BAB XIX : WISANGGENI
Jakarta, 02.00 WIB
Pria yang dipanggil dengan nama Dursasana itu tampak mengernyit ketika menerima telepon dari Jayadratha yang mengabarkan bahwa putranya, Yudhi Wibowo, harus dibawa ke Manggarai, Flores malam ini juga.
“Tunggu sebentar, dia kalah oleh Gatotkaca? Apa Putra Bima itu masih terlalu tangguh untuk ditangani seorang Dursala?”
“Tidak juga, ia tidak setangguh dirinya di masa lalu. Masalahnya kini ada yang membantunya.”
“Siapa?”
Jayadratha tampak menyorongkan sebuah layar hologram dan mengirimkan sebuah file ke alat penerima milik Dursasana dan di sana Dursasana menyaksikan video pertarungan antara Janggala dan Riyadi serta Markus dengan putranya.
“Antareja ternyata juga sudah muncul,” ujar Jayadratha, “sebentar lagi Kakang Prabu pasti beri kita perintah untuk melenyapkan dua orang ini. Tapi ... untuk sekarang aku harus habisi dulu Janggala.”
“Hei? Dia kan salah satu petarung andalan kita? Kenapa kau mau habisi dia?”
“Kakang Dursasana, dia itu Wisanggeni!”
Dursasana nyaris tidak bisa bicara karena kaget, dan pada akhirnya hanya sebuah kata penuh keraguan dan rasa tidak percaya yang keluar dari mulutnya, “Apa?”
“Ya, aku serius.”
“Kau sudah hubungi istrimu?”
“Tidak, aku tidak berani memberitahukan soal ini padanya. Janggala adalah anak emasnya dan debt-hunter terbaik yang ia miliki, ia pasti shock kalau tahu soal ini.”
Dursasana menghela nafas sejenak, “Tapi aku paham pertimbangan Kakang Prabu. Wisanggeni adalah ancaman yang sama buruknya dengan Gatotkaca ataupun Antareja. Kita tidak boleh biarkan dia hidup lebih lama lagi.”
“Baiklah Kakang Dursasana, saya harus segera melaksanakan eksekusi. Sampai jumpa.”
“Sampai jumpa,” Dursasana memutus panggilan tersebut dan duduk kembali di kursinya lalu memutar kursinya hingga ia menghadap ke arah jalanan Jakarta yang masih dilintasi bus-bus, motor, dan mobil meski jumlahnya tidak sebanyak saat siang hari.
“Ironi,” mulutnya mendesis lirih.
*****
Genteng Kali, Surabaya, 02.20 WIB
Jalanan di Surabaya kini tampak lengang, lebih-lebih di daerah Genteng Kali, di mana jajaran perkantoran milik BUMN berada. Sebuah kendaraan lapis baja tampak teronggok dan terbakar di sebuah sudut gedung milik Perum Perhutani sementara dua helikopter polisi tampak ringsek dan teronggok di tanggul pinggir sungai Kalimas. Sebuah mobil station-wagon berkemampuan anti-gravitasi tampak terbang melayang dan mendarat di sebuah jembatan yang melalui sungai beraliran deras tersebut.
Jayadratha keluar dari mobil tersebut dengan diikuti oleh sejumlah pria bersenjatakan senapan mesin dan Janggala. Sementara dari sisi yang berlawanan muncul seseorang yang tengah mengendarai sebuah motor.
“Hei Anas,” sapa Janggala ketika pengendara motor itu melepas helmnya. Yang disapa hanya tersenyum getir lalu menghampiri Jayadratha sambil menyerahkan sebuah bungkusan. Setelah melakukan itu ia menghampiri Janggala dengan senyum yang terkesan dipaksakan.
“Hei, kamu kenapa?” tanya Janggala pada rekan kerjanya itu.
“Ah tidak, hanya tegang saja pasca serbuan ini.”
“Oh kalau begitu ...,” belum selesai Janggala berkata-kata sebuah pisau yang biasa Anas gunakan untuk membunuh para penghutang itu sudah menancap di ulu hati Janggala. Janggala yang kaget atas tindakan Anas itu langsung bertanya, “Anas? Kenapa?”
“Maaf kawan, ini perintah. Aku tak bisa menolak. Mulutku terjajah dan tanganku terbelenggu,” ia menarik keluar pisaunya yang memendarkan cahaya kebiruan dan bersamaan dengan ditariknya pisau itu Janggala merasa segala energi kehidupannya terserap habis. Untuk berdiri pun ia nyaris tidak sanggup, kakinya gemetaran sehingga ia harus berpegangan pada logam jembatan.
“Habisi dia,” Janggala mendengar Jayadratha menyerukan perintah dan beberapa saat kemudian ia merasakan tubuhnya ditembusi logam-logam panas berkali-kali sehingga tubuhnya limbung dan terjatuh ke sungai.
Arus sungai yang deras menghanyutkan pemuda itu dan membuat tubuhnya timbul-tenggelam. Kesadarannya kini sirna dan bayang-bayang masa lalunya berlintasan membanjiri benaknya.
Bogor, 18 tahun yang lalu (Janggala = 6 tahun)
Ada seorang anak baru lagi di panti ini. Anak itu bertubuh kecil, kulitnya sawo matang tapi cerah, rambutnya lurus dan kaku berminyak, dan ia tampak ketakutan. Beberapa anak mencoba menawarinya untuk ikut bermain, tapi anak itu menggelengkan kepalanya – menolak – dan lebih memilih meringkuk di sebuah sudut ruangan.
Seorang anak lelaki bermata tajam tampak mengamat-amati anak baru itu selama beberapa saat. Ia mengambil dua bungkus permen lalu berjalan ke arah anak itu dan mengulurkan sebungkus permen pada anak itu, “Mau?”
Sejenak anak baru itu tampak ragu menerima pemberian itu, namun akhirnya ia menerima juga pemberian itu, membuka bungkusnya dan mulai menghisap permen rasa buah itu.
“Namaku Janggala, namamu siapa?”
Anak itu diam sejenak sebelum menjawab, “Ali.”
“Ali? Nama yang bagus,” ujar Janggala.
*****
Bogor, 12 tahun yang lalu
Mata kiri Ali tampak lebam dan memar sementara wajah Janggala pun tak kalah kacau. Seragam mereka kusut dan kotor – sesuatu yang sudah pasti akan membuat mereka dimarahi setibanya di panti. Kaki-kaki mereka sudah nyaris menjejak wilayah panti ketika keduanya berhenti melangkah karena seorang dari mereka tengah diliputi keraguan.
“Aji,” begitulah panggilan Ali pada Janggala, “Aku takut nih.”
“Takut kenapa? Anak-anak itu yang salah, mereka yang cari masalah. Kenapa kita harus takut?” jawab Janggala ketus.
“Tapi kan ... Bu Asih sudah melarang kita untuk berkelahi.”
“Duh Ali, memangnya kamu mau dihajar mereka sampai cacat?”
“Tapi kan ... .”
“Sudah, kalau Bu Asih menyalahkan kamu, biar aku yang tanggung jawab.”
“Eh nggak bisa begitu dong, kan aku yang ...,” perkataan Ali langsung dipotong oleh Janggala.
“Sudah, masuk yuk! Sudah jam makan siang nih!” Janggala langsung berlari masuk ke area panti sementara Ali turut menyusul dari belakang.
“Janggala! Ali! Sini!” terdengar suara seorang pria dewasa memanggil mereka berdua.
“Aduh, habis deh!” Ali tampak bergidik takut sementara Janggala tampak tenang-tenang saja mendekat ke arah pria itu.
“Berantem lagi?” tanya pria itu pada Janggala dan Janggala pun mengangguk.
“Sama siapa?”
“Abang-abang muka codot di depan gang sana, Pak Umar,” jawab Janggala seenaknya.
Ekspresi wajah pria itu langsung berubah kaget, “Kamu dipalak?”
“Mau dipalak sih, tapi nggak jadi.”
“Terus kamu dipukuli?”
“Uh,” Ali mengangkat tangannya, “saya yang dipalak dan dipukuli Pak, Janggala cuma mau menolong saya.”
“Ya sudahlah, Ali kamu masuk kantor kepala panti sana. Bu Asih sudah menunggu. Dan Janggala, ayo ikut saya ke ruang kesehatan.”
Empat bulan sejak Ali menemui Bu Asih di kantornya, Janggala merasakan sesuatu yang bernama perpisahan. Sepasang pasutri mengadopsi Ali dan membawa bocah laki-laki itu keluar dari lingkungan panti. Di hari ketika pasutri itu menjemput Ali, Janggala merasa marah luar biasa. Ingin rasanya ia membunuh pasangan suami-istri itu karena telah merenggut kawan satu-satunya itu dari hidupnya. Perasaan itu semakin kuat ketika pasutri itu menghantarkan Ali masuk ke dalam mobil mereka dengan diiringi lambaian tangan seluruh penghuni panti. Tapi dalam hatinya Janggala tahu bahwa ia tidak bisa marah pada pasutri itu. Lagipula ia tak tega menghancurkan wajah gembira Ali – yang setelah sekian lama menghuni panti tanpa kasih sayang orangtua – yang akhirnya memperoleh orangtua baru? Ali berbeda dengan dirinya. Anak itu pernah punya orangtua sementara Janggala tidak. Ali mengharapkan kasih sayang orangtua, Janggala tidak.
Janggala marah, tapi tidak tahu harus marah pada siapa sehingga sore itu ia kabur dari panti menuju daerah perbukitan yang ada di belakang panti. Perbukitan itu tampak hijau oleh hamparan sayur-sayuran yang sudah mulai berbuah, beberapa burung bertengger di dahan pepohonan dan berkicau riang, sementara beberapa anak-anak tampak bermain petak-umpet di antara pepohonan dan rumpun bambu.
Janggala tidak suka dengan sekelompok anak-anak itu, sebagaimana halnya seluruh penghuni panti yang lain tidak suka pada mereka. Anak-anak itu selalu memandang anak-anak panti sebagai anak-anak yang derajatnya lebih rendah daripada mereka. Dan begitu melihat Janggala, mereka kembali lagi melontarkan kata-kata berbisa mereka.
“Hei anak buangan, mau ke mana? Mencari ayah dan ibumu?” ledek seorang anak perempuan berkaus biru.
“Eh, aku barusan melihat ibumu lho, dia lagi kencan sama kakek-kakek,” celetuk seorang anak lelaki tambun berkaus hijau.
“Itu mah perek – pelacur. Eh, apa benar dia ini anak perek?” celetuk seorang anak perempuan yang rambutnya dikepang dua.
“Mungkin, makanya dia dibuang!” balas seorang anak lelaki berambut ikal yang tengah bermain-main dengan sebuah yoyo.
Kata-kata itu membuat amarah Janggala meledak. Rasa panas menjalari seluruh tubuhnya dan sebuah sarung tangan logam tiba-tiba muncul dan terpasang di tangan kanannya. Lima detik kemudian daerah itu diselimuti oleh badai api yang menghanguskan seluruh tanaman yang tumbuh di daerah itu. Anak-anak bermulut ular itu pun tak luput dari jilatan api dan di akhir hidup mereka, hanya suara isak tangis dan pekikan pilu yang bisa mereka keluarkan dari mulut mereka sebelum ajal menjemput mereka beberapa saat kemudian.
Janggala sendiri jatuh tak sadarkan diri dan baru siuman keesokan harinya dengan diiringi ekspresi lega dari wajah Ibu Asih yang duduk di samping tempat tidurnya. Orang-orang tidak pernah tahu bahwa kebakaran hebat itu adalah ulah Janggala, media massa mengatakan peristiwa itu diakibatkan korsleting listrik skala besar menyalahkan PLN soal itu. Janggala sendiri tidak pernah mau membicarakan hal itu lagi
Surabaya, 03.10 WIB
Kini dalam ketidaksadarannya, Janggala melihat kembali sosok-sosok empat anak yang dahulu ia lenyapkan nyawanya. Keempat anak itu menudingkan telunjuk mereka ke arah Janggala dengan ekspresi datar sebelum berkata, “Sekarang adalah giliranmu!”
Janggala pasrah dan membiarkan dirinya dipermainkan aliran sungai yang deras. Anak-anak yang dulu ia bunuh kini datang menuntut balas dan Janggala tidak hendak melarikan diri lagi. Ia sudah lari cukup lama, ia sudah berusaha bertahan hidup cukup lama dan sekarang tiba waktunya ia bertemu dengan ajal.
Di saat yang bersamaan, dari angkasa turunlah sebuah bola api bercahaya kemerahan ke pinggir sungai tempat Janggala hanyut tadi. Bola api itu ternyata adalah sesosok manusia yang diselubungi api di sekujur tubuhnya. Matanya menatap ke arah sosok Janggala yang hanyut oleh arus sungai yang deras. Pria itu menghentakkan kakinya dan terbang melayang ke arah Janggala. Dipegangnya tubuh pemuda yang hanyut itu lalu dibawanya ke pinggir sungai.
Setibanya di sungai dipukulnya dada pemuda itu kuat-kuat dengan tangannya yang diselubungi kobaran api sehingga pemuda itu mengerang dan memuntahkan sejumlah air yang sempat masuk ke dalam paru-parunya. Setelah itu kembali pemuda itu jatuh tak sadarkan diri. Tangan berselimutkan kobaran api milik pria tersebut menyusuri lubang-lubang peluru yang menembus tubuh Janggala, lalu menarik satu-demi-satu peluru-peluru itu keluar sebelum membakar luka-luka Janggala dengan telunjuknya yang berselimutkan kobaran api.
“Lagi-lagi kau melanggar batas, Agni,” sosok Bathara Yama muncul dari tengah sungai dan berjalan ke pinggir sungai di mana sosok pria berselubung api itu berada, “Bathara Indra pasti tak akan suka ini.”
“Kalau Sang Swargapati – Raja Kahyangan (julukan untuk Bathara Indra) – mencoba melarangku sekalipun aku takkan diam saja menyaksikan keturunanku tewas!”
“Anak ini tidak akan tewas, ia akan hidup. Namanya tidak ada dalam daftar kematianku jadi seharusnya kau tidak perlu repot-repot turun ke dunia Agni.”
Suara guntur terdengar semakin menggelegar di angkasa, baik Agni dan Yama pun mendongakkan kepala ke langit.
“Lebih baik kau segera kembali ke kahyangan sebelum para Trimurti tahu kau ada di sini. Mereka tidak akan senang jika tahu soal ini.”
“Lalu dia?” Agni menunjuk ke arah Janggala yang masih tak sadarkan diri.
“Soal dia biar aku yang urus,” ujar Yama.
“Baiklah,” Bathara Agni menggeram sejenak sebelum terbang melesat kembali ke langit.
*****
Bathara Yama duduk di samping tubuh Janggala selama beberapa saat, tampak menunggu seseorang. Ia tampak bangkit berdiri ketika menyaksikan sebuah mobil terbang melayang menuju ke arahnya dan mendarat tidak jauh dari tempatnya berdiri. Palka kendaraan itu terbuka dan sosok Syailendra turun bersama dengan dua orang pria berpakaian necis.
“Syailendra,” Bathara Yama memanggil nama pria itu, “bisa kau urus dia?”
Sosok Syailendra dan dua pengawalnya secara perlahan mendekat ke arah Bathara Yama dan Janggala yang tengah tak sadarkan diri. Ketika jaraknya sudah tinggal beberapa langkah, Syailendra dan dua pengawalnya menunduk dengan hormat pada Bathara Yama, “Sembah bakti hamba Pukulun, titah Pukulun akan saya laksanakan.”
“Terima kasih Syailendra,” sosok Bathara Yama pun memecah diri menjadi butiran-butiran pasir hitam yang segera hilang tersaput angin.
Syailendra kemudian memberi isyarat pada dua pengawalnya untuk membopong tubuh pemuda yang tak sadarkan diri itu dan membawanya masuk ke dalam kendaraan mereka. Kedua pengawal itu melakukan hal seperti yang diperintahkan oleh Syailendra dan membopong tubuh Janggala masuk ke dalam mobil mereka. Syailendra berjalan kembali menuju kendaraannya dan begitu ia naik, mobil itu melayang kembali dan beranjak pergi dari tempat itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top