BAB XI : KESATRIA JANGKARBUMI
Surabaya, 05.00 WIB
Riyadi baru saja membuka matanya ketika komunikatornya membunyikan nada peringatan. Cepat-cepat ia rogoh komunikatornya yang berada di meja di samping tempat tidurnya. Sebuah pesan telah masuk. Ia menekan layar komunikatornya dan sebuah pesan terpampang di hadapannya.
Serma Hariyadi Daksa Passaharya diharapkan menghadap ke Markas Gabungan Tanjung Perak pukul 07.00 hari ini.
“Pesan dari siapa?” tanya Markus yang baru saja kembali dari kamar mandi dan hanya mengenakan celana pendek hitam dengan handuk tersampir di tengkuknya.
“Markas besar.”
“Wajib lapor?”
“Mungkin. Semoga saja hal ini tidak menjadi lebih buruk lagi.”
“Mau memecatmu? Mereka tidak akan bisa Mas,” ujar Markus sembari mengenakan seragam kepolisiannya.
“Ya, semoga saja begitu. Ngomong-ngomong kau kok pagi sekali bangunnya? Ada apa?”
“Pengintaian.”
“Oh,” Riyadi sudah paham betul apa maksud adiknya itu. Pengintaian adalah tugas rutin para reserse seperti Markus. Terkadang pengintaian dilakukan malam hari tapi terkadang juga pagi atau siang hari, tergantung target pengintaian.
“Airnya nyala kan?” tanya Riyadi memastikan.
“Nyala kok, untuk cadangan aku sudah isi tandon air sampai penuh. Eh, ngomong-ngomong Mama tidak bakal pulang sampai minggu depan, jadi kalau Mas mau sarapan silakan bilang ke saya atau buat sendiri.”
“Tante tugas ke mana?” Riyadi memang tidak pernah memanggil istri kedua ayahnya itu dengan sebutan ‘Mama’ atau ‘Ibu’, selalu ‘Tante’. Entah mengapa ia tidak nyaman memanggil ibu tirinya itu dengan sebutan ‘Mama’ atau ‘Ibu’ meski sejak kematian ayahnya, ibu kandung Markus itulah yang membesarkannya layaknya anak kandung sendiri.
“Kapal patroli di Madura. Pengintaian Laskar Pralaya tampaknya.”
“Untung bukan medan yang berbahaya.”
“Ditugaskan di medan yang berbahaya sekalipun aku yakin beliau akan tetap pulang dengan selamat kok,” sahut Markus santai.
Riyadi menyeringai, masih segar dalam ingatannya ketika ia pertama kali berkenalan dengan wanita itu. Ayahnya memperkenalkannya sebagai wanita yang mengalahkan dirinya dalam adu tarung derajat saat turnamen bela diri TNI se-Indonesia. Membuat ayahnya yang selama ini digadang-gadang sebagai calon kuat juara satu menjadi hanya juara dua. Juara satunya disabet oleh wanita yang kelak akan menikahi ayahnya itu.
“Nggak zaman dulu atau zaman sekarang namanya Tante Arimbi tetap saja wanita tangguh,” ujar Riyadi sembari beranjak menuju ke kamar mandi.
*****
Surabaya, 07.00 WIB
Matahari saat itu masih bersinar dengan teriknya di pelabuhan Tanjung Perak. Kapal-kapal pedagang dan kapal-kapal patroli TNI tampak mulai merapat dan menurunkan penumpang serta muatannya. Sementara kapal-kapal lainnya tampak memuat sejumlah barang, bersiap untuk lepas sauh ke lautan luas.
Sebuah motor tampak melenggang masuk ke sebuah halaman markas militer dengan warna dominan putih. Pengendaranya langsung memarkir motor, turun dan dengan langkah terburu-buru melapor ke pos jaga. Ia sudah nyaris terlambat karena kemacetan yang terjadi di jalanan tadi.
“Permisi,” pria itu memencet bel pos jaga dan seorang petugas jaga keluar menemui pria itu, “Serma Riyadi dari Kodim 7830 hadir memenuhi panggilan.”
Petugas jaganya – seorang Kopral muda – tampak memandang Riyadi dengan tatapan mengejek sebelum melapor melalui sebuah komunikator.
“Silakan tunggu dulu Sersan.”
Riyadi mengamat-amati kondisi markas komando Angkatan Laut ini. Bangunan ini didominasi warna putih. Di kanan dan kiri lorong terdapat sekumpulan instruksi Sapta Marga TNI dan cuplikan-cuplikan aksi prajurit Angkatan Laut disertai kata-kata mutiara seperti :
· NKRI Harga Mati!
· Berjuang Sampai Titik Darah Penghabisan!
· Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah!
“Serma Riyadi!” seorang prajurit Marinir berseragam loreng dan berbaret ungu tiba-tiba telah muncul di hadapan Riyadi dengan menyandang sepucuk senapan, “Mari ikut saya.”
Prajurit Marinir itu membawa Riyadi ke sebuah ruangan di mana tampak sekumpulan perwira berpangkat Kapten, Mayor, Letkol, dan Kolonel dari tiga matra tengah duduk melingkari sebuah meja. Riyadi tampak terkejut dengan suasana ini. Di benaknya hanya terpatri satu kemungkinan : Pengadilan Disiplin Militer.
“Silakan duduk Serma Riyadi,” seorang perwira berpangkat Kolonel tampak mempersilakannya duduk di ujung meja.
“Siap!” Riyadi memberi hormat dengan lantang sebelum akhirnya mengambil duduk di ujung meja.
“Saudara pasti bertanya-tanya ada gerangan apa sampai Saudara dipanggil kemari?”
“Benar Pak.”
“Begini, kami semua di sini hendak membebastugaskan Saudara dari pos saudara di Kodim 7830 – Tanjung Perak.”
Pemecatan! Batin Riyadi terguncang namun ia berusaha keras tetap memasang ekspresi datar pada wajahnya.
“Dan ini bukan pemecatan. Anda diminta secara khusus oleh Badan Intelijen Negara untuk bergabung dengan mereka dan menempati pos baru anda.”
Eh? Kontan saja Riyadi kebingungan. Penugasan ke Badan Intelijen Negara bukan sebuah hal yang lazim bagi seorang bintara seperti dirinya. Biasanya perwiralah yang mendapat kesempatan macam itu tapi sekarang secara tiba-tiba dirinya ditunjuk untuk bergabung dengan badan rahasia itu.
“Dan melihat sepak terjang Saudara selama ini. Meski Saudara sempat kena skors karena masalah debt-hunter itu, atas pertimbangan kepantasan dan kelayakan kami memberi Saudara kenaikan pangkat luar biasa,” Sang Kolonel berjalan mendekat ke arah Riyadi dan memberinya isyarat untuk bangkit berdiri. Riyadi bangkit dan Kolonel itu segera melepaskan tanda pangkat tiga busur kuning di bahu Riyadi dan menggantinya dengan tanda pangkat satu garis kuning.
“Mulai hari ini Sersan Mayor Hariyadi Daksa Passaharya resmi dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Dua.”
*****
Keluar dari gedung itu Riyadi tidak henti-hentinya bersiul-siul riang. Seperti mimpi saja ia bisa menjadi Letnan Dua tanpa ikut pendidikan perwira sebagaimana lazimnya. Surat keputusannya pun resmi. Kini tinggal menuju tempat yang disebutkan dalam surat perintah itu dan menerima instruksi berikutnya.
Motor yang dijalankan Riyadi berhenti di sebuah gedung megah berlantai tigapuluh yang bertuliskan ‘Bank Indonesia’. Dahi Riyadi mengernyit, merasa ia salah membaca alamat yang tertera di surat perintahnya. Namun surat perintahnya jelas-jelas mengatakan bahwa ia harus melapor ke gedung ini.
“Ah sudahlah,” Riyadi mematikan mesin motornya lalu berjalan ke dalam gedung itu. Seorang petugas keamanan mencegat Riyadi dan bertanya, “Bapak Hariyadi Daksa?”
“Benar.”
“Bapak ditunggu di lantai 30. Silakan menggunakan lift yang ada di sana,” ucap petugas keamanan itu datar.
“Terima kasih.”
“Sama-sama Pak.”
Saat Riyadi masuk ke dalam lift itu ia merasa petugas keamanan itu bukanlah petugas keamanan biasa. Logatnya jelas-jelas bukan logat petugas keamanan sipil dan gestur tubuhnya menandakan bahwa ia setidak-tidaknya pernah mengecap pendidikan militer.
Riyadi bersiul, “Markas BIN ada dalam gedung Bank Indonesia? Siapa yang menyangka?”
Bel lift berdenting saat mencapai lantai 30. Riyadi keluar dari lift dan langsung disambut dengan tendangan setengah putaran dari seseorang. Dengan sigap Riyadi menunduk dan berguling di tanah lalu melihat ke arah penyerangnya.
“Reflek yang bagus,” ucap penyerang Riyadi yang ternyata seorang wanita.
“Untuk apa itu barusan?”
“Sambutan selamat datang untuk anggota baru. Selamat datang di Dakara, Letnan Riyadi. Nama saya Bunga Hanum Sari.”
“Um ... pangkat?”
“Pangkat tidak berlaku di sini Riyadi. Pangkat di sini hanya sebuah tanda kebanggaan yang kita pakai pada saat tertentu saja.”
“Jadi nama sektor ini adalah Dakara ya?”
“Oh tidak. Kau salah Riyadi. Dakara bukan sektor. Dakara adalah nama sub-organisasi BIN yang menangani masalah-masalah khusus.”
“Masalah khusus? Macam apa?”
Bunga tidak langsung menjawab, ia membuka sebuah pintu ruangan dengan meletakkan telapak tangannya pada sebuah pemindai lalu mengisyaratkan Riyadi untuk ikut masuk ke dalamnya.
Riyadi menurut dan turut memasuki ruangan itu dan isi ruangan itu membuatnya cukup takjub.
Ruangan itu adalah sebuah ruangan yang dilengkapi sejumlah superkomputer dan berisikan setidaknya 10 operator. Sekilas ruangan ini tampak seperti traffic control center milik Kepolisian namun data-data yang ditampilkan di ruang itu bukan hanya soal arus lalu-lintas. Di layar-layar hologram raksasa di atas kepalanya ia bisa melihat data pergerakan sejumlah indeks harga saham nasional dan internasional, deretan foto tokoh-tokoh nasional – baik yang dikenal maupun kurang dikenal, serta sebuah diagram kasus yang tidak terlalu ia pahami.
“Nona Bunga, anda tadi berkata bahwa Dakara menangani masalah-masalah khusus. Masalah khusus macam apa?”
Bunga tidak langsung menjawab, alih-alih menjawab ia malah memanggil dua orang,“Nakula, Sadewa. Kita kedatangan tamu.”
Dua sosok pria berusia 30 tahunan beranjak mendekat ke arah Bunga. Dua sosok pria itu kembar identik. Wajah mereka masuk ukuran sangat tampan di mata wanita manapun yang melihat mereka.
“Selamat datang Hariyadi, putra Rudi Alfaris,” seorang dari si kembar mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Riyadi.
“Uh, terima kasih,” Riyadi menyambut salam itu dengan kikuk.
“Aksimu melawan debt-hunter yang bisa terbang melawan gravitasi dan mampu menyemburkan api itu luar biasa,” ujar Bunga, “Itulah alasan kami merekrutmu.”
Riyadi menelan ludah, namun Bunga sudah melanjutkan kata-katanya, “Meski kau kami tarik kemari karena pentas lagamu yang luar biasa malam itu, kami lebih suka jika untuk seterusnya kau tidak melakukan hal yang mencolok mata publik lagi. Paham Letnan?”
“Paham Bu.”
“Baiklah, mari kita mulai pembekalan masalahnya,” Nakula menyorongkan sebuah alat berbentuk lingkaran berdiameter 10 cm ke tengah meja yang ada di hadapan mereka berempat.
“Segala kekacauan yang berkaitan dengan Laskar Pralaya akhir-akhir ini kami rasa bermula dengan temuan kami soal ini,” ujar Bunga, “Sadewa, silakan.”
“Terima kasih Mbakyu,” ujar Sadewa sembari mengatifkan alat di tengah meja itu melalui arlojinya. Sebuah gambar seorang pria berusia 40 tahunan muncul di layar.
“I Made Dharmawangsa,” kembaran Nakula itu mengibaskan tangannya dan memunculkan tujuh layar hologram yang tampaknya memuat riwayat hidup orang di foto tersebut, “Politikus Partai Banteng Merah dari Bali. Menjabat sebagai anggota DPR untuk Komisi III[1], dan mantan aktivis hak azazi manusia. Julukannya adalah politikus putih karena tidak pernah menyerang pribadi lawannya. Ditemukan tewas pada 12 Desember 2095 karena dibunuh oleh seorang ajudan pribadinya.”
Uwak Yudhistira. Gumam Riyadi.
“Pada 5 April 2094, Dharmawangsa diketahui akan turut hadir dalam peresmian Jembatan Tol Sarleda – jembatan penghubung antara Pulau Bali dengan Pulau Nusa Lembongan dan Pulau Nusa Penida. Tapi malam sebelumnya sosok Dharmawangsa dikabarkan berjalan sendirian memasuki area jembatan yang belum dibuka untuk umum.”
Nakula melanjutkan penjelasan saudaranya, “Saksi mata menyatakan bahwa pada pukul 23.00 WITA listrik di daerah Pantai Sanur hingga Jembatan Sarleda padam tanpa sebab yang jelas. Sesosok bayangan hitam berbentuk garuda raksasa juga dikabarkan muncul dari Jembatan Sarleda dan terbang menuju Negara (kota di Bali – dibaca Negare). Wayan Syandana, sekretaris pribadi Dharmawangsa, ditemukan tewas di jembatan itu keesokan paginya.”
“Itu berita resminya,” ujar Sadewa, “berita sebenarnya adalah ...,” Sadewa membuka sebuah file video dan video itu segera menampilkan bahwa sosok bernama Dharmawangsa itu tengah diancam oleh seseorang yang tengah menarik busur panah yang mengeluarkan anak panah bercahaya keperakan. Anak panah itu dilepaskan dari busurnya namun ketika mencapai jarak setidaknya enam langkah dari Dharmawangsa, panah itu terurai menjadi serpihan-serpihan cahaya. Kedua orang itu tampak berdebat sebelum Dharmawangsa menarik sesuatu dari saku celananya. Sesuatu itu adalah sebuah buku saku yang segera saja ia lemparkan ke udara dan berubah wujud menjadi sebilah tombak kuning tembaga. Senjata kedua orang itu pun segera beradu kembali setelah itu kamera hanya memunculkan statik.
“Saya hadir pada saat kejadian itu, saya juga yang mengambil gambar ini menggunakan kamera jelajah,” ujar Nakula.
Nakula diam sejenak, matanya menatap Riyadi penuh selidik, “Apakah ayahmu tidak pernah cerita soal hubungannya dengan I Made Dharmawangsa?”
“Tidak,” Riyadi menggeleng.
Pembicaraan diambilalih oleh Bunga yang menarik layar tersebut dan menampilkan foto sosok lain, “Rakeyan Hariwangsa, jurnalis media massa TEMPO di kantor cabang Jawa Barat. Dikenal getol mengkritik skandal antara pengusaha kakap dan politikus-politikus daerah dalam urusan tender pengadaan barang dan jasa. Ditemukan terbunuh pada 1 Mei 2093 dalam sebuah ledakan yang menghancurkan seluruh apartemennya. Pada saat malam kejadian itu, ayahmu –Rudi Alfaris – juga ada di sana.”
“Laporan ayahmu menyatakan bahwa Hariwangsa nyaris tewas dikeroyok enam orang misterius yang menggunakan Astra sebelum akhirnya melepaskan anak panah berhulu ledak yang meruntuhkan bangunan itu seutuhnya,” sambung Nakula, “Ayahmu menyaksikannya langsung dengan mata-kepalanya sendiri sebelum ia terpental sejauh sepuluh meter dari tempat itu dan mendarat dengan hanya sedikit luka.
Bunga, Nakula, dan Sadewa terdiam sejenak dan memandang Riyadi lekat-lekat. “Kau bisa simpulkan apa maksud kami dengan menunjukkan data tadi kan Riyadi?”
“Senjata mistis yang mereka kenakan ... dengan nama apa kalian menyebutnya?” Riyadi balik bertanya.
“Astra,” jawab Nakula.
“Saya rasa ... para pengguna Astra ini sudah muncul sejak 22 tahun yang lalu. Sebagian direkrut oleh Dakara sebagaimana halnya ayah saya dan sebagian lagi menggabungkan diri dengan Laskar Pralaya. Apa saya benar.”
Sadewa mengangguk, “Benar, sayangnya masih ada info yang ingin kami ketahui darimu dan belum kau ungkapkan.”
“Apa yang ingin Dakara ketahui dari saya?”
“Kalau saya bilang ayahmu adalah Bratasena, putra Pandu nomor dua dalam epos Mahabaratha, maka siapa dirimu ini Riyadi? Antareja atau Antasena?”
Riyadi menatap Nakula, Sadewa, dan Bunga Hanum Sari bergantian. Menimbang-nimbang apakah orang-orang ini bisa dipercaya. Ia sudah tahu sejak lama bahwa ia adalah seorang manusia awatara – titisan dari sosok pahlawan masa lalu pada zaman Mahabaratha, tapi tidak semudah itu ia membagi informasi mengenai dirinya pada sembarang orang.
“Kau khawatir soal keselamatan dirimu Riyadi?” tanya Nakula beberapa saat kemudian.
“Jikalau memang ayah saya adalah titisan Bratasena, untuk apa saya perlu memberitahu jati diri saya yang sebenarnya?”
“Jika kau Antareja maka kami harus mencari Antasena. Jika kau Antasena maka kami harus mencari Antareja. Hanya masalah itu kok.”
“Kenapa kalian ingin mengumpulkan seluruh keluarga Pandawa dalam satu atap?”
“Karena,” Nakula menyorongkan sebuah layar hologram lagi ke tengah-tengah meja, “Telah terjadi pembunuhan terhadap 8 muda-mudi secara acak di berbagai wilayah di Indonesia.”
“Seolah-olah acak,” sambung Bunga, “tapi jika kita menarik benang merah di antara semua anak ini. Semua ibu mereka pernah menjalin hubungan dengan jurnalis playboy kita – Rakeyan Hariwangsa. Tes DNA yang kami lakukan diam-diam menunjukkan bahwa anak-anak ini seluruhnya adalah anak-anak Rakeyan Hariwangsa,”
“I Made Dharmawangsa adalah Yudhistira, Rakeyan Hariwangsa adalah Arjuna, ayahmu adalah Bratasena, dan dua orang ini ..,” Bunga menudingkan jarinya ke arah Nakula dan Sadewa, “Adalah Nakula dan Sadewa, putra Ratu Madrim – istri kedua Raja Pandu.”
“Apa buktinya?”
Nakula dan Sadewa saling berpandangan sebelum akhirnya mengeluarkan sebuah liontin yang segera termaterialisasi menjadi bilah sundang – pedang tradisional Nusantara – namun dengan ukiran yang tidak lazim berupa sulur-sulur tanaman merambat yang tengah dianyam dua sosok kembar.
“Pedang ini,” kata Nakula, “hanya bisa digunakan oleh anak-anak Bathara Aswin. Coba saja kau angkat,” ia menyorongkan pedang itu pada Riyadi dan ketika Riyadi menerimanya, ia merasa sedang mengangkat beban satu truk kontainer. Pedang itu sangat berat dan tidak bisa diangkat meski tampak sekali bahwa Nakula maupun Sadewa mengangkat pedang itu tanpa usaha keras.
“Kau percaya sekarang Riyadi?” tanya Sadewa.
“Oke, kurasa ini cukup,” nafas Riyadi memburu dan keringat bermunculan di keningnya setelah bersentuhan dengan senjata astra itu.
“Oh sebagai tambahan,” Nakula melirik nakal ke arah Bunga, “Wanita ini tantemu di masa lalu. Dia Awatara Srikandi.”
“Nakula!” Bunga menatap benci ke arah si kembar tapi Nakula hanya membalasnya dengan tersenyum nakal.
“Saya Antareja,” akhirnya Riyadi buka suara, “Raja Kesatria dari Negeri Jangkarbumi, cucu dari Antaboga – penguasa Sapta Pratala.”
“Kau punya saudara Riyadi?” tanya Nakula lagi.
“Satu orang adik, lain ibu satu ayah.”
“Apa dia punya kekuatan serupa dirimu?”
“Punya.”
“Siapa dia?”
“Pemilik Ajian Brajamusti?”
Mata Nakula, Sadewa, dan Bunga langsung saling berpandangan. “Gatotkaca!” sahut mereka bersamaan.
“Dia bekerja di kota ini kan?” tanya Sadewa.
“Ya, di Mapoltabes Surabaya. Ipda Markus Alfaris Passaharya.”
Sadewa langsung bangkit berdiri dan berjalan menuju ke arah seorang operator, “Duta, atur pemindahan tugas Ipda Markus ke Dakara.”
“Akan makan waktu lama Pak. Birokrasi kepolisian tidak sesederhana TNI,” jawab operator itu.
Bunga sendiri akhirnya melirik ke arah Riyadi, “Tugasmu Letnan Riyadi, atau aku harus panggil kau Antareja, adalah bekerjasama dengan adikmu itu dan menjaganya hidup-hidup sampai kami bisa membawanya kemari.”
“Siapa yang bakal menyerangnya?”
Sebuah alarm berbunyi dan sebuah layar hologram merah segera muncul di tengah-tengah ruangan itu.
“Ada apa?” tanya Sadewa.
“Perintah dari pusat Pak,” jawab seorang operator, “Anda bertiga diminta terbang ke Rotterdam, Belanda, dua jam dari sekarang.”
“Belanda?”
“Sebuah astra terdeteksi di antara benda-benda arkeologi yang akan dipamerkan di Rotterdam.”
“Ah sial,” Bunga memijit-mijit lehernya yang kaku.
“Antareja,” Sadewa menyerahkan sebuah alat berbentuk lingkaran yang tadi ia gunakan, “Untuk tugasmu ini kau diberi otoritas untuk bekerjasama dengan adikmu itu secara personal tapi tidak secara institusional. Data pendukung untuk tugasmu ada di dalam benda itu. Baca-baca saja sendiri.”
“Ayo Sadewa, kita harus bergegas,” Nakula berseru pada kembarannya itu sebelum menghilang di balik pintu.
Riyadi membuka benda yang tadi diberikan Sadewa padanya begitu tiga orang itu pergi meninggalkannya seorang diri, puluhan layar hologram muncul mengelilinginya. Matanya menelisik setiap isi layar itu hingga akhirnya ia menemukan satu catatan yang menarik perhatiannya. Satu catatan yang langsung membuat wajahnya menjadi pucat pasi.
[1]Menangani masalah hukum dan HAM
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top