdiri dan berseru pada seorang polisi muda yang ada di pojok ruangan, “Hadi, komputer saya tampaknya rusak lagi.”

“Sebentar Pak,” polisi yang tengah menyeduh kopi itu langsung berjalan menghampiri meja Markus lalu mengamati komputer kerja milik Markus selama beberapa saat.

“Bukan komputer anda yang rusak Pak, tapi sistem kita sedang diperbaharui. Anda tidak akan bisa mengerjakan laporan apapun setidaknya sampai besok, Pak.”

“Eaaa! Kok cerdas? Ya sudahlah, terima kasih lho Di,” Markus mengambil jaket kulit hitamnya yang tersampir di sebuah gantungan lalu berjalan keluar dari ruangan itu dan beranjak ke ruangan sebelahnya di mana ia menepuk bahu seorang polisi berpakaian sipil yang tengah membaca koran virtual.

“Patrolinya sekarang, Mukhlis. Kau yang setir pertama.”

“Siap Pak,” polisi itu langsung bangkit berdiri dan berjalan bersama Markus keluar dari kantor itu. Di depan kantor polisi tersebut ada sebuah mobil station-wagon bercat biru usang. Mukhlis membuka pintu kemudi dan masuk ke dalamnya diikuti Markus meduduk di kursi samping pengemudi.

“Ayo Khlis, kita ke Kertajaya.”

*****

Di sisi lain dari kota Surabaya, Riyadi baru saja tiba di pelataran sebuah gedung berlantai 35 setelah sebelumnya mendapat sekumpulan memo perintah di arlojinya. Perintah yang mengharuskannya mengambil sekumpulan data di sebuah gedung milik Depkominfo yang ada di daerah Sidoarjo. Dirinya sempat berpikir, mengapa data ini tidak dikirim via surel saja? Kenapa harus diambil oleh seseorang? Namun insting prajuritnya segera menepis pikiran-pikiran itu.

Riyadi masuk ke dalam gedung itu, menunjukkan kartu identitasnya sebagai agen BIN kepada resepsionis sebelum akhirnya diantar naik ke lantai teratas dengan sebuah lift khusus yang tersembunyi di belakang meja resepsionis.

Ketika lift itu sudah sampai di lantai teratas, sang wanita resepsionis segera membawanya menemui sekumpulan orang yang duduk bekerja di hadapan sebuah komputer raksasa – sebuah superkomputer.

“Dari Dakara?” tampak seorang dari mereka – seorang pria berusia empat puluhan dengan rambut sudah mulai memutih – bangkit berdiri dan menyalami Riyadi.

“Ya,” jawab Riyadi singkat.

“Ini datanya Pak,” pria itu menyerahkan sebuah chip kepada Riyadi, “tolong pastikan data ini sampai dengan selamat.”

Dahi Riyadi mengernyit, “Apa maksudnya sampai dengan selamat?”

“Saya tidak bisa berkata lebih jauh lagi. Pokoknya pastikan saja Dakara dan BIN mengetahui soal isi chip ini.”

Riyadi mengambil sebuah kotak hitam dari balik jaketnya lalu memasukkan chip itu ke dalamnya lalu menekan sejumlah nomor kombinasi di layar virtual yang timbul di dalam kotak itu sebelum memasukkannya kembali ke dalam saku jaketnya.

“Saya permisi Pak,” Riyadi membungkuk hormat lalu berjalan kembali ke arah lift yang ia naiki tadi dan kembali turun ke lantai dasar bersama sang resepsionis. Ekspresi pria tadi aneh, pucat dan tampak ketakutan. Apapun yang ada dalam chip ini pasti merupakan sebuah info besar yang mungkin saja bisa membahayakan beberapa orang.

*****

Di luar gedung tersebut sekelompok orang dalam sebuah station wagon warna hitam tampak mengamat-amati lalu-lalang orang-orang yang masuk dan keluar dari area parkir gedung itu. Sebuah alat berbentuk antena parabola mini tampak dinyalakan di bangku tengah mobil tersebut.

“Ada tanda-tanda benda itu?” tanya sang pria yang duduk di samping pengemudi.

“Belum Pak,” jawab sang operator, seorang pria muda berkumis tipis.

“Dasar Wirya sialan, berani-beraninya ia membocorkan rahasia ke orang luar,” sang pengemudi tampak memukul setir kemudi dengan geram.

“Tapi untung saja kita bisa menghambat laju datanya yang mengalir ke pers dan BPK.”

“Tapi sayangnya ada yang lolos kan? Data yang mengalir ke kawannya ini.”

“Pak,” sang operator tiba-tiba berseru, “Ada tanda-tanda data tentang kita tengah dibawa keluar dari tempat ini.”

“Siapa?” sang pria yang duduk di bangku depan langsung pasang mata, “Siapa kurirnya?”

“Sebentar,” sang operator tampak memutar-mutar beberapa kenop, “pria yang naik motor itu Pak,” sang operator menunjuk ke arah motor yang dikendarai Riyadi.

“Kejar!” pria di bangku depan itu memberi perintah dan sang sopir segera memacu mobilnya mengikuti Riyadi dari belakang.

*****

Melalui kaca spionnya, Riyadi melihat ada sebuah mobil yang sedari tadi mengikutinya. Peringatan dari sang pria pegawai Depkominfo tadi membuat menjadi waspada. Ia memacu motornya lebih cepat menuju Jalan Ahmad Yani selagi mengamat-amati apakah mobil itu masih mengikutinya, dan ia dapati mobil itu memang masih mengikutinya.

Pandangannya kemudian kembali lurus ke depan, tampak lampu lalu-lintas sudah berubah warna menjadi merah. Ia sempat berpikir untuk menerobos lampu lalu-lintas itu namun hal itu akan membuatnya menarik banyak perhatian, lebih-lebih perhatian polisi. Dengan enggan ia menghentikan motornya sementara mobil yang membuntutinya itu mengambil posisi berhenti persis di belakangnya.

Riyadi menimbang-nimbang apa tindakan yang akan dilakukan oleh si penguntit ini. Apakah mereka akan menghabisinya di sini demi data yang ia bawa, atau akan membuntutinya hingga ia tiba di kantor pusat. Sesaat kemudian sebuah ide terlintas di benaknya.

Begitu lampu berubah menjadi hijau, Riyadi langsung memacu motornya menuju ke Kebun Binatang Surabaya dengan kecepatan yang gila-gilaan. Jalanan tampak padat dan ramai, tapi Riyadi yang menaiki motor tidak mengalami kesulitan mengambil celah di antara kendaraan. Lain halnya dengan si penguntit yang tampak benar kewalahan mengikutinya. Mobil itu berusaha menambah laju kecepatannya namun jelas sekali pengemudinya tampak kesulitan mengambil celah di antara kendaraan. Pada akhirnya justru pengemudi itu tanpa sengaja menabrak sebuah taksi. Pengemudi taksi itu langsung keluar dan menghadang si pengemudi mobil hitam, menuntut ganti rugi. Suasana menjadi semakin semarak ketika beberapa orang polisi yang kebetulan tengah mengatur lalu-lintas tiba di sana dan mulai melakukan olah TKP.

Riyadi sendiri sudah berada tepat di depan Kebun Binatang Surabaya ketika ia menengok ke belakang dan mendapati bahwa penguntitnya sudah buyar. Dipacunya kembali sepeda motornya menuju daerah Ngagel Jaya, tempat markas Dakara berada.

*****

Surabaya, 15.45 WIB

Di sebuah restoran mewah di daerah Kertajaya, tampak beberapa orang tengah duduk mengitari sebuah meja dalam sebuah ruang eksklusif yang terpisah dari meja-meja lainnya. Pintunya ditutup dan ruangan itu dipasangi material kedap suara. Seorang wanita berambut sebahu tampak tengah menyesap segelas es kopi sementara di seberangnya tampak seorang pria yang mengenakan setelan jas resmi duduk dengan gelisah.

“Jadi anda ingin kami membantu menyelesaikan urusan anda, Pak Harun?” tanya sang wanita ketika selesai menyesap minumannya.

“Benar Bu, saya ingin anda melenyapkan Markus Passaharya dalam waktu dekat.”

“Sejujurnya ... kami juga sudah merencanakan soal itu Pak Harun. Kami juga berencana melenyapkan Inspektur itu.”

“Oh benarkah?” mata Harun tampak berbinar.

“Tapi anda kami undang kemari bukan untuk membicarakan soal itu,” sambung seorang pria yang rambutnya dicat merah tua.

“Anda sudah membuat perusahaan kami kena sorot oleh Reserse Mapoltabes Surabaya akibat keteledoran anda. Kenapa anda tidak segera menyadari bahwa ada reserse – bawahan anda – yang berjaga di luar hotel?”

“Mereka menyamar dengan baik Bu.”

“Tidak, itu adalah keteledoran anda. Ingat apa yang kita sepakati Pak Harun? Anda mengalihkan perhatian para polisi selama mungkin sementara kami akan memberi anda imbalan yang pantas.”

“Tapi kalian juga terlalu banyak menarik perhatian. Korban-korban yang kalian bunuh semakin banyak,” Harun membantah.

“Pak Harun, apapun yang sudah terjadi takkan bisa dirubah. Namun karena sekarang anda tak lagi menjabat sebagai perwira polisi, maka hubungan kerjasama kita cukup sampai di sini saja,” wanita itu dan beberapa pria yang mengawalnya bangkit berdiri dan keluar dari tempat itu.

“Tunggu! Aku sudah melakukan banyak hal untuk kalian! Masa kalian tega membuang aku begitu saja!” Harun berdiri dan mengahalang-halangi jalan mereka.

“Dan kami sudah memberikan uang banyak kepada anda. Saya rasa dengan uang sebanyak itu anda bisa pensiun dengan layak dan tidak perlu merongrong kami lagi.”

“Aku akan bocorkan segala kebusukan kalian di depan pers kalau kalian tidak mau membayarku.”

“Anda mau memeras kami Pak Harun?” si rambut merah mendekat ke arah Harun.

“Jangan macam-macam,” Harun mengangkat sebuah arloji yang memunculkan sejumlah layar hologram berisi sederet tulisan, “dengan sekali tekan aku bisa kirimkan ini ke kantor berita di seluruh Indonesia. Aku bahkan bisa mengirim info ini ke Kepolisian Pusat.”

“Cara mengancam yang bagus Pak Harun,” wanita itu menyunggingkan senyum tipis, “tapi kami juga punya cara sendiri untuk lolos dari ancaman macam ini.”

Si rambut merah menekan tombol di arlojinya dan menatap Harun lekat-lekat, “Silakan kirim Pak Harun. Silakan coba kirim data itu!”

Harun yang kesal karena merasa dianggap cuma main-main, langsung menekan tombol ‘Kirim’ pada panel antarmuka arlojinya. Namun sedetik kemudian ia mendengar suara : “Pesan tak dapat dikirim, tidak dapat menemukan koneksi.”

“Apa?” Harun nampak terperangah menyaksikan alatnya tidak dapat berfungsi.

“Kami sudah biasa menerima ancaman macam ini Pak Harun,” ujar si wanita sambil tersenyum, “karena itulah kami selalu memasang penghambat sinyal di setiap tempat usaha kami. Hotel, restoran, tempat parkir, dan pusat perbelanjaan milik kami selalu memiliki penghambat sinyal guna memastikan tidak ada cecunguk seperti anda yang macam-macam dengan kami.”

Wajah Harun kini pias, terlebih setelah melihat para pengawal itu mengeluarkan pistol berperedam suara yang diarahkan kepadanya.

“Bungkam dia, Anak-anak,” wanita itu memberi perintah dan sejumlah tembakan menembus tubuh Harun. Polisi korup itu jatuh tak bernyawa ke lantai dengan mata melotot memandang ke arah para pembunuhnya.

“Sekarang bagaimana Bu? Bawa dia ke dokter kita untuk diambil organnya atau buang dia di suatu tempat?” tanya Si Rambut Merah.

“Simpan dia di peti es dan tunggu Janggala kembali. Begitu Janggala kembali, suruh dia urus jenazah ini. Mengerti?”

“Baik Bu,” ujar para pengawal itu sembari memasukkan jasad Harun ke sebuah kantung mayat.

*****

Bandara Juanda, Sidoarjo, 20.00 WIB

Janggala tampak keluar dari pintu bandara bersama seorang pria kekar dengan kulit hitam terbakar matahari. Otot lengannya besar dan padat, melebihi ukuran otot pria pada umumnya. Kepalanya plontos – botak – dan mulutnya selalu menampakkan senyum.

“Jadi Janggala, ke mana kita sekarang?” tanya pria itu dengan nada riang.

“Kya-Kya Kembang Jepun. Target kita ada di sana, bersama teman-temannya, para pencoleng berlencana, Tuan Yudhi,” ujar Janggala sambil terus berjalan menuju pangkalan taksi.

“Hohoho, kau punya dendam pada institusi itu rupanya.”

Janggala tidak menanggapi perkataan menghampiri sekumpulan sopir taksi, baik taksi udara maupun taksi darat. Normalnya Janggala akan memilih taksi darat yang ongkosnya lebih murah, tapi berhubung ini adalah sebuah kegiatan operasional yang dibiayai oleh atasannya, maka ia dengan senang hati memilih taksi udara – yang notabene lebih mahal namun lebih cepat.

Janggala dan Yudhi memasuki sebuah taksi udara yang mereka pilih dan sesaat kemudian taksi itu terbang melayang, meninggalkan Bandara Juanda.

*****

Kya-Kya Kembang Jepun, Surabaya, 21.00 WIB

Di dalam sebuah restoran yang interiornya berhias layaknya rumah tradisional Cina, Markus dan Alex tampak tengah berbincang-bincang mengenai berbagai hal, sementara kawan-kawan mereka tampak masih asyik menikmati hidangan masakan Cina yang tersaji dalam piring putar, yang jumlahnya masihlah cukup banyak.

“Aku akan merindukan kota ini,” ujar Alex sambil menyesap secangkir teh dan memandang ke langit malam berhias rembulan perak yang terlihat melalui jendela restoran.

“Jakarta itu kota yang mengasyikkan kok, kurasa kau akan segera kerasan di sana. Asal kau tahu cara berhemat saja, Lex,” jawab Markus, “Keluargamu sudah kau beritahu Lex?”

“Sudah, putraku ternyata sudah besar sekarang. Tanpa terasa sudah kelas satu SD. Ah, aku sampai lupa berapa banyak waktuku yang terbuang tanpa bersamanya.”

“Mereka akan senang dengan kepulanganmu.”

“Tentu. Aku juga senang bertemu mereka kembali setelah tiga tahun ini.”

“Kau berencana akan bawa putramu ke suatu tempat? Menghabiskan waktu yang berkualitas dengan anak-istrimu?”

“Tentu saja, aku sudah punya rencana perjalanan wisata selama dua hari. Ke Ancol dan Ragunan!”

“Bagaimana jika markas langsung melempar tugas padamu?”

“Mangkir dikit lah, barang dua-tiga hari. Saya sudah jadi polisi yang nyaris tanpa libur selama tiga tahun ini.”

“Tanpa libur ya?” Markus terkekeh, “Lalu acaramu dengan Zaskia dari Dolly saban Minggu itu bagaimana?”

“Huss!! Itu cuci mata!!”

“Dia nggak akan ganggu kamu lagi kan? Kalau dia ngaku pada istrimu bahwa kau pernah ‘jajan’ dengannya kan bisa berabe?”

“Oh tidak, dia sudah dapat ‘mangsa’ lain. Seorang manager perusahaan media televisi, yang lebih tajir, ganteng, muda, dan sukses daripada seorang perwira polisi yang miskin dan jarang mandi.”

“Beruntung sekali,” Markus menghabiskan es tehnya dalam sekali teguk

“Siapa?”

“Wanita itu.”

“Heh iya,” Alex merogoh saku kemejanya dan mengambil sebatang rokok – hendak menyulutnya – ketika suara kaca pecah terdengar di sepenjuru restoran.

“Apa itu?” seorang polisi yang tengah makan langsung bangkit dan berjalan menuju tempat kaca yang pecah itu sementara Markus meletakkan gelasnya di meja yang ada di hadapannya.

“Lex, aku mau periksa kaca itu dulu, kamu ...,” alangkah terkejutnya pria Maluku itu ketika menyadari kepala kawannya sudah tertunduk dengan sebuah lubang di pelipis kirinya.

“Oi! Panggil paramedis! Ambulans! Iptu Alex Susanto kena luka tembak!” serunya pada segenap rekan-rekannya yang ada di meja makan sesaat setelah ia memeriksa denyut nadi kawannya itu.

“KYAAAA!!!!” terdengar jeritan histeris seorang wanita ketika menyaksikan polisi yang memeriksa kaca pecah itu kini tergeletak tak bernyawa dengan sebuah lubang peluru menghiasi dahinya. Dan yang terjadi selanjutnya adalah kepanikan massal, para pengunjung dan pegawai restoran berhamburan keluar dari tempat itu, menyisakan hanya sembilan anggota polisi yang masih hidup di dalam restoran itu.

Merunduk!” seru seorang pria yang tampaknya adalah perwira senior, “Kontak senjata! Buyar!”

“Kita tak bisa buyar begitu saja Pak! Iptu Alex masih hidup dan terluka Pak!” protes seorang polwan yang turut memeriksa denyut nadi Alex.

“Satu orang harus tinggal di sini, menahan mereka selama mungkin, sementara yang lain buyar lewat pintu belakang!” ujar perwira senior itu lagi, “Siapa mau tinggal?”

Belum sempat ada yang menjawab, sebuah rentetan tembakan senapan mesin membahana dan menghancurkan seluruh interior yang ada di dalam restoran itu.

“Saya Pak,” Markus mengajukan diri, “boleh minta amunisi tambahan?”

Dua orang polisi mengeluarkan magasin dari sabuk mereka dan melemparkannya ke arah Markus, “Hati-hati Pak Markus. Semoga berhasil.”

“Kalian juga,” sahut Markus ketika delapan orang itu perlahan keluar melalui pintu belakang restoran dengan membopong Alex.

Aksi tembak-menembak masih berlangsung dari arah luar restoran selama setidaknya empat menit. Sesudah itu masuklah sekumpulan orang bersenjata ke dalam restoran itu dan mendapati seluruh interior restoran itu telah hancur.

“Polisi-polisi itu lari!” ujar seorang dari antara mereka.

“Kalian semua ke-,” belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, sebuah peluru telah menembus tenggorokannya dan pria itu jatuh dengan leher berlumuran darah.

Rekannya yang lain mendelik ke arah datangnya peluru itu dan mulai menembaki sang penembak yang tak lain adalah Markus. Tapi Markus bergeming di tempat, tidak mencoba menghindar ataupun sembunyi. Peluru-peluru yang mengenai tubuhnya mengoyak seragamnya namun segera berjatuhan di lantai setelah bersentuhan dengan kulitnya.

“Ma-manusia macam apa dia ini?” seorang penyerangnya terperangah ketika menyaksikan peluru-peluru tajam ini tidak mempan pada target mereka. Jangankan membuat target mereka terluka, tergores pun nampaknya tidak.

Markus yang matanya tidak lagi dibutakan oleh asap mesiu dan rentetan tembakan mulai balas menembak. Satu, dua, tiga, dan akhirnya empat orang penyerang yang ada di hadapannya tumbang tak bernyawa di lantai. Seorang penyerang yang selamat dari tembakannya dan mencoba kabur, namun belum sempat ia beranjak lebih jauh dari pintu restoran, kakinya sudah ditembus oleh timah panas dari pistol Markus. Pria itu meraung sejadi-jadinya ketika Markus menghampiri dan menginjak kakinya yang terluka.

“Siapa kalian? Kenapa kalian menyerang kami?” tanya Markus sembari menghidupkan fasilitas perekam video di arlojinya.

“Ah, ah, kami diberi perintah untuk membunuh kalian dari ‘mereka’.”

“Siapa ‘mereka’ ini?” tanya Markus lagi.

“Aku tak bisa jawab, mereka akan membunuhku!”

“Hei Mas,” Markus menempelkan laras pistolnya yang masih membara karena baru saja dipakai menembak ke pelipis pria itu, pria itu makin meringis ketika ujung laras pistol yang membara itu membakar kulit pelipisnya, “Anda jawab pertanyaan saya atau saya akan buat anda menyesal pernah dilahirkan ke dunia ini.”

Belum sempat pria itu menjawab, sebuah bola api sudah meluncur ke arah kepala pria itu dan dalam sekejap bola api itu membakar seluruh tubuh pria malang tersebut. Markus yang kaget secara refleks mundur dua langkah ke belakang dan menyaksikan tubuh pria itu terbakar habis dengan diiringi raungan yang memilukan.

“Wah, wah,” terdengar suara orang bertepuk tangan dari ujung jalan yang kini lengang, “tak kusangka kita akan bertemu lagi Gatot.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top