BAB XIII : PENGAWAL

Jakarta, 4 hari kemudian, 10.00 WIB

Janggala baru saja turun dari sebuah kereta yang membawanya dari kota Yogyakarta ke ibukota negara. Jakarta yang masih hiruk-pikuk dengan aneka kendaraan baik kendaraan anti-G maupun kendaraan yang berjalan di jalanan aspal. Janggala melangkahkan kakinya keluar dari stasiun dan di luar sana sekumpulan sopir taksi langsung berlomba-lomba menawarinya untuk naik taksi mereka.

“Mau ke mana Bang? Kampung Betawi? Cikampek? Tanah Abang? Sini Bang! Bisa nego!” suara sopir-sopir taksi itu saling bersahut-sahutan.

Janggala tidak menghiraukan mereka, alih-alih berhenti, ia berjalan ke arah halte bus Harmoni Sentral, dan langsung naik sebuah bus yang kebetulan sedang berhenti.

Bus itu cukup sepi sehingga selama satu setengah jam perjalanannya Janggala bisa duduk dengan tenang dan lapang sebelum akhirnya kondektur bus berseru-seru, “Lapangan golf Pondok Indah! Golf! Golf!”

Janggala langsung bangkit berdiri, tempat yang disebutkan si kondektur itu adalah tujuannya. Ia turun di sebuah halte yang berhadapan langsung dengan sebuah bangunan bercat dominan kuning muda dan putih dan bertuliskan ‘Pondok Indah Golf and Country Club’ di pintu masuknya.

Janggala langsung masuk ke dalam gedung itu sambil menekan beberapa nomor pada arlojinya dan memasangkan tc-earphone pada telinganya. Terdengar suara dering beberapa kali di tc-earphonenya sebelum seseorang di seberang sana mengangkat teleponnya.

“Halo?” ujar Janggala.

Halo. Terdengar suara seseorang di seberang sana.

“Selamat siang Pak, saya Janggala dari Sasmita Corporation. Datang untuk memenuhi panggilan anda.”

Ah ya, anda di mana?

“Saya sudah di lobby klub golf yang anda tunjukkan Pak.”

Oke, tunggu sebentar. Pria di seberang memutuskan panggilan dan Janggala pun beranjak menuju sebuah bangku dan duduk di sana. Beberapa saat kemudian muncullah seorang pria kurus berkaus putih dan bercelana training biru tua dengan wajah yang praktis nyaris tulang dibalut kulit serta dimahkotai rambut tipis yang sudah mulai beruban. Pria itu melambaikan tangannya ke arah Janggala dan Janggala pun bangkit, berjalan ke arah orang itu.

“Janggala,” pria muda itu memperkenalkan dirinya.

“Tejakusuma,” pria paruh baya itu balas menyalami Janggala, “Jadi kamu ya yang direkomendasikan Bu Parwati?”

“Benar Pak.”

Pria itu mengamat-amati Janggala dari ujung rambut hingga ujung sepatu, sedikit membuat Janggala tidak nyaman karena ia merasa diperlakukan sebagai barang dagangan.

“Lumayan juga, baiklah, ayo ikut saya,” pria itu memberi isyarat pada Janggala untuk mengikutinya.

Pria itu mengajak Janggala menuju tempat parkir di mana sebuah mobil sedan anti-G putih tampak tengah terparkir di sana.

“Kau bisa setir Janggala?” tanya Tejakusuma.

“Bisa Pak,” jawab Janggala hormat.

“Bagus, bisa tolong setirkan mobil ini ke Kembangan?”

“Bisa Pak,” Janggala menerima sebuah kartu tipis dari Tejakusuma dan berjalan menuju pintu pengemudi. Janggala memasukkan kartu tersebut dan sebuah suara mekanis terdengar : Identitas driver diterima.

Pintu pengemudi pun terbuka dan Janggala memasuki kendaraan itu sementara Tejakusuma masuk ke bangku penumpang di kursi belakang. Duduk layaknya seorang bos besar dengan Janggala sebagai kacungnya.

“Prestasi penagihanmu bagus Nak,” komentar Tejakusuma ketika mobil itu telah mengangkasa dan memasuki jalur udara khusus mobil anti-G.

“Terima kasih Pak,” jawab Janggala datar.

“Tapi yang aku herankan adalah ...,” Tejakusuma tampak membolak-balik layar hologram yang keluar dari arlojinya itu, “kenapa kau tetap bertahan sebagai debt-hunter selama beberapa tahun ini? Para debt-hunter lain biasanya hanya akan bertahan satu atau dua tahun sebelum akhirnya keluar dan mencari profesi lainnya. Apa yang memotivasi dirimu untuk tetap bekerja di sini?”

“Uangnya. Bayarannya bagus, hanya sedikit sulit saja mencari para penghutang yang telah lari ke seantero Nusantara itu.”

“Dan kau menerima tawaran ini karena kau yakin saya akan membayarmu dengan harga yang pantas?”

“Anda sudah lama hilir-mudik di antara dunia terang dan gelap Pak. Andalah CEO pertama  Sasmita Corp., saya yakin anda sudah tahu berapa jumlah bayaran yang ‘pantas’ untuk orang seperti saya.

“Apa tujuan hidupmu Nak Janggala?”

“Tetap hidup sampai akhirnya nanti saya harus mati.”

“Hanya itu?”

“Ya.”

“Kau tidak berniat untuk menikah dan berkeluarga? Punya anak dan cucu? Mengumpulkan harta dan berjalan-jalan ke luar negeri?”

“Keluarga bagi saya adalah omong kosong dan anak tak lebih dari parasit yang datang ke rahim seorang ibu. Jika kehadirannya diharapkan maka orangtuanya akan membesarkannya, jika tidak maka orangtuanya akan membuangnya di jalanan. Negeri manapun yang saya pijak hakikatnya sama saja, kumpulan tanah dan air yang membentuk daratan dan perairan yang bagi saya sama saja.”

“Apatis sekali.”

“Bapak, saya ingin kita bersikap profesional saja. Saya di sini ditugaskan menjaga keselamatan Bapak sementara itu, Bapak juga tidak perlu tahu terlalu banyak tentang saya.”

“Nak Janggala, tanpa kau beritahu pun saya sudah tahu cukup banyak mengenai diri anda. Anda diasuh di sebuah panti asuhan selama tujuh tahun setelah sebelumnya ditemukan sebagai orok prematur bersimbah darah di sebuah sungai. Lalu anda dipindah ke panti asuhan lainnya yang ada di bawah pengawasan Dinas Sosial. Anda dikenal sebagai anak yang tertutup dan mudah naik darah, tercatat anda sudah 20 kali bertengkar dengan teman sesama panti anda. Anda punya seorang kawan dekat yang sekarang tinggal di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah. Satu-satunya kawan yang anda punya. Tiga tahun setelah itu anda dan kawan anda diadopsi dua keluarga yang berbeda tapi pada usia 14 tahun anda kabur dari rumah. Saat usia anda baru 16 anda bergabung bersama kami sampai sekarang”

“Menajkubkan Pak,” Janggala mengulum senyum tipis, “info yang sangat lengkap. Tapi dengan memegang data-data itu bukan berarti anda berhak menanyai saya mengenai apa filosofi hidup ataupun tujuan hidup saya bukan?”

“Anda pernah mendengar yang namanya cold-reading dan hot-reading Nak Janggala?”

“Tidak,” Janggala menggeleng.

“Masa lalu dan langkah yang akan diambil seseorang dapat dilihat dari riwayat hidup dan gerak-gerik tubuhnya. Hot-reading membaca sifat personal orang dari gerak-geriknya sementara cold-reading membaca sifat personal orang itu dari segala catatan mengenai dirinya.”

“Apa anda mau membuktikan pepatah ‘mata adalah jendela jiwa’, Pak?”

“Mata memang jendela jiwa, tapi gerak-gerik tubuh adalah lubang jendela jiwa.”

“Terserah Bapak sajalah,” Janggala mencoba menghentikan pembicaraan mereka.

“Kau tahu apa yang kulihat di matamu Janggala? Kemarahan. Dan bukan sekedar kemarahan. Kemarahan yang membara, kemarahan yang seharusnya menggelegak dan mendidih di dalam jiwamu tapi tak jua kau lepaskan karena itu semua hendak kau luapkan pada satu orang.”

Janggala tidak menjawab sementara Tejakusuma melanjutkan kata-katanya, “Kau hendak mencari ibu kandungmu untuk kemudian kau hempaskan dia dengan badai kemarahanmu bukan?”

Janggala menatap pria paruh baya di hadapannya ini dengan pandangan tidak suka. Ia benci pada orang seperti pria di hadapannya ini, seorang politikus sok tahu dan pandai bicara, yang kini tengah mencengkeram dirinya bak seekor kucing yang mencengkeram seekor tikus, ia benci pada para pengusaha yang gemar bermulut besar atas prestasi-prestasi yang mereka capai di media massa meski tak sedikit yang mencapainya dengan cara-cara tak terpuji, ia benci pada para penghutang yang selalu saja lari dari tanggung jawabnya, ia benci dunia, ia membenci masyarakat. Bahkan jika Tuhan atau Iblis muncul di hadapannya dan menawarkannya sebuah permintaan, dengan senang hati ia akan meminta kehancuran dunia ini.

“Kau di sini karena uang bayarannya bagus, tapi jika kau bisa mengerjakan tugasmu dengan lebih baik lagi aku akan berikan keinginan terbesarmu.”

“Apa yang bisa Bapak berikan pada saya?”

“Keberadaan ayah dan ibu kandung yang telah membuangmu.”

Mata Janggala berbinar sesaat sementara Tejakusuma melanjutkan ucapannya, “Tapi untuk itu, apa kau bersedia mengotori tanganmu dengan darah Nak Janggala?”

“Tangan saya sudah ternoda darah sejak lama, sedikit noda darah tambahan tak masalah buat saya.”

“Bagus, kalau begitu aku ingin kau mengakhiri nyawa orang-orang ini,” Tejakusuma menyodorkan sebuah layar hologram kepada Janggala, “lakukan tugas itu dan aku akan memberimu informasi siapa ayah dan ibu kandungmu, di samping pembayaran tunai tentu saja.”

“Kapan Bapak ingin saya menghabisi mereka?” tanya Janggala sembari mencengkeram layar itu.

“Setelah saya selesai dengan urusan di Kembangan dan kau antar saya ke apartemen saya, kau bebas pakai mobil ini untuk selesaikan tugasmu itu.”

“Baik Pak,” sahut Janggala sambil menatap beberapa foto di layar itu. Para pencoleng berlencana. Menyenangkan sekali.

******

11.00 WIB

Tejakusuma turun dari mobilnya yang dikemudikan Janggala lalu masuk ke sebuah gedung bertingkat dengan cat dominan abu-abu. Seorang wanita muda dengan rambut hitam yang diikat ekor kuda menyambutnya, “Bapak Teja sudah ditunggu oleh Bapak Direktur.”

“Terima kasih Ayu,” Tejakusuma melempar senyum genit ke arah wanita muda itu, “apa hari ini kau sibuk? Kalau tidak kurasa kita berdua bisa makan malam bersama?”

“Saya masih harus mempersiapkan diri untuk rapat kerja nasional para manager cabang minggu depan Pak. Mohon maaf, saya belum bisa memenuhi undangan Bapak,” jawab wanita itu sopan.

“O tak apa. Bilang saja kalau kau sudah senggang, undanganku berlaku selama aku masih hidup. Hehehe,” Tejakusuma berjalan memasuki lift, memencet sebuah tombol dan lift itu segera naik ke lantai atas.

*****

Terdengar suara denting bel ketika lift itu telah mencapai lantai 40. Pintu lift pun terbuka sedetik kemudian dan Tejakusuma berjalan menuju sebuah pintu.

Memindai retina! Sebuah suara mekanis terdengar dan sebuah alat mengeluarkan sinar hijau memindai retina Tejakusuma.

Identitas diterima. Selamat datang Bapak Tejakusuma.

Pintu di hadapan Tejakusuma terbuka dan ia melangkah masuk ke dalamnya. Di sana tampak sekumpulan pria dan seorang wanita tengah duduk melingkari sebuah meja dengan seorang pria yang tak lain adalah Dursasana duduk di ujung mejanya. “Selamat datang Paman Sakuni. Kami semua sudah menunggu anda.”

“Ah terima kasih sudah mengundangku Dursasana,” Tejakusuma mengambil tempat duduk di ujung meja lainnya sehingga kini ia duduk berhadapan dengan Dursasana yang ada di kepala meja.

“Citraksi, laporanmu,” Dursasana melirik ke arah seorang pria berkacamata yang tampak gugup di deretan kursi yang ada di kanannya.

“Ah, baik Kak Dursasana,” yang dipanggil berdiri dengan kikuk lalu mengaktifkan sebuah alat berbentuk lingkaran yang segera melayang ke bagian tengah meja, “Proyek Nataraja berlangsung lancar, tingkat output energinya sudah berhasil mencapai 80%.”

“Dengan output 80 %, berapa jauh radius jangkauannya?” tanya Dursasana.

“124 km.”

“Apa itu cukup bagus Bima?” tanya Dursasana kepada seorang pria berseragam militer serba putih – seragam angkatan laut.

“Jika alat itu ditempatkan di tengah-tengah armada, maka seluruh armada pasti lumpuh. Masalahnya armada musuh kita terpencar-pencar,” jawab Bima.

“Tapi mustahil bagi kita untuk membangun alat kedua,” seorang wanita – satu-satunya wanita – di ruangan itu angkat bicara, “ongkos penelitian dan pengembangan alat ini saja sudah memakan biaya yang sangat besar.”

“Belum juga waktu yang semakin sempit,” Tejakusuma menambahi.

“Bisakah kita minta tambahan waktu,” seorang pria berjas laboratorium putih yang duduk di samping Citraksi angkat bicara.

“Andaikan bisa,” Dursasana mendesah, “kalian tahu sendiri Kak Duryodhana bukan orang yang penyabar. Kecuali jika ...,” mata Dursasana menatap ke arah Tejakusuma, “Paman Sakuni bisa membujuk beliau.”

Semua yang hadir di situ menatap ke arah pria tua bernama Tejakusuma itu. Sementara yang dipandangi tampak tenang dan kalem. “Kalian semua ingin aku membujuk Anak Prabu?”

“Kami sudah mencoba bernegosiasi dengan Kak Duryodhana, tapi selalu gagal,” sahut Citraksi.

“Kak Duryodhana adalah diplomat, politikus, dan pebisnis yang hebat, tapi emosi dan amarahnya kadang membutakannya,” sambung Dursasana, “tapi Paman Sakuni pandai bicara, Paman adalah diplomat yang sama unggulnya dengan beliau. Jadi kami rasa permintaan kami tidaklah salah.”

“Saya akan berusaha,” Tejakusuma mengetuk-ngetuk meja di hadapannya, “tapi saya tidak janji akan berhasil membujuk Anak Prabu.”

“Setidaknya kita mencoba,” ujar Dursasana.

Penerangan di ruangan itu tiba-tiba meredup, semua yang hadir saling berpandangan satu sama lain namun tidak ada raut kepanikan di wajah mereka. Beberapa saat kemudian penerangan di ruangan itu padam sesaat dan menyala kembali beberapa detik kemudian.

“Aswathama,” Dursasana bangkit berdiri, “Ada apa kau kemari?”

Dari balik sudut tergelap ruangan itu sosok orang tua yang tampak ringkih namun bermata sehitam malam keluar dan menampakkan diri kepada seluruh hadirin. Pria itu berdehem sejenak sebelum berujar, “Sang Prabu punya titah baru.”

“Apa titahnya?” tanya Tejakusuma.

“Dursala harus segera menghabisi Gatotkaca.”

“Gatotkaca?” dahi Citraksi mengernyit, “bukankah Bratasena tidak punya anak yang merupakan manusia awatara?”

“Tidak,” Dursasana menyahut, “sebenarnya kami – saya dan Kak Duryodhana – sudah lama curiga bahwa satu dari dua anaknya adalah manusia awatara. Tapi prioritas untuk memburu anak-anak Arjuna lebih penting saat itu.”

“Jadi siapa yang merupakan Awatara Si Gatot?” tanya Tejakusuma, “yang TNI atau yang Polisi?”

“Yang Polisi,” sahut Aswathama.

“Tapi putra Kak Dursasana masih bertugas di luar pulau,” sahut sang wanita.

“Batalkan misinya Dursilawati,” ujar Dursasana.

“Baik,” Dursilawati segera menekan sejumlah tombol pada arlojinya sementara Tejakusuma memandang Dursasana lekat-lekat.

“Dursala tidak mungkin bisa kembali ke Jawa besok, jadi saya rasa misi untuk Janggala masih bisa dijalankan,” ujar Tejakusuma.

Dursasana mendelik, “Tidak, batalkan misi untuk Janggala Paman Sakuni, ia harus ikut dengan Dursala dengan penerbangan langsung ke Surabaya begitu ia tiba di sini.”

*****

Janggala menunggu kedatangan kembali majikannya dengan jemu, sudah enam batang rokok habis ia hisap namun Tejakusuma tak jua keluar dari gedung itu.

“Apa sih yang orang-orang kaya itu sedang perbincangkan?” Janggala merutuk lalu menekan antarmuka televisi hologram yang ada di dashboard mobil dan sebuah siaran tampil di kaca depan mobil, tayangan tentang gaya hidup selebritis mengemuka di layar itu. Tentang tas-tas selebritis yang berharga jutaan, pengalaman berlibur mereka di luar negeri, dan komentar-komentar tidak penting mereka mengenai isu-isu yang tengah terjadi meski banyak sekali komentar mereka yang tidak sesuai.

Tontonan itu tidak menghilangkan kegusaran Janggala tapi setidaknya itu mampu membuatnya melewatkan waktu hingga akhirnya sosok Tejakusuma muncul dengan wajah masam menuju kembali ke mobilnya.

“Janggala,” ujar Tejakusuma, “misimu menghabisi para polisi itu dibatalkan dahulu.”

“Kenapa Pak?” tanya Janggala.

“Karena kau harus mengawal seorang anak muda lusa saat ia mengadakan perjalanan ke Surabaya.”

“Tapi,” Janggala memprotes.

“Janggala, masih ingat kan jika penugasanmu ini adalah bentuk sanksi karena dirimu buat masalah dengan aparat? Jangan membantah!”

Janggala terdiam sesaat sebelum akhirnya berujar, “Baiklah Pak. Maafkan saya.”

“Tolong kamu antar saya ke Resident Nine Mansion, di Cempaka.

“Baik Pak,” Janggala mulai menyalakan mesin dan membawa mobil itu ke arah Cempaka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top