BAB XII : PENGINTAIAN

 Surabaya, 22.30 WIB

Penyadap yang dipasang di kamar hotel itu ternyata tidak bekerja dengan semestinya. Dari empat jam percakapan, Markus dan timnya hanya sukses merekam setidaknya 20 menit percakapan. Sisanya tidak jelas, rata-rata hanya berupa suara statik.

“Bagaimana ini Inspektur? Apa kita pulang saja?” tanya seorang polwan berpangkat Bripka kepada Markus yang duduk di belakang kemudi.

“Nanti dulu,” jawab Markus datar. Dipandanginya kamar hotel yang di lantai 7 yang masih menyala terang itu.

“Yang mau tidur, silakan tidur dulu,” ujar Markus kepada tiga anak buahnya. Dua orang polisi di bagian belakang langsung memejamkan matanya sementara seorang polisi yang duduk di sampingnya tampak masih terjaga.

“Kau nggak tidur?” tanya polisi itu.

“Nggak, kau nggak ngantuk Lex?”

“Ga bakal ngantuk saya karena sedari siang tadi saya minum kopi terus.”

“Menurutmu lebih baik saya turun dan lihat-lihat kondisi atau bagaimana?”

Alex melirik ke arah rekannya itu dan mengamati penampilan Markus dari atas sampai bawah, “Kau bakal lekas dicurigai sebagai polisi oleh petugas keamanan hotel kalau kau langsung masuk lewat pintu depan.”

“Saya tidak akan masuk lewat pintu depan.”

“Sudah punya akses ke pintu belakang?”

Markus mengangguk, “Kalau ada apa-apa langsung buyar (kabur). Oke?”

“Oke!” Alex mengajungkan jempolnya dan berpindah ke tempat duduk di belakang kemudi.

*****

Markus berjalan menuju ke gang sempit yang ada di sebelah hotel itu. Dipandangnya langit malam yang cerah dengan bulan sabit yang bersinar keperakan di atas kepalanya. Lalu dihentakkannya kakinya keras-keras hingga tubuhnya membumbung mengangkasa.

Sosok Markus melayang hingga akhirnya mencapai lantai teratas hotel tersebut dan mendarat di atas atap hotel. Matanya melirik ke kanan dan kiri, mencari sebuah pintu yang dapat membawanya menuju bagian dalam hotel. Setelah mencari beberapa saat ia temukan pintu yang ia cari. Namun ketika ia mencoba membuka pintu itu, ternyata pintunya terkunci.

“Oh bagus,” Markus mendesah dan mengamat-amati kunci bertandapengenal sidik jari itu. Dirogohnya saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah obeng dan tang kecil.

Polisi itu membuka panel kunci itu dan menarik kumpulan kabel-kabel dengan sangat hati-hati. Setelah mengamati selama beberapa saat secara mengejutkan arloji komunikasinya bergetar cukup keras.

“Yah di saat begini,” Markus menurunkan tang dan obengnya dengan hati-hati sebelum menerima panggilan itu.

“Halo Sayang,” ujar Markus penuh nada mesra.

“Gombal!” terdengar suara wanita dari seberang sana, “Sudah tiga hari aku telepon dan tidak diangkat. Pesanku juga tidak kau balas! Kau ke mana sih?”

“Maaf Cinta, saya masih tugas.”

“Keluar dari rumah sakit langsung tugas?”

“Iya Cinta.”

“Bapak mau ketemu kamu. Besok. Kamu bisa?”

“Errr,” Markus ragu-ragu untuk sejenak, “Mungkin ya. Saya usahakan deh.”

“Janji lho,” suara di seberang memohon manja.

“Iya. Sudah dulu ya Sayang,” Markus mengakhiri panggilannya dan kembali berkonsentrasi pada panel kunci itu. Setelah berkali-kali mengutak-atik kabel dan meneliti hubungan antar-sirkuitnya, Markus memotong tiga buah kabel sekaligus. Terdengar suara ‘bip’ keras dari panel kontrol dan sesaat kemudian pintu yang tadinya kini terbuka.

“Bagus,” Markus memasukkan kembali peralatannya ke saku jaketnya lalu berjalan masuk ke dalam bangunan tersebut dan turun menuju lantai 30.

“Kucing kampung masuk ke dalam perigi,” ujar Markus melalui tc-earphone yang tertempel di telinganya, mengabarkan pada timnya bahwa ia telah masuk ke dalam.

Dua anak itik terbangun, kucing kampung harap menyibak semak-semak. Terdengar suara Alex dari seberang, melaporkan bahwa dua anak buahnya sudah terjaga dan Markus diminta untuk memeriksa apakah ada pengacau sinyal yang dipasang di area itu.

Terdengar dentam langkah seseorang bersepatu menuju ke arah Markus, “Anjing gila naik,” ujar Markus.

Kucing kampung sembunyi! Suara Alex terdengar panik, sementara Markus segera menarik daun pintu sebuah ruang penyimpanan alat kebersihan dan sembunyi di situ. Dari balik jeruji pintu, Markus melihat seorang pria berkacamata hitam dan berpakaian perlente tampak berjalan dengan penuh kesiagaan mengawasi lorong di hadapannya lalu menghentikan langkahnya tidak jauh dari ruang di mana Markus berada.

Duh apes! Markus menunggu pria itu pergi dengan perasan tegang. Tapi pria itu tidak beranjak juga selama 5 menit.

Apa aku buat dia pingsan saja? Pikir Markus dalam hatinya. Tapi ternyata hal itu tidak perlu ia lakukan karena sejenak kemudian pria itu beranjak pergi. Markus dengan hati-hati membuka pintu kloset itu lalu segera bergegas menuju lift.

Konfirmasi dari 1-30. Berapa?” tanya Markus ketika sampai di depan lift.

Dua puluh. Alex memberikan jumlah personel penjaga bayaran yang kemungkinan ditemui Markus nanti.

“Aye!” Markus segera memencet tombol lift dan tak lama kemudian pintu lift terbuka. Markus segera masuk ke dalamnya dan memencet tombol ‘7’.

*****

Lift bergerak turun ke lantai tujuh. Terdengar suara berdenting ketika lift itu telah tiba di lantai tujuh. Dan begitu keluar Markus menemukan sejumlah orang berpakaian hitam tampak berjaga-jaga di seputaran lantai. Markus pura-pura menuju kamar di ujung lorong ketika seorang penjaga menghentikan langkahnya, “Stop Pak. Anda diharap tidak melewati batas ini.”

“Lho? Tapi saya ada janji dengan kawan saya di kamar ujung lorong sana.”

“Maaf Pak, tapi itu mustahil. Seluruh lantai ini sudah dipesan oleh klien kami.”

“Masa?”

“Benar Pak. Sekarang kami minta Bapak meninggalkan lantai ini secepatnya karena ada rapat penting yang diadakan oleh klien kami.”

“O begitu. Baiklah,” Markus berjalan ke arah sisi yang berlawanan namun dengan sengaja ia menarik keluar isi kantungnya dan mengeluarkan beberapa bungkus permen yang berjatuhan ke lantai.

“Ah,” Markus buru-buru memunguti permen-permen itu dengan diiringi tatapan curiga para penjaga. Satu bungkus, dua bungkus, tiga bungkus sudah ia kumpulkan, namun di bungkus ketiga ia menekan bungkus permen itu kuat-kuat hingga permen di dalamnya tampak retak.

Semak-semak terbakar. Sebuah pesan masuk ke dalam arloji Markus – menandakan bahwa penghalang sinyal di lantai itu sudah berhasil diatasi. Markus buru-buru memunguti bungkus permen yang tersisa lalu turun melalui tangga.

*****

Ketika Markus kembali ke dalam mobil sedan hitam  yang ia tumpangi bersama ketiga rekannya tampak wajah mereka bertiga sumringah.

“Dapat?” tanya Markus sembari membuka pintu penumpang di samping kursi pengemudi.

“Dapat! Terang dan jelas!”

“Kirimkan rekaman itu. Sekarang juga.”

“Sudah aku kirimkan dua menit yang lalu. Sekarang, habislah riwayat Kompol sialan itu,” mata Alex berbinar-binar memandangi bangunan hotel yang berdiri angkuh di hadapannya itu.

“Ayo pulang. Sudah malam,” Markus menepuk bahu Alex dan mobil itu pun berjalan melintasi jalanan kota Surabaya yang masih tampak ramai.

*****

Mapoltabes Surabaya, tiga hari setelah itu, 07.00 WIB

Semua personel harap berkumpul di lapangan upacara. Terdengar sebuah pengumuman menggema di seantero kantor polisi pusat itu.

“Itu dia tandanya,” Alex menyikut perut Markus sambil tersenyum-senyum sendiri.

“Mampuslah dia sekarang,” Markus menyeringai sambil mengenakan topi pet polisinya yang berwarna coklat tua.

Kedua polisi itu berjalan menuju lapangan upacara dan menyaksikan ada seorang perwira polisi tengah berdiri di barisan dekat pengibar bendera dan diapit oleh dua petugas kepolisian dari divisi kehormatan POLRI. Wajah perwira itu masam dan cemberut juga tampak sekali penuh dengan amarah. Matanya melotot ke seantero lapangan upacara, seolah hendak menumpahkan amarahnya pada setiap hadirin yang ada di sana.

Markus dan Alex segera memasuki barisan Unit Reserse dan menunggu sang komandan upacara untuk memulai upacara. Setelah beberapa saat, tibalah waktu bagi Sang Inspektur Upacara untuk memberikan amanat.

Sang Inspektur Upacara, seorang perwira tinggi berpangkat Irjen, berwajah kasar, dan berkumis tebal tampak berdehem sejenak sebelum mulai berpidato dengan nada yang menggelegar, “Kawan-kawanku sekalian! Para saudaraku sebangsa, senasib, dan sependeritaan! Saudara-saudariku kaum Bhayangkara! Masih ingatkah kalian pada sumpah yang kalian ambil ketika diangkat menjadi peugas kepolisian? MASIHKAH?”

“Masiih!” serempak hadirin menjawab.

“Masih? Kalau begitu tentu kalian semua masih mengingat bahwa kita disumpah untuk menegakkan hukum seadil-adilnya! SEADIL-ADILNYA! Itu artinya tidak ada yang namanya SUAP! Tidak ada yang namanya KOLUSI! Tidak ada yang namanya POLITIK UANG! BUKANKAH BEGITU SAUDARA-SAUDARI?”

“Ya Pak!” kembali hadirin menjawab serempak.

“Lalu  kenapa,” sang Inspektur mengalihkan pandangannya pada perwira yang tengah diapit dua petugas itu, “kenapa sampai ada bajingan macam ini di tubuh kepolisian? Sekarang jawab dengan jujur! Siapa dari antara anda semua yang mau bernasib sama seperti BAJINGAN  yang SATU INI?”

Hening. Tidak ada yang menjawab.

“Tidak ada? Eh? Kalau begitu baguslah. Berarti ... kalau sampai ada lagi petugas kepolisian yang seperti DIA!” Inspektur Upacara itu menuding perwira itu lagi kemudian memberi isyarat dua jari bergerak secara horizontal di atas leher kepada seluruh hadirin, “Mati saja!”

Inspektur itu mengakhiri amanatnya lalu mengisyaratkan prosesi berikutnya untuk segera dilakukan.

“Pencopotan jabatan Komisaris Polisi Harun Sudibyo oleh Bapak Inspektur Upacara,” begitu sang pembaca susunan acara berujar. Sosok sang perwira itupun dipaksa oleh dua orang pengawalnya untuk maju ke tengah lapangan upacara. Sampai di tengah-tengah lapangan Inspektur Upacara itu langsung turun dari podiumnya dan menatap tajam ke arah mantan perwira itu. Si mantan perwira tak berani membalas tatapan Sang Inspektur namun akhirnya maju ke hadapan Sang Inspektur yang langsung menarik tanda pangkat bertanda bunga melati itu dari bahunya dengan kasar lalu mencampakkannya ke tanah.

“Meskipun kau putra seorang jendral ... tindakanmu itu sungguh memalukan dan tidak pantas,” ujar Sang Inspektur Upacara dengan geram, “Mulai hari ini Harun, jangan pernah menunjukkan wajahmu di hadapanku lagi!”

“Tapi Pak,” sang terhukum mencoba membela diri.

Seorang petugas menyerahkan pakaian batik – pakaian sipil – kepada Sang Inspektur Upacara yang langsung menyuruh Sang Terhukum untuk melepaskan seragamnya dan menggantinya dengan pakaian batik itu. Sang terhukum melakukannya dengan enggan, meski tetap ia lakukan. Dan setelah resmi melepas seragamnya dua pengawal itu segera membawanya keluar dari lapangan upacara.

*****

Usai upacara Alex dan Markus berbincang di sebuah bangku di taman belakang markas mereka.

“Kau lihat bagaimana ekspresi Komisaris itu? Hahahaha, mukanya semerah udang rebus,” ujar Alex sambil tertawa terpingkal-pingkal.

“Dan ironisnya,” Markus berusaha keras menahan tawanya, “yang mencopot jabatannya adalah ayahnya sendiri.”

“Mampuslah itu perwira sok. Kualat dia atas korban-korban tidak tertangani itu,” ujar Alex melepaskan segala amarah dalam dirinya. Ia dan Markus memang punya dendam pribadi pada Komisaris itu. Markus pernah menjadi anak buahnya dan saat itu baru saja menyelesaikan laporan atas sebuah kejahatan penyelundupan narkoba dan senjata apik ketika Komisaris Harun – yang saat itu masih menjadi kepala divisinya – melepaskan begitu saja para tersangka pengedar narkoba dan senjata api tanpa alasan yang jelas. Kesal dan marah karena merasa hasil kerjanya sia-sia, Markus menghadiahi Harun sebuah bogem mentah yang telak di wajahnya. Hidung si perwira berdarah dan harus diopname selama setidaknya seminggu, tapi tindakan Markus itu berbuntut panjang. Pengaduan dari Sang Komisaris membuat ia menerima sanksi administratif penundaan kenaikan pangkat dua kali. Itu artinya ia harus mengumpulkan poin prestasi dua kali lebih banyak daripada rekannya yang lain supaya bisa naik pangkat. Selain itu Markus juga merasa dendam karena sejak saat itu, Harun semakin mempersulit langkahnya dalam menyelesaikan sebuah investigasi. Ada saja cara yang ia lakukan, mulai dari menyuruh saksi tutup mulut, atau membebaskan saksi yang baru saja diinterogasi seperti kejadian tempo hari.

Sementara Alex juga mengalami nasib yang sedikit lebih beruntung, ia tidak sampai mengalami sanksi penundaan kenaikan pangkat namun sama seperti Markus, segala upaya investigasinya terhadap suatu kasus sering terhambat oleh ulah Harun.

“Markus, Alex,” seorang perwira polisi berjanggut abu-abu tipis mendekat ke arah mereka. Tanda pangkatnya menunjukkan simbol dua bunga melati kuning, seorang Ajun Komisaris Besar – setingkat di atas Komisaris, “selamat atas investigasi kalian yang sukses besar.”

Sebuah nampan berisi tiga gelas minuman dingin tampak melayang di belakang sang AKBP. Pria berjanggut itu langsung menarik nampan itu dan menyodorkannya kepada Alex dan Markus. Alex dan Markus menerima nampan itu dan ketiga orang itu pun langsung larut dalam perbincangan.

“Data rekaman itu membawa kita pada satu nama lagi,” ujar Sang AKBP.

“Siapa?” tanya Alex.

“Pasti seorang pejabat penting,” sahut Markus.

“Ya benar. Seorang anggota DPR RI.”

“Itu yuridiksi Mabes POLRI,” ujar Alex.

“Ya, tapi karena yang menemukan adalah kita, maka kita berhak mengirim satu penyidik ke Mabes POLRI,” ujar Sang AKBP sambil tersenyum.

“Itu berarti mutasi?” tanya Alex.

“Iya mutasi. Jadi siapa di antara kalian berdua yang mau dimutasi ke Mabes POLRI.”

“Alex saja,” tiba-tiba Markus menyahut sambil menunjuk Alex.

Sang AKBP tampak mengernyit, “Kamu serius Markus? Nggak sayang dengan segala fasilitas dan kemungkinan promosi di Mabes sana?”

“Tidak Pak, saya mengusulkan Inspektur Alex saja yang menduduki posisi itu.”

“Oh baiklah, kalau begitu saya akan mengurusnya,” Sang AKBP bangkit berdiri lalu beranjak pergi.

Alex langsung berbalik menghadap Markus begitu atasannya itu pergi, “Kok kamu nggak mau pindah ke Jakarta sih?”

Sampean  lebih butuh pindah ke Jakarta daripada saya. Istri sampean di Jakarta toh? Jadi kalau sampean pindah ke sana, sampean jadi bisa lebih dekat dengan keluarga. Nggak perlu lagi ‘jajan’ ke Dolly atau semacamnya.”

“Hehehe,” Alex menepuk bahu Markus keras-keras, “bisa saja kamu. Makasih lho.”

“Asal jangan lupakan saya sesudah nanti jadi Komisaris lho.”

“Nggak bakal, saya janji! Suer!” Alex mengacungkan dua jarinya sambil tersenyum lebar.

*****

Surabaya, 21.00 WIB

Markus baru saja hendak membuka pintu pagar rumahnya ketika matanya menatap sebuah bungkusan terletak di depan pagarnya. Pria Maluku itu memungut bungkusan itu sambil memasukkan sepeda motornya ke dalam halaman.

“Baru pulang Dik?” Riyadi muncul dari dalam rumah dengan rambut masih basah.

“Iya,” jawab Markus sambil membuka bungkusan itu. Tapi begitu melihat isinya ia langsung menjatuhkan bungkusan itu ke tanah.

“Apa itu?” Riyadi berjalan menghampiri bungkusan itu dan melhat bangkai seekor kucing yang bersimbah darah dan ditempeli sebuah tulisan ‘AWAS!’ yang ditulis dengan darah.

“Ancaman,” desis Riyadi lalu menoleh ke arah adiknya, “kau habis ribut dengan atasan atau orang penting?”

“Komisaris Harun, mantan atasanku dipecat hari ini. Kemungkinan pengirimnya dia atau orang-orang suruhannya.”

“Orang seperti itu jangan dihiraukan,” Riyadi langsung meletakkan paket itu dan masuk ke dalam rumah, mengeluarkan sebuah cangkul dan sebuah korek api. Ia memungut kertas bertuliskan darah itu dan membakarnya kemudian menggali tanah dan menguburkan mayat kucing itu ke dalamnya.

“Saya akan lapor ke Ketua RT, Dik. Kau istirahat saja dulu.”

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top