BAB X: DAKARA
Markas Besar TNI , Cilangkap, Perbatasan Jakarta-Depok. 09.30 WIB
Kesibukan tampak di Markas Besar TNI. Gedung dengan cat dominan putih dan atap bercat merah tua itu tampak didatangi puluhan mobil – baik mobil darat maupun mobil anti-gravitasi berplat militer baik dari matra TNI AD, AL, maupun AU. Satu per satu penumpang kendaraan itu turun, menampilkan sosok-sosok perwira berseragam dengan tanda pangkat tersemat di pundak mereka masing-masing. Wajah-wajah mereka tampak tegang dan kaku. Perwira-perwira itu bergegas memasuki gedung putih itu dengan langkah yang terburu-buru.
Sesaat kemudian muncul sebuah mobil anti-G tampak meluncur turun dengan kecepatan gila-gilaan dan berhenti di jalan setapak menuju bagian dalam gedung. Dua orang segera turun dari mobil itu. Seorang adalah pria berjas abu-abu dengan tampang flamboyan sementara satu lagi adalah seorang pria berpakaian serba hitam – berkemeja hitam, berjas hitam, dan bercelana hitam. Usia pria kedua tampak jauh lebih tua daripada pria pertama tapi tatapan matanya setajam elang, yang pastinya akan membuat orang-orang akan berpikir dua kali untuk mengajaknya bicara.
Dua orang itu juga bergegas memasuki gedung Mabes TNI. Tepat di pintu gerbang empat orang prajurit Marinir menghentikan mereka untuk memeriksa identitas mereka. “Brigjen Jafar Hamadi – Kepala Badan Intelijen Negara,” ujar pria bertampang flamboyan itu.
“Kolonel I Ketut Puja Syailendra, Badan Intelijen Negara,” ujar pria satunya lagi.
“Silakan masuk Bapak-Bapak,” empat prajurit Marinir itu mempersilakan mereka berdua masuk setelah memeriksa keabsahan identitas mereka.
Di tengah jalan, pria flamboyan itu menepuk pundak pria pendampingnya, “Ketut, biarkan saya bicara dulu dengan mereka sebelum kau paparkan rencanamu. Oke?”
“Baik Pak,” jawab pria bermata elang itu.
Dua orang itu langsung memasuki sebuah ruang rapat di mana di dalamnya tampak sebuah meja melingkar yang telah penuh dengan perwira-perwira TNI dari berbagai matra. Sebagian dari mereka menunjukkan mimik wajah tidak suka dan dan mata yang menatap bengis kepada dua orang yang baru datang itu.
“Tampaknya mereka semangat sekali untuk memakan kita, Pak,” bisik Syailendra pada Jafar.
“Seperti biasa,” Jafar mengulum senyum. Ia sudah biasa mendapat perlakukan seperti itu karena memang dunia yang ia geluti adalah dunia yang nyaris tak kasat mata. Intelijen tidak akan pernah dipuji jika berhasil, tidak akan pernah dicari dan ditangisi saat mati di negeri orang, tapi sudah pasti dicaci-maki saat mereka gagal. Bahkan saat mereka tidak melakukan kesalahan apapun segenap media massa dan sebagian perwira TNI akan bersemangat mencari-cari kesalahan mereka. Mereka selalu menjadi kambing hitam.
Dua orang itu duduk di ujung meja dengan tenang meski tatapan-tatapan tidak bersahabat masih tertuju ke arah mereka.
Di ujung meja yang lain, seorang pria berkulit hitam, berambut ikal, dan berwajah khas orang-orang Indonesia Timur tampak berdehem sejenak sebelum mulai bicara, “Saudara-saudara sekalian pasti sudah tahu atas alasan apa anda semua saya panggil kemari.”
“Ya Bapak Panglima TNI,” semua hadirin menjawab dengan serempak.
“Pasukan kita,” Sang Panglima TNI menekan sebuah remote control dan sebuah peta kepulauan Indonesia segera tampil di tengah-tengah meja, peta itu berputar 360o secara perlahan, “sudah mencapai Tarakan. Kota itu sudah berhasil kita kuasai. Tapi ... .”
Semua hadirin tak ada yang berani buka suara sementara Sang Panglima TNI juga terdiam cukup lama sebelum kembali buka suara, “Kita kehilangan setidaknya dua batalyon dalam pertempuran ini.”
“Apa sih kerja anda Pak Jafar?” seorang perwira TNI menatap Jafar – Sang Kepala BIN – dengan penuh emosi, “Organisasi anda bilang kekuatan pasukan musuh di Tarakan hanya empat peleton! Masakan empat peleton itu bisa menghabisi tiga batalyon pasukan terlatih?”
“Ehem. Saya benci mengakuinya tapi informasi yang diberikan BIN sudah tepat. Info yang diberikan BAIS[1] juga tidak jauh beda. Musuh kita hanya berkekuatan empat peleton. Jumlah tepatnya 125 orang,” ujar Sang Panglima TNI.
“Antara kemampuan TNI AD sudah lembek atau musuh kita memang punya pemimpin militer yang hebat,” celetuk seorang perwira TNI AL berbaret ungu – dari kesatuan Marinir.
“Heh! Jaga mulut anda Pak!” seorang perwira TNI AD menuding perwira Marinir itu.
“Atau mungkin ada kebocoran data intelijen,” kali ini seorang perwira TNI AU angkat bicara.
Pertengkaran perwira antar matra itu teredam sejenak dan mata mereka kembali melirik ke arah Kepala BIN dan pendampingnya.
“Nah, mulai deh,” Jafar menyunggingkan senyum kepada Syailendra. Pria flamboyan itu akhirnya berdiri dan mulai mengemukakan pandangannya, “Bapak-bapak, kita tidak bisa berperilaku munafik dengan mengatakan bahwa TNI terutama TNI AD adalah kekuatan utama yang menopang segala ancaman disintegrasi bangsa. Tapi harap Bapak-bapak ingat pula bahwa lawan kita kali ini ‘tidak biasa’. Lawan kita kali ini bukan lawan bersenjata konvensional, mereka ...,” Jafar menekan sebuah tombol pada arlojinya dan sebuah rekaman video muncul di tengah-tengah meja, “menggunakan senjata yang tidak lazim.”
Rekaman video itu menunjukkan sekumpulan Laskar Pralaya yang tampak tengah mengeluarkan aura hitam dari dalam tubuh mereka. Beberapa saat kemudian tubuh itu meledak dan beberapa prajurit yang terkena ledakan-ledakan itu tampak hancur menjadi serpihan daging.
“Apa ini? Teknologi terbaru Inggris, Cina?” tanya salah seorang perwira TNI AL.
“Bukan dari mana-mana Bapak-bapak,” Syailendra akhirnya berdiri dan angkat bicara, “teknologi ini datang dari masa lalu.”
Dahi para perwira yang hadir di sana mengernyit mendengar kata-kata itu tak terkecuali Sang Panglima TNI.
“Kolonel Syailendra, bisa jelaskan soal ini lebih detail?” pinta Sang Kepala BIN.
“Dia dari Dakara?” tanya Sang Panglima TNI yang dijawab dengan anggukan oleh Jafar.
“Dakara?” para hadirin mulai saling berbisik-bisik mendengar kata itu. Kata itu terdengar asing dan sepengetahuan mereka tidak ada satupun divisi di lembaga negara ini yang memakai nama itu.
“Bapak-bapak, perkenalkan, nama saya I Ketut Puja Syailendra, dari Dakara.”
“Dakara?” sebagian hadirin kembali bertanya sambil mengernyit bingung sementara Jafar – Sang Kepala BIN tampak melirik tajam ke arah sang Panglima TNI. Panglima TNI membalas lirikan itu dengan sebuah anggukan sehingga akhirnya kepala BIN berwajah flamboyan itu bangkit berdiri dan mulai bicara, “Pada saat Presiden Pertama kita masih menjabat, beliau menyadari bahwa ancaman yang datang pada negara ini bukan hanya ancaman asing dengan segala teknologinya tapi juga ... ancaman supranatural. Negeri kita adalah negeri mistik. Di Jawa, Andalas, Bali, Borneo, Celebes, Kepulauan Maluku, Sumba, Flores hingga Papua semuanya kental akan budaya mistik. Sebagian dari kita akan menertawakan dan menganggap ini semua omong kosong. Tapi percayalah Bapak-bapak, mistik tidak selamanya mitos. Semenjak negara ini berdiri Dakara telah melakukan banyak operasi pembersihan terhadap sekumpulan gerakan separatis yang menggunakan unsur supranatural dalam usaha mereka.”
“Tapi kenapa kami tidak pernah dengar soal ini?” tanya seorang perwira AU.
“Karena yang tahu soal Dakara hanyalah para kepala BIN dan Panglima TNI dan juga RI-1[2]. Lain tidak,” ujar Sang Kepala BIN.
“Kalau begitu ... senjata mereka ini. Sebenarnya senjata apa?” seorang perwira TNI AD berkacamata tiba-tiba mengajukan pertanyaan.
“Anda akrab dengan mitologi Hindu Bapak-bapak?” kembali Syailendra buka suara.
“Pewayangan? Tentu saja,” jawab seorang perwira TNI AL.
“Bukan pewayangan Jawa Bapak-bapak. Tapi kisah pewayangan yang belum mengalami de-Hinduisasi.”
“Maksud anda?”
“Senjata yang anda lihat di sini adalah senjata yang sama dengan yang digunakan para kesatria-kesatria pada era Mahabaratha dulu Bapak-bapak. Senjata ini disebut Astra, senjata yang dianugerahkan para dewata kepada kesatria-kesatria terpilih. Anda mungkin kenal dengan busur Gandewa, panah Pasopati, dan Kontawijayandanu. Semua itu adalah Astra. Tapi hal yang sering dilupakan oleh kita semua adalah : astra bukan hanya milik Pandawa dan Adipati Karna saja. Semua pihak yang terlibat dalam Bharatayudha semuanya menggunakan Astra.”
“Dari mana mereka mendapatkan Astra-Astra ini?” Sang Panglima TNI mengajukan pertanyaan.
“Bapak-bapak masih ingat mengenai ekskavasi relik-relik purbakala secara besar-besaran di beberapa daerah di Indonesia beberapa waktu yang lalu? Sebagian besar relik itu berwujud senjata. Anda mungkin juga mendengar sebagian relik itu dirampas oleh kelompok misterius. Namun polisi tampak ogah-ogahan dalam menangangi kasus ini karena sudah sejak lama kita memandang relik sejarah tak ubahnya sebagai sampah. Tapi kini ... apatisme itu berbuah pahit. Relik-relik yang dicuri itu adalah Astra dan pelaku pencuriannya adalah Laskar Pralaya. Dengan astra-astra itu mereka mempersenjatai diri dan membantai pasukan kita sedikit demi sedikit sampai tidak ada cukup pasukan untuk mempertahankan wilayah kita.”
“Tapi senjata-senjata ini berasal dari masa lalu bukan? Seharusnya kita bisa kalahkan mereka dengan senjata-senjata masa kini,” ujar seorang perwira TNI AD yang lain.
“Kalau begitu kita harus terjunkan semua pasukan khusus kita! Kopassus, Paskhas, Kopaska, Jala Mangkara! Semuanya!” ujar seorang perwira TNI AD dengan berapi-api.
“Maaf Pak, saya rasa itu bukan tindakan yang bijak,” sahut Syailendra
“Kondisi saat ini sudah genting dan saat kondisi genting macam inilah mereka harus diterjunkan. Kopassus memiliki daya tempur setara 5-10 prajurit! Saya rasa itu cukup untuk menandingi kekuatan Laskar Pralaya dengan Astra brengsek mereka itu.”
“Terjunkan 100 orang Kopassus ke medan ini sama saja anda mengirim mereka ke kematian. Jangan terburu-buru bersemangat untuk kirimkan pasukan kebanggan kita ke medan laga Jenderal. Jika kita melihat peta serangan Laskar Pralaya selama ini tidakkah kita harusnya curiga dengan skala serangan mereka?”
“Jumlah personelnya terlalu kecil,” celetuk seorang dari Angkatan Udara.
“Benar, terlalu kecil. Karena itu kami menduga ada sebuah pasukan yang lebih besar lagi yang tengah mereka siapkan untuk menghantam kita saat kita sudah tidak punya cukup kekuatan untuk menahan mereka.”
“Jadi kita harus bagaimana?” seorang perwira Angkatan Laut memukul meja dengan geram.
“Pengguna Astra bukan hanya mereka saja Bapak-bapak. Kami di Dakara telah mendeteksi setidaknya ada beberapa orang yang punya kemampuan setara mereka. Sedikit memang, tapi dalam sebuah operasi penyusupan Dakara melalui Lembang, tim kecil ini berhasil menumpas para Laskar Pralaya itu.”
“Oh bagus itu, jadi kita tinggal kirimkan mereka saja ke daerah konflik kalau serangan Laskar Pralaya terjadi lagi.”
“Masalahnya sekarang personel kami di tim itu cuma tiga orang.”
Keresahan kembali timbul di antara para hadirin sampai seseorang akhirnya angkat bicara, “Apa kita tidak bisa membujuk satu-dua pengikut Laskar Pralaya itu untuk berpaling ke arah kita?”
“Sulit,” ujar Jafar, “kami sudah pernah mencobanya. Tapi mereka yang bergabung dalam Laskar Pralaya rata-rata punya motif yang sama : mereka merasa dikhianati oleh negaranya dan tidak akan pernah sudi lagi membela yang namanya Republik Indonesia.
“Dan jaminan atau imbalan yang mereka minta juga terlalu besar. Tidak sepadan.”
Sang Panglima TNI mendesah, “Jadi apa saranmu Kolonel Syailendra?”
“Saran saya adalah...,” Syailendra mendorong sebuah layar hologram ke tengah meja. Layar itu menampulkan sebuah video insiden pertarungan antara Serma Riyadi dengan Janggala. Seluruh mata hadirin tampak takjub menyaksikan video itu, “mengumpulkan orang-orang seperti mereka menjadi beberapa tim gerak cepat yang bisa dimobilisasi sewaktu-waktu.”
“Yah, setidaknya satu di antara mereka adalah anggota TNI AD, jadi kita tidak perlu repot-repot membujuknya,” ujar Syailendra.
“Siapa nama prajurit ini?” tanya Sang Panglima TNI.
“Sersan Mayor Hariyadi Daksa Passaharya dari Kodim 7830 – Tanjung Perak.”
“Dan yang satunya lagi?”
“Seorang debt-hunter.”
Jafar kembali melirik ke arah Sang Panglima TNI, memberi sebuah isyarat permintaan. Melihat tatapan itu akhirnya Panglima TNI berujar, “Baiklah. Dakara akan saya beri supervisi untuk merekrut sebanyak-banyaknya orang-orang macam ini untuk menetralisir gerakan Laskar Pralaya. Sementara itu ... saya minta matra yang lain tetap mengumpulkan info dan berkoordinasi dengan BIN. Paham semua?”
“Paham Pak!”
“Laksanakan!”
“Siap! Laksanakan!” seluruh hadirin berdiri dan memberi hormat kepada Sang Panglima TNI.
*****
Jafar dan Syailendra baru saja hendak kembali ke kendaraan mereka ketika seorang perwira TNI AD tampak berdiri menghalangi jalan mereka.
“Ada masalah Letjen Hadikusuma?” tanya Jafar kalem.
“Semoga berhasil dengan strategi penceritaan kalian,” yang disapa tersenyum sinis sebelum akhirnya beranjak pergi dari situ.
Jafar dan Syailendra kembali berjalan menuju mobil mereka sepeninggal perwira TNI itu. Saat sudah memasuki mobil Jafar melirik ke arah Syailendra, “Kenapa di pikiran mereka hanya ada kata ‘pencitraan’ saat kita hendak melakukan hal yang benar?”
“Berapa banyak prajurit yang mempertahankan idealisme Sumpah Prajurit dan Sapta Marga TNI mereka saat mereka sudah bersinggungan dengan yang namanya kejayaan dan kekayaan Pak? Orang-orang seperti pria tadi hanyalah memikirkan kejayaan yang bakal ia dapat jika ia dapat terlibat aktif dalam penyelesaian konflik ini. Keputusan Panglima TNI untuk memberikan Dakara dan BIN hak sebebas-bebasnya dalam menangani masalah ini membuat orang seperti dia tidak bisa bergerak.”
“Seharusnya dia bersyukur karena nyawa anak buahnya bisa terselamatkan. Tidak mati sia-sia di medan perang.”
“Bagi komandan seperti dia nyawa anak buah adalah variabel-variabel pendukung untuk membantunya mencapai kejayaan. Taruhan, orang itu pasti menginginkan kursi Panglima TNI ketika Panglima yang ini sudah lengser.”
“Barangkali,” Jafar mendesah, “baiklah untuk langkah pertama apa yang akan kau lakukan Syailendra? Menemui Sersan Mayor itu?”
“Tidak, ada satu orang yang harus saya amati lebih dahulu.”
“Siapa?”
“Kapten Sarwadi dari Divisi 3 – Intelijen Luar Negeri.”
“Yang saat ini bertugas di Belanda?”
“Ya.”
“Memangnya ada apa dengan Belan-? Oh sial!”
“Satu relik Astra ada di sana dan Kapten Sarwadi ditugaskan untuk menjaganya.”
[1]Badan Intelijen Strategis, badan intelijen yang khusus menyuplai data intel untuk Angkatan Darat.
[2]Presiden
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top